Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH PENGOLAHAN LIMBAH

KELOMPOK VI

1. HIDAYATUL LAELIN (E1M018033)


2. KUKUH WASESO JATI P. (E1M018043)
3. NIGIA DETA ANGGRIANI (E1M018053)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2020
PRAKATA

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT sehingga kami diberi kesempatan kesempatan
untuk menyelesaikan tugas penulisan makalah tentang “Pengelolaan Limbah”.

Adapun penulisan makalah ini merupakan bentuk dari pemenuhan beberapa tugas mata
kuliah Kimia Lingkungan. Pada makalah ini akan dibahas mengenai pentingnya pengelolaan
limbah, cara pengelolaan limbah padat, cair, gas dan Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) serta
konsep dasar produksi bersih.

Kami ucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang telah membantu kami selama
proses penyelesaian makalah ini. Penulis juga berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi setiap pembaca. Tak lupa kami meminta kritik dan saran mengenai penulisan
makalah kami ini.

Mataram, 1September 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

COVER........................................................................................................................................................i
PRAKATA..................................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................iii
BAB 1.........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG.................................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH.............................................................................................................1
C. TUJUAN.....................................................................................................................................2
BAB II.........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................3
A. PENTINGNYA PENGELOLAAN LIMBAH.............................................................................3
B. CARA PENGELOLAAN LIMBAH PADAT..............................................................................5
C. METODE PENGELOLAAN LIMBAH CAIR..........................................................................11
D. METODE PENGELOLAAN LIMBAH GAS, DEBU DAN PARTIKEL.................................15
E. PENGELOLAAN LIMBAH B3................................................................................................17
F. KONSEP DASAR PRODUKSI BERSIH..................................................................................42
BAB III......................................................................................................................................................45
PENUTUP.................................................................................................................................................45
A. KESIMPULAN.........................................................................................................................45
B. SARAN.....................................................................................................................................45
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Limbah berupakan benda Padat, Cair, Gas dan partikel serta Bahan Beracun dan
Berbahaya (B3) yang tidak diperlukan dan dibuang, limbah pada umumnya mengandung
bahan pencemar dengan konsentrasi bervariasi. Bila dikembalikan ke alam dalam jumlah
besar, limbah ini akan terakumulasi di alam sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem
Alam
            Penumpukan limbah di alam menyebabkan ketidak seimbangan ekosistem tidak
dikelolah dengan baik. Pengelolahan limbah ini merupakan upaya merencanakan
melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi pendaya gunaan limbah, serta pengendalian
dampak yang ditimbulkannya
            Upaya pengelolahan limbah tidak mudah dan memerlukan pengetahuan tentang
limbah Padat, Cair, Gas dan partikel serta B3 unsur-unsur yang terkandung serta
penanganan limbah agar tidak mencemari lingkungan selain itu perlu keterampilan
mengelolah limbah menjadi ekonomis dan mengurang jumlah limbah yang terbuang ke
alam.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa pentingnya pengelolaan limbah?
b. Bagaimana cara pengelolaan limbah padat?
c. Bagaimana metode pengelolaan limbah cair?
d. Bagaimana metode pengelolaan limbah gas, debu dan partikel?
e. Bagaimana pengelolaan limbah B3?
f. Bagaimana konsep dasar produksi bersih?

C. TUJUAN
a. Mengetahui pentingnya pengelolaan limbah.
b. Mengetahui cara pengelolaan limbah padat.
c. Mengetahui metode pengelolaan limbah cair.
d. Mengetahui metode pengelolaan limbah gas, debu dan partikel.
e. Mengetahui pengelolaan limbah B3.
f. Mengetahui konsep dasar produksi bersih.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENTINGNYA PENGELOLAAN LIMBAH


Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri
maupun domestik (rumah tangga), yang lebih dikenal sebagai sampah, yang
kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena
tidak memiliki ekonomis. Secara umum yang disebut limbah adalah bahan sisa yang
dihasilkan dari suatu kegiatan dan proses produksi, baik pada skala rumah tangga,
industri, pertambangan dan sebagainya. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri
dari bahan kimia senyawa organik dan anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas
tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi
kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah dengan
baik(Widjajanti, 2009 : 3).
Pengelolaan limbah merupakan proses atau kegiatan penhilangan kontaminan
limbah baik limbah rumah tangga maupun domestik. Pengelolaan limbah merupakan
rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, pengumpulan, penyimpanan, pengangkutan,
pemanfaatan dan/atau penimbunan guna untuk menghindari pencemaran lingkungan.
Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan
karakteristuk limbah sehingga perlunya pengelolaan limbah tersebut. Menurut undang –
undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
sebagai pengganti Undang – Undang Nomor 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (menggantikan UU No. 4/1982), menempatkan masalah bahan dan limbah
berbahaya sebagai salah satu perhatian utama, akibat dampaknya terhadap manusia dan
lingkungan bila tidak dikelola dengan baik. Penanganan masalah sampah perlu dikelola
dengan baik dan penuh tanggung jawab agar tidak menimbulkan pencemaran
lingkungan terhadap terhadap tanah, air dan gas sehingga hasil pengelolaan sampah
tersebut bermanfaat bagi kehidupan dan kesehatan masyarakat. Pengelolaan sampah
yang baik bukan berarti menghilangkan sampah dari pandangan mata, dari lingkungan
dimana sampah berada, tetapi lebih dari ituyang diinginkan dari pengelolaan sampah
yang memenuhi syarat kesehatan lingkungan seperti terciptanya lingkungan yang bersih
dan nyaman, tidak menimbulkan bau yang tidak sedap, tidak mencemari permukaan
tanah, air maupun udara serta tidak menjadi tempat berkembangbiaknya serangga dan
binatang pengerat/vektor penyakit(Suprapto, 2005 : 1).

Pada prinsipnya pengelolaan sampah haruslah dilakukan sedekat mungkin dengan


sumbernya, sehingga permasalahan sampah yanag dihadapi selama ini dapat teratasi
dengan baik tanpa harus mengeluarkan banyak waktu, tempat dan biaya. Permasalahan
pengelolaan sampah erat kaitannya dengan pengaturan terhadap penimbunan,
penyimpanan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pembuangan atau pemusnahan
dan pemanfaatan sesuai dengan prinsip-prinsip kesehatan masyarakat (human health
principle), ekonomi (economi), keindahan (esthetic) dan pertimbangan-pertimbangan
lingkungan lainnya serta disesuaikan dengan kondisi masyarakat stempat.

Menurut Peraturan Pemerintah RI Pasal 1 No. 101 Tahun 2004 tentang


Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun atau B3 adalah zat, energi, dan/atau
komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/ atau merusak lingkungan hidup,
dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia
dan makhluk hidup lain. Jadi, limbah yang dihaslkan haruslah diolah dengan baik
sehingga tidak akan menimbulkan pencemaran bagi lingkungan ekosistem sekitarnya.
Oleh karena itu, perlu adanya penanganan khusus dalam pengelolaan limbah ataupun
bahan berbahaya dan beracun di tiap titik penghasil limbah sehingga penanganan limbah
merupakan suatu keharusan guna terjaganya kesehatan manusia serta lingkungan pada
umumnya. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan kewajiban bersama berbagai pihak
baik pemerintah, pelaku industri dan masyarakat luas. Hal ini menjadi lebih penting lagi
mengingat Indonesia sebagai Negara yangperkembangan industrinya cukup tinggi dan
saat ini dapat dikategorikan sebagai Negara semi industri. Namun, pengadaan dan
pengoperasian sarana pengolah limbah ternyata masih dianggap memberatkan bagi
sebagian industri.
B. CARA PENGELOLAAN LIMBAH PADAT
 Sampah dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain :
1. Kandungan zat kimia, dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
a) Sampah anorganik
b) Sampah organik
2. Mudah atau sukarnya terbakar dibedakan menjadi :
a) Sampah yang mudah terbakar
b) Sampah yang sukar terbakar
3. Mudah atau sukarnya membusuk
a) Sampah yang sukar membusuk
b) Sampah yang mudah membusuk
 Adapun cara pengelolaan limbah padat :
1. Pemisahan
Karena limbah padat terdiri dari ukuran yang berbeda-beda dan kandungan bahan
yang berbeda maka harus dipisahkan dahulu supaya peralatan pengolahan menjadi
awet. Pemisahan ada 3 sistem, yaitu :
a. Sistem balistik adalah sistem pemisahan untuk mrndapatkan keseragaman ukuran
atau bera atau volume.
b. Sistem gravitasi adalah sistem pemisahan berdasarkan gya berat. Misalnya :
1) Barang yang ringan atau terapung
2) Barang yang berat atau tenggelam
c. Sistem magnetis adalah sistem pemisahan berdasarkan sifat magnet. Yang bersifat
magnet akan langsung menempel. Misalnya untuk memisahkan campuran logam
dan nonlogam.
2. Penyusutan Ukuran
Penyusutan ukuran dilakukan untuk memperoleh ukuran yang lebih kecil, supaya
pengelolaannya menjadi mudah.
3. Penimbunan Terbuka
Pada metode penimbunan terbuka, sampah dikumpulkan dan ditimbun begitu saja
dalam bidang yang dibuat pada suatu lahan, biasanya di lokasi tempat pembuangan
akhir (TPA). Di lahan penimbunan terbuka, berbagai hama dan kuman penyebab
penyakit dapat berkembang biak. Gas metan yang dihasilkan oleh pembusukan
sampah organik dapat menyebar ke udara sekitar dan menimbulkan bau busuk serta
mudah terbakar. Cairan yang tercampur dengan sampah dapat merembes ke tanah dan
mencemari tanah serta air. Bersama rembesan cairan tersebut, dapat terbawa zat-zat
yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan. Kelemahan utama penanganan
sampah dengan cara penimbunan adalah cara ini menghabiskan lahan. Sampah akan
terus terproduksi sementara lahan untuk penimbunan akan semakin berkurang.
4. Pembuangan Limbah
a) Pembuangan di laut
Pembuangan limbah padat di laut, tidak boleh dilakukan sembarangan tempat dan
perlu diingat bahwa tidak semua limbah padat dibuang ke laut. Hal ini disebabkan
oleh :
1) Laut sebagai tempat mencari ikan bagi nelayan.
2) Laut sebagai tempat rekreasi dan lalu lintas kapal.
3) Laut menjadi dangkal.
4) Limbah padat yang mengandung senyawa kimia beracun dan berbahaya (B3)
yang dapat membunuh biota laut.
b). Pembuangan di darat
Perlu dilakukan pemilihan lokasi yang harus dipertimbangkan sebagai berikut :
1) Pengaruh iklim, temperature dan angin
2) Struktur tanah
3) Jaraknya jauh dari pemukiman
4) Pengaruh terhadap sumber air, perkebunan, prikanan, peternakan, flora atau
fauna.

5. Sanitary Landfill

Penimbunan secara terkendali dapat dilakukan terhadap limbah organic padat


dengan sistem landfill. Pada metode sanitary landfill, sampah ditimbun dalam lubang
yang dialasi lapisan lempung dan lembaran plastik untuk mencegah
perembesan limbah ke tanah. Pada landfill yang lebih modern lagi, biasanya dibuat
sistem Iapisan ganda (plastik – lempung – plastik – lempung) dan pipa-pipa saluran
untuk mengumpulkan cairan serta gas metan yang terbentuk dari proses pembusukan
sampah. Gas tersebut kemudian dapat digunakan untuk menghasilkan listrik. Dengan
cara ini dapat memperkecil kemungkinan :

a) Kebakaran
b) Lalat, burung, serangga
c) Hembusan angin dan
d) Tersebarnya bau(Irianto, 2018 : 82).
Penggunaan sistem landfill pada daerah yang berpenduduk padat perlu beberapa
pertimbangan seperti :
a) Kemungkinan terpolusinya air tanah dan air permukaan oleh limbah, dehingga perlu
manajemen yang baik untuk dapat melaksanakan sistem landfill.
b) Kemungkinan adanya peledakan gas (methan) yang terbentuk selama dekomposisi
limbah.
c) Kematian tanaman akibat gas (methan)( Irianto, 2018 : 83).
6. Insinerasi

Insinerasi adalah pembakaran sampah atau limbah padat menggunakan suatu alat
yang disebut insinerator. Kelebihan dari proses insinerasi adalah volume sampah
berkurang sangat banyak (bisa mencapai 90 %). Selain itu, proses insinerasi
menghasilkan panas yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik atau untuk
pemanas ruangan. Jenis limbah padat yang cocok untuk insinerasi diantaranya adalah
kertas, plastik dan karet. Sedangkan jenis limbah padat yang kurang sesuai untuk
insinerasi adalah kaca, sampah makanan dan baterai. Kelemahan metode insinerasi
adalah biaya yang mahal dan menghasilkan asap buangan yang dapat menjadi
pencemar udara serta abu pembakaran yang kemungkinan mengandung senyawa yang
berbahaya.

7. Pembuatan Kompos

Pengkomposan adalah dekomposisi bahan organik oleh populasi campuran


mikroorganisme dalam keadaan panas, lembab dan lingkungan aerob. Metode ini
adalah dengan mengolah sampah organik seperti sayuran, daun-daun kering, kotoran
hewan melalui proses penguraian oleh mikroorganisme tertentu. Degradasi ini terjadi
secara lambat di permmukaan tanah, suhu sedang dan kondisi aerob. Proses
dekomposisi alami ini dapat dipercepat dengan mengumpulkan limbah menjadi suatu
tumpukan sehingga panas yang timbul dapat mempercepat proses dekomposisinya
untuk pengkomposannya. Selama proses pengkomposan sebagian besar kebutuhan
oksigen terpenuhi dan bahan organik terdekomposisi menjadi produk yang stabil
seperti asam humus, air dan CO2(Irianto, 2018 : 68).

Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah


dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap,
yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan
senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba
mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan
diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50º -
70ºC. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi
ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini
terjadi dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di
dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik
menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu
akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan
kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses
pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan
ini dapat mencapai 30–40% dari volume/bobot awal bahan.
Kompos juga dapat dbuat dengan bantuan cacing tanah karena cacing mampu
menguraikan bahan organic yang dikenal dengan sebutan kascing. Cacing tanah yang
dapat digunakan adalah cacing dari spesies Lumbricus terretis, Lumbricus rebellus dan
Eisenia foetida.cacing tanah akan menguraikan bahan-bahan kompos yang sebelumnya
diuraikan oleh mikroorganisme. Keterlibatan cacing tanah dan mikroorganisme dalam
pembuatan kompos menyebabkan pembentukan kompos menjadi lebih efektif dan
cepat.
Adapun faktor proses pengkomposan yaitu :

a) Separasi limbah : pemisahan limbah sehingga limbah yang mengandung gelas,


logam dan plastik harus dipisahkan terlebih dahulu sebelum diproses.
b) Ukur partikel : ukuran partikel yang kecil akan memperbesar luas permukaan
yang diserang oleh mikroba dan mengakibatkan kecepatan pengkomposan yang
lebih tinggi. Akan tetapi partikel yang terlalu kecil akan melekat satu sama lain
sehingga densitasnya menjadi tinggi dan rongga udaranya kecil dan akibatnya
menghambat proses pengkomposan.
c) Nutrien : mikroorganisme yang berperan dalam pengkomposan membutuhkan
sumber karbon, nitrogen dan flor untuk keperluan sintesis sel baru.
d) Bahan tambahan : untuk mempercepat pengkomposan.
e) Radar air : air sangat diperlukan dalam proses pengkomposan terutama untuk
transpor bahan dari dan ke mikroorganisme. Optimum kadar air proses
pengkomposan ada sekitar 50 – 60%.
f) Aerasi : udara dapat diberikan pada tumpukan kompos dengan difusi alami,
pengadukan tumpukan atau penghembusan udara melalui kompresor yang akan
mengusir CO2 dan uap air serta mendinginkan tumpukan kompos. Kebutuhan
oksigen maksimum pada tahap termofil.
g) Pengendalian pH : penambahan asam/basa tidak efektif dan tidak diperlukan.
h) Produksi panas : suhu optimum untuk pengkomposan sekitar 55 - 60° C.
Pengaturan suhu dapat dilakuna dengan pengaturan ukuran tumpukan dengan
tinggi 1,5 m dan lebar 2,5 m(Irianto, 2018 : 74-76).

8. Daur Ulang
Daur ulang adalah proses untuk menjadikan suatu bahan bekas menjadi bahan
baru dengan tujuan mencegah adanya sampah yang sebenarnya dapat menjadi sesuatu
yang berguna, mengurangi penggunaan bahan baku yang baru, mengurangi
penggunaan energi, mengurangi polusi, kerusakan lahan, dan emisi gas rumah
kaca jika dibandingkan dengan proses pembuatan barang baru. Daur ulang adalah
salah satu strategi pengelolaan sampah padat yang terdiri atas kegiatan pemilahan,
pengumpulan, pemrosesan, pendistribusian dan pembuatan produk / material bekas
pakai, dan komponen utama dalam manajemen sampah modern dan bagian ketiga
adalam proses hierarki sampah 3R (Reuse, Reduce, and Recycle).

Material-material yang dapat didaur ulang dan prosesnya diantaranya adalah:

a) Bahan bangunan
Material bangunan bekas yang telah dikumpulkan dihancurkan dengan mesin
penghancur, kadang-kadang bersamaan dengan aspal, batu bata, tanah, dan batu.
Hasil yang lebih kasar bisa dipakai menjadi pelapis jalan semacam aspal dan hasil
yang lebih halus bisa dipakai untuk membuat bahan bangunan baru semacam bata.

b) Baterai 

c) Barang Elektronik 

d) Logam 

e) Bahan Lainnya 

1) Kaca yang didapat dari botol atau wadah bisa didaur ulang menjadi botol atau
wadah kaca kembali dan dapat juga dicampur dengan aspal untuk menjadi bahan
pembuat jalan.

2) Kertas didaur ulang dengan mencampurkan kertas bekas yang telah dijadikan


pulp dengan material kertas baru.

3) Plastik dapat didaur ulang sama halnya seperti mendaur ulang logam. Botol
plastik bekas yang terbuat dari plastik jenis polyetilen terftalat (PET) bisa didaur
ulang menjadi berbagai produk lain, seperti karpet, gelas dan peralatan plastik.
C. METODE PENGELOLAAN LIMBAH CAIR
Metode dan tahapan proses pengolahan limbah cair yang telah dikembangkan
sangat beragam. Limbah cair dengan kandungan polutan yang berbeda kemungkinan
akan membutuhkan proses pengolahan yang berbeda pula. Proses- proses pengolahan
tersebut dapat diaplikasikan secara keseluruhan, berupa kombinasi beberapa proses atau
hanya salah satu. Proses pengolahan tersebut juga dapat dimodifikasi sesuai dengan
kebutuhan atau faktor finansial.
1. Pengolahan Primer (Primary Treatment)
Tahap pengolahan primer limbah cair sebagian besar adalah berupa proses pengolahan
secara fisika.
d. Penyaringan (Screening)
Pertama, limbah yang mengalir melalui saluran pembuangan disaring
menggunakan jeruji saring. Metode ini disebut penyaringan. Metode penyaringan
merupakan cara yang efisien dan murah untuk menyisihkan bahan-bahan padat
berukuran besar dari air limbah.
e. Pengolahan Awal (Pretreatment)
Kedua, limbah yang telah disaring kemudian disalurkan kesuatu tangki
atau bak yang berfungsi untuk memisahkan pasir dan partikel padat teruspensi
lain yang berukuran relatif besar. Tangki ini dalam bahasa inggris disebut grit
chamber dan cara kerjanya adalah dengan memperlambat aliran limbah sehingga
partikel – partikel pasir jatuh ke dasar tangki sementara air limbah terus dialirkan
untuk proses selanjutnya.
f. Pengendapan
Setelah melalui tahap pengolahan awal, limbah cair akan dialirkan ke
tangki atau bak pengendapan. Metode pengendapan adalah metode pengolahan
utama dan yang paling banyak digunakan pada proses pengolahan primer limbah
cair. Di tangki pengendapan, limbah cair didiamkan agar partikel – partikel
padat yang tersuspensi dalam air limbah dapat mengendap ke dasar tangki.
Enadapn partikel tersebut akan membentuk lumpur yang kemudian akan
dipisahkan dari air limbah ke saluran lain untuk diolah lebih lanjut. Selain metode
pengendapan, dikenal juga metode pengapungan (Floation).
g. Pengapungan (Floation)
Metode ini efektif digunakan untuk menyingkirkan polutan berupa minyak
atau lemak. Proses pengapungan dilakukan dengan menggunakan alat yang dapat
menghasilkan gelembung- gelembung udara berukuran kecil (± 30 – 120 mikron).
Gelembung udara tersebut akan membawa partikel –partikel minyak dan lemak ke
permukaan air limbah sehingga kemudian dapat disingkirkan.

Bila limbah cair hanya mengandung polutan yang telah dapat disingkirkan
melalui proses pengolahan primer, maka limbah cair yang telah mengalami proses
pengolahan primer tersebut dapat langsung dibuang kelingkungan (perairan). Namun,
bila limbah tersebut juga mengandung polutan yang lain yang sulit dihilangkan
melalui proses tersebut, misalnya agen penyebab penyakit atau senyawa organik dan
anorganik terlarut, maka limbah tersebut perlu disalurkan ke proses pengolahan
selanjutnya.
2. Pengolahan Sekunder (Secondary Treatment)
Tahap pengolahan sekunder merupakan proses pengolahan secara biologis, yaitu
dengan melibatkan mikroorganisme yang dapat mengurai/ mendegradasi bahan
organik. Mikroorganisme yang digunakan umumnya adalah bakteri aerob.
Terdapat tiga metode pengolahan secara biologis yang umum digunakan yaitu
metode penyaringan dengan tetesan (trickling filter), metode lumpur aktif (activated
sludge), dan metode kolam perlakuan (treatment ponds / lagoons) .
a. Metode Trickling Filter
Pada metode ini, bakteri aerob yang digunakan untuk mendegradasi bahan
organik melekat dan tumbuh pada suatu lapisan media kasar, biasanya berupa
serpihan batu atau plastik, dengan dengan ketebalan ± 1 – 3 m. limbah cair
kemudian disemprotkan ke permukaan media dan dibiarkan merembes melewati
media tersebut. Selama proses perembesan, bahan organik yang terkandung dalam
limbah akan didegradasi oleh bakteri aerob. Setelah merembes sampai ke dasar
lapisan media, limbah akan menetes ke suatu wadah penampung dan kemudian
disalurkan ke tangki pengendapan.
Dalam tangki pengendapan, limbah kembali mengalami proses pengendapan
untuk memisahkan partikel padat tersuspensi dan mikroorganisme dari air limbah.
Endapan yang terbentuk akan mengalami proses pengolahan limbah lebih lanjut,
sedangkan air limbah akan dibuang ke lingkungan atau disalurkan ke proses
pengolahan selanjutnya jika masih diperlukan

b. Metode Activated Sludge

Pada metode activated sludge atau lumpur aktif, limbah cair disalurkan ke sebuah
tangki dan didalamnya limbah dicampur dengan lumpur yang kaya akan bakteri
aerob. Proses degradasi berlangsung didalam tangki tersebut selama beberapa jam,
dibantu dengan pemberian gelembung udara aerasi (pemberian oksigen). Aerasi
dapat mempercepat kerja bakteri dalam mendegradasi limbah. Selanjutnya, limbah
disalurkan ke tangki pengendapan untuk mengalami proses pengendapan,
sementara lumpur yang mengandung bakteri disalurkan kembali ke tangki aerasi.
Seperti pada metode trickling filter, limbah yang telah melalui proses ini dapat
dibuang ke lingkungan atau diproses lebih lanjut jika masih dperlukan.

c. Metode Treatment ponds/ Lagoons

Metode treatment ponds/lagoons atau kolam perlakuan merupakan metode yang


murah namun prosesnya berlangsung relatif lambat. Pada metode ini, limbah cair
ditempatkan dalam kolam-kolam terbuka. Algae yang tumbuh dipermukaan kolam
akan berfotosintesis menghasilkan oksigen. Oksigen tersebut kemudian digunakan
oleh bakteri aero untuk proses penguraian/degradasi bahan organik dalam limbah.
Pada metode ini, terkadang kolam juga diaerasi. Selama proses degradasi di kolam,
limbah juga akan mengalami proses pengendapan. Setelah limbah terdegradasi dan
terbentuk endapan didasar kolam, air limbah dapat disalurka untuk dibuang ke
lingkungan atau diolah lebih lanjut.

3. Pengolahan Tersier (Tertiary Treatment)

Pengolahan tersier dilakukan jika setelah pengolahan primer dan sekunder masih
terdapat zat tertentu dalam limbah cair yang dapat berbahaya bagi lingkungan atau
masyarakat. Pengolahan tersier bersifat khusus, artinya pengolahan ini disesuaikan
dengan kandungan zat yang tersisa dalam limbah cair / air limbah. Umunya zat yang
tidak dapat dihilangkan sepenuhnya melalui proses pengolahan primer maupun
sekunder adalah zat-zat anorganik terlarut, seperti nitrat, fosfat, dan garam- garaman.

Pengolahan tersier sering disebut juga pengolahan lanjutan (advanced treatment).


Pengolahan ini meliputi berbagai rangkaian proses kimia dan fisika. Contoh metode
pengolahan tersier yang dapat digunakan adalah metode saringan pasir, saringan
multimedia, precoal filter, microstaining, vacum filter, penyerapan dengan karbon
aktif, pengurangan besi dan mangan, dan osmosis bolak-balik.

Metode pengolahan tersier jarang diaplikasikan pada fasilitas pengolahan limbah.


Hal ini disebabkan biaya yang diperlukan untuk melakukan proses pengolahan tersier
cenderung tinggi sehingga tidak ekonomis.

4. Desinfeksi (Desinfection)
Desinfeksi atau pembunuhan kuman bertujuan untuk membunuh atau mengurangi
mikroorganisme patogen yang ada dalam limbah cair. Meknisme desinfeksi dapat
secara kimia, yaitu dengan menambahkan senyawa/zat tertentu, atau dengan
perlakuan fisik. Dalam menentukan senyawa untuk membunuh mikroorganisme,
terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
 Daya racun zat
 Waktu kontak yang diperlukan
 Efektivitas zat
 Kadar dosis yang digunakan
 Tidak boleh bersifat toksik terhadap manusia dan hewan
 Tahan terhadap air
 Biayanya murah
Contoh mekanisme desinfeksi pada limbah cair adalah penambahan klorin
(klorinasi), penyinaran dengan ultraviolet(UV), atau dengan ozon (Oз).
Proses desinfeksi pada limbah cair biasanya dilakukan setelah proses pengolahan
limbah selesai, yaitu setelah pengolahan primer, sekunder atau tersier, sebelum
limbah dibuang ke lingkungan.
5. Pengolahan Lumpur (Slude Treatment)

Setiap tahap pengolahan limbah cair, baik primer, sekunder, maupun tersier, akan
menghasilkan endapan polutan berupa lumpur. Lumpur tersebut tidak dapat dibuang
secara langsung, melainkan pelu diolah lebih lanjut. Endapan lumpur hasil
pengolahan limbah biasanya akan diolah dengan cara diurai/dicerna secara aerob
(anaerob digestion), kemudian disalurkan ke beberapa alternatif, yaitu dibuang ke laut
atau ke lahan pembuangan (landfill), dijadikan pupuk kompos, atau dibakar
(incinerated).

D. METODE PENGELOLAAN LIMBAH GAS, DEBU DAN PARTIKEL


Pengolah limbah gas secara teknis dilakukan dengan menambahkan alat bantu
yang dapat mengurangi pencemaran udara. Pencemaran udara sebenarnya dapat berasal
dari limbah berupa gas atau materi partikulat yang terbawah bersama gas tersebut.
Berikut akan dijelaskan beberapa cara menangani pencemaran udara oleh limbah gas dan
materi partikulat yang terbawah bersamanya.
1. Mengontrol Emisi Gas Buang
Gas-gas buang seperti sulfur oksida, nitrogen oksida, karbon monoksida, dan
hidrokarbon dapat dikontrol pengeluarannya melalui beberapa metode. Gas sulfur
oksida dapat dihilangkan dari udara hasil pembakaran bahan bakar dengan cara
desulfurisasi menggunakan filter basah (wet scrubber).
Mekanisme kerja filter basah ini akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan
berikutnya, yaitu mengenai metode menghilangkan materi partikulat, karena filter
basah juga digunakan untuk menghilangkan materi partikulat.
Gas nitrogen oksida dapat dikurangi dari hasil pembakaran kendaraan bermotor
dengan cara menurunkan suhu pembakaran. Produksi gas karbon monoksida dan
hidrokarbon dari hasil pembakaran kendaraan bermotor dapat dikurangi dengan cara
memasang alat pengubah katalitik (catalytic converter) untuk menyempurnakan
pembakaran.
Selain cara-cara yang disebutkan diatas, emisi gas buang jugadapat dikurangi
kegiatan pembakaran bahan bakar atau mulai menggunakan sumber bahan bakar
alternatif yang lebih sedikit menghasilkan gas buang yang merupakan polutan.
2. Menghilangkan Materi Partikulat Dari Udara Pembuangan
a. Filter Udara
Filter udara dimaksudkan untuk yang ikut keluar pada cerobong atau stack, agar
tidak ikut terlepas ke lingkungan sehingga hanya udara bersih yang saja yang
keluar dari cerobong. Filter udara yang dipasang ini harus secara tetap diamati
(dikontrol), kalau sudah jenuh (sudah penuh dengan abu/ debu) harus segera
diganti dengan yang baru.
Jenis filter udara yang digunakan tergantung pada sifat gas buangan yang keluar
dari proses industri, apakah berdebu banyak, apakah bersifat asam, atau bersifat
alkalis dan lain sebagainya.
b. Pengendap Siklon
Pengendap Siklon atau Cyclone Separators adalah pengedap debu / abu yang ikut
dalam gas buangan atau udara dalam ruang pabrik yang berdebu. Prinsip kerja
pengendap siklon adalah pemanfaatan gaya sentrifugal dari udara / gas buangan
yang sengaja dihembuskan melalui tepi dinding tabung siklon sehingga partikel
yang relatif “berat” akan jatuh ke bawah.
Ukuran partikel / debu / abu yang bisa diendapkan oleh siklon adalah antara 5 u –
40 u. Makin besar ukuran debu makin cepat partikel tersebut diendapkan.
c. Filter Basah
Nama lain dari filter basah adalah Scrubbers atau Wet Collectors. Prinsip kerja
filter basah adalah membersihkan udara yang kotor dengan cara menyemprotkan
air dari bagian atas alt, sedangkan udara yang kotor dari bagian bawah alat. Pada
saat udara yang berdebu kontak dengan air, maka debu akan ikut semprotkan air
turun ke bawah.
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dapat juga prinsip kerja pengendap
siklon dan filter basah digabungkan menjadi satu. Penggabungan kedua macam
prinsip kerja tersebut menghasilkan suatu alat penangkap debu yang dinamakan.

d Pegendap Sistem Gravitasi


Alat pengendap ini hanya digunakan untuk membersihkan udara kotor
yang ukuran partikelnya relatif cukup besar, sekitar 50 u atau lebih. Cara kerja
alat ini sederhana sekali, yaitu dengan mengalirkan udara yang kotor ke dalam
alat yang dibuat sedemikian rupa sehingga pada waktu terjadi perubahan
kecepatan secara tiba-tiba (speed drop), zarah akan jatuh terkumpul di bawah
akibat gaya beratnya sendiri (gravitasi). Kecepatan pengendapan tergantung pada
dimensi alatnya.
a. Pengendap Elektrostatik
Alat pengendap elektrostatik digunakan untuk membersihkan udara yang
kotor dalam jumlah (volume) yang relatif besar dan pengotor udaranya adalah
aerosol atau uap air. Alat ini dapat membersihkan udara.

E. PENGELOLAAN LIMBAH B3

Dasar hukum yaitu Kep-03/Bapedal/09/1995 pengolahan limbah B3 yaitu:


Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), adalah proses untuk mengubah
jenis, jumlah dan karakteristik limbah B3 menjadi tidak berbahaya dan/atau tidak beracun
dan/atau immobilisasi limbah B3 sebelum ditimbun dan/atau memungkinkan agar limbah
B3 dimanfaatkan kembali (daur ulang). Proses pengolahan limbah B3 dapat dilakukan
secara:

1. Pengolahan fisika dan kimia


2. Stabilisasi/solidifikasi,
3. Insenerasi

Proses pengolahan secara fisika dan kimia bertujuan untuk mengurangi daya
racun limbah B3 dan/atau menghilangkan sifat/karakteristik limbah B3 dari berbahaya
menjadi tidak berbahaya. Proses pengolahan secara stabilisasi/solidifikasi bertujuan
untuk mengubah watak fisik dan kimiawi limbah B3 dengan cara penambahan senyawa
pengikat B3 agar pergerakan senyawa B3 ini terhambat atau terbatasi dan membentuk
massa monolit dengan struktur yang kekar. Sedangkan proses pengolahan secara
insinerasi bertujuan untuk menghancurkan senyawa B3 yang terkandung di dalamnya
menjadi senyawa yang tidak mengandung B3.
Pemilihan proses pengolahan limbah B3, teknologi dan penerapannya didasari
atas evaluasi kriteria yang menyangkut kinerja, keluwesan, kehadalan, keamanan, operasi
dari teknologi yang digunakan, dan pertimbangan lingkungan. Timbunan limbah B3 yang
sudah tidak dapat diolah atau dimanfaatkan lagi harus ditimbun pada lokasi penimbunan
(landfill) yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

1. Persyaratan Lokasi Pengolahan Limbah B3

Pengolahan limbah B3 dapat dilakukan di dalam lokasi penghasil limbah B3 atau


di luar penghasil limbah B3. Untuk pengolahan di dalam lokasi penghasil, lokasi
pengolahan disyaratkan:

a. Merupakan daerah bebas banjir, dan


b. Jarak antara lokasi pengolahan dan lokasi fasilitas umum minimal 50 meter.

Persyaratan lokasi pengolahan limbah B3 di luar lokasi penghasil adalah:


a. Merupakan daerah bebas banjir.
b. Pada jarak paling dekat 150 meter dari jalan utama/jalan tol dan 50 meter untuk
jalan lainnya.
c. Pada jarak paling dekat 300 meter dari daerah pemukiman, perdagangan, rumah
sakit, pelayanan kesehatan atau kegiatan sosial, hotel, restoran,fasilitas
keagamaan dan pendidikan.
d. Pada jarak paling dekat 300 meter dari garis pasang naik laut, sungai, daerah
pasang surut, kolam, danau, rawan, mata air dan sumur penduduk.
e. Pada jarak paling dekat 300 meter dari daerah yang dilindungi (cagar alam, hutan
lindung dan lain-lainnya).
2. Persyaratan Fasilitas Pengolahan Limbah B3
Dalam pengoperasian limbah B3 harus menerapkan system operasi yang meliputi:
a. Sistem Keamanan Fasilitas
Sistem keamanan yang diterapkan dalam pengoperasian fasilitas
pengolahan limbah B3 sekurang-kurangnya harus:
1) Memiliki system penjagaan 24 jam yang memantau, mengawasi dan
mencegah orang yang tidak berkepentingan masuk ke lokasi;
2) Mempunyai pagar pengaman atau penghalang lain yang memadai dan suatu
system untuk mengawasi keluar masuk orang dan kendaraan melalui pintu
gerbang maupun jalan masuk lain;
3) Mempunyai tanda yang mudah terlihat dari jarak 10 meter dengan tulisan
“Berbahaya” yang dipasang pada unit/bangunan pengolahan dan
penyimpanan, serta tanda “Yang Tidak Berkepentinan Dilarang Masuk” yang
ditempatkan di setiap pintu masuk ke dalam fasilitas dan pada setiap jarak 100
meter di sekeliling lokasi;
4) Mempunyai penerangan yang memadai di sekitar lokasi.
3. Sistem Pencegahan Terhadap Kebakaran
Untuk mencegah terjadi kebakaran atau hal lain yang tak terduga di fasilitas
pengolahan, maka sekurang-kurangnya harus:
a. Memasang system arde (Electrikal Spark Grounding)
b. Memasang tanda peringatan, yang jelas terlihat dari jarak 10 meter, dengan
tulisan: “Awas Berbahaya”, “Limbah B3 (mudah terbakar, mudah meledak, dan
lain-lain) dan “Dilarang Keras Menyalakan Api Atau Merokok!
c. Memasang peralatan pedeteksi bahaya kebakaran yang bekerja secara otomatis
selama 24 jam terus menerus, berupa:
1) Alat deteksi peka asam (smoke sensing alarm), dan
2) Alat deteksi peka panas (heat sensing alarm),
d. Tersediannya system pemadam kebakaran yang berupa:
1) Sistem permanen dan otomatis, dengan menggunakan bahanpemadam air, busa,
gas atau bahan kimia kering, dengan jumlah dan mutu sesuai kebutuhan.
2) Pemadam kebakaran portable dengan kapasitas minimum 10 kg untuk setiap 100
m2 dalam ruangan.
e. Menata jarak atau lorong antara kontainer–kontainer yang berisi limbah B3
minimum 60 cm sehingga tidak mengganggu gerakan orang, peralatan pemadam
kebakaran, peralatan pengendali/pencegah tumpahan limbah, dan peralatan untuk
menghilangkan kontaminasi ke semua arah di dalam lokasi;
f. Menata jarak antara bangunan-bangunan yang memadai sehingga mobil pemadam
kebakaran mempunyai akses menuju lokasi kebakaran.
4. Sistem Pencegahan Tumpahan Limbah
a. Fasilitas pengolahan limbah B3 harus mempunyai rencana, dokumen dan
petunjuk teknis operasi pencegahan tumpahan limbah B3 yang meliputi;
1) Pemeriksaan Mingguan terhadap fasilitas pengolahan, dan
2) Sistem tanda bahaya peringatan dini yang bekerja selama 24 jam dan yang
akan memberi tanda bahaya sebelum terjadi tumpahan/luapan limbah
(level control).
b. Pengawas harus dapat mengidentifikasi setiap kelainan yang terjadi, seperti
malfungsi, kerusakan, kelalaian operator, kebocoran atau tumpahan yang dapat
menyebabkan terlepasnya limbah dari fasilitas pengolahan ke lingkungan.
Program ini juga harus menyangkut terlepasnya limbah dari fasilitas pengolahan
ke lingkungan. Program ini juga harus menyangkut mekanisme tanggap darurat;
c. Penggunaan bahan penyerap (absorbent) yang sesuai dengan jenis dan
karakteristik tumpahan limbah B3.
5. Sistem Penangulangan Keadaan Darurat
Fasilitas pengolahan limbah B3 harus mempunyai system untuk mengatasi
keadaan darurat yang mungkin terjadi. Persyaratan minimum untuk sistem tanggap
darurat antara lain:
a. Ada koordinator penanggulangan keadaan darurat, yang bertanggungjawab
melaksanakan tindakan-tindakan yang harus diakukan sesuai dengan prosedur
penanganan kondisi darurat yang terjadi;
b. Jaringan komunikasi atau pemberitahuan kepada:
1) Tim penangulangan keadaan darurat,
2) Dinas pemadam kebakaran,
3) Pihak kepolisian,
4) Ambulan dan pelayanan kesehatan,
5) Sekolah, rumah sakit dan penduduk setempat,
6) Aparat pemerintah terkait setempat;
c. Memiliki prosedur evakuasi bagi seluruh pekerja fasilitas pengolahan limbah B3.
d. Mempunyai peralatan penanggulangan keadaan darurat;
e. Tersedianya peralatan dan baju pelindung bagi seluruh staf penanggulangan
keadaan darurat di lokasi, dan sesuai dengan jenis limbah B3 yang ditangani di
lokasi tersebut;
f. Memiliki prosedur tindakan darurat pengangkutan;
g. Menetapkan prosedur untuk penutupan sementara fasilitas pengolahan;
h. Melakukan pelatihan bagi karyawan dalam penanggulangan keadaan darurat yang
dilakukan minimal dua kali dalam setahun.
 Sistem Pengujian Peralatan
a. Semua alat pengukur, peralatan operasi pengolahan dan perlengkapan
pendukung operasi harus diuji minimum sekali dalam setahun;
b. Hasil pengujian harus dituangkan dalam berita acara yang memuat hasil uji
coba penanganan system keadaan darurat. Informasi tersebut harus selalu
tersedia di lokasi fasilitas pengolahan limbah B3.
 Pelatihan Karyawan
Perusahaan wajib memberikan pelatihan secara berkala kepad karyawan
yang meliputi: Pelatihan dasar diantaranya:
a. Pengenalan limbah; meliputi jenis limbah, sifat dan karakteristik serta
bahayanya terhadap lingkungan dan manusia, serta tindakan pencegahannya.
b. Peralatan pelindung: menyangkut kegunaan dan penggunaannya.
c. Pelatihan untuk keadaan darurat: meliputi kebakaran, ledakan, tumpahan,
matinya listrik, evakuasi, dan sebagainnya.
d. Prosedur inspeksi.
e. Pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K).
f. Peralatan keselamatan kerja (K3).
g. Peraturan perundangan-undangan tentang pengolahan limbah B3.

Pelatihan khusus diantaranya:

a. Pemeliharaan peralatan pengolahan dan peralatan penunjangnya;


b. Pengoperasian alat pengolahan dan peralatan penujangnya;
c. Laboratorium;
d. Dokumentasi dan pelaporan;
e. Prosedur penyimpanan dokumentasi dan pelaporan.
6. Persyaratan Penanganan Limbah B3
Sebelum Diolah Sebelum melakukan pengolahan, terhadap limbah B3 harus
dilakukan uji analisa kandungan/parameter fisika dan/atau kimia dan/atau biologi
guna menetapkan prosedur yang tepat dalam proses pengolahan limbah B3 tersebut.
Setelah kandungan/parameter fisika dan/atau kimia dan/atau biologi yang terkandung
dalam limbah B3 tersebut di ketahui, maka terhadap selanjutnya adalah menentukan
pilihan proses pengolahan limbah B3 yang dapat memenuhi kualitas dan baku mutu
pembuangan dan/atau lingkungan yang ditetapkan.

Limbah B3 yang telah diolah harus memenuhi baku mutu limbah. Baku mutu
limbah cair wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam
Kep-men 04/1991 atau yang ditetapkan oleh Bapedal. Baku mutu emisi udara wajib
memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Kep-men 13/1995
atau yang ditetapkan oleh Bapedal. Penimbunan wajib memenuhi semua persyaratan
yang tercantum dalam PP 19/1994 dan ketentuan lain yang ditetapkan.
Proses pengolahan secara Kimia antara lain:
a. Reduksi – Oksidasi,
b. Elektrolisasi,
c. Netralisasi,
d. Presipitasi/Pengendapan,
e. Solidifikasi/Stabilisasi,
f. Absorpsi,
g. Penukar Ion,
h. Pirolisa

Proses pengolahan secara fisika antara lain:

a.Pembersihan Gas
1. Elektrostatik presipitator
2. Penyaringan partikel
3. Wet scrubbing
4. Adsorpsi dengan karbon aktif
b. Pemisahan cairan dan padatan:
1. Sentrifugasi
2. Klarifikasi
3. Koagulasi
4. Filtrasi
5. Flokulasi
6. Flotasi
7. Sedimentasi
8. Thickening
c.Penyisihan komponen-komponen yang spesifik:
1. Adsorpsi
2. Kristalisasi.
3. Dialisasi
4. Electrodialisa
5. Evaporasi
6. Leaching
7. Reverse osmosis
8. Solvent extraction
9. Stripping
Berbagai sumber mengelompokkan pengolahan limbah menjadi tiga golongan
besar yaitu teknik kimia meliputi oksidasi, pengendapan kimia, koagulasi, Dissolved
air flotation, oksidasi dengan elektrokimia, flokulasi, hidrolisis, netralisasi, ekstraksi
solvent dan Ion Exchange. Cara fisika yaitu Carbon adsorption, Distillation,
Filtration, Steam Stripping, Oil and grease skimming, Oil/water separation,
Sedimentation, Membrane technologies. Cara biologi meliputi Biological nitrogen
removal, Bioaugmentation, Activated sludge, Extended aeration, Anaerobic
processes, Rotating biological contactors, Sequencing batch reactors and trickling
filters.
7. Teknik-teknik Khusus Pengolahan Limbah B3
a. Pirolisa
Pirolisa adalah penguraian biomassa (lysis) karena panas (pyro) pada suhu
lebih dari 150oC. Pada proses pirolisa terdapat beberapa tingkatan proses, yaitu
pirolisa primer dan pirolisa sekunder. Pirolisa primer adalah pirolisa yang terjadi
pada bahan baku (umpan), sedangkan pirolisa sekunder adalah pirolisa yang
terjadi atas partikel dan gas/uap hasil pirolisa primer. Penting diingat bahwa
pirolisa adalah penguraian karena panas, sehingga keberadaan O2 dihindari pada
proses tersebut karena akan memicu reaksi pembakaran. Pirolisa merupakan
proses konversi bahan organik padat melalui pemanasan tanpa kehadiran oksigen.
Dengan adanya proses pemanasan dengan temperatur tinggi, molekul-molekul
organik yang berukuran besar akan terurai menjadi molekul organik yang kecil
dan lebih sederhana. Hasil pirolisa dapat berupa tar, larutan asam asetat,
methanol, padatan char, dan produk gas.
b. Pengolahan Limbah B3 secara biologi
Proses pengolahan limbah B3 secara biologi yang telah cukup
berkembang saat ini adalah bioremediasi dan viktoremediasi. Bioremediasi adalah
penggunaan bakteri dan mikroorganisme lain untuk mendegradasi atau mengurai
limbah B3, sedangkan viktoremediasi adalah penggunaan tumbuhan untuk
mengabsorbsi dan mengakumulasi bahan-bahan beracun dari tanah. Kedua proses
ini sangat bermanfaat dalam mengatasi pencemaran oleh limbah B3 dan biaya
yang diperlukan lebih murah dibandingkan dengan metode kimia atau fisik.
Namun, proses ini juga masih memiliki kelemahan. Proses bioremediasi dan
viktoremediasi merupakan prose salami sehingga membutuhkan waktu yang
relative lama untuk membersihkan limbah B3, terutama dalam skla besar. Selain
itu, karena menggunkan makhluk hidup, proses ini dikhawatirkan dapat
membawa senyawa-senyawa beracun ke dalam rantai makanan di ekosistem.
c. Elektrostatik presipitator

ElectroStatic Precipitator (ESP) adalah salah satu alternatif penangkap


debu dengan effisiensi tinggi (diatas 90%) dan rentang partikel yang didapat
cukup besar. Dengan menggunakan electrostatic precipitator (ESP) ini, jumlah
limbah debu yang keluar dari cerobong diharapkan hanya sekitar 0,16% (dimana
efektifitas penangkapan debu mencapai 99,84%). Salah satu komponen terpenting
dalam proses produksi di Pabrik Gula dan PLTU adalah boiler yang berfungsi
sebagai tempat untuk memanaskan air, sehingga menghasilkan uap yang nantinya
akan digunakan untuk proses selanjutnya. Pada PLTU, uap ini digunakan untuk
memutar turbin uap sebagai penggerak generator. Untuk melakukan kerja, boiler
membutuhkan adanya panas yang digunakan untuk memanaskan air. Panas ini
disuplai oleh bagian yang disebut dengan ruang bakar atau furnace, dimana pada
ruang bakar ini dilengkapi dengan alat pembakaran atau burner. Hasil
pembakaran di ruang bakar tersebut akan mengandung banyak debu, mengingat
bahan bakar yang digunakan adalah batubara, kemudian debu tersebut akan
terbawa bersama gas buang menuju cerobong. Sebelum gas buang tersebut keluar
melalui cerobong, maka gas buang tersebut akan melewati kisi-kisi suatu
electrostatic precipitator (ESP).

d. Wet scrubbing
Wet scrubber adalah peralatan pengendali pencemar udara yang berfungsi
untuk mengumpulkan partikel-partikel halus yang terbawa dalam gas buang suatu
proses dengan menggunakan titik titik air. Pada pengolahan ini cairan umumnya
air digunakan untuk menangkap partikel debu atau untuk meningkatkan ukuran
aerosol. Partikel halus berukuran 0,1 sampai 20 mikron dapat disisihkan secara
efektif dari gas pembawa menggunakan wet collector. Nama lain dari filter basah
adalah Scrubbers atau Wet Collectors. Prinsip kerja filter basah adalah
membersihkan udara yang kotor dengan cara menyemprotkan air dari bagian atas
alt, sedangkan udara yang kotor dari bagian bawah alat. Pada saat udara yang
berdebu kontak dengan air, maka debu akan ikut disemprotkan air turun ke
bawah.
Venturi Scrubber menghilangkan partikel debu dan kontaminan gas
tertentu dari gas aliran dengan memaksanya melewati aliran cair, menghasilkan
cairan yang teratomisasi. Tinggi kecepatan diferensial di antara gas kotor dan
cairan droplets menyebabkan partikel bertumbukan, kemudian akan berkelompok
untuk membentuk tetesan yang lebih besar. Terakhir, tetesan cair tersebut
dilemparkan pada dinding alat pemisah dan gas bersih pun dikeluarkan melalui
puncak scrubber. Sebelum gas kotor dilepaskan ke dalam scrubber, suhu harus
direndahkan di bawah 1000oC, dan gas bersih harus dipanaskan kembali sebelum
dikeluarkan . Air dipompakan kembali melewati sistem ketika scrubber tidak
mampu lagi menahan partikel debu dan bahan yang terlarut. Proses ini beroperasi
dengan efisiensi 85% untuk pemidahan sulfur dioksida (SO 2), 30% untuk pe
Proses ini membedah efisiensi sebanyak sekitar 85% untuk pemisahan dioksida
belerang, 30% untuk pemisahan nitrogen oksida (NO), dan 99% untuk pemisahan
debu/partikulat. Skema operasi alat ini ditunjukkan dalam gambar berikut. Sejauh
ini, teknologi untuk mengontrol pencemaran sebagian besar didesain unuk
memisahkan partikel debu dari emisi gas. Pemisahan polutan gas yang lain pun
penting dilakukan dengan teknologi yang spesifik. Misalnya pada pemisahan
sulfur oksida (SO2), injeksi batu kapur sangat umum digunakan. Proses tersebut
dilakukan di mana batu kapur digiling dengan batubara dan dimasukkan ke dalam
tungku perapian. Gas polutan dipanaskan terlebih dahulu dan dimasukkan ke
dalam tungku perapian, dimana batu kapur akan bereaksi dengan belerang
dioksida (SO2) dan oksigen (O2)untuk menghasilkan kalsium sulfat (CaSO4 atau
gips). Proses ini dapat memisahkan sekitar 20-30% sulfur oksida. Senyawa sulfat,
abu terbang, dan kapur yang tidak bereaksi mengalir melalui pre-heater sebelum
memasuki wet scrubber, agar senyawa tersebut dapat mengalami kontak dengan
air. Efisiensi pemisahan yang dapat tercapai adalah sebesar 80% untuk SO 2 dan
98% untuk zat partikulat.
e. Klarifikasi
Clarifier berfungsi untuk memisahkan sejumlah kecil partikel-partikel
halusyang menghasilkan liquid yang jernih yang bebas partikel-partikel solid
ataususpensi. Teknologi pemisahan liquid-solid umumnya dipakai pada proses
pengolahan air bersih pada berbagai industri antara lain pada pengolahan air
minum PDAM dan pengolahan air baku untuk Demin Plant maupun Cooling
Water System. Di dalam Clarifier terjadi proses yang kita sebut dengan proses
klarifikasiyang mana proses ini berfungsi menghilangkan suspended solid.
f. Setrifugasi
Sentrifugasi adalah proses yang memanfaatkan gaya sentrifugal untuk sedimentasi
campuran dengan menggunakan mesin sentrifuga atau pemusing. Komponen
campuran yang lebih rapat akan bergerak menjauh dari sumbu sentrifuga dan
membentuk endapan (pelet), menyisakan cairan supernatan yang dapat diambil
dengan dekantasi. Teknik sentrifugasi telah dimanfaatkan baik untuk keperluan
penelitian, misalnya pada bidang biologi sel dan biologi molekular, maupun untuk
industri, misalnya dalam pengayaan uranium dan pengolahan anggur.
g. Koagulasi-flokulasi

Koagulasi-flokulasi merupakan dua proses yang terangkai menjadi


kesatuan proses tak terpisahkan. Pada proses koagulasi terjadi destabilisasi koloid
dan partikel dalam air sebagai akibat dari pengadukan cepat dan pembubuhan
bahan kimia (disebut koagulan). Akibat pengadukan cepat, koloid dan partikel
yang stabil berubah menjadi tidak stabil karena terurai menjadi partikel yang
bermuatan positif dan negatif. Pembentukan ion positif dan negatif juga
dihasilkan dari proses penguraian koagulan. Proses ini berlanjut dengan
pembentukan ikatan antara ion positif dari koagulan (misal Al 3+) dengan ion
negatif dari partikel (misal OH-) dan antara ion positif dari partikel (misal Ca2+)
dengan ion negatif dari koagulan (misal SO 42-) yang menyebabkan pembentukan
inti flok (presipitat). Segera setelah terbentuk inti flok, diikuti oleh proses
flokulasi, yaitu penggabungan inti flok menjadi flok berukuran lebih besar yang
memungkinkan partikel dapat mengendap. Penggabungan flok kecil menjadi flok
besar terjadi karena adanya tumbukan antar flok. Tumbukan ini terjadi akibat
adanya pengadukan lambat. Proses koagulasi-flokulasi terjadi pada unit pengaduk
cepat dan pengaduk lambat. Pada bak pengaduk cepat, dibubuhkan koagulan.
Pada bak pengaduk lambat, terjadi pembentukan flok yang berukuran besar
hingga mudah diendapkan pada bak sedimentasi. Koagulan yang banyak
digunakan dalam pengolahan air minum adalah aluminium sulfat atau garam-
garam besi. Kadang-kadang koagulan-pembantu, seperti polielektrolit dibutuhkan
untuk memproduksi flok yang lebih besar atau lebih cepat mengendap. Faktor
utama yang mempengaruhi proses koagulasi-flokulasi air adalah kekeruhan,
padatan tersuspensi, temperatur, pH, komposisi dan konsentrasi kation dan anion,
durasi dan tingkat agitasi selama koagulasi dan flokulasi, dosis koagulan, dan jika
diperlukan, koagulan-pembantu. Beberapa jenis koagulan yang sering digunakan
yaitu Al2(SO4)3.14,3H2O (alum), Al2(SO4)3.49,6H2O (alum cair), FeCl3 (Besi III
klorida), FeCl3.6H2O (ferri klorin cair), FeCl3.13,1H2O (feeri klorin cair),
Fe2(SO4)3.9H2O (besi III sulfat/besi persulfat), Fe2(SO4)3.36,9H2O (ferri sulfat
cair) dan FeSO4.7H2O (copperas). Pemilihan koagulan dan konsentrasinya dapat
ditentukan berdasarkan studi laboratorium menggunakan jar test apparatus untuk
mendapatkan kondisi optimum. Reaksi kimia untuk menghasilkan flok adalah:

Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(HCO3)2 → 2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14H2O + 6CO2

Pada air yang mempunyai alkalinitas tidak cukup untuk bereaksi dengan
alum, maka perlu ditambahkan alkalinitas dengan menambah kalsium hidroksida.

Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(OH)2 → 2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14H2O

Derajat pH yang optimum untuk alum berkisar 4,5 hingga 8, karena


aluminium hidroksida relatif tidak terlarut.

h. Elektrodialisis
Elektrodialisis adalah gabungan antara elektrokimia dan penukaran ion.
Elektrodialisis yang disingkat ED merupakan proses pemisahan elektrokimia
dengan ion-ion berpisah melintas membran selektif anion dan kation dari larutan
encer kelarutan membran lebih pekat akibat aliran arus searah atau DC. Pada
dasarnya proses ini adalah proses dialysis di bawah pengaruh medan listrik. Cara
kerjanya; listrik tegangan tinggi dialirkan melalui dua layer logam yang
menyokong selaput semipermiabel. Sehingga pertikel-partikel zat terlarut dalam
sistem koloid berupa ion-ion akan bergerak menuju elektrode dengan muatan
berlawanan. Adanya pengaruh medanlistrik akanmempercepat proses pemurnian
sistem koloid. Elektrodialisis hanya dapat digunakan untuk memisahkan partikel-
partikel zat terlarut elektrolit karena elektrodialisis melibatkan arus listrik.
i. Flotasi
Flotation (flotasi) berasal dari kata float yang berarti mengapung atau
mengambang. Flotalasi dapat diartikan sebagai suatu pemisahan suatu zat dari zat
lainnya pada suatu cairan/larutan berdasarkan perbedaan sifat permukaan dari zat
yang akan dipisahkan, dimana zat yang bersifat hidrofilik tetap berada fasa air
sedangkan zat yang bersifat hidrofobik akan terikat pada gelembung udara dan
akan terbawa ke permukaan larutan dan membentuk buih yang kemudian dapat
dipisahkan dari cairan tersebut. Secara umum flotation melibatkan 3 fase yaitu
cair (sebagai media), padat (partikel yang terkandung dalam cairan) dan gas
(gelembung udara).
Faktor- faktor yang mempengaruhi flotation adalah ukuran partikel, pH
larutan , surfaktan, dan bahan kimia yang lain, misalnya koagulan. Ukuran
partikel yang besar membuat partikel tersebut cenderung untuk mengendap
sehingga susah untuk terflotasi. Sedangkan pH yang tinggi partkel cenderung
mengendap. Fungsi surfaktan adalah kolektor yang merupakan reagen yang
memiliki gugus polar dan gugus non polar sekaligus. Kolektor akan mengubah
sifat partikel dari hidrofil menjadi hidrofob. Sedangkan penambahan koagulan
dapat mengakibatkan ukuran partikel-partikel menjadi lebih besar. Faktor lain
yang mempengaruhi flotasi adalah laju udara yang berfungsi sebagai pengikat
partikel yang memiliki sifat permukaan hidrofobik, persen padatan, untuk flotasi
pada partikel kasar dapat dilakukan dengan persen padatan yang besar demikian
sebaliknya, besar laju pengumpanan yang berpengaruh terhadap kapasitas dan
waktu tinggal. Laju udara pembilasan yang berfungsi untuk mengalirkan
konsentrrat ke dalam lounder. Ketebalan lapisan buih dan ukuran gelembung
udara juga mempengaruhi flotasi.
j. Reverse Osmosis
Reverse Osmosis untuk pengolahan air industri, air umpan ketel, air
minum dan desalinasi air laut. engertian dari sistem Reverse Osmosis atau RO
adalah perpindahan air melalui satu tahap ke tahap berikutnya yakni bagian yang
lebih encer ke bagian yang lebih pekat. Teknologi reverse osmosis (RO) banyak
dimanfaatkan manusia untuk berbagai keperluan, salah satunya adalah untuk
teknologi pengolahan air minum. Salah satu ciri utama reverse osmosis system
(RO) adalah dengan adanya membran (semipermeable membrane). Membran
semipermeabel ini harus dapat ditembus oleh pelarut, tapi tidak oleh zat
terlarut.Proses reverse osmosis menggunakan tekanan tinggi agar air bisa
melewati membran, di mana kerapatan membran reverse osmosis ini adalah 0,
0001 mikron (satu helai rambut dibagi 500.000 bagian).Jika air mampu melewati
membran reverse osmosis, maka air inilah yang akan kita pakai, tapi jika air tidak
bisa melewati membran semipermeable maka akan terbuang pada saluran khusus.
Sebelum melewati membran, proses kerja sistem reverse osmosis melalui
beberapa tahap penyaringan antara lain cartridge (sediment) , karbon blok, karbon
granular. Perbedaan yang paling jelas sistem reverse osmosis dengan pengolahan
air yang lain adalah sistem reverse osmosis ada 2 hasil karena air yang memiliki
kepekatan di atas 15 ppm akan terbuang menjadi limbah, sedangkan pengolahan
air yang lain hanya satu hasil.

Dibandingkan dengan sistem pengolahan air minum seperti sistem ultra


violet, perebusan, sedimentasi, ozonisasi dan pengolahan air minum lainnya,
teknologi pengolahan air sistem reverse osmosis (RO) adalah sistem pengolahan
air minum terbaik untuk menghasilkan air minum bersih, steril, sehat. Kelebihan
air hasil dari sistem reverse osmosis adalah bebas dari semua bahan pencemar air
seperti virus, bakteri, bahan kimia dan logam berat. Dengan kualitas air yang baik
maka sistem reverse osmosis memberikan jawaban atas tingginya pencemaran air
sekarang ini, sekaligus mampu memenuhi kebutuhan akan air bersih dan sehat.
Pada proses reverse osmosis diperlukan tekanan dengan persamaan π=M.R.T
dimama π=tekanan osmosis, M= molaritas, R=tekanan gas ideal dan T=suhu.

k. Thickening
Thickening adalah proses yang dilakukan untuk mengurangi volume
lumpur sekaligus meningkatkan konsentrasi padatan di dalam lumpur. Proses ini
dapat dilakukan menggunakan peralatan antara lain gravity thickener, gravity belt
thickener, rotary drum, separator, centrifuge, dan flotator. Metode thickening
yang cukup terkenal adalah gravity thickening. Sesuai dengan namanya, dalam
proses ini terjadi pemanfaatan gaya gravitasi (pengendapan) untuk memisahkan
air dari dalam sludge. Unit pengolahan yang digunakan untuk proses ini disebut
gravity thickener yang serupa dengan secondary clarifier pada sistem lumpur
aktif.
Sludge thickening adalah alat yang berfungsi untuk mengurangi kadar air
(liquid) dalam lumpur, sehingga menambah kandungan solid (padatan) dalam
lumpur. Pabrik pengolahan air limbah pada umumnya menggunakan perangkat
penebalan untuk meningkatkan konsentrasi padatan pada akhir langkah proses
tertentu dalam prose lumpur aktif. Penebalan meningkatkan kandungan padatan
lumpur dan mengurangi volume air gratis sehingga meminimalkan beban unit
pada proses hilir seperti pencernaan dan dewatering. Proses yang digunakan
penebalan mencakup penebalan gravitasi, flotasi udara terlarut, sabuk penebalan
gravitasi dan rotary drum penebalan. Jenis penebalan dipilih biasanya ditentukan
oleh ukuran dari pabril limbah, hambatan fisik dan proses hilir. Di pabrik
pengolahan air limbah yang kecil, penebalan biasanya terjadi secara langsung di
dalam tangki penyimpanan lumpur. Lumpur yang dikompersi di bagian bawah
tangki hanya oleh gaya gravitasi, sedangkan di atas lapisan lumpur air keruh
terbentuk, yang diambil dari tangki dan kembali ke inllet. Peralatan mekanis tipe
lumpur penebalan menggunakan proses fisik untuk berkonsentrasi lumpur dengan
menghapus bagian air sehingga mengarah ke peningkatan jumlah presentase
padat. Ada beberapa metode yang berbeda untuk mencapai hal ini dari semua
pilihan yang tersedia, biasanya isi lumpur dapat ditingkatkan dengan 4-5 lipatan
tergantug pada seberapa baik peralatan dioperasikan.
Metode mengandalkan pada prinsip gravitasi dapat diterapkan baik diobati
primer dan bahkan limbah lumpur aktif. Hal ini biasanya dilakukan dalam tangki
melingkar serupa di desain dibandingkan dengan tangki sedimentasi tanaman
khas. Aliran lumpur berasal dari sistem aerasi diarahkan ke pusat dengan baik dan
desain sedemikian rupa sehingga ada cukup waktu penahanan yang cukup untuk
menyelesaikan baik untuk mengambil tempat. Sampah yang dikumpulkan di
bagian bawah tangki diperbolehkan untuk menetap, menjadi kompak dan
kemudian dipompa keluar dari pipa outlet limbah bawah akan tetap baik digester
atau sekunder dewatering. Biasanya ada bendung dan saluran unutk air diperjelas
untuk keluar meluap dan menyapu lengan berputar dengan pisau akan berbalik
kedalam gerakan melingkar untuk menciptakan efek pengadukan lambat.
Hasilnya adalah bahwa dengan melakukan ini, maka akan memastikan bahwa
kekompakan akan terjadi dan mendapatkan lumpur untuk melakukan perjalanan
ke bawah. Kadang-kadang proses dapat ditingkatkan dengan memperlambat laju
umpan sementara desain harus benar merencanakan untuk memberikan waktu
penahanan yang cukup.
l. Stripping
Sebagaimana aerasi, "stripping" juga merupakan istilah lain dari transfer
gas dengan penyempitan makna, lebih dikhususkan pada transfer gas dari fase cair
ke fase gas. Fungsi utama stripping dalam pengolahan air dan air limbah adalah
untuk menyisihkan kandungan gas terlarut yang tidak diinginkan, seperti
ammonia, karbondioksida, hidrogen sulfida, organik volatile, dan sebagainya.
Jenis peralatan stripping untuk penyisihan ammonia umumnya adalah menara
dengan sistem counter-current antara udara (upflow) dan air (downflow). Menara
dilengkapi dengan kipas angin, rak untuk mendistribusikan air, lubang untuk
pengeluaran gas, dan sebagainya. Dalam ammonia stripping, perlu diketahui
persen ammonia di larutan yaitu dalam bentuk gas ammonia. Gas ammonia dalam
kesetimbangan dengan ion ammonium diberikan dalam persamaan reaksi:
NH3 + H2O → NH4+ + OH-
Air stripping adalah mentransfer komponen volatil dari cairan ke aliran
udara. Ini adalah teknologi rekayasa kimia yang digunakan untuk pemurnian air
tanah dan air limbah yang mengandung senyawa volatil.
Senyawa volatil memiliki tekanan uap relatif tinggi dan kelarutan air
rendah ditandai dengan koefisien berdimensi hukum Henry, yang merupakan
rasio dari konsentrasi di udara yang berada dalam kesetimbangan dengan
konsentrasi dalam air. Polutan dengan koefisien Hukum Henry relatif tinggi dapat
lepaskan dari air. Kontaminan termasuk senyawa BTEX yaitu benzena, toluena,
etil benzena, dan xilena ditemukan dalam bensin, dan pelarut termasuk
trichloroethylene dan tetrachloroethylene. Amonia juga dapat dilepaskan dari air
limbah (sering membutuhkan penyesuaian pH sebelum stripping). Karena
koefisien hukum Henry meningkat dengan suhu, stripping lebih mudah pada suhu
hangat.
Meskipun perangkat yang mempromosikan kontak antara udara dan air
strip beberapa senyawa volatil, pemberian udara biasanya dilakukan dalam
menara dengan arus berlawanan air dan udara. Menara biasanya menggunakan
kemasan plastik. Kriteria desain untuk menara dikemas meliputi luas permukaan
yang disediakan oleh kemasan, tinggi kolom dan diameter, dan udara untuk laju
aliran air.
Karena banyak senyawa yang dilepaskan adalah polutan udara berbahaya,
maka udara yang keluar dari alat stripping angat memerlukan kontrol emisi.
Adsorpsi dengan karbon sering digunakan dan oksidasi katalitik adalah juga
sering digunakan.
m. Pengolahan Stabilisasi/Solidifikasi
Proses stabilisasi/solidifikasi adalah suatu tahapan proses pengolahan
limbah B3 untuk mengurangi potensi racun dan kandungan limbah B3 melalui
upaya memperkecil/membatasi daya larut, pergerakan/penyebaran dan daya
racunnya (immobilisasi unsure yang bersifat racun) sebelum limbah B3 tersebut
dibuang ke tempat penimbunan akhir (landfill) Prinsip kerja stabilisasi/solidifikasi
adalah pengubahan watak fisik dan kimiawi limbah B3 dengan cara penambahan
senyawa pengikat (landfill) sehingga pergerakan senyawa-senyawa B3 dapat
dihambat atau terbatasi dan membentuk ikatan massa monolit dengan struktur
yang kekar (massive).
Bahan-bahan yang biasa digunakan untuk proses stabilisasi/solidifikasi
(bahan aditif) antara lain:
1) Bahan pencampur: gypsum, pasir, lempung, abu terbang; dan
2) Bahan perekat/pengikat: semen, kapur, tanah liat, dan lainlain.

Tata cara kerja stabilisasi/solidifikasi:

1) Limbah B3 sebelum distabilisasi/solidifikasi harus dianalisas karakteristiknya


guna menentukan resep stabillisasi/solidifikasi yang diperlukan terhadap
limbah B3 tersebut;
2) Setelah dilakukan stabilisasi/solidifikasi, selanjutnya terhadap hasil olahan
tersebut dilakukan uji TCLP untuk mengukur kadar/konsentrasi parameter
dalam lindi (extract/eluate). Hasil uji TCLP kadarnya tidak boleh melewati
nilai ambang batas sebagaimana ditetapkan.
3) Terhadap hasil olahan tersebut selanjutnya dilakukan uji kuat tekan
(Compressive Strenghth) dengan “Soil Penetrometer Test”, dengan harus
mempunyai nilai tekanan minimum sebebsar 10 ton/m2 dan lolos uji “Paint
Filter test”.
4) Limbah B3 olahan yang memenuhi persaratan kadar TCLP, nilai uji kuat
tekan dan lolos tes paint filter test; selanjutnya harus ditimbun ditempat
penimbunan (landfill) yang ditetapkan pemerintah atau yang memenuhi
persaratan yang ditetapkan.
n. Pengolahan dengan Insinerasi (Thermal Treatment)
Sebelum mulai membangun atau memasang insinerator fasilitas pengolahan
limbah B3, pemilik harus memberikan datadata spesifikasi teknis di bawah ini: a)
Spesifikasi insinerator, sekurang-kurangnya memuat informasi antara lain:
1) Nama Pabrik pembuat dan nomor model.
2) Jenis insinerator.
3) Dimensi internal dari unit isinerator termasuk luas penampang zona/ruang
proses pembakaran.
4) Kapasitas udara penggerak utama (prime air mover).
5) Uraian mengenai system bahan bakar (jenis/umpan).
6) Spesifikasi teknis dan desain dari nozzle dan burner.
7) Temperatur dan tekanan operasi di zona/ruang bakar.
8) Waktu tinggal limbah dalam zona/ruang pembakar.
9) Kapasitas blower.
10) Tinggi dan diameter ceroong.
11) Uraian peralatan pencegah pencemaran udara dan peralatan pemantauan emisi
cerobong (stack/chimney).
12) Tempat dan deskripsi dari alat pencatat suhu, tekanan, aliran dan alat-alat
pengontrol lain.
13) Deskripsi system pemutus umpan limbah yang bekerja otomatis.
14) Efisiensi Penghancuran dan penghilangan (DRE), dan Efisiensi Pembakaran
(EP).

Memperkirakan tingkat maksimal konsentrasi pada permukaan tanah


akibat udara dari insinerator dengan memakai pesamaan distribusi GAUSS
dan/atau pengembangannya dengan mempertimbangkan kondisi meteorology
setempat. Memberikan uraian tentang jadwal konstruksi, mulai dari tahap pra
konstruksi, pelaksanaan konstruksi, penyelesaian konstruksi, dan tahap persiapan
operasi. Menyerahkan laporan yang berisi informasi tentang butir (a), (b), dan (c)
kepada kepala Bapedal sebagai lampiran pertimbangan dalam permohonan
perizinan. Sebelum insinerator di operasikan secara terus menerus atau kontinu,
pemilik harus melakukan uji coba pembakaran (trial burn test). Uji coba ini harus
mencakup semua peralatan utama dan peralatan penunjang termasuk peralatan
pengendalian pencemaran udara yang dipasang. Uji coba dilakukan setelah
mendapat persetujuan dari Bapedal mengenai kelengkapan pada butir (1), dan
dalam pelaksanaannya diawasi oeh Bapedal.

Uji coba pembakaran ini bertujuan untuk memperoleh:

1) Deskripsi kualitatif dan kuantitatif sifat fisika, kimia dan biologi dari:
a) Limbah B3 yang akan dibakar termasuk semua jenis bahan organic
bebrbahaya dan beracun utama (POHCs, PCBs, PCDFs, PCDDs),
Halogen, Total Hidrokarbon (THC), dan Sulfur serta konsentrasi timah
hitam dan merkuri dalam limbah B3;
b) Emisi udara termasuk POHCs, produk pembakaran tidak sempurna (PICs)
dan parameter yang tercantum pada Tabel 3;
c) Limbah cair yang dikeluarkan (effluent) dari pengoperasian insinerator
dan peralatan pencegahan pencemaran udara, termasuk semua POHCs,
PICs dan parameter-parameter sebagaimana tercantum dalam Tabel 4.
2) Menentukan kondisi Operasi,
a) Suhu di ruang bakar, sesuai dengan jenis limbah B3;
b) Waktu tinggal (residence time) gas di zona/ruang bakar minimum 2 detik;
c) Konsentrasi dari excess oxygen di exhaust peneluaran.
d) Menentukan kondisi meteorology yang spesifik (arah angin, kecepatan
angin, curah hujan, dan lain-lain) dan konsentrasi ambient dari POHCs,
PICs, dan parameter yang tercantum pada Tabel 3;
e) Menentukan efisiensi penghancuran dan penghilangan (DRE) dengan
menggunakan persamaan di bawah ini.
 Rumus Penghitung DRE (Efisiensi Penghancur dan Penghilang):

W ¿ −W out
DRE = x 100%
W¿

Keterangan :

DRE = destruction and removal efficiency

Win = laju alir masa umpan masuk insenerator

Wout = laju alir masa umpan keluar insenerator

f) Menetukan efisiensi pembakaran (EP) dengan menggunakan persamaan


di bawah ini:
CO 2
EP = x 100%
CO2 +CO
Keterangan :
CO2 = konsentrasi emisi
CO2di exhaust CO = konsentrasi emisi CO di exhaust
g) Uji coba pembakaran harus dilakukan minimal selama 14 hari secara
terus menerus dan tidak atau yang ditetapkan oleh Bapedal.
h) Menyerahkan laporan yang berisi informasi tentang butir (a), (b), (c), (d),
(e), dan (f) kepada Kepala Bapedal sebagai pertimbangan dalam
pemberian perizinan.
(a) Pengoperasian
a. Memeriksa insinerator dan peralatan pembantu (pompa, Conveyor,
pipa, dll) secara berkala;
b. Menjaga tidak terjadi kebocoran, tumpahan atau emisi sesaat;
c. Menggunakan system pemutus otomatis pengumpan limbah B3 jika
kondisi pengoperasian tidak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan;
d. Memastikan bahwa DRE dari insinerator sama dengan atau lebih besar
dari yang tercantum pada Tabel 2.
e. Mengendalikan peralatan yang berhubungan dengan pembakaran
maksimum selama 15 – 30 menit pada saa start-up sebelum melakukan
operasi pengolahan secara terus menerus.
f. Pengecekan peralatan perlengkapan insinerator (conveyer, pompa, dll)
harus dilakukan setiap hari. g. Pengolah hanya boleh membakar
limbah sesuai dengan izin yang dipunyai. h. Residu/abu dari proses
pembakaran insinerator harus ditimbun sesuai dengan persyaratan
penimbunan (landfill).
(b) Pemantauan:
1) Secara terus menerus mengukur dan mencatat;
a. Suhu di zona/ruang bakar;
b. Laju umpan limbah (waste feed rate);
c. Laju bahan bakar pembantu;
d. Kecepatan gas saat keluar dari daerah pembakaran;
e. Konsentrasi karbon monoksida, karbon dioksida, nitrogen oksida,
sulfur dioksida, oksigen, HCL, Total Hidrokarbon (THC) dan
partikel debu di cerobong (stack/chimney);
f. Opositas.
2) Secara berkala mengukur dan mencatat konsentrasi POHCs. PCDs,
PCDFs, PICs dan logam berat di cerobong.
3) Memantau kualitas udara sekeliling dan kondisi meteorologi sekurang-
kurangnya 2 (dua) kali dalam sebulan, yang meliputi:
a) Arah dan kecepatan angin
b) Kelembaban
c) Temperatur
d) Curah hujan
4) Mengukur dan mencatat timbunan limbah cair (effluent) dari
pengoperasian insinerator dan peralatan pengendali pencemaran udara
yang harus memenuhi criteria limbah cair.
5) Menguji system pemutus otomatis setiap minggu.
(c) Pelaporan
1) Melaporkan hasil pengukuran emisi cerobong yang telah dilakukan
selama 3 bulan terakhir sejak digunakan dan dilakukan pengujian
kembali setiap 3 tahun untuk menjaga nilai minimum DRE.
2) Konsentrasi maksimum untuk emisi dan nilai minimum DRE
sebagaimana tercantum daam Tabel 2 dan
3) Pelaporan datadata di atas dilakukan setiap 3 (tiga) bulan ke Bapedal.
8. Metode Pembuangan Limbah B3
a. Sumur dalam atau sumur injeksi (deep well injection)
Salah satu cara membuang limbah B3 agar tidak membahayakan manusia
adalah dengan cara memompakan limbah tersebut melalui pipa ke lapisan batuan
yang dalam, di bawah lapisan-lapisan air tanah dangkal maupun tanah air dalam.
Secara teori, limbah B3 ini akan terperangkap di lapisan itu sehingga tidak akan
mencemari tanah maupun air. Namun, sebenarnya tetap ada kemungkinan
terjadinya kebocoran atau korosi pipa atau pecahnya lapisan batuan akibat gempa
sehingga limbah merembes ke lapisan tanah.
b. Kolam penyimpanan (surface impoundments)
Limbah B3 cair dapat ditampung pada kolam-kolam yang memang dibuat
untuk limbah B3. Kolam-kolam ini dilapisi dengan pelindung yang dapat
mencegah perembesan limbah. Ketika air limbah menguap, senyawa B3 akan
terkonsentrasi dan mengendap di dasar. Kelemahan metode ini adalah memakan
lahan karena limbah akan semakin tertimbun dalam kolam, ada kemungkinan
kebocoran lapisan pelindung, dan ikut menguapnya senyawa B3 bersama air
limbah sehingga mencemari udara.
c. Landfill untuk limbah B3 (secure landfills)
Limbah B3 dapat ditimbun pada landfill, namun harus pengamanan tinggi.
Pada metode pembuangan secure landfills, limbah B3 ditempatkan dalam drum
atau tong-tong, kemudian dikubur dalam landfill yang didesain khusus untuk
mencegah pencemaran limbah B3. Landfill ini harus dilengkapi peralatan
moditoring yang lengkap untuk mengontrol kondisi limbah B3 dan harus selalu
dipantau. Metode ini jika diterapkan dengan benar dapat menjadi cara penangnan
limbah B3 yang efektif. Namun, metode secure landfill merupakan metode yang
memiliki biaya operasi tinggi, masih ada kemungkinan terjadi kebocoran, dan
tidak memberikan solusi jangka panjang karena limbah akan semakin menumpuk.

Limbah Oli

Limbah oli berdasarkan PP 85 tahun 1999 termasuk dalam kategori


limbah B3. Limbah. Limbah oli mengandung senyawa senyawa kimia baik
organic dan anorganik yang sangat berbahaya. Kandungan senyawa dan logam
berat dalam limbah oli (oli bekas) sebagai berikut:

Pelumas atau oli merupakan sejenis cairan kental yang berfungsi sebaga
pelicin, pelindung, dan pembersih bagi bagian dalam mesin. Kode pengenal Oli
adalah berupa huruf SAE yang merupakan singkatan dari Society of Automotive
Engineers. Selanjutnya angka yang mengikuti dibelakangnya, menunjukkan
tingkat kekentalan oli tersebut. Oil sludge terdiri dari minyak (hydrocarbon), air,
abu, karat tangki, pasir, dan bahan kimia lainnya. Kandungan dari hydrocarbon
antara lain benzene, toluene, ethylbenzene, xylenes dan logam berat seperti timbal
(Pb).

Limbah oli atau limbah minyak pelumas residu dari oli murni atau
vaseline berada di antara C16 sampai ke C20. Di indonesia jumlah limbah
pelumas bekas pada tahun 2003 sekitar 465 juta liter pertahun. Sumber dari
limbah ini berasal dari berbagai aktivitas sarana mesin serta industri. Proses yang
dilakukan melalui tahapan absorpsi dan distilasi (untuk mengolah oli bekas
menjadi sampel bahan bakar). Oli bekas atau Minyak Pelumas Bekas selanjutnya
disebut Minyak Pelumas Bekas adalah sisa pada suatu kegiatan dan/atau proses
produksi.

Badan Usaha adalah orang perorangan atau kelompok usaha yang


berbentuk badan hukum. Pengumpul adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan pengumpulan dari penghasil minyak pelumas bekas dengan maksud
untuk diolah/ dimanfaatkan. Pengumpulan dan Penyimpanan adalah rangkaian
proses kegiatan pengumpulan minyak pelumas bekas sebelum diserahkan ke
pengolah atau pemanfaat minyak pelumas beka. Karakteristik pelumas bekas yang
disimpan;

a. Kemasan harus sesuai dengan karakteristik pelumas bekas dapat berupa drum
atau tangki;
b. Pola penyimpanan dibuat dengan sistem blok, sehingga dapat dilakukan
pemeriksaan menyeluruh terhadap setiap kemasan jika terjadi kerusakan dan
apabila terjadi kecelakaan dapat segera ditangani;
c. Lebar gang antar blok harus diatur sedemikian rupa, sehingga dapat digunakan
untuk lalu lintas manusia, dan kendaraan pengangkut (forklift);
d. Penumpukan kemasan harus mempertimbangkan kestabilan tumpukan
kemasan. Jika berupa drum (isi 200 liter), maka tumpukan maksimum 3 (tiga)
lapis dengan tiap lapis dialasi dengan palet dan bila tumpukan lebih dan 3
(tiga) lapis atau kemasan terbuat dan plastik, maka harus dipergunakan rak;
e. Lokasi peyimpanan harus dilengkapi dengan tanggul disekelilingnva dan
dilengkapi dengan saluran pembuangan meriuju bak penampungan yang kedap
air . Bak penampungan dibuat mampu menampung 110% dari kapasitas
volume drum atau tangki yang ada di dalam ruang penyimpanan, serta tangki
harus diatur sedemikian sehingga bila terguling tidak akan menimpa tangki
lain; mempunyai tempat bongkar muat kemasan yang memadai dengan lantai
yang kedap air.
Pengumpul minyak pelumas bekas wajib memenuhi persyaratan
Persyaratan bangunan pengumpulan Persyaratan Pengumpul minyak pelumas
bekas
a. Memiliki fasilitas untuk penanggulangan terjadinya kebakaran, dan peralatan
komunikasi;
b. Konstruksi bahan bangunan Disesuaikan dengan karakteristik pelumas bekas;
c. Lokasi tempat pengumpulan bebas banjir

Deterjen dan Sabun


Deterjen merupakan limbah B3. Deterjen dan sabun mempunyai
berbedaan yang mendasar yaitu:
Sabun:
a. Sabun adalah garam alkali karboksilat.
b. Molekul sabun lebih mudah terdegradasi oleh bakteri pengurai.
c. Tidak bisa dipakai untuk mencuci dalam air sadah, karena sabunakan bereaksi
dengan ion Ca2+ dan Mg2+.
d. Sabun adalah hasil proses penetralan asam lemak dengan menggunakan alkali
e. Sabun biasanya digunakan untuk membersihkan suatu product yang
berhubungan langsung dengan kulit manusia seperti sabun mandi/ sabun
handsoap yang membutuhkan pelembab dalam hal ini biasanya disebut
moisture jika suatu sabun memiliki moisture makin besar maka makin lembut
kulit kita menggunakannya.

Deterjen
a. Detergen adalah garam alkali alkil sulfat atau sulfoniat.
b. Molekul detergen harganya lebih murah dan sukar terdegradasi oleh bakteri
pengurai.
c. Molekul detergen tidak bereaksi dengan ion Ca2+ dan ion Mg2+.
d. Deterjen adalah campuran zat kimia dari sintetik ataupun alam yang memiliki
sifat yang dapat menarik zat pengotor dari media.
e. Deterjen digunakan sebagai sabun cuci pakaian.

F. KONSEP DASAR PRODUKSI BERSIH


Produksi bersih adalah strategi pengelolaan lingkungan yang sifatnya mengarah pada
pencegahan dan terpadu untuk diterapkan pada seluruh siklus produksi. Produksi bersih
merupakan sebuah strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif atau
pencegahan dan terpadu yang perlu diterapkan secara terus menerus pada proses
produksi dan daur hidup produk dengan tujuan mengurangi risiko terhadap manusia dan
lingkungan. Hal tersebut, memiliki tujuan untuk meningkatkan produktivitas dengan
memberikan tingkat efisiensi yang lebih baik pada penggunaan bahan mentah, energi
dan air, mendorong performansi lingkungan yang lebih baik, melalui pengurangan
sumber-sumber pembangkit limbah dan emisi serta mereduksi dampak produk terhadap
lingkungan. Produksi bersih berfokus pada usaha pencegahan terbentuknya limbah, yang
merupakan salah satu indikator inefisiensi. Dengan demikian, usaha pencegahan tersebut
harus dilakukan sejak awal proses produksi dengan mengurangi terbentuknya limbah
serta pemanfaatan limbah yang terbentuk melalui daur ulang.

Keberhasilan upaya ini akan menghasilkan penghematan yang besar karena


penurunan biaya produksi yang signifikan sehingga pendekatan ini dapat menjadi
sumber pendapatan. Istilah produksi bersih mulai diperkenalkan oleh UNEP (United
Nations Environment Program) pada bulan Mei 1989 dan diajukan secara resmi pada
bulan September 1989 pada seminar The Promotion of Cleaner Production di
Canterbury, Inggris. Indonesia sepakat untuk mengadopsi definisi yang disampaikan
oleh UNEP tersebut.
Beberapa kata kunci yang perlu dicermati dalam produksi bersih adalah pencegahan,
terpadu, terus-menerus dan mengurangi risiko. Dalam strategi pengelolaan lingkungan
melalui pendekatan produksi bersih, segela upaya dilakukan untuk mencegah atau
menghindari terbentuknya limbah. Keterpaduan dalam konsep produksi bersih
dicerminkan dari banyaknya aspek yang terlibat seperti sumber daya manusia, teknik
teknologi, finansial, manajerial dan lingkungan. Strategi produksi bersih menekankan
adanya upaya pengelolaan lingkungan secara terus-menerus.

Suatu keberhasilan atau pencapaian target pengelolaan lingkungan bukan merupakan


akhir suatu upaya melainkan menjadi input bagi siklus upaya pengelolaan lingkungan
berikutnya. Mengurangi risiko dalam produksi bersih dimaksudkan dalam arti risiko
keamanan, kesehatan, manusia dan lingkungan serta hilanganya sumber daya alam dan
biaya perbaikan atau pemulihan[. Produksi bersih diperlukan sebagai suatu strategi
untuk mengharmonisasikan upaya perlindungan lingkungan dengan kegiatan
pembangunan atau pertumbuhan ekonomi, mencegah terjadinya pencemaran
lingkungan, memelihara dan memperkuat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang,
mencegah atau memperlambat terjadinya proses degradasi lingkungan dan pemanfaatan
sumberdaya alam melalui penerapan daur ulang limbah serta memperkuat daya saing
produk di pasar internasional.

Prinsip-prinsip pokok dalam produksi bersih adalah:

1. Mengurangi atau meminimumkan penggunaan bahan baku, air, dan energi serta
menghindari pemakaian bahan baku beracun dan berbahaya serta mereduksi
terbentuknya limbah pada sumbernya, sehingga mencegah dari atau mengurangi
timbulnya masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan serta risikonya terhadap
manusia.

2. Perubahan dalam pola produksi dan konsumsi berlaku baik terhadap proses maupun
produk yang dihasilkan, sehingga harus dipahami betul analisis daur hidup produk.

3. Upaya produksi bersih tidak dapat berhasil dilaksanakan tanpa adanya perubahan
dalam pola pikir, sikap dan tingkah laku dari semua pihak terkait baik dari pihak
pemerintah, masyarakat maupun kalangan dunia (industriawan). Selain itu juga, perlu
diterapkan pola manajemen di kalangan industri maupun pemerintah yang telah
mempertimbangkan aspek lingkungan.

4. Mengaplikasikan teknologi akrab lingkungan, manajemen dan prosedur standar


operasi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak
selalu membutuhkan biaya investasi yang tinggi, kalaupun terjadi seringkaliwaktu
yang diperlukan untuk pengembalian modal investasi relatif singkat.

5. Pelaksanaan program produksi bersih ini lebih mengarah pada pengaturan sendiri dan
peraturan yang sifatnya musyawarah mufakat daripada pengaturan secara command
control. Jadi, pelaksanaan program produksi bersih ini tidak hanya mengandalkan
peraturan pemerintah saja, tetapi lebih didasarkan pada kesadaran untuk mengubah
sikap dan tingkah laku.

Produksi bersih dapat dijadikan sebuah model pengeloaan lingkungan dengan


mengedepankan efisiensi yang tinggi pada sebuah industri, sehingga timbulan/hasil
limbah dari sumbernya dapat dicegah dan dikurangi. Penerapan produksi bersih akan
menguntungkan industri karena dapat menekan biaya produksi, adanya penghematan, dan
kinerja lingkungan menjadi lebih baik. Penerapan produksi bersih di suatu kawasan
industri dapat digunakan sebagai pendekatan untuk mewujudkan Kawasan Industri
Berwawasan Lingkungan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengelolaan limbah setelh proses produksi bertujuan untuk menghilangkan atau
menurunkan kadar bahan pencemar yang terkandung di dalamnya sehingga limbah-
limbah tersebut memenuhi syarat untuk dibuang. Dengan demikian, dalam pengolahan
limbah untuk mendapatkan hasil yang efektif dan efisien perlu dilakukan langkah-
langkah pengelolaan yang dilaksanakan secara terpadu dimulai dengan upaya
meminumalisir limbah, pengolahan limbah, hingga pembuangan limbah produksi.

B. Saran
Sebaiknya dalam penulisan makalah berikutnya lebih teliti dan lebih maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Indrasti, N.S. dan Fauzi, A.M. 2009. Produksi Bersih. Bogor : IPB Press.

Irianto, I Ketut. 2018. Sistem Teknologi Pengolahan Limbah. Bali : Warmadewa University
Press.

Riyanto. 2013. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Yogyakarta : Deepublish.

Suprapto. 2005. “Dampak Masalah Sampah terhadap Kesehatan Masyarakat”. Jurnal


Mutiara Kesehatan Indonesia. 1 (2) : 1-4.

Widjajanti. 2009. Penanganan Limbah Laboratotium Kimia. Yogyakarta : UNY.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Produksi_bersih.

Anda mungkin juga menyukai