Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

BENDERA KAPAL SEBAGAI FAKTOR TITIK PERTALIAN PRIMER

Disusun oleh:

1. Muhammad Tegar Al Syiad 02011181924011

2. Raihan Prizcilia Gilang Andini 02011181924017

3. Nadila Vitaloca 02011181924018

4. Inne Meisani Carolina 02011181924052

5. In'nama Ramadan 02011281924131

6. Adela Osa Azzanurshafiyah 02011281924156

7. Muhammad Alif Fathullah 02011281924186

8. Ariba Birkah 02011281924219

9. Galang Try Anugrah 02011281924270

10. Muhammad Reza Umari 02011381924274

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita sekalian
untuk tetap melangkah di jalan Islam, Allah yang memberikan nikmat yang nikmat-Nya tidak
bisa dihitung sehingga dengan nikmat sehat dan semangat-Nya penulis bisa menyelesaikan
makalah ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasul Muhammad
SAW, manusia pilihan sebagai pembawa risalah kebenaran, keluarganya, dan sahabat-
sahabatnya yang selalu istiqomah dan setia pada risalahnya.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
terdapat kekurangan dan kelemahan, baik dari teknik penulisan maupun materi. Hal ini
karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun guna penyempurnaan
dimasa yang akan datang. Akhirnya penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Indralaya, 9 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

JUDUL..........................................................................................................................................................

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................

DAFTAR ISI.................................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................................

A. Latar Belakang..........................................................................................................................................

B. Rumusan Masalah.....................................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................................................

A. Pengertian Titik-Titik Laut.......................................................................................................................

B. Titik Laut Primer.......................................................................................................................................

C. Titik Laut Sekunder...................................................................................................................................

D. Bendera Kapal...........................................................................................................................................

E. Posisi Kasus...............................................................................................................................................

F. Klasifikasi Kasus Dalam Hukum Perdata Internasional............................................................................

G. Tahap Penyelesaian Kasus........................................................................................................................

BAB III PENUTUP......................................................................................................................................

A. Kesimpulan...............................................................................................................................................

B. Saran..........................................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wilayah laut Indonesia yang mencapai luas 3,11 juta km2 menyebabkan potensi
sektor kelautan menjadi tidak ternilai, terutama dari sektor kekayaan alam lautnya. Potensi
kekayaan laut menjadi sedemikian penting sebagaimana diprioritaskan oleh Indonesia dalam
Konsep green economy dan blue economy yang bermuara pada pembangunan berkelanjutan
sebagaimana disampaikan oleh Presiden RI saat memberikan sambutannya dalam Konferensi
Rio+20 (United Nations Conference on Suistanable Development) di Rio de Jeneiro, Brasil
pada tanggal 20-22 Juni 2012 Lingkungan laut merupakan bagian dari perekonomian suatu
Negara. Dengan panjang garis pantai sekitar 95.181 km, perairan Indonesia memiliki potensi
yang tinggi. Ukuran tersebut merupakan urutan kedua setelah Kanada sebagai Negara yang
memiliki garis pantai kedua terpanjang di dunia. Nilai perekonomian dari laut ditaksir
mencapai US$3 triliun - US$5 triliun atau setara dengan Rp. 36.000 triliun - Rp. 60.000
triliun per tahun. Angka ini belum termasuk potensi lain yang berasal dari kekayaan
bioteknologi, wisata bahari maupun pengembangan transportasi laut. Potensi maritim
Indonesia yang demikian besar ditangkap sebagai salah satu visi misi unggulan pada
pemerintahan presiden Jokowi saat ini. Selain itu, potensi besar ekonomi dan ekologi yang
tersimpan sebagai negara maritim, potensi kerusakan alam yang dapat ditimbulkan akibat
eksplorasi berlebihan yang dapat mengancam keberlanjutan pembangunan hendaknya juga
mendapat perhatian. Untuk itu, saat ini pemerintah tengah mendorong kebijakan ekonomi
maritim dengan model ekonomi biru. Pada dasarnya ekonomi biru menggabungkan
pengembangan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Mengingat peran laut yang sangat
strategis karena sebagian masyarakat mengandalkan laut sebagai mata pencaharian dan
hidupnya, laut perlu mendapat perhatian utama dalam penegakkan hukumnya terutama dari
akibat kerusakan ekosistem karena pencemaran. Sumber pencemaran laut dapat berasal dari :
(1) pencemaran yang disebabkan atau berasal dari kapal; (2) pencemaran yang berasal oleh
instalasi pengeboran minyak; (3) sumber pencemaran di darat; dan (4) pencemaran melalui
udara. Permasalahan pencemaran minyak karena kecelakaan kapal (tanker) di Indonesia perlu
mendapatkan perhatian serius berkenaan dengan hak menggugat (ius standi), pembuktian
yang terkait dengan verifikasi ilmiah untuk menjelaskan hubungan kausal, penerapan asas
ganti kerugian, cakupan dan luas isu lingkungan untuk menetapkan jumlah ganti rugi, dan
kriteria pemulihan lingkungan terkait dengan sistem kebenaran formil yang dianut dalam
sistem penuntutan ganti kerugian secara perdata (International Convention on Civil Liability
for Oil Pollution Damage 1969).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Klasifikasi dan Penyelesaian Kasus Pencemaran Minyak Kapal Tanker dalam
Hukum Perdata Internasional?
2. Bagaimana Pengaruh Bendera Kapal bagi Kasus Pencemaran Minyak Kapal Tanker di
Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Titik-Titik Taut

Sebutan lain untuk titik-titik taut di dalam berbagai literatur HPI adalah connecting
factors (Inggris), aanknüpfungspunkte (Jerman), points of contact (Inggris),
aanknopingspunten (Belanda), dan titik-titik pertalian. Berdasarkan pendekatan tradisional,
proses penyelesaian perkara HPI sebenarnya dimulai dengan evaluasi terhadap.. titik taut
primer dan setelah melalui proses kualifikasi fakta, konsep. Titik taut kembali digunakan
(dalam arti sekunder) dalam rangka menentukan hukum yang akan diberlakukan dalam
perkara HPI yang bersangkutan. Secara sederhana, titik-titik tau dalam HPI dapat di
definisikan sebagai: “fakta-fakta di dalam sekumpulan fakta perkara (HPI) yang
menunjukkan pertautan antara perkara itu dengan suatu tempat tertentu, dan karena itu
menciptakan relevansi antara perkara yang bersangkutan dengan kemungkinan berlakunya
sistem atau aturan hukum internasional dari tempat itu.”

Pada tahap pertama dari proses penyelesaian perkara HPI, adanya faktor-faktor ini
sebenarnya menunjukkan bahwa perkara yang sedang dihadapi adalah perkara HPI (perkara
yang mengandung unsur-unsur asing) ditinjau dari sudut pandang forum yang mengadili
perkara. Pada tahap-tahap berikutnya, tidak mustahil bahwa faktor-faktor itu akan
memberikan efek hukum yang berbeda di berbagai sistem hukum, sehingga orang harus
menentukan titik taut apa yang bersifat menentukan (decisive) dalam menetapkan hukum
yang harus diperlakukan dalam penyelesaian perkara.

Prof. E.J. Cohn berpandangan bahwa salah satu objek dari HPI ini adalah untuk
meletakkan aturan-aturan dalam rangka memilih hukum yang akan diberlakukan (rules for
the choice of law). Choice of law rules (norma-norma HPI) itu adalah aturan-aturan yang
menegaskan hukum apa yang seharusnya mengatur suatu perkara yang mengandung unsur
asing. Usaha pemilihan hukum ini hampir selalu bergantung pada titik-titik taut yang akan
menunjukkan sistem hukum apa yang relevan dengan sekumpulan fakta yang sedang
dihadapi. Menurut Cohn, disamping faktor kewarganegaraan pihak pihak yang berperkara,
beberapa titik taut ain yang dianggap penting adalah:

1. Hukum dari tempat dilaksanakannya perbuatan (lex loci actus)


2. Hukum dari tempat dimana benda-benda tetap terletak (lex rei sitae)
3. Tempat pembuatan dan atau pelaksanaan kontrak (locus contractus/locus
solutionis).

Dalam kaitan yang sama, Prof. R.H. Graveson berpendapat bahwa dalam upaya
menyelesaikan suatu perkara HPI oerlu diperhatikan tiga hal berikut:

1. Titik-titik taut apa sajakah yang dipilih oleh sistem HPI tertentu yang dapat diterapkan
pada sekumpulan fakta yang bersangkutan.
2. Berdasarkan hukum manakah di antara berbagai sistem hukum yang relevan dengan
perkara titik-titik taut itu akan ditentukan. Hal ini perlu diperhatikan karena faktor-
faktor yang sama mungkin secara teoretis diberi interpretasi yang berbeda di dalam
berbagai sistem hukum.
3. Setelah kedua masalah tadi diselesaikan, barulah ditetapkan bagaimana pertautan itu
dibatasi oleh sistem hukum yang akan diberlakukan (lex causae).

B. Titik Taut Primer (Primary Point Of Contact)

Titik taut primer (primary point of contact) disebut juga sebagai titik taut pembeda,
adalah merupakan indikator yang membedakan apakah suatu peristiwa dan/atau perkara yang
terjadi termasuk peristiwa atau perkara hukum perdata internasional (HPI) atau bukan.
Menurut Sudargo Gautama, soal titik-titik pertalian atau titik taut merupakan suatu bagian
yang penting dari HPI oleh karena titik pertalian inilah yang pertama-tama memberikan
petunjuk kepada kita bahwa kita menghadapi suatu masalah HPI. Titik Pertalian semacam ini
dinamakan "titik pertalian primer." Jadi, faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang
menciptakan bahwa suatu hubungan menjadi hubungan HPI dinamakan titik pertalian primer
atau titik taut pembeda (Gautama:66). Titik taut primer (primary point of contact) dalam
suatu peristiwa dan/atau perkara hukum perdata internasional ditandai dengan adanya unsur
asing (foreign element) baik yang terkait dengan subyek, obyek, atau tempat atau letak
terjadinya suatu peristiwa hukum.
C. Titik Taut Sekunder (Secondary Point Of Contact)

Penentuan titik taut sekunder merupakan metode pendekatan yang dilakukan sebagai
upaya penyelesaian perselisihan dalam HPI selain titik taut primer. Titik taut sekunder adalah
fakta yang digunakan untuk menentukan hukum apa atau hukum mana yang seharusnya
diberlakukan terhadap perkara yang melibatkan lebih dari satu sistem hukum atau kaidah
hukum atau peraturan. Titik taut sekunder biasa juga disebut sebagai titik taut penentu, yang
menentukan hukum mana yang harus diberlakukan. Disebut sebagai titik taut penentu karena
berfungsi akan menentukan hukum dari tempat manakah yang akan digunakan sebagai the
applicable law (Purwadi:68).
Titik taut sekunder baru timbul setelah adanya titik taut primer. Titik taut sekunder
terutama dikemukakan dan dapat ditemukan pada yurisprudensi. Pembuat undang undang
sendiri tidak banyak membuat titik taut sekunder. Pada pendekatan HPI tradisional, titik taut
sekunder harus ditemukan di dalam kaidah HPI lex fori yang relevan dengan perkara
(Purwadi:68). Titik taut sekunder dapat disimpulkan dari beberapa putusan hakim terdahulu
yang memutuskan perkara soal pilihan hukum mana yang digunakan antara lain pada:
maksud para pihak, milieu, kedudukan masyarakat yang jauh melebihi dari salah satu pihak,
masuk ke dalam suasana hukum pihak yang lain, dan tanah pada perjanjian obligatoir
(Gautama:49).
Pada intinya, dipahami bahwa titik taut sekunder merupakan titik taut penentu sebagai
indikator yang menentukan hukum mana yang seharusnya diterapkan pada peristiwa/perkara
HPI (Priowirjanto:46). Sebagai contoh, jika kaidah HPI negara Indonesia dalam perkara
perikatan menentukan harus diselesaikan di tempat dibuatnya perjanjian, maka hakim akan
menggunakan hukum dari tempat dibuatnya perjanjian tersebut, misalnya menggunakan
kaidah HPI Singapura sebagai tempat dibuatnya perjanjian untuk menyelesaikan perkara
tersebut.

D. Bendera Kapal
Masalah HPI juga dapat timbul pada kapal-kapal yang berlayar di lautan, karena
bendera dari kapal dapat berbeda dengan kewarganegaraan dari orang orang yang
mengadakan hubungan dengan kapal itu. Pada kapal, bendera adalah dapat diartikan sebagai
kewarganegaraan yang berlaku bagi seseorang. Berdasarkan hal itu, bendera kapal menjadi
salah satu bentuk unsur asing (foreign element) yang dapat digunakan dalam rangka
penentuan titik taut primer (primary point of contact), antara lain adalah dikarenakan kapal
tersebut dianggap sebagai subyek hukum tersendiri. Sebagai subyek hukum, kapal-kapal ini
memang dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya memasuki daerah
wilayah negara tertentu, mengangkut barang, orang, dan lain sebagainya.

E. Posisi Kasus

Ada tiga kasus penuntutan ganti rugi pencemaran minyak kapal tanker yang terjadi di
Cilacap, yang pertama adalah kasus penuntutan ganti rugi pencemaran minyak oleh kapal
tanker MT. King Fisher berbendera Malta yang terjadi pada tanggal 1 April 2000. MT. King
Fisher dengan bobot 80.000 long term, memuat crude oil sebanyak 270.000 barrel SLC dari
Dumai dan 330 barrel Ataka dari Kalimantan, total minyak mentah yang dibawa mencapai
600.000 barrel. Akibat kandasnya MT. King Fisher kurang lebih 4.000 barrel (kurang lebih
sekitar 640.000.000 liter) crude oil tumpah di perairan Teluk Penyu. Kedua, kapal tanker MT.
Lucky lady berbendera Malta pada tanggal 16 September 2004 yang membawa seria crude
(minyak ringan 30 API) dari Brunei Darrusalam untuk pasokan kilang minyak UP. IV
Cilacap dengan sobekan lambung bagian kanan dari kompartemen no. 1 lebar ±2 cm, panjang
±4 m, informasi tumpahan ±5300 m3. Penyebaran crude dilaporkan ±7 km kearah desa Jojok
Barat dan masih ditemukan sejumlah kecil minyak yang terjebak diantara tanaman bakau.
Ketiga, kapal tanker MT. Martha Petrol Belawan IMO 8806199 berbendera Indonesia pada
tanggal 24 Mei 2015. Minyak MFO atau crude oil membuat model sebaran tumpahan minyak
dilaut berdasarkan dua sumber (SPM dan kapal MT. Martha Petrol). Kebocoran pada fore
peak tank (FPT) sampai dengan water Ballast (WBT) 8 kanan dan kebocoran pada tanki
bahan bakar (FOT) no 3c ditindak lanjuti dengan transfer bahan bakar MFO ke tanki lain.

Pada saat itu ada dua sumber tumpahan, yang pertama diketahui pada tanggal 21 Mei
2015 dengan minyak mentah yang tebal sepanjang perairan Teluk Penyu dikatakan oleh
Pertamina bersumber dari pipa bawah laut dari SPM. kemudian dinyatakan lebih lanjut juga
ada sumber tumpahan minyak lain yaitu kapal tanker MT. Martha Petrol. HNSI Cilacap
menilai, akibat kejadian itu nelayan sangat dirugikan.

F. Klasifikasi Kasus Dalam Hukum Perdata Internasional

Bendera kapal diperoleh melalui pendaftaran kapal, pendaftaran kapal pada awalnya
dimaksudkan sebagai alat kontrol kapal yang mengangkut kargo di negara-negara yang
berlayar di laut Eropa (Ship Registration Act, 1992), digunakan untuk memastikan kapal
berbendera negara setempat dengan kru dari negara yang sama. Pendaftaran kapal digunakan
sebagai sebuah dokumen kepemilikan kapal, dan memberikan bukti kebangsaan kapal untuk
tujuan internasional (USCG National Vessel Documentation Center). Pendaftaran kapal
diperlukan untuk semua perjalanan kapal internasional yang melintasi batas negara ( US
Supreme Court Decision in Lauritzen vs. Larsen, 345 US 571). Pendaftaran kapal tidak
diperlukan untuk kapal yang melakukan perjalanan perairan setempat, beberapa pendaftar
memberikan kewarganegaraan kepada kapal-kapal yang didaftarkan di negaranya.
Pendaftaran ini dimaksudkan untuk menentukan negara mana yang mengatur hukum
pengoperasian kapal dan perilaku kru.

Prinsip tentang hubungan antara pemilik kapal dan tanggal bendera kapal disebutkan
dalam Pasal 5 (1) dari Geneva Convention on the High Seas 1958 (diulang dalam Pasal 91
UNCLOS) yang menyatakan bahwa diperlukan, “The state must effectively exercise its
jurisdiction and control in administrative, technical and social matters over ship flying its
flag”. Pada tahun 1986, United nations Conference on Trade and Development berusaha
untuk memantapkan konsep asli pendaftaran kapal dan mengharuskan negara bendera
dihubungkan dengan kapal yang baik dengan memiliki saham ekonomi dalam kepemilikan
kapal atau menyediakan pelaut untuk awak kapal, mulai diberlakukan pada tahun 1986.

Negara bendera kapal komersial merupakan negara yang berada di bawah hukum
kapal tersebut terdaftar atau berlisensi. Negara bendera memiliki wewenang dan tanggung
jawab untuk menegakkan peraturan bagi kapal yang diregister di bawah benderanya (Pasal
94, UNCLOS) termasuk dalam hal yang berkaitan dengan inspeksi, sertifikasi dan penerbitan
keselamatan dan dokumen pencegahan pencemaran. Dalam prakteknya sebuah kapal akan
berlayar dibawah negara benderanya termasuk didalamnya tunduk pada hukum negara
bendera pada saat kapal tersebut terlibat dalam masalah admiralty. Pendaftaran kapal
merupakan sebuah proses dimana kapal didokumentasikan dan diberi kewarganegaraan dari
negara mana kapal didokumentasikan. Kebangsaan kapal memungkinkan kapal untuk
melakukan perjalanan internasional karena bukti kepemilikan dari negara bendera.

G. Tahap Penyelesaian Kasus

Ketua HNSI Cilacap Indon Cahyono menyebutkan, ceceran minyak milik Pertamina
itu, selain membuat nelayan tidak bisa melaut, juga merusak jaring dan juga mengotori
perahu nelayan. Ganti rugi diajukan karena 13.900 nelayan tidak melaut, kerusakan jaring
dan kapal serta perahu yang kotor. Perhitungan kerugian dihitung ribuan nelayan yang tidak
bisa melaut selama 15 hari. Penggantian jaring yang rusak adalah untuk 21.200 buah jaring.
Sementara itu, untuk ongkos membersihkan kapal dari minyak adalah untuk ribuan kapal
duduk, compreng, dan jukung. Tuntutan ganti rugi ini ditujukan ke PT Pertamina RU IV
Cilacap. Surat tuntutan ganti rugi tembusannya dikirim ke sejumlah pihak dari Presiden RI,
beberapa komisi di DPR, Pertamina Pusat sampai ke Pemkab Cilacap. Tuntutan yang
dimintakan adalah membersihkan tumpahan selain menuntut kompensasi, ada tuntutan lain,
yaitu agar Pertamina membersihkan tumpahan minyak baik di permukaan laut maupun di
bawah laut.

Tuntutan ganti rugi pencemaran minyak karena kecelakaan kapal tanker di Indonesia
menunjukkan pola pengajuan penuntutan yang sama. Penuntutan ganti rugi yang dilakukan
menggunakan mekanisme alternative dispute resolution dengan menggunakan metode
negosiasi. Metode tuntutan ganti rugi dengan menggunakan metode di luar pengadilan ini
dipilih karena lebih mudah dilakukan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Mengingat peran laut yang sangat strategis karena sebagian masyarakat


mengandalkan laut sebagai mata pencaharian dan hidupnya, laut perlu mendapat perhatian
utama dalam penegakkan hukumnya terutama dari akibat kerusakan ekosistem karena
pencemaran. Sumber pencemaran laut dapat berasal dari : (1) pencemaran yang disebabkan
atau berasal dari kapal; (2) pencemaran yang berasal oleh instalasi pengeboran minyak; (3)
sumber pencemaran di darat; dan (4) pencemaran melalui udara. ermasalahan pencemaran
minyak karena kecelakaan kapal (tanker) di Indonesia perlu mendapatkan perhatian serius
berkenaan dengan hak menggugat (ius standi), pembuktian yang terkait dengan verifikasi
ilmiah untuk menjelaskan hubungan kausal, penerapan asas ganti kerugian, cakupan dan luas
isu lingkungan untuk menetapkan jumlah ganti rugi, dan kriteria pemulihan lingkungan
terkait dengan sistem kebenaran formil yang dianut dalam sistem penuntutan ganti kerugian
secara perdata (International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969).

B. Saran

Pengaman prinsip kehati-hatian dilakukan melalui kebijakan negara berupa, tindakan


pengawasan dan administratif yaitu ijin berlayar kapal tanker di terirorial Indonesia. Akan
sangat merugikan apabila bendera kapal yang terindikasi flag of convinience dengan
persyaratan mudah dan dibawah standar diijinkan masuk teritori Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Alumni, Jakarta. 1973

_______________. Hukum Antar Golongan Suatu Pengantar. Jakarta. 1977

Priowirjanti, Enni Soerjanti. Pengantar Hukum Perdata Internasional. CV Keni Media.


Bandung. 2020

Purwadi, Ari. Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional. Pusat Pengkajian Hukum dan
Pembangunan (PPHP). Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Surabaya. 2016

Anda mungkin juga menyukai