Anda di halaman 1dari 21

BAB II

LANDASAN TEORI
A. Konsep Gender
Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk
menjelaskan mana perbedaan perempuan dan lakilaki yang bersifat bawaan
sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan tuntutan budaya yang
dikonstruksikan, dipelajari dan disosialisasikan.
Pembedaan itu sangat penting, karena selama ini kita sering kali
mencampur-adukkan ciriciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah
dengan ciriciri manusia yang bersifat non kodrat (gender) yang sebenarnya
bisa berubahubah atau diubah.
Pembedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan
kembali tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat
pada perempuan dan laki- laki. Perbedaan gender dikenal sebagai sesuatu
yang tidak tetap, tidak permanen, memudahkan kita untuk membangun
gambaran tentang realitas relasi perempuan dan lakilaki yang dinamis yang
lebih tepat dan cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Di lain pihak, alat analisis sosial yang telah ada seperti analisis kelas,
analisis diskursus (discourse analysis)dan analisis kebudayaan yang selama ini
digunakan untuk memahami realitas sosial tidak dapat menangkap realitas
adanya relasi kekuasaan yang didasarkan pada relasi gender dan sangat
berpotensi menumbuhkan penindasan. Dengan begitu analisis gender
sebenarnya menggenapi sekaligus mengkoreksi alat analisis sosial yang ada
12

yang dapat digunakan untuk meneropong realitas relasi sosial lelaki dan
perempuan serta akibat akibat yang ditimbulkannya.
Jadi jelaslah mengapa gender perlu dipersoalkan. Perbedaan konsep
gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan lakilaki alam masyarakat. Secara umum adanya gender telah melahirkan
perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana
manusia berakt ifitas.
Sedemikian rupanya perbedaan gender itu melekat pada cara pandang
masyarakat, sehingga masyarakat sering lupa seakanakan hal itu merupakan
sesuatu yang permanen dan abadi sebagaimana permanen dan abadinya ciri
ciri bio logis yang dimiliki oleh perempuan dan lakilaki.
Secara sederhana perbedaan gender telah melahirkan pembedaan peran.
Sifat dan fungsi yang berpola sebagai berikut :

Konstruksi biologis dari ciri primer, skunder, maskulin, feminim.

Konstruksi sosial dari peran citra baku (stereotype).

Konsruksi agama dari keyakinan kitab suci agama.


Anggapan bahwa sikap perempuan feminim dan lakilaki maskulin

bukanlah sesuatu yang mutlak, semutlak kepemilikan manusia atas jenis


kelamin biologisnya.
Dengan demikian gender adalah perbedaan peran lakilaki dan
perempuan yang dibentuk, dibuat dan dikonstruksi oleh masyarakat dan dapat
berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Untuk memahami konsep
gender, harus dibedakan antara kata gender dengan kata sex. Sex adalah
13

perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis, yang secara fisik
melekat pada masingmasing jenis kelamin, laki laki dan perempuan.
Perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan, sehingga
sifatnya permanen dan universal. Dalam memahami konsep gender ada
beberapa hal yang perlu difahami, antara lain :
a. Ketidak-adilan dan diskriminasi gender
Ketidak-adilan dan diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil
akibat dari sistem dan struktur sosial dimana baik perempuan maupun
lakilaki menjadi korban dari sistem tersebut. Berbagai pembedaan peran
dan kedudukan antara perempuan dan lakilaki baik secara langsung yang
berupa perlakuan maupun sikap dan yang tidak langsung berupa dampak
suatu

peraturan

perundangundangan

maupun

kebijakan

telah

menimbulkan berbagai ketidak-adilan yang berakar dalam sejarah, adat,


norma, ataupun dalam berbagai struktur yang ada dalam masyarakat.
Ketidak-adilan gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran
yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk
yang bukan hanya menimpa perempuan saja tetapi juga dialami oleh laki
laki. Meskipun secara agregat ketidak-adilan gender dalam berbagai
kehidupan ini lebih banyak dialami oleh perempuan, namun hal itu
berdampak pula terhadap laki laki.
Bentuk bentuk ketidak-adilan akibat diskriminasi itu meliputi :

Marginalisasi

(peminggiran/pemiskinan)

perempuan

yang

mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat di


14

Negara berkembang seperti penggusuran dari kampung halaman,


eksploitasi, banyak perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat
dari program pembangunan seperti intensifikasi pertanian yang hanya
memfokuskan pada petani laki laki.

Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis


kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis
kelamin lainnya. Ada pandangan yang menempatkan kedudukan
perempuan lebih rendah daripada laki laki.

Stereotype merupakan pelabelan atau penandaan yang sering kali


bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidak-adilan pada
salah satu jenis kelamin tertentu.

Kekerasan (violence), artinya suatu serangan fisik maupu n serangan


non fisik yang dialami perempuan maupun laki laki sehingga yang
mengalami akan terusik batinnya.

Beban kerja (double burden) yaitu sebagai suatu bentuk diskriminasi


dan ketidak-adilan gender dimana beberapa beban kegiatan diemban
lebih banyak oleh salah satu jenis kelamin.

b. Kesetaraan gender
Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi dimana porsi dan
siklus sosial perempuan dan lakilaki setara, seimbang dan harmonis.
Kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara
perempuan dan lakilaki. Penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus

15

memperhatikan masalah kontekstual dan situasional, bukan berdasarkan


perhitungan secara sistematis dan tidak bersifat universal.
c. Sistem Patriarkhi
Sistem patriarkhi merupakan sebuah sistem sosial dimana dalam tata
kekeluargaan sang ayah menguasai semua anggota keluarganya, semua
harta milik dan sumbersumber ekonomi, dan dalam membuat keputusan
penting.

Dewasa

ini

sistem

sosial

yang

patriarkhis

mengalami

perkembangan dalam hal lingkup institusi sosialnya, diantaranya lembaga


perkawinan, institusi ketenagakerjaan, dan sebagainya. Pengertiannya pun
berkembang dari hukum ayah ke hukum suami, hukum lakilaki secara
umum pada hampir semua institusi sosial, politik, ekonomi.
B. Pengertian Gender
Dalam penelitian ini, teori yang akan digunakan adalah gender sebagai
suatu disiplin yang membaca karya sastra berdasarkan sudut pandang
perempuan. Fakih (2007: 8) mengatakan konsep gender merupakan suatu
sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruki
secara sosial maupun kultural. Nugroho (2008: 1-2) mengatakan kata gender
berasal dari bahasa Inggris, yaitu gender, istilah ini pertama kali
dipopulerkan oleh Robert Stoller (1968). Adapun menurut Mundaris (2009:
236)

mengatakan

bahwa

gender

secara

umum

digunakan

untuk

mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya.


Dengan demikian, gender adalah pembedaan antara laki-laki dan perempuan
yang didasarkan pada konstruk sosial dan budaya, bukan secara biologis.
16

Pembedaan antara laki-laki dan perempuan dikaitkan dengan kekuatan yang


melekat, misal perempuan identik dengan kelembutan dan laki-laki identik
dengan keperkasaan. Kondisi ini menyebabkan adanya ketidakadilan
perlakuan antara perempuan dan laki-laki.
Perempuan yang berada pada wilayah domestik dan laki-laki bekerja di
luar rumah terjadi karena adanya konstruk dari masyarakat sehingga wacana
itu menjadi hal yang wajar. Laki-laki dengan sifat maskulin yang melekat di
tubuhnya terus mewacanakan sebagai diri yang kuat sehingga layak untuk
berada di luar. Sementara itu, perempuan dengan feminim yang melekat
dicitrakan sebagai pribadi yang hanya mampu berada di dapur, kamar, dan
sumur. Dengan kata lain, perempuan cukup berada di rumah saja dengan
melakukan pekerjaan yang ringan seperti memasak dan mencuci. Padahal
perempuan juga membutuhkan aktualisasi diri dalam masyarakat tempat ia
tinggal, bukan sebagai individu yang menjalankan fungsinya dalam lingkup
rumah tangga saja. Akan tetapi, lebih dari itu perempuan memerlukan sarana
dalam pergaulan sosial tetapi memperhitungkan adanya perbedaan seperti
agama, ras, etnis, dan sebagainya. Peran tersebut tidak dapat dilaksanakan
karena sudah terlebih dahulu dilakukan oleh pihak laki-laki (Sugihastuti dan
Saptiawan, 2007: 84).
Dalam sudut pandang gender, perempuan dikatakan sebagai orang yang
lemah dan tidak dapat merombak struktur yang telah dikonstruk oleh laki-laki.
Semua aturan-aturan yang telah dibuat oleh laki-laki selalu dituruti oleh
perempuan. Perempuan menerima semua aturan-aturan yang telah diterapkan
17

tersebut. Hal seperti itu memberikan dampak marginal bagi seorang


perempuan karena tidak dapat memunculkan kreativitas dan potensi kekuatan
yang lain.
Menurut Sugihastuti dan Saptiawan (2007: 82) perempuan memiliki
ketergantungan kepada laki-laki. Oleh karena itu, laki-laki memiliki
kekuasaan untuk mengontrol perempuan dalam berbagai hal seperti
reproduksi, seksualitas, sistem pembagian kerja, dan sebagainya. Konstruk
sosial yang membedakan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan
sebenarnya juga telah dimunculkan sejak kecil. Nugroho (2008: 21)
mengatakan identitas gender ini mulai berkembang pada saat bayi
berinteraksi dengan orang-orang tertentu yang berada di sekitarnya, baik ayah,
ibu, maupun pengasuh. Perilaku orang dewasa dalam berinteraksi dengan
seorang bayi secara tidak disadari sepenuhnya akan mempengaruhi pemikiran
dan perilaku yang akan menjadi pola di dalam hidupnya. Bayi perempuan
sudah diarahkan untuk menyukai boneka, sedangkan bayi laki-laki sudah
diarahkan untuk menyukai mobil-mobilan. Pola hidup ini akan mendorang
inisiatif dan kecenderungan seseorang untuk melakukan perilaku-perilaku
yang tidak jauh berbeda.
Pola seorang perempuan yang sudah diarahkan dari bermain boneka,
rumah-rumahan, dan masak-masakan akan mendorong dirinya untuk hidup di
dalam rumah saja. Pembedaan antara laki-laki dan perempuan dapat juga
muncul melalui etika. Perempuan yang memiliki sifat seperti laki-laki akan
dianggap tidak selaras dengan etika. Cara duduk perempuan yang bersila
18

dianggap tidak etis karena tidak sesuai dengan perilaku perempuan pada
umumnya. Bersila menjadi cara duduk laki-laki dalam kesehariannya.
Perempuan yang melanggar etika akan dianggap sebagai perempuan yang
memiliki tingkah laku yang buruk dan dilecehkan dalam pergaulannya. Dalam
praktik keseharian, pembedaan antara laki-laki dan perempuan sering memicu
adanya ketidakadilan kepada perempuan melalui bentuk kekerasan (violence).
Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa perempuan
karena kekuasaan laki-laki yang sangat dominan. Perempuan yang dianggap
sebagai makhluk yang lemah sering menjadi objek kekerasan oleh laki-laki.
Laki-laki yang mengalami frustasi dengan lingkungan kerja di luar
menjadi mudah melampiaskan kemarahan pada istri. Selain kasus di dalam
rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan juga terjadi di mana-mana.
Perempuan menjadi target dari para penjahat untuk melakukan modus operasi
seperti kasus pencopetan di keramaian sering menimpa perempuan, kasus
perampokan terhadap keluarga yang ditinggal ayah bekerja, maupun kasus
pemerkosaan terhadap perempuan yang lewat tempat sepi di malam hari.
Dengan adanya seperti kasus di atas, kaum perempuan yang terkalahkan
dengan laki-laki sebab perempuan tidak dapat melawannya.
C. Dominasi Laki-laki
Simon (2004: 19-21) mengatakan istilah dominasi banyak disebut oleh
Antonio Gramsci. Namun, arti dari kata dominasi tersebut berbeda dengan
arti dari kata hegemoni. Jika hegemoni merupakan suatu persetujuan untuk

19

memimpin secara politik dan ideologis, namun dominasi itu mengarah pada
satu kekuasaan yang diterima dengan adanya pengaruh suatu kekuatan.
McClelland (dalam Sugihastuti dan Saptiawan, 2007: 280) mengatakan
kemunculan kekuasaan laki-laki salah satunya berakar pada anggapan bahwa
laki-laki adalah manusia yang besar, kuat, keras, dan berat, sedangkan
perempuan merupakan manusia yang kecil, lemah, lembut, dan ringan.
Sebagai pihak yang lebih kuat, laki-laki dengan demikian dianggap sebagai
pihak yang lebih berkuasa dibandingkan dengan perempuan. Kekuasaan yang
dimiliki

tersebut

membuat

laki-laki

cenderung

memandang

rendah

perempuan. Munculnya dominasi terkait juga dengan sumber kekuasaan.


Menurut Haris (2006: 35-37) bahwa sumber kekuasaan itu terjadi melalui
pemerintahan

sebagai

perkumpulan

individu

(pemerintahan),

adanya

hubungan individu dengan individu (keluarga), politisasi sebuah aturan


(politik), serta karena sebuah pengetahuan yang dipercaya oleh masyarakat
(mitos).
a. Pusat Pemerintahan sebagai Perkumpulan Individu (Pemerintahan)
Dominasi laki-laki dapat dilihat di dalam suatu pemerintahan, yang
memiliki kedudukan lebih tinggi yakni laki-laki. Kekuatan laki-laki yang
dianggap mampu melindungi sehingga menjadi diandalkan untuk menjadi
pemimpin. Potensi kekuatan laki-laki ini tidak dimiliki oleh perempuan
sehingga dalam banyak peristiwa, perempuan sering dianggap tidak layak
memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Laki-laki dengan kekuatan fisik dan
rasionya dapat menguasai perempuan. Kemampuan laki-laki dengan
tenaga yang lebih kuat daripada perempuan membuat dirinya dapat lebih
20

unggul sehingga dijadikan pemimpin dalam suatu pemerintahan. Selain


itu, laki-laki juga memiliki rasio (sebagai kekuatan) yang sering digunakan
untuk menipu dan memperdaya perempuan untuk selalu tunduk di dalam
suatu pemerintahan. Sementara itu, perempuan hanya memiliki rasa
yang membuatnya sabar dan menerima perlakuan dari laki-laki atas
kekuatan yang dimilikinya. Perempuan dengan mengedepankan rasa tidak
berdaya menghadapi kekuatan laki-laki. Dalam keseharian, banyak lakilaki yang lebih memilih melakukan kekerasan agar perintahnya dituruti
oleh perempuan. Dengan demikian, dominasi laki-laki atas perempuan
adalah suatu kekuatan laki-laki yang ditunjukkan pada perempuan untuk
menjadikan beberapa keinginan terwujud.
b. Hubungan Individu dengan Individu (Keluarga)
Dominannya laki-laki dalam suatu masyarakat dapat dilihat juga pada
silsilah keluarga. Dalam hal ini, garis keturunan berdasarkan laki-laki
digunakan sebagai pemerjelas status sosial seseorang di masyarakat,
sementara perempuan hanya mengikuti laki-laki saja. Laki-laki menempati
penentuan garis keturunan yang menjadikannya terus berkuasa dalam
tataran keluarga. Kondisi ini akan menguntungkan laki-laki tetap aktif dan
memainkan peran dan fungsinya sebagai pemegang kekuasaan di dalam
keluarga.
Memang, pembagian kerja perempuan berada pada wilayah domestik dan
laki-laki di luar semula dilatarbelakangi oleh peperangan, yang mana
perempuan lebih banyak menjadi kurban ketika dia mengangkat senjata
21

menjadikan perempuan lebih ditempatkan di wilayah domestik. Akan


tetapi, alasan tersebut hanyalah alasan secara umum saja, yang memilih
dan menjadikan perempuan cukup berada pada wilayah domestik.
Dalam pembagian kerja antara seorang perempuan dan laki-laki juga
berbeda. Tidak semua pekerjaan laki-laki diberikan kepada seorang
perempuan. Oleh karena itu, peran antara laki-laki dan perempuan dalam
pembagian kerja berkaitan dengan kesepakatan antara pantas atau tidaknya
seorang perempuan menempati posisi itu. Perempuan yang banyak
beraktivitas di luar sebagai pekerja kasar dianggap tidak pantas karena
tidak sesuai dengan citra feminim yang dimilikinya. Bentuk penekanan
(kekerasan) sering terjadi pada hubungan keluarga dengan istri sebagai
kurbannya. Laki-laki telah terbiasa melakukan aktivitas berat di luar
berusaha menunjukkan keperkasaan melalui kekerasan. Dominasi
biasanya dilakukan dengan kekerasan untuk menunjukkan suatu kekuatan
yang lebih unggul daripada yang lainnya. Kekerasan ini berjalan dengan
paksa dan selalunya menindas untuk melakukan penguasaan. Menurut
Mathahhari (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2002: 253) penindasan
tersebut lebih ditujukan kepada seorang perempuan.
c. Politisasi Pembagian Kerja (Politik)
Politik terkait dengan cara laki-laki untuk untuk memarginalkan
perempuan. Dalam hal ini, laki-laki memiliki berberapa strategi untuk
melakukan pembagian peran sehingga dapat menempatkan perempuan
berada dalam ketertindasan. Politik laki-laki dilakukan dengan cara
22

membuat pembagian kerja sehingga dapat dengan mudah untuk


mengondisikan keadaan perempuan. Adapun praktik dari laki-laki dalam
menempatkan perempuan untuk termarginal selalu disertai dengan adanya
kekerasan agar perempuan benar-benar tunduk kepada laki-laki. Penentuan
dari kebijakan-kebijakan selalu dipenuhi dengan kepentingan laki-laki
untuk menundukkan perempuan. Kepentingan-kepentingan itu biasanya
bersifat pribadi, bahkan hanya nafsu dari laki-laki. Namun, karena lakilaki pandai dalam memunculkan kekuatan, dan pernyataan sehingga dia
ditaati dan dipatuhi oleh perempuan.
d. Pengetahuan yang Dipercaya Masyarakat (Mitos)
Adapun bentuk wacana hadir melalui seperangkat moral, etika dan aturan
yang ditransformasikan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan bersama.
Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan mengenai hal yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan etika, dan kebiasaankebiasaan. Biasanya pengetahuan itu muncul melalui mitos yang dipercaya
sebagai asal-usul suatu tempat. Mitos diyakini sepenuh hati sebagai
pembentuk moral, etika dan aturan dalam kepercayaan bersama. Alasanalasan tersebut merupakan wacana yang terus dipercaya oleh masyarakat.
Dari adanya sumber kekuasaan di atas disebabkan oleh struktur
masyarakat patriarkhi yang memiliki beberapa asumsi dasar.
Pertama, manusia pertama adalah laki-laki, dan perempuan diciptakan
darinya sehingga ia adalah makhluk sekunder.

23

Kedua, walaupun perempuan adalah makhluk kedua dalam proses


penciptaan, ia adalah makhluk penggoda Adam sehingga akhirnya terusir
dari surga.
Ketiga, hidup seorang perempuan bukan saja dari laki-laki, tetapi juga
untuk laki-laki.
Asumsi ketiga ini berimplikasi pada munculnya anggapan bahwa
perempuan tidak mempunyai hak untuk mendefinisikan status, hak dan
martabatnya, kecuali apa yang telah disediakan kaum laki-laki untuknya.
Kehadiran perempuan di dunia ini bersifat instrumental bagi kepentingan
laki-laki bukan fundamental (Mundaris, 2009: 35). Dengan mengacu pada
asumsi tersebut, telah jelas bahwa adanya kekuasaan yang dimiliki oleh
laki-laki, yang menjadikan perempuan tidak berdaya dan menempati posisi
pinggir untuk berpendapat, beraktivitas, dan untuk mendapatkan hak-hak
sejajar.
D. Marginalisasi Perempuan
Marginalisasi perempuan adalah suatu proses pemiskinan (peminggiran)
atas satu jenis kelamin perempuan disebabkan oleh perbedaan gender (Rini,
Ketertindasan Perempuan: 2002). Adanya pemisahan antara laki-laki dan
perempuan telah menyebabkan adanya marginalisasi terhadap perempuan.
Ada batas-batas tersendiri yang selalu diidentikkan dengan perempuan
sehingga posisi perempuan menjadi terpinggir. Marginalisasi terhadap
perempuan ini menjadikan perempuan tidak lagi mendapatkan hak-haknya,
sebagaimana laki-laki dalam struktur sosial (Brooks, 2010: xv). Dengan kata
24

lain, perempuan menjadi kehilangan eksistensinya dari waktu ke waktu karena


adanya dominasi laki-laki.
Menurut Fakih (2007: 15), marginalisasi kaum perempuan tidak saja
terjadi di tempat pekerjaan, juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau
kultur dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi
sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang
laki-laki dan perempuan. Bentuk marginalisasi yang paling dominan terjadi
terhadap kaum perempuan yang disebabkan oleh gender, yakni dalam bentuk
marginalisasi

perempuan

yang

disebabkan

oleh

gender

inequalities

(ketidakadilan gender) dan gender differences (perbedaan gender) (Nugroho,


2008: 10). Alasan ketidakmampuan perempuan dalam melakukan aktivitas
berat selalu dijadikan cara untuk menempatkan perempuan berada pada
wilayah domestik: suatu wilayah yang jarang disoroti oleh publik. Perempuan
yang dianggap tidak memiliki kemampuan bertarung di dunia kerja cukup
berada di wilayah domestik dengan melakukan pekerjaan yang ringan saja.
Dengan adanya pemarginalisasian tersebut, maka perempuan menjadi
tidak berkembang, baik secara wawasan, pengetahuan, maupun kemampuan
yang dimilikinya karena berkutat pada wilayah domestik saja, apalagi bagi
perempuan yang miskin yang pada akhirnya ia menjadi pembantu rumah
tangga (domestic workers) sehingga memikul beban kerja ganda. Sebenarnya,
kaum perempuan ini merupakan kurban dari bias gender di masyarakat.
Sayangnya pekerjaan domestik yang sebenarnya berat untuk dijalankan setiap
hari oleh seorang perempuan, dianggap oleh kaum laki-laki sebagai pekerjaan
25

yang rendah dan tidak menguntungkan. Dengan ini jelas bahwa laki-laki
berada pada wilayah publik, yang menyebabkan perempuan selalu berada
pada wilayah inferior di bawah kekuasaan laki-laki. Dalam sisi yang lain,
perempuan dalam sudut pandang laki-laki diharuskan memiliki kelembutan,
dan kecantikan. Identitas tersebut merupakan suatu keidentikan tersendiri bagi
perempuan untuk diakui eksistensinya oleh laki-laki sehingga dirinya akan
dihargai.
E. Citra Perempuan
Penciptaan realitas menggunakan satu model produksi yang oleh
Baudrillard (Piliang, 1998 : 228) disebutnya dengan simulasi, yaitu penciptaan
modelmodel yang tanpa asal usul atau realitas awal. Hal ini olehnya disebut
hyper reality.
Melalui model simulasi, manusia dijebak di dalam suatu ruang, yang
disadarinya sebagai nyata, meskipun sesungguhnya semu, maya atau khayalan
belaka. Menurut Piliang, (1998 : 228) ruang realitas semu itu dapat
digambarkan melalui analogi peta. Bila di dalam suatu ruang nyata, sebuah
peta merupakan representase dari sebuah teritorial, maka di dalam model
simulasi petalah yang mendahului teritorial. Realitas (teritorial) sosial,
kebudayaan atau politik kini dibangun berdasarkan modelmodel (peta)
fantasi yang ditawarkan televisi, iklan, bintangbintang layar perak, sinetron
atau tokohtokoh kartun. Semua itu kemudian menjadi model dalam berbagai
citra, nilainilai dan maknamakna dalam kehidupan sosial, kebudayaan atau
politik. (Burhan Bungin : 2008 ).
26

Pada beberapa iklan yang menonjol dalam pencitraan, diperoleh


beberapa ketegorisasi penggunaan pencitraan dalam iklan televisi, sebagai
berikut :
Pertama, Citra Perempuan. Seperti yang dijelaskan oleh Tomagola (1998 :
333 _ 334), citra perempuan ini tergambarkan sebagai citra pigura, citra pilar,
citra pinggan, dan citra pergaulan. Walaupun citra semacam ini ditemukan
dalam iklan iklan media cetak, namun citra perempuan yang dijelaskan oleh
Tomagola ini juga terdapat pada iklan televisi. Dalam banyak iklan terjadi
penekanan terhadap pentingnya perempuan untuk selalu tampil memikat
dengan mempertegas sifat perempuannya secara biologis, seperti memiliki
waktu menstruasi, memiliki rambut hitam dan panjang dan sebagainya. Citra
pilar dalam pencitraan perempuan, ketika perempuan digambarkan sebagai
tulang punggung keluarga. Perempuan sederajat dengan laki laki, namun
karena sifatnya berbeda dengan lakilaki maka perempuan digambarkan
memiliki tanggung jawab yang besar terhadap rumah tangga. Secara luas,
perempuan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap persoalan domestik.
Ruang domestik perempuan digambarkan dengan tiga hal utama, (1) keapikan
fisik dari rumah suaminya, (2) pengelola sumber daya rumah tangga, sebagai
istri dan ibu yang baik dan bijaksana, dan (3) ibu sebagai guru dari sumber
legitimasi bagi anakanaknya. Perempuan, dalam iklan televisi juga memiliki
citra pinggan, yaitu tidak bisa melepaskan diri dari dapur karena dapur adalah
dunia perempuan. Terakhir, perempuan digambarkan memiliki citra pergaulan.
Citra ini ditandai dengan pergulatan perempuan untuk masuk ke dalam kelas
27

kelas tertentu yang lebih tinggi di masyarakatnya, perempuan dilambangkan


sebagai makhluk yang anggun, menawan. Pencitraan perempuan seperti diatas
tidak sekedar dilihat sebagai objek, namun juga dilihat sebagai subjek
pergaulan perempuan dalam menempatkan dirinya dalam realitas sosial,
walaupun tidak jarang perempuan lupa bahwa mereka telah masuk dalam
dunia hiper-realitik, yaitu sebuah dunia yang hanya ada dalam media yaitu
dunia realistis yang dikonstruksi oleh media ilan televisi.
Kedua,citra maskulin. Digambarkan sebagai kekuatan otot lakilaki yang
menjadi dambaan wanita atau dicitrakan sebagai makhluk yang tangkas,
berani, menantang maut. Mereka adalah lelaki berwibawa, macho dan sensitif.
Citra maskulin adalah stereotype lakilaki dalam realitas sosial nyata. Untuk
mengambarkan realitas tersebut, maka iklan memproduksinya ke dalam
realitas media, tanpa memandang bahwa yang digambarkan itu sesuatu yang
real atau sekedar memproduksi realitas itu dalam realitas media yang penuh
kepalsuan.
Ketiga, citra kemewahan dan eksklusif. Kemewahan dan eksklusif adalah
realitas yang diidamkan oleh banyak orang dalam kehidupan masyarakat.
Banyak orang bekerja keras, berjuang hidup untuk memperoleh realitas
kemewahan dan eksklusif.
Keempat, citra kelas sosial. Individu juga mendambakan hidup dalam kelas
sosial yang lebih baik, kelas yang dihormati banyak orang. Dalam realitas
sosial nyata, selain kemewahan, rasa ingin masuk ke dalam kelas sosial yang
lebih baik, merupakan realitas yang didambakan banyak orang. Individu
28

remaja dan perempuan lebih menyukai pencitraan ini. Dalam pencitraan kelas
sosial dalam iklan televisi, kehidupan kelas sosial atas menjadi acuan dan
digambarkan sebagai kehidupan yang bergengsi, modern, identik dengan
diskotik, pesta pora dan penuh dengan hiruk-pikuk musik, atau kelompok
masyarakat yang dekat dengan belanja di Mall, makan di Caf, dan
sebagainya.
Kelima, citra kenikmatan. Kenikmatan adalah bagian terbesar dari dunia
kemewahan dan kelas sosial yang tinggi. Dalam iklan televisi kenikmatan
dapat memindahkan seseorang dari kelas sosial tertentu ke kelas sosial yang
ada diatasnya. Kenikmatan dalam realitas seharihari adalah realitas yang
didambakan setiap orang tanpa memandang kelas sosial mereka.
Keenam, citra manfaat. Umumnya orang mempertimbangkan faktor manfaat
sebagai hal utama dalam sikap memilih, karena itu manfaat menjadi nilai
dalam keputusan seseorang. Umpamanya untuk memperkuat keputusan
pembelian maka perlu memasukkan citra manfaat dalam sebuah iklan. Citra
manfaat itu penting untuk memasukkan terhadap keputusan membeli atau
tidak sebuah produk. Selain itu juga dapat memberikan penilaian lebih positif
terhadap suatu produk sehingga dapat menciptakan kebutuhan orang terhadap
objek iklan padahal sebelumnya ia tidak membutuhkan produk tersebut.
Ketujuh, citra persahabatan. Iklan televisi juga melakukan pencitraan terhadap
persahabatan ditampilkan dalam sebuah iklan sebagai jalan keluar terhadap
banyaknya problem rendah diri yang terjadi di kalangan remaja (umumnya
remaja perempua n) terutama yang bersumber dari diri remaja itu sendiri. Di
29

sisi lain dorongan lain ingin memperbanyak persabahatan dalam iklan menjadi
sangat strategis untuk solusi pemirsa.
Kedelapan, citra seksisme dan seksualitas. Beberapa iklan memberi kesan
yang jelas bahwa ada kecendrungan seksisme dalam masyarakat. Bahkan
seksisme yang dipertunjukan itu ke arah anggapan yang merendahkan kaum
wanita. Dalam realitas seharihari seksisme dan seksualitas merupakan hal
yang amat menarik dibicarakan, karena hal ini menjadi bagian kehidupan
individu yang disembunyikan atau bahkan tabu diungkapka n, namun menjadi
bagian yang dominan dalam ruang publik. Kondisi ini menjadikan seksisme
dan seksualitas itu mencitrakan perempuan sebagai menjadi menarik untuk
tampil di depan publik. Baudrillard melihat bahwa taraf produksi image
tersebut telah membawa perubahan masyarakat secara kualitatif yang di
dalamnya perbedaan antara realitas dan image menjadi kabur, kehidupan
sehari-hari mengalami estetisikasi. Ruang dan waktu merupakan dunia
simulasional atau dia sebut dengan budaya post modern. Dalam wacana ini
fungsi periklanan telah bergeser dari penekanan rasionalitas terhadap
kepuasan fungsional menjadi penekanan atas keikutsertaan kemampuan
audiens dalam menciptakan tampakan-tampakan luar dari makna melalui
manipulasi ikatan dan pemunculan yang pada akhirnya menjadi ciri yang
konstan dari modernitas akhir. Dalam abad gaya hidup, penampilan diri itu
justru mengalami estetisisasi, estetisisasi kehidupan sehari-hari. Dalam
ungkapan Chaney, penampakan luar menjadi salah satu situs yang penting
bagi gaya hidup. Hal-hal permukaan akan menjadi lebih penting daripada
30

substansi. Gaya dan desain menjadi lebih penting daripada fungsi. Gaya
mengga ntikan substansi. Kulit akan mengalahkan isi. Pemasaran penampakan
luar, penampilan, hal-hal yang bersifat permukaan atau kulit akan menjadi
bisnis besar gaya hidup. Dalam penelitian ini, konsep penampakan luar yang
dipaparkan merupakan sebuah konsep penampilan.
F. Kerangka Konseptual
Produktivitas kerja yang tinggi merupakan salah satu tujuan yang ingin
dicapai oleh organisasi, tercapai atau tidaknya tujuan organisasi itu tergantung
dari sumber daya manusia yang ada pada organisasi itu. Organisasi yang
produktif adalah organisasi yang memiliki produktivitas kerja yang tinggi.
Meningkatkan produktivitas melalui orang berarti menciptakan iklim
kebersamaan dalam organisasi.
Produktivitas kerja pegawai negeri sipil dapat dilihat dari output yang
dihasilkan dari pelaksanaan tugas dan beban kerja serta tanggungjawab
organisasi atau instansi. Dalam pelaksanaan tugas administrasi tidak
membedakan gender, namun demikian perlu diuji kebenaran dan kesahihan
sebuah fenomena pragmatis tersebut apakah sesuai dengan kenyataan. Untuk
itu diperlukan analisis kebenaran dari fenomena tersebut, selanjutnya hasil
analisis dapat dijadikan rekomendasi kepada instansinya.
Berdasarkan permasalahan dan landasan teoritis yang telah dikemukakan,
maka kerangka pemikiran yang dirancang untuk mendukung penelitian ini,
yang terlihat pada gambar 2.1.
Gambar .2.1
31

Kerangka Pemikiran teoritis


BADAN LINGKUNGAN HIDUP
KABUPATEN JAYAPURAPAPUA
PELAKSANAAN TUGAS KEDINASAN

Laki-laki

Perempuan

ANALISIS
Rekomendasi
Sumber: Modifikasi penulis berdasarkan Teori (Nugroho, 2008: 10)
G. Variabel dan Indikator
Dalam penelitian ini variabel gender yang digunakan adalah variabel
hanya laki-laki dan variabel perempuan. Sedangkan Indikator yang digunakan
untuk menganalisis adalah prosentase keterlibatan kaum perempuan dalam
penyelesaian tugas di Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura.
H. Hipotesis
H1. Diduga perkembangan jumlah pegawai berdasarkan gender di Badan
Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura menunjukkan kemajuan.
H2. Diduga keterlibatan pegawai perempuan dalam pelaksanaan tugas sudah
sangat baik

32

Anda mungkin juga menyukai