Anda di halaman 1dari 16

PENDEKATAN GURU DAN PESERTA DIDIK MELALUI DELIBERATIVE

COMMUNICATION DENGAN CLU SEBAGAI OPTIMALISASI FUNGSI SKS


UNTUK MEWUJUDKAN SEKOLAH YANG AMAN DAN NYAMAN BAGI
PESERTA DIDIK

Diajukan Dalam
Simposium Guru dan Tenaga Kependidikan 2016
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK)
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Oleh :
Nama
NIY
Asal Sekolah

:
:
:

Rio Adie Krisna P., S.Pd


38.07.15.014
SMK Kesehatan Citra Medika Sukoharjo

DIREKTORAT JENDERAL PEMBINAAN GURU DAN TENAGA


KEPENDIDIKAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
2016

PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama
NIY
Jabatan
Asal Sekolah
Judul Karya Tulis

:
:
:
:
:

Rio Adie Krisna Putra, S.Pd


38.07.15.014
Guru Fisika
SMK Kesehatan Citra Medika Sukoharjo
Pendekatan Guru dan Peserta Didik melalui Deliberative
Communication dengan CLU sebagai Optimalisasi Fungsi
SKS untuk Mewujudkan Sekolah yang Aman dan Nyaman
bagi Peserta Didik

Menyatakan bahwa karya ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri. Selain itu,
sumber informasi yang dikutip dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan laporan penelitian ini adalah hasil
jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya.
Surakarta, 15 Oktober 2016
Mengetahui,
Kepala Sekolah

Yang membuat pernyataan

H. Supardi, S.Pd.I, M.Pd


NIY. 38.06.14.004

Rio Adie Krisna Putra, S.Pd


NIY. 38.07.15.014

PENDEKATAN GURU DAN PESERTA DIDIK MELALUI DELIBERATIVE


COMMUNICATION DENGAN CLU SEBAGAI
OPTIMALISASI FUNGSI SKS UNTUK MEWUJUDKAN SEKOLAH VOKASI
YANG AMAN DAN NYAMAN

Rio Adie Krisna Putra, S.Pd


SMK Kesehatan Citra Medika Sukoharjo
Email : rioakp@gmail.com

PENGANTAR
Sekolah merupakan satuan pendidikan tempat dimana proses interaksi peserta didik
dengan guru dan sumber belajar pada suatu interaksi di lingkungan belajar berlangsung.
Interaksi tersebut dapat dilihat dari sisi formal dan sisi non formal. Sisi formal terjadi pada
saat guru mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik (UU No. 14 : 2015). Implementasi aktivitas tersebut terjadi
pada saat guru mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik. Pada sisi non formal, tugas guru adalah membantu peserta
didik untuk mendapatkan nilai-nilai moral dan sosial di luar kegiatan formal, seperti
menanamkan kepribadian dan serta membantu dalam pembentukan karakter peserta didik
dalam kegiatan melalui praktek kerja di dunia industri.
Secara teoritis, interaksi guru dengan peserta didik mudah terlihat dan terpaparkan.
Namun, hal tersebut menjadi sesuatu yang tidak semestinya mudah diterima begitu saja.
Sesungguhnya, interaksi guru dengan peserta didik tidak seharmonis dan semudah yang
dibayangkan. Selalu ada konflik yang mewarnai interaksi guru dengan peserta didik.
Contoh terkecil adalah ketidakpuasan peserta didik terhadap guru yang tidak jelas dalam
mentransfer ilmu, kurangnya transparansi dalam pemberian nilai, penerapan disiplin yang
berlebihan hingga penentangan secara sporadis atas kebijakan yang diterapkan oleh
institusi atas nama guru yang menjabat struktural. Konflik tersebut tidak terselesaikan
karena masing-masing pihak mempunyai keyakinan akan kebenaran masing-masing. Guru
bersembunyi di balik aturan dan ketidakmampuan dalam penguasaan teknologi informasi.
Sementara peserta didik berpedoman pada kebebasan dan hak mereka atas pelayanan yang
seharusnya diterima. Konflik yang tidak terselesaikan inilah yang kadang menimbulkan
apatisme pada diri peserta didik dan guru dalam berinteraksi. Bila dibiarkan, maka
fenomena tersebut tentunya akan mengganggu keberjalanan sistem pembelajaran dan
pendidikan sehingga berdampak pada hasil pembelajaran yang kedepannya menjadi tujuan
pendidikan.

Konflik-konflik di atas terjadi karena ada guru yang melakukan interaksi dengan
peserta didik baik secara formal dan non formal masih menggunakan pendekatan yang
melihat mereka seperti anak-anak pada jenjang pendidikan SMP maupun SD. Padahal,
peserta didik usia SMK memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak-anak jenjang
lain. Selain kurangnya pendekatan yang dilakukan guru dalam berinteraksi dengan peserta
didik, faktor lain adalah terabaikannya pertimbangan moral dan perkembangan teknologi
informasi oleh masing-masing pihak. Guru kadang melaksanakan tugas dan fungsinya
sesuai dengan keinginan sendiri (ego) atau keinginan sekolah yang diterjemahkan secara
kaku, sementara peserta didik cenderung berlaku sesuai dengan ideologi (kebebasan) yang
dianutnya serta memandang prinsip kesetaraan yang kadang mengabaikan etika interaksi
guru dan peserta didik.
Dua faktor tersebut merupakan sumber utama dari disharmonisasi interaksi guru
dengan peserta didik yang sering menjadi pemisah dalam kehidupan di sekolah. Peserta
didik memerlukan bimbingan baik dari guru dalam melakukan proses pembelajaran dengan
dukungan teknologi informasi. Dalam kaitan ini guru memegang peran yang amat penting
dan harus menguasai seluk-beluk teknologi informasi dan yang lebih penting lagi adalah
kemampuan memfasilitasi pembelajaran secara efektif. Peran guru sebagai pemberi
informasi harus bergeser menjadi manajer pembelajaran dengan sejumlah peran tertentu,
karena guru bukan satu-satunya sumber informasi melainkan hanya salah satu sumber
informasi.
Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah efektifitas penggunaan sistem kredit
semester. Sistem kredit semester yang diterapkan di sekolah belum sepenuhnya diterapkan
oleh peserta didik sesuai dengan aturan baku yang ada. Hal ini menjadi sangat urgen
mengingat peran peserta didik tingkat SMK sebagai pemuda agent of change dan iron
stock. Apalagi ilmu di dalam kelas tidak semuanya dapat disampaikan secara menyeluruh
juga diperparah dengan keadaan yang kurang harmonis antara guru dan peserta didik
tersebut. Oleh karena itu, perlu implementasi konsep komunikasi, antara guru dan peserta
didik salah satunya adalah komunikasi deliberatif.
Komunikasi deliberatif sudah banyak diterapkan oleh negara-negara maju, seperti
Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara di Eropa sehingga menghasilkan sumber daya
manusia yang unggul dan lulusan yang bernutu tinggi.

MASALAH
Masalah dalam menggagas ide mengenai implementasi komunikasi deliberatif guru
dan peserta didik adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana cara mendeskripsikan dan menjelaskan penerapan deliberative
communication berbasis community learning utility di sekolah?
2. Apa pengaruh komunikasi yang efektif dalam sistem pembelajaran yang efektif di
sekolah?
3. Apakah solusi penerapan komunikasi deliberative (delibera-com) dengan media
community learning utility bagi peserta didik dalam penerapan sistem kredit
semester secara efektif di sekolah?

PEMBAHASAN DAN SOLUSI


Sarana yang Tersedia untuk Memelihara Interaksi Guru dan Peserta Didik
Interaksi guru dengan peserta didik adalah terbinanya hubungan di antara
keduanya, baik dalam PBM (Proses Belajar Mengajar), di kelas atau di lapangan, maupun
dalam kegiatan ekstrakurikuler. Hal ini dapat difasilitasi dengan sarana penunjang kegiatan
berupa sarana untuk terjadinya kesepakatan atau kontrak belajar. Setiap guru wajib
membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), hand out yang dideskripsikan dengan
jelas, tujuan atau arah pembelajaran, lingkup materi, evaluasi dan sistemnya, metode
pembelajaran, serta umpan balik yang diharapkan datang dari peserta didik. Dengan sarana
seperti ini, antara guru dan peserta didik terjadi kesepahaman. Tidak boleh terjadi
kesewenang-wenangan karena guru berlaku sepihak. Hal itu adalah cara untuk mencapai
suasana akademik yang nyaman dan menyehatkan. Bahan ajar serta media pembelajaran
yang menarik juga sangat penting untuk memungkinkankan terjadinya hubungan yang
kondusif di antara guru dan peserta didik. Setiap guru menentukan referensi, menyusun
buku ajar atau modul.
Kuantitas Kegiatan Akademik Guru dan Peserta Didik
Kuantitas kegiatan akademik guru peserta didik adalah jumlah tatap muka yang
dilangsungkan dalam proses akademik. Setiap guru mentargetkan dalam satu semester,
harus tercapai pertemuan atau tatap muka di kelas, yaitu semisal 16 kali. Peserta didik dan

guru wajib mematuhi hal ini. Jika terjadi keperluan lain, diusahakan mencari waktu
pengganti sehingga target tercapai. Jika peserta didik tidak mencapai jumlah pertemuan
minimal 75 % atau 12 kali tatap muka, maka peserta didik bersangkutan tidak
diperkenankan mengikuti tes akhir semester. Demikian pula halnya dengan guru. Jika
jumlah target minimal untuk tatap muka tidak dicapai (12 kali) maka guru tersebut tidak
boleh menyelenggarakan tes akhir semester. Jika banyak terjadi kehilangan waktu tatap
muka, maka setiap guru harus mematuhi wajib mencari waktu pengganti. Waktu penggati
dimaksudkan untuk memenuhi jumlah kuntitas tatap muka yang diwajibkan. Hal ini juga
harus ada dalam kesepakatan bersama, di antara guru dan peserta didik.
Kualitas Kegiatan Akademik Guru dan Peserta Didik
Pencapaian kualitas sebagai cerminan bagaimana prosesnya, ditunjukkan oleh
angka kelulusan dan nilai yang dicapai oleh setiap peserta didik untuk mata pelajaran
tertentu. Pada umumnya, setiap guru menyelenggarakan pembelajaran sejalan dengan
kurikulum yang berlaku, yang diterjemahkan ke dalam rencana pelaksanaan pembelajaran
dan ditunjang oleh sumber belajar yang sangat memadai. Di samping itu, tidak boleh
dilupakan adalah perkembangan di masyarakat. Hal ini merupakan kendala dan setiap guru
menyadarinya. Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, setiap tahun guru wajib
menyelenggarakan penelitian, khususnya penelitian tindakan kelas yang berguna untuk
mengkritik atau mengkaji apa yang telah dikerjakan dan untuk memecahkan masalahmasalah yang dihadapi selama ini. Penelitian juga sangat penting dalam rangka
meningkatkan kualitas kegiatan guru dan itu memberi imbas kepada peserta didik. Pada
umumnya, guru telah mengembangkan pencapaian kualitas yang baik dalam setiap proses
belajar mengajar mereka. Dengan demikian keinginan besar negara ini untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa akan semakin dekat dan cepat diraih.
Hubungan Guru dan Peserta Didik
Hubungan guru dan peserta didik dapat dilihat dalam beberapa jenis, yaitu dalam
pembelajaran, dalam pelayanan bimbingan, dalam kehidupan informal, baik di sekolah
maupun di lahan praktek kerja industri. Yang dominan terjadi adalah hubungan peserta
didik di dalam proses belajar mengajar dan pemberian layanan atau pembimbingan
(praktek kerja industri). Hubungan peserta didik dan guru dalam kelas atau dalam situasi
yang formal memang sangat tergantung pada pribadi guru dan peserta didik. Pada

umumnya di antara personil guru masih menganut pola hubungan tradisional. Guru harus
dihormati. Hal ini juga diterima oleh peserta didik. Peserta didik menjadi bagian dari
hubungan seperti itu. Hal ini sangat bergantung kepada budaya timur. Guru adalah orang
tua yang harus dihormati. Kondisi seperti inilah yang menimbulkan pola-pola hubungan
guru dan peserta didik secara sangat kaku. Peserta didik takut kepada gurunya. Hubungan
mereka kurang cair.
Di masa-masa saat ini, menurut Wrightman, (Usman : 2006) peran guru adalah
terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilakukan dalam suatu
situasi tertentu serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan
perkembangan peserta didik menjadi tujuannya. Peran guru menurut pendapat yang
dikemukakan oleh para ahli dalam Sardiman (2012) yaitu:
1. Prey Katz menggambarkan peran guru sebagai komunikator, sahabat yang dapat
memberikan nasihat-nasihat, motivator sebagai pemberi inspirasi dan dorongan,
pembimbing dalam pengembangan sikap dan tingkah laku serta nilai-nilai orang yang
menguasai bahan yang diajarkan.
2. Havighurst menjelaskan bahwa peran guru di sekolah sebagai Pegawai (employed)
dalam hubungan kedinasan, sebagai Bawahan (subordinate) terhadap atasannya,
sebagai kolega dalam hubungannya dengan anak didik, sebagai pengatur disiplin, dan
pengganti orang tua.
3. James W. Brown mengemukakan bahwa tugas dan peran guru antara lain: menguasai
dan menggambarkan materi pelajaran, merencanakan dan mempersiapkan palajaran
sehari-hari, mengontrol dan mengevaluasi kegiatan peserta didik.
Berdasarkan pendapat dari para ahli dapat disimpulkan peran guru dalam kegiatan
belajar dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Guru sebagai Manajer
Yang dimaksud peran guru sebagai manajer adalah guru harus bisa menjadi pengelola
dalam pembelajaran.
2. Guru sebagai Demonstrator
Sebagai demonstrator guru berperan untuk mempertunjukan kepada peserta didik
segala sesuatu yang dapat membuat peserta didik lebih mengerti dan memahami setiap
pesan yang disampaikan.
3. Guru sebagai Pembimbing

Peran guru sebagai pembimbing yakni guru mampu berperan untuk membimbing
peserta didik agar dapat menemukan berbagai potensi yang dimilikinya sebagai bekal
hidup mereka, membimbing peserta didik agar dapat mencapai dan melaksanakan
tugas-tugas perkembangan mereka, sehingga dengan ketercapaian itu dapat tumbuh dan
berkembang sebagai manusia ideal yang menjadi harapan setiap orang tua dan
masyarakat. Karena peserta didik adalah individu unik yang memiliki keanekaragaman.
4. Guru sebagai Fasilitator
Sebagai fasilitator, guru berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan
siswa dalam kegiatan proses pembelajaran.
5. Guru sebagai Evaluator
Sebagai evaluator, guru hendaknya mampu dan terampil melaksanakan penilaian
karena, dengan penilaian guru dapat mengetahui prestasi yang akan dicapai oleh siswa
setelah ia melaksanakan proses belajar.
Solusi yang pernah ditawarkan
Dalam rangka perbaikan sistem komunikasi yang baik antara peserta didik dan guru
salah satunya adalah dengan pergantian sistem kurikulum yang diterapkan sejak tahun
1994 sampai 2013 yaitu pada awal kurikulum masih diterapkan komunikasi yang
tradisional. Pendidikan yang diterapkan saat ini lebih menekankan pada kemampuan yang
harus dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan. Spencer and Spencer dalam Palan
(2007) mengemukakan bahwa kompetensi menunjukkan karakteristik yang mendasari
perilaku yang menggambarkan motif, karakteristik pribadi (ciri khas), konsep diri, nilainilai, pengetahuan atau keahlian yang dibawa seseorang yang berkinerja unggul (superior
performer) di tempat kerja. Ada 5 (lima) karakteristik yang membentuk kompetensi yakni
1). Faktor pengetahuan meliputi masalah teknis, administratif, proses kemanusiaan, dan
sistem. 2). Keterampilan; merujuk pada kemampuan seseorang untuk melakukan suatu
kegiatan. 3). Konsep diri dan nilai-nilai; merujuk pada sikap, nilai-nilai dan citra diri
seseorang, seperti kepercayaan seseorang bahwa dia bisa berhasil dalam suatu situasi. 4).
Karakteristik pribadi; merujuk pada karakteristik fisik dan konsistensi tanggapan terhadap
situasi atau informasi, seperti pengendalian diri dan kemampuan untuk tetap tenang
dibawah tekanan. 5). Motif; merupakan emosi, hasrat, kebutuhan psikologis atau
dorongan-dorongan lain yang memicu tindakan. Kurikulum 2013 menganut : (1)
pembelajaan yang dilakukan guru (taught curriculum) dalam bentuk proses yang
dikembangkan berupa kegiatan pembelajaran di sekolah, kelas, dan masyarakat; dan (2)

pengalaman belajar langsung peserta didik (learned-curriculum) sesuai dengan latar


belakang, karakteristik, dan kemampuan awal peserta didik. Pengalaman belajar langsung
individual peserta didik menjadi hasil belajar bagi dirinya, sedangkan hasil belajar seluruh
peserta didik menjadi hasil kurikulum.
Komunikasi Deliberatif (Delibera-Com) sebagai Upaya Optimalisasi Sistem Kredit
Semester
Komunikasi deliberatif antara guru dan peserta didik dapat terbentuk dengan dua
ciri pokok pendekatan. Pertama, guru dan peserta didik adalah agen tunggal pemegang
merk ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, guru harus selalu memprakarsai inovasi
iptek hingga menghasilkan output yang signifikan. Misalnya, pembimbingan riset, guru
benar-benar terlibat intensif dalam kajian iptek yang sedang digagas peserta didiknya tanpa
harus melakukan intervensi.
Kedua, tuntas meneladani. Guru sebagai agen utama iptek akan merasa berdosa jika
kepakaran dan keahliannya tak bisa diturunkan kepada peserta didik bimbingannya. Guru
merasa

gagal

ketika

kecerdasan,

pengetahuan,

dan

keahliannya

tak

dapat

diterapkembangkan oleh peserta didiknya.


Demikian juga dengan sistem Sistem Kredit Semester (SKS) yang berlaku di
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang menggunakan kurikulum 2013. SKS adalah
sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya menentukan sendiri
beban belajar dan mata pelajaran yang diikuti setiap semester pada satuan pendidikan.
Beban belajar setiap mata pelajaran pada SKS dinyatakan dalam satuan kredit semester
(sks). Beban belajar satu sks meliputi satu jam pembelajaran tatap muka, satu jam
penugasan terstruktur, dan satu jam kegiatan mandiri yang disusun dalam 48 jam pelajaran
per minggu. Satu program semester berharga 1 (satu) SKS. Untuk satu SKS di jenjang
pendidikan SMK kegiatannya adalah sebagai berikut :
a. Kegiatan tatap muka terjadwal antara peserta didik dan tenaga pengajar,
misalnya dalam bentuk diskusi/ pelajaran di dalam ruang kelas dengan
alokasi 45 menit.
b. Kegiatan akademik terstruktur, yaitu kegiatan studi oleh peserta didik yang
tak terjadwal tetap direncanakan oleh tenaga pengajar, misalnya dalam
bentuk menyelesaikan PR dengan alokasi 45 menit

c. Kegiatan akademik mandiri yaitu kegiatan belajar harus dilakukan peserta


didik

secara

mandiri

seperti

mendalami

bahan

pembelajaran,

mempersiapkan catatan pelajaran dan diskusi dengan alokasi 45 menit.


Oleh karena itu, salah satu metode dalam komunikasi deliberatif dapat
dimaksimalkan pada poin b dan c di atas dengan metode diskusi langsung atau konsultasi
penuh simpati dan empati dengan guru di luar jam pembelajaran secara informal dan
mengenai materi seputar pembelajaran atau relevan dengan bidang studi terkait.
Dewey (1922), dalam Human Nature and Conduct, mendefinisikan deliberasi
sebagai "latihan dramatis (dalam imajinasi) dari berbagai tindakan kemungkinan garis
bersaing". Dewey berpendapat bahwa deliberasi adalah proses eksperimen berbagai
kombinasi, dirancang untuk mempertimbangkan apa yang akan terjadi jika tindakan
tertentu diambil. Komunikasi ini dilakukan oleh kedua belah pihak dengan penuh simpati
dan empati. Percobaan dilakukan melalui latihan kognitif, sehingga deliberasi adalah "uji
coba dalam imajinasi" (Dewey, 1922).
Proses

deliberatif

berevolusi

dari

keadaan

keraguan,

kebingungan

atau

ketidakpastian dan melibatkan perumusan masalah, elaborasi alternatif solusi dan


konsekuensinya dan penggunaan ide-ide yang tersedia dan bukti untuk membuat pilihan
yang masuk akal (Willower, 1994). Dengan demikian, pendidik didorong untuk
menggunakan proses deliberasi untuk mengubah situasi "di mana ketidakjelasan ,
keraguan, konflik, atau gangguan dari berbagai pihak diubah menjadi situasi yang jelas,
koheren, menetap dan harmonis "(Dewey, 1933).
Dalam hal ini, proses deliberasi menghasilkan berbagai alternatif yang
dipertimbangkan satu sama lain dalam rangka menentukan alternatif yang lebih baik dalam
konteks tertentu. Schwab (1978) berpendapat bahwa sarana untuk menyelesaikan masalah
adalah tidak deduktif atau induktif, melainkan agak deliberatif. Proses menuju solusi tidak
dapat dilakukan secara deduktif karena penerapan prinsip-prinsip abstrak tidak akan
memecahkan kasus-kasus konkret. Tidak seharusnya proses tersebut menjadi induktif,
karena tujuannya tidak untuk mencapai generalisasi. Oleh karena itu, guru maupun peserta
didik membahas topik terkait yang dapat diselesaikan bersama-sama.
Reid (1994) menegaskan deliberasi tidak dapat dilihat sebagai proses analitis, tetapi
lebih sebagai satu retoris, karena melibatkan diskusi melalui argumentasi tentang kondisi

masalah saat ini dan tindakan yang diperlukan untuk mengubahnya. Oleh karena itu,
deliberasi dapat dianggap sebagai suatu peristiwa retoris yang bertujuan untuk
menyelesaikan situasi problematik praktis. Persepsi ini mendorong guru dan peserta didik
untuk terlibat dalam makna negosiasi antarsubjek, mengekspresikan pengalaman unik
mereka, kepentingan dan perspektif mengenai situasi yang bermasalah dalam konteks
keilmuan mereka.
Lima tahap penting menurut Dewey dari kegiatan deliberasi membantu
pelaksanaan asumsi teoritis dalam praktik proses deliberasi. Kelima tahap dimulai ketika
komunitas sedang bermasalah dan bingung oleh masalah dan berakhir ketika masalah ini
dituntaskan dan diselesaikan. Tahap-tahap tersebut, yaitu :
1. Menunjukkan penghambatan terhadap tindakan langsung dalam rangka untuk terlibat
dalam penyelidikan lebih lanjut. Manusia cenderung untuk bertindak segera dan terus
terang ketika ketegangan dan ragu-ragu kemudian dipanggil untuk untuk terlibat
2.

dalam pemikiran kolektif.


Sampai titik ini, masalah telah kabur, sehingga Dewey (1933)
memperkenalkan tahap kedua mana kesulitan didefinisikan sehingga masalah
menjadi jelas. Proses intelektual dalam mendefinisikan masalah diperlukan sehingga

3.

memudahkan peserta didik dan guru untuk membangun solusi di fase berikutnya.
Fase hipotesis berkembang atas dasar wawasan ke dalam
masalah, memungkinkan guru dan peserta didik untuk memodifikasi dan memperluas
solusi. Solusi "menjadi anggapan tertentu atau dinyatakan secara lebih teknis, sebuah

4.

hipotesis" (Dewey, 1933).


Tahap keempat, penalaran dalam arti sempit, tidak

hanya

mengintegrasikan daya ingat akan pengetahuan saja untuk memecahkan situasi


bermasalah, tetapi juga tapi juga memeriksa situasi budaya yang unik di mana
masalah terjadi.
5.

Fase kelima, dan terakhir, sedang menguji hipotesis dengan


tindakan juga memeriksa situasi budaya yang unik di mana masalah terjadi. Fase
kelima, dan terakhir, adalah menguji hipotesis dengan tindakan.

Unsur-unsur Deliberatif
Dalam informasi ide-ide yang disajikan di atas, unsur-unsur utama dari deliberasi
disajikan berikutnya. Perhatikan bagaimana elemen ini dilanjutkan dari gagasan Dewey

mengenai deliberasi. Dengan demikian, elemen-elemen dari proses deliberasi tidak tetap
dan permanen, diperiksa dan dievaluasi secara berkesinambungan oleh guru dan peserta
didik.
Isi dari deliberatif
Isi dari proses deliberatif dapat berupa masalah apapun relevan dengan bidang studi
terkait yang diperhatikan oleh komunitas, kelompok, atau masyarakat, dan yang dapat
diubah melalui tindakan (Dillon dalam Schechter, 2005). Oleh karena itu, kita tidak
mendeliberasikan tentang masalah yang tidak dapat kita pengaruhi melalui tindakan
(misalnya kejadian alam di dunia), isu-isu yang tidak menarik perhatian kita.. Masalah
tidak bersifat teoritis, melainkan yang dapat dipraktikkan.
Fungsi Deliberatif
Dillon (Schechter : 2005) menunjukkan bahwa kelompok sengaja untuk
memutuskan cara terbaik untuk memecahkan keadaan bermasalah. Tidak ada jawaban
yang tepat mutlak untuk masalah, tetapi bukannya ada keputusan kelompok "untuk
melakukan tindakan tertentu yang memberikan solusi yang paling sesuai dengan keadaan"
(Dillon dalam Schechter : 2005). Efektivitas tindakan yang dipilih akan dievaluasi dengan
mengubah keadaan menjadi lebih baik. Dengan kata lain, hal ini akan dievaluasi oleh
tingkat perubahan dari isu bermasalah menjadi pola konsumatoris.
Kegiatan Deliberatif
McCutcheon (1995) berpendapat bahwa kita keliru jika kita melihat deliberasi
sebagai suatu proses yang linier. Kita mungkin menganggap deliberasi sebagai poin
berurutan yang diatur sejak masalah hingga solusi, tetapi titik-titik ini tetap pada kegiatan
yang bereaksi dalam gerakan-gerakan yang dinamis, bukan dari hal linear dan tindakan
yang dapat diperkirakan (Dillon : 1994). Demikian juga, Schwab (Schechter : 2005)
memandang proses deliberasi sebagai gerakan spiral yang menghasilkan pendidikan
alternatif dan pilihan, bukan proses linear dan sekuensial.
Model Community Learning Utility (CLU), Basis Pendukung Kegiatan Deliberatif
CLU menurut Schechter (2005) sebagai sebuah kesatuan strategis dari sumber daya
komunitas pembelajaran dalam format yang memfasilitasi eksploitasi telematika untuk
tujuan membuat pelatihan dan pendidikan agar mudah diakses oleh setiap orang dalam

sebuah komunitas pembelajaran di sekolah. Pada dasarnya, proyek ini mempunyai prinsip
bahwa para pendidik (guru, tutor dan pelatih) diberdayakan untuk membuat materi
pembelajaran dari sumber manapun
yang sesuai dengan standar yang disepakati dan yang
Kunjungan
Pos
Voicephone
Sebuah CLU membutuhkan
berbagai komunikasi fasilitas yang meliputi present
Videophone
Fax yang sebenarnya dan kehadiran), diperluas oleh
postal dan mode kehadiran pribadi (hal-hal
Modem
fax, audiophone, videophone, video-conferencing dan e-mail, internet serta konektivitas PC
Kabel

sesuai akademis.

yang terorganisir dan skala besar diperluas dengan menggunakan modem, serat optik,
satcom dan dieksploitasi oleh perangkat lunak multimedia yang hanya dengan mudah
diakses.

Perangkat Komunitas Pembelajaran (CLU)

Sekolah

Mobilitas Pendidikan Virtual (VEM)

Pusat Pembelajaran
Pusat
Domestik
Pembelajaran
Terpadu
Bisnis
(DILS)
Terpadu (B

dukungan
Aplikasi Smartphone

Gambar 1. Model Pengembangan CLU untuk melengkapi kegiatan deliberative secara


virtual
Pengembangan CLU akan digunakan untuk mendukung sarana deliberatif. Ketika
komunikasi deliberatif tidak dapat dilakukan secara face to face, maka CLU menjadi satu
solusi untuk memfasilitasi aktivitas tersebut. CLU dapat dikembangkan di setiap sekolah
karena CLU relatif mudah untuk diimplementasikan dengan melihat perkembangan
berbagai teknologi aplikasi smartphone.
Model CLU dapat diterapkan dalam berbagai bentuk aplikasi yang sudah dapat
dijalankan melalui perangkat smartphone. Aplikasi sosial media yang banyak berkembang
ini memberikan dua dampak secara umum. Dampak positif sistem informasi dapat mudah

diakses secara cepat oleh peserta didik sedangkan dampak negatifnya adalah pergaulan
bebas peserta didik yang sangat marak dengan adanya aplikasi pendukung seperti ini.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa kemajuan iptek sangat mendukung adanya
komunikasi deliberatif yang akan dikembangkan dalam proses pergaulan anak-anak. Hal
ini diharapkan berbagai macam tindakan yang mengarah ke hal negatif dapat diketahui
lebih dini sehingga peserta didik tidak terjerumus ke dalamnya.

KESIMPULAN DAN HARAPAN PENULIS


Sekolah adalah sebuah sistem yang terdiri dari berbagai macam elemen atau unsur
yang salah satu tonggak utamanya adalah terjadinya interaksi guru dengan peserta didik.
Namun, sebenarnya interaksi guru dengan peserta didik tidak seharmonis dan semudah
yang dibayangkan. Konflik terbuka dan terpendam selalu mewarnai interaksi guru dengan
peserta didik. Selain itu, fungsi system kredit semester yang tidak optimal menjadi masalah
tersendiri dalam praktik pembelajaran yang ada saat ini. Oleh karena itu, gagasan yang
diajukan adalah perbaikan manajemen kampus dan gambaran situasi yang ideal mengenai
interaksi guru dan peserta didik. Sebagai langkah optimalisasi sistem kredit semester
sekaligus membangun interaksi yang lebih antara guru dengan peserta didik adalah melalui
implementasi komunikasi deliberatif yang dapat dibagi menjadi lima tahap.
1. Penghambatan terhadap tindakan langsung dalam rangka untuk terlibat dalam
penyelidikan lebih lanjut. agar terlibat dalam pemikiran kolektif.
2. Proses intelektual dalam mendefinisikan masalah diperlukan sehingga memudahkan
peserta didik dan guru untuk membangun solusi di fase berikutnya.
3. Fase hipotesis berkembang atas dasar wawasan ke dalam masalah, memungkinkan
guru dan peserta didik untuk memodifikasi dan memperluas solusi.
4. Penalaran dalam arti sempit, tidak hanya mengintegrasikan daya ingat akan
pengetahuan saja untuk memecahkan situasi bermasalah, tetapi juga tapi juga
memeriksa situasi budaya yang unik di mana masalah terjadi.
5. Menguji hipotesis dengan tindakan.
Untuk komunikasi deliberatif secara virtual, hal ini dapat dilakukan dengan
menggunakan model pendekatan CLU (Community Learning Utility). CLU sebagai sebuah
kesatuan strategis dari sumber daya komunitas pembelajaran dalam format yang
memfasilitasi eksploitasi telematika untuk tujuan membuat pelatihan dan pendidikan agar

mudah diakses oleh setiap orang dalam sebuah komunitas pembelajaran di sekolah. Pada
dasarnya, proyek ini mempunyai prinsip bahwa para pendidik (guru, tutor dan pelatih)
diberdayakan untuk membuat materi pembelajaran dari sumber manapun yang sesuai
dengan standar yang disepakati dan yang sesuai akademis.
Dengan di implementasikanya konsep tersebut diharapkan suatu hasil dan manfaat
bagi peserta didik dan guru dalam mengenal jati diri dan lebih cepat menyesuaikan dengan
kehidupan di sekolah serta masyarakat. Selain itu, diharapkan bahwa hubungan interaksi
peserta didik dan guru menjadi lebih baik sehingga transfer ilmu pengetahuan dan
pengalaman menjadi menarik dan menyenangkan karena tidak hanya dilakukan dalam
kelas, namun dapat dilakukan di luar kelas ditambah dengan kemajuan teknologi yang ada
saat ini diharapkan akan menciptakan lulusan yang berkompetensi dan unggul.

DAFTAR PUSTAKA
Dewey, J. 1922. Human Nature and Conduct, Henry Holt and Company. New York. NY.
Dewey, J. 1925. Experience and Nature, The Open Court. Chicago. IL.
Dewey,J. 1933. How We Think: A Restatement of the Relation of Reflective Thinking to the
Educative Process, Heath and Company. Lexington, MA.
Kepmendiknas Nomor 20 tahun 2003
Palan, R. 2007. Competency Management. Jakarta: Penerbit PPM.
Permendikbud No.23 Tahun 2013
PP No. 32 Tahun 2013 SNP Perubahan
Permendikbud No. 54 Tahun 2013 tentang SKL
Permendikbud No. 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses
Permendikbud No. 66 Tahun 2013 tentang Penilaian
Permendikbud No. 70 Tahun 2013 tentang Kurikulum SMK
McCutcheon, G. 1995. Developing the Curriculum: Solo and Group Deliberation,
Longman, Publishers, New York, NY.

Reid, W.A. 1994. A deliberative perspective on curriculum, in Dillon, J.T. (Ed.),


Deliberation in Education and Society, Ablex Publishing, Norwood, NJ, pp. 25-36.
Sardiman. 2012 . Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada
Schechter, Chen. 2005. Communal deliberation: the Art of Learning Schools.
International Journal of Educational Management Vol. 19 No. 3, pp. 197-206.
Schwab, J. 1978. The practical: a language for curriculum, in Westbury, I. and Wilkof,
N.J. (Eds), Science, Curriculum, and Liberal Education, The University of Chicago
Press, Chicago, IL, pp. 287-321.
Usman, Moh. 2006 . Menjadi Guru Profesional. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Willower, D.J. 1994. Deweys theory of inquiry and reflective administration, Journal of
Educational Administration, Vol. 32 No. 1, pp. 5-22.

Anda mungkin juga menyukai