PENDAHULUAN
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah
interpalpebra. pterigium berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi nasal.
Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan
hialin dan elastik. Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus
diangkat secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah
perluasannya.
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan
kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang terletak kurang 37 0
Lintang Utara dan Selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat
ekuator dan kurang dari 2% pada daerah yang terletak di atas 400 Lintang. Insiden
Pterigium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%.
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi Pterigium. Prevalensi Pterigium
meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi
pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda
daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan
merokok, pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di luar rumah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi
Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata
bagian belakang. Konjungtiva mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel
goblet.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
-
Anatomi kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan
lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. Kornea terdiri dari lima lapis :
1.
Epitel
Epitel berasal dari ektoderm permukaan. Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel
epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih satu lapis sel basal, sel poligonal dan
sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui
desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan
glukosa yang merupakan barrier.
2. Membran Bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapis ini tidak
mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya,
pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini
bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadangkadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan
fibroblas terletak di antara seratkolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar
dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membrane descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan selendotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat sangat elastik dan
berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40m.
5. Endotel
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40m. endotel
melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke
dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya.
Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf.
Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf
sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.
II. Pterigium
I. Definisi
Pterigium
adalah bangunan
mirip
sayap,
khususnya untuk
lipatan
selaput
berbentuk
segitiga
abnormal
yang
dalam
fisura
interpalpebralis,
yang membentang dari konjungtiva ke kornea, bagian puncak (apeks) lipatan ini menyatu
dengan kornea sehingga tidak dapat digerakkan sementara bagian tengahnya melekat erat
pada sclera, dan kemudian bagian dasarnya menyatu dengan konjungtiva.
Menurut American Academy of Ophthalmology, Pterigium adalah poliferasi jaringan
subconjunctiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjuntiva bulbar
yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi permukaannya.
Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip
daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif .
II. Epidemiologi
Kasus
pterigium
Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan kering. Di Indonesia yang melintas di
bawah garis khatuliswa, kasus-kasus Pterigium cukup sering didapati. Apalagi karena
faktor risikonya adalah paparan sinar matahari (UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga
oleh paparan alergen, iritasi berulang (misal karena debu atau kekeringan).
Insiden tertinggi Pterigium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 49 tahun.
Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi Pterigium. Rekuren lebih sering terjadi pada
pasien yang usia muda dibandingkan dengan pasien usia tua. Laki-laki lebih beresiko 2
kali daripada perempuan.
III. Faktor Resiko
Faktor resiko yang mempengaruhi Pterigium adalah lingkungan yakni radiasi
ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.
1.
Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya Pterigium adalah
terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu
atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang
disebabkan kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan
salah satu teori. Tingginya insiden Pterigium pada daerah dingin, iklim kering
mendukung teori ini. Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada
limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi
dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel
bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat
jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik
proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian menembus kornea.
Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan
jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal
atau tipis dan kadang terjadi displasia.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi
limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea.
Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi,
inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda
ini juga ditemukan pada Pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa
Pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell.
Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah
interpalpebra.
Pemisahan fibroblast dari jaringan Pterigium menunjukkan perubahan phenotype,
pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi
rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian
Pterigium menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast Pterigium
menunjukkan matrix metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk
jaringan yang rusak, penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa
Pterigium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi
fibrovaskular dan inflamasi.
V. Klasifikasi Pterigium
Lesi
sering
asimptomatis,
meskipun
sering
mengalami
primer
atau
rekuren
dengan
keterlibatan
zona
optik.
Stadium III : jika Pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal
(diameter pupil
kepala
Pterigium
(disebut
cap
dari
Pterigium)
Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran,
T1 (atrofi)
T2 (intermediet)
T3 (fleshy, opaque)
tersebut, biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irreguler sehingga
mengganggu penglihatan, pada Pterigium lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi
pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.
Pterigium memiliki tiga bagian :
1.Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada
kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan
menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron
line/Stockers line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga
merupakan area kornea yang kering.
2.Bagian whitish.Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan
vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.
3.Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak),
lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan
area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk
dilakukannya koreksi pembedahan
A. Cap :
Biasanya
datar,
terdiri
atas zona
abu-abu
pada
kornea
yang
kebanyakan terdiri
Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera) pada
limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera dan
selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada Pterigium adalah
topografi
kornea
untuk
menilai
seberapa
besar
komplikasi
berupa
Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visus terpengaruh.
Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan Pterigium tersebut.
Dengan menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak dapat dilalui oleh
sonde seperti pada pseudopterigium.
VIII. Diagnosa Banding
1.
Pinguekula
Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna
kekuningan.
2.
Pseudopterigium
Pterigium
umumnya didiagnosis
banding
dengan
pseudopterigium yang
merupakan
suatu
konjungtiva tertarik dan menutupi kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dimana saja
bukan hanya pada fissura palpebra seperti halnya pada pterigium. Pada pseudopterigium
juga dapat diselipkan sonde di bawahnya sedangkan pada pterigium tidak. Pada
pseudopterigium melalui anamnesa selalu didapatkan riwayat adanya kelainan kornea
sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain pseudopterigium, pterigium dapat pula
didiagnosis banding dengan pannus dan kista dermoid.
Beda pterigium dengan pseudopterigium
Sebab
Sonde
pterigium
Proses degeneratif
Pseudopterigium
Reaksi tubuh penyembuhan dari luka
bawahnya
Kekambuhan Residif
Usia
Dewasa
Tidak
Anak
XI. Penatalaksanaan
1.
Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2
yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi
antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa
penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan
2.
3. pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
B. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak
teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara
universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang
digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak
dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea
yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat,
jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.
1.
2.
3.
Meskipun
keuntungkan
dari
penggunaan
untuk
menghambat
peradangan
dan
fibrosis
dan
epithelialisai.
Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah,
dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan
pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan
penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya
untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis
minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini
digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi Pterigium,
dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian
sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani
yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata
pelindung sinar matahari.
XII. Prognosis
pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.
Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta
radiasi. Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang
baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan
merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai
aktivitasnya. Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan
eksisi dan grafting dengan konjungtiva / limbal autografts atau transplantasi membran
amnion pada pasien tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Riordan, Paul. Dan Witcher, John. Vaughan & Asburys Oftalmologi Umum:
edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.
Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117
Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management
of Pterigium http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm?
Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach;
Philadelphia:Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.
Edisi
6.
Miller SJH. Parsons Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill Livingstone ;1996.
p.142
Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III penerbit
Airlangga Surabaya. 2006. hal: 102 104