: Diana Atmaja
: 11.2015.113
: dr. Christina Widjajani, Sp.PD
Tanda Tangan
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. S
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 52 tahun
Agama
: Islam
Suku bangsa
: Jawa
Status pernikahan
: Janda
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Alamat
: Janggalan , kota, Kudus
No. RM
: 451524
Tanggal masuk RS : 10 September 2016
Dikasuskan tanggal : 11 September 2016
II. ANAMNESIS
Diambil dari autoanamnesis : tanggal 11 September 2016
Keluhan utama : batuk sejak 1 bulan SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan batuk dan sesak nafas sejak 1 bulan SMRS.
Sesak dirasakan bersamaan bila sedang batuk terutama pada saat menarik napas.
Sesak tidak pernah dirasakan apabila pasien dalam posisi tidur atau tidak dipengaruhi
pekerjaan. Batuk disertai dengan dahak berwarna kuning pekat tanpa darah.
Terkadang disertai demam yang hilang timbul sepanjang hari namun tidak sampai
mengigil. Pasien juga mengeluh sering lemas, mual dan nafsu makan menurun. Pasien
makan dua kali sehari dengan porsi sedikit. Pasien juga mengeluhkan suaranya sesak
semenjak batuk 1 bulan tersebut.
Pasien mengatakan tidak pernah mengeluarkan keringat yang banyak pada
malam hari, dan mengatakan bahwa berat badan sudah turun + 10 kg dalam 3 bulan
terakhir. Pasien juga mengatakan tetangga di samping rumahnya ada yang mengalami
sakit paru dan mengalami gejala yang sama. Pasien menerangkan bahwa tempat ia
tinggal rumah satu dengan yang lainnya sangat berdekatan dan pasien juga
menerangkan bahwa ia belum pernah mendapatakan pengobatan paru sebelumnya.
Pasien mengatakan BAB biasa saja, BAK berwarna coklat sedikit pekat tidak
nyeri dan tidak ada darah. Pasien bukan seorang perokok aktif dan tidak minum
alkohol.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien mengaku tidak pernah mengalami riwayat penyakit seperti ini
sebelumnya. Riwayat kencing manis (-), darah tinggi (-), sakit maag (-), penyakit
jantung (-).
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak memiliki keluarga yang memiliki gejala yang sama. Riwayat kencing
manis (-), darah tinggi (-), sakit maag (-), penyakit jantung (-), penyakit paru-paru (-)
Riwayat Obat :
Pasien memiliki alergi terhadap obat ampicilin dan sulfamethoxazole.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum (dilakukan pada tanggal 11 September 2016)
Keadaan umum
: tampak sakit sedang
Kesadaran
: compos mentis
Tinggi badan
: 156 cm
Berat badan
: 35 kg
Indeks Massa Tubuh : 14,38 kg/m2
Tanda vital
:
Tekanan darah
: 100/70 mmHg
Nadi
: 84x/ menit, kuat angkat, denyut regular
Nafas
: 22x/menit, reguler
Suhu aksila
: 36,20C
Saturasi O2
: 98 %
Pemeriksaan Fisik
o Kepala
o Mata
o Hidung
o Telinga
o Mulut
rambut
merata, warna hitam, rambut tidak mudah dicabut
: pupil isokor diameter 3 mm, lensa jernih, refleks cahaya langsung (+/+),
reflex cahaya tidak langsung (+/+), konjungtiva pucat (+/+), sklera
ikterik (-/-), edema palpebra (-/-), cekung (-/-)
: pernafasan cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), nyeri tekan sinus
paranasal (-)
: nyeri tekan tragus dan mastoid (-), liang lapang, serumen (-), sekret (-)
: simetris, bibir kering (-), bibir sianosis (-), devisi lidah (-), faring
Hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
o Leher
Thorax
Inspeksi
Bentuk normal, pergerakan dada tidak simetris (dada kiri tertinggal), pernafasan
Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Kiri
Depan
Dada tertinggal pada saat dinamis
Belakang
Simetris saat statis dan dinamis
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
Kanan
Kanan
(-)
SN Vesikular, Rhonki (-), Wheezing (-)
Jantung
Inspeksi
: Ictus cordis tidak terlihat, tidak ada lesi kulit, tidak ada bekas operasi
Palpasi
Perkusi
:
Batas atas
: sulit dinilai
Batas kanan
Batas kiri
: sulit dinilai
Auskultasi : BJ I-II murni, reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Perut
Inspeksi
: Bentuk perut datar, tidak terlihat lesi kulit dan bekas luka
operasi, tidak tampak adanya pelebaran vena.
Palpasi
Dinding perut
Hati
Limpa
Ginjal
Lain-lain
: tidak ada
Perkusi
Auskultasi
Kanan
Kiri
Luka
Tidak ada
Tidak ada
Varises
Tidak ada
Tidak ada
Tonus
Normotonus
Normotonus
Massa
Eutrofi
Eutrofi
Sendi
Gerakan
Aktif
Aktif
Kekuatan
Oedem
Tidak ada
Tidak ada
Lain-lain
Akral hangat
Akral hangat
Otot
Hasil
Nilai Rujukan
Darah Rutin
Haemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Jumlah Trombosit
Jumlah Eritrosit
MCV
MCH
MCHC
8.4 g/dL
8470/mm3
25.80 %
580.000/uL
3.6 juta/uL
71 fL
23 pg
33 g/dL
13,5-18,0 g/dL
4000-10500/mm3
42-52 %
163000-337000/uL
4.20 5.60
78 95
26 32
32 36
RDW CV
11,8 %
Laju Endap Darah (LED) 94 mm/jam
Hitung Jenis
Basofil
0,20 %
Eosinofil
0,20 %
Neutrofil
85.00%
Limfosit
7.20 %
Monosit
7,40 %
LED 1 jam
69 mm/jam
LED 2 jam
105 mm/2jam
11.5 14.0
0 10
0,2 1,2
0,8 7,0
34,0 67,9
21,8 53,1
5,3 12,2
0-20
KIMIA
Ureum
Creatinin
SGPT
Albumin
Natrium
Kalium
17.0 mg/ dL
0.48 mg/ dL
8 U/ L
2.30 g/ dL
133.5 mmol/ L
3.51 mmol/ L
21 - 43
0.6 1.1
7 35
3.4 4.8
135 147
3.5 5.1
Pemeriksaan
F4
TSHs
Hasil
17.76
1.61
Glukosa Puasa
Gula Darah 2 Jam Pagi
81.0 mg/dL
110.0 mg/dL
Nilai Rujukan
9-20
0,25-5 : eutiroid
<0.15 : hipertiroid
>7 : hipotiroid
70-105
<140
IMUNOSEROLOGI
Anti HCV Stick
HbsAG Stik
Negatif
Negatif
Disertai efusi pleura kiri dan suspek atelektasis lobus superior paru kiri.
MIKROBIOLOGI
(SPUTUM )
Bahan
Hasil
ZIEHL NIELSON
Sputum
BTA positif 3
Leukosit >25 / LPB
Epitel 0-1 /LPB
V. DAFTAR ABNORMALITAS
Anamnesis
1.
2.
3.
4.
5.
Pemeriksaan Fisik
1. Pergerakan dinding dada asimetris, dada kiri tertinggal
2. Taktil fremitus melemah pada dada kiri
3. Perkusi thorax kiri redup dimulai dari ICS I
4. Auskultasi toraks didapatkan ronki (+) pada apex kiri dan kanan
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos thorax kesan
Tampak deviasi trakea ke kiri
Pulmo : terdapat gambaran proses KP paru lama aktif disertai efusi pleura kiri dan
suspek atelektasis lobus superior paru kiri
2. Haemoglobin 8.4 g/dL, jumlah eritrosit 3.6 juta/uL, MCV 71 fL, MCH 23 pg,
LED 94 mm/jam, neutrofil 85%, limfosit 7,20%, LED 69mm/jam,
ureum
17.0 mg/dL, creatinin 0.48 mg/dL, albumin 2,30 g/dL, natrium 133,5
mmol/L.
VI. ASSEMENT
1. Atelektasis et causa TB paru
Initial Plan Diagnosis (IPDx)
X-foto thorax
BTA Sputum
Initial Plan Therapy (IPTx)
ceftazidime inj 2 gr IV
Bromhexine 8mg 3x1
VII. PROGNOSIS
o Ad vitam
o Ad fungsionam
o Ad sanationam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad malam
TINJAUAN PUSTAKA
TUBERCULOSIS PARU
1.1. Definisi
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit kronik jaringan paru yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis.3,5 Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman yang
khas, yaitu : berbentuk batang yang dalam pengecatan bersifat tahan asam, tahan hidup pada
suhu kamar yang lembab, yang dapat hidup terutama pada paru atau diperbagai organ tubuh
yang lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi, diidentifikasikan
pertama kali oleh Robert Koch, disebut Tuberkulosis karena terbentuknya nodul yang khas
yaitu tuberkel.
Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob yang dapat hidup terutama
di paru atau di berbagai organ tubuh lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen
yang tinggi. Kuman ini juga mempunyai kandungan lemak yang tinggi pada membran
selnya sehingga menjadikan bakteri ini tahan asam dan pertumbuhan kumannya
berlangsung secara lambat. Bakteri ini mudah mati pada air mendidih dan tidak tahan
terhadap ultraviolet.3,6
1.2. Epidemiologi
Indonesia menempati urutan kelima setelah India, China, Afrika Selatan, dan
Nigeria. Insidensi TB pada tahun 2009 di Indonesia mencapai 0,35-0,52 juta kasus
dengan prevalensi mencapai 0,28-1,1 juta kasus dan dengan angka kematian yang
mencapai 36-95 ribu jiwa.1
secara inhalasi dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Prevalensi
penyakit tuberkulosis masih tinggi juga dikarenakan tingkat infeksi yang masih tinggi
di masyarakat, penurunan daya tahan tubuh akibat kemiskinan, dan semakin tingginya
pola insidensi kasus resistensi tuberkulosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis.2,7
Tuberkulosis sering ditemukan menyertai DM. TB juga menyebabkan resistensi
insulin dan brittle diabetes. Akibat defek sistem imun pada penderita DM, terjadi
peningkatan virulensi kuman TB. Selain itu, keluhan dan tanda klinis TB Paru toksik
tersamar sehingga tidak pernah didiagnosis atau dianggap sebagai TB Paru ringan
oleh karena gangguan saraf otonom. 14
Umumnya penderita TB dalam keadaan malnutrisi dengan berat badan sekitar
30-50 kg atau indeks masa tubuh kurang dari 18,5 pada orang dewasa. Sementara
berat badan yang lebih kecil 85% dari berat badan ideal kemungkinan mendapat TB
adalah 14 kali lebih besar dibandingkan dengan berat badan normal. Hal ini
menunjukkan bahwa malnutrisi atau penurunan berat badan telah menjadi faktor
utama peningkatan resiko TB menjadi aktif. Kekurangan gizi pada seseorang akan
berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap
penyakit.14
Adanya kontak dengan BTA positif dapat menjadi sumber penularan yang
berbahaya karena berdasarkan penelitian akan menularkan sekitar 65% orang di
sekitarnya.
Tuberkulosis minimal
Luas sarang-sarang yang kelihatan tidak melebihi daerah yang dibatasi oleh
garis median, apeks, dan iga 2 depan : sarang-sarang soliter dapat berada
dimana saja, tidak harus berada dalam daerah tersebut di atas. Tidak ditemukan
adanya kavitas.
2
kelompok : 5
1 Kategori I
: TB baru BTA (+) / (-), TB ekstra paru berat
2 Kategori II
: TB kambuh, lalai berobat, gagal pengobatan
3 Kategori III
: TB paru BTA (-) dengan lesi minimal
4 Kategori IV
: TB kronik dan Multi Dose Resistant (MDR)
Di Indonesia, klasifikasi yang dipakai untuk TB paru adalah sebagai berikut:5
1 Tuberkulosis paru
2 Bekas Tuberkulosis paru
3 Tersangka Tuberkulosis paru, yang terbagi menjadi diobati dan tidak diobati
Dalam klasifikasi ini perlu disebutkan:5
- Status bakteriologis (mikroskopis sputum BTA, biakan BTA)
- Status radiologis, kelaian yang relevan dengan tuberkulosis paru
- Status kemoterapi, riwayat pengobatan dengan OAT.
1.5.Patofisiologi
I.Tuberkulosis primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam
udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi
yang baik dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan
berhari-hari sampai berbulan-bulan.4
Bila partikel ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada jalan nafas
atau paru-paru. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag
keluar dari trakeo-bronkhial beserta gerakan silia dengan sekretnya. Kuman juga
dapat masuk melalui luka pada kulit atau mukosa tapi hal ini sangat jarang terjadi.4,14
Bila kuman menetap di jaringan paru, ia bertumbuh dan berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman
yang bersarang di jaringan paru-paru akan membentuk sarang tuberkulosis pneumonia
10
kecil dan disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini dapat terjadi
dibagian mana saja jaringan paru dimana akan timbul peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah
bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer + limfangitis local + limfadenitis
regional = kompleks primer.4 Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:
1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus atau kompleks sarang Ghon.4
Penyebaran tuberkulosis dapat melalui beberapa cara sebagai berikut:
a. Per kontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya.
b. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru disebelahnya.
Dapat juga kuman tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke
II.
usus.
c. Secara limfogen, ke organ tubuh lainnya
d. Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.
Tuberkulosis Post-primer
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis postprimer). Tuberkulosis post-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di
regio atas paru (bagian apical posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah
kedaerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.4
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel
histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh
sel-sel limfosit dan bermacam-macam jaringan ikat.4
1.6. Prosedur Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis, maka tuberkulosis perlu diketahui dan dibuktikan
dengan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:7
a. Anamnesis
Gejala umum
-
Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam
11
Gejala spesifik
-
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tuberkulosis, sering tidak menunjukkan suatu kelainan,
terutama pada kasus yang dini atau yang terinfiltrasi secara asimptomatik. Tempat
yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang
luas, didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara bronchial. Akan didapatkan
juga suara nafas tambahan berupa ronkhi basah dan nyaring. Tetapi bila infiltrat
diliputi oleh penebalan pleura, suara nafas akan menjadi vesikuler melemah. Bila
terjadi kavitas yang cukup besar, perkusi menjadi hipersonor atau timpani dan
auskultasi memberikan suara amorfik.5-7
Bila terdapat jaringan fibrotik sangat luas yang mengakibatkan hipertensi
pulmonal dan gagal jantung kanan, akan ditemukan tanda-tanda seperti takipnea,
takikardia, sianosis, right ventricular lift, right arterial gallop, murmur, bunyi P2
yang mengeras, tekanan vena jugularis meningkat, hepatomegali, ascites, dan edema.2
Pada pemeriksaan efusi pleura akan ditemukan stem fremitus yang menurun,
perkusi yang pekak, tanda-tanda pendorongan mediastinum, suara nafas yang
menghilang pada auskultasi.2
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah :
1. Darah
12
Pemeriksaan Radiologis
Saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara praktis untuk menemukan
13
14
15
nodus
yang
terkonsolidasi.Limfadenopati
sebelumnya
biasanya
mendrainase
mengenai
hilus
area
yang
unilateral,
hilus
Saluran napas
Saluran napas yang terdekat dapat mengalami obstruksi atau kolaps
segmental/lobar.Biasanya pada bagian kiri, kemudian menyerang segmen
anterior lobus atas dan lobus tengah.Konsolidasi segmental mengikuti
terjadinya perforasi bronkial dan aspirasi distal material kaseosa yang
infektif.Penyembuhan pada lesi bronkial dan segmental walaupun jarang
tanpa sekuele namun sering mendahului terjadinya berbagai kombinasi
seperti bronkostenosis, bronkiektasis dan fibrosis parenkim dengan
Perikardium
Erosi pada nodus ke perikardium dapat menyebabkan perikarditis.
Pleura
Erosi pada pleura karena sebuah nodus merupakan satu dari beberapa
mekanisme terjadinya efusi pleura pada TB primer.
16
17
18
Gambar 8. Diagnosis TB
1.7. Penatalaksanaan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
19
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
persister
Keluhan
Dari anamnesis pada pasien dapat diketahui perbandingan keluhan saat
sebelum dan sesudah pengobatan.
Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik sebelum dan sesudah pengobatan, dapat ditemukan
adanya perbaikan atau tidak.
Laboratorium
Pada hasil laboratorium sesudah dan sebelum pengobatan, dapat diketahui
adanya perbaikan atau tidak.
20
Radiologi
Secara radiologi dilihat 2 6 bulan pasca terapi
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau
4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan mengurangi efek samping
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
21
Tahap Pengobatan
Lama
pengobatan
Tahap intensif
Tahap lanjutan
2 bulan
4 bulan
Jumlah
E
450mg 500mg
1
2
1
1
3
-
hari/kali
250mg menelan
3
obat
60
54
Lama
pengobata
n
Tahap
intensif
Tahap
STREPTOM
MENEL
pengob
ISIN
AN
atan
300
INJEKSI
OBAT
450
500
OL
250
500
mg
mg
mg
2 bulan
1 bulan
1
1
1
1
3
3
mg
3
3
mg
-
0.75gr
-
60
30
5 bulan
66
Lanjutan
Setelah tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan
tablet HRZE dan suntikan streptomisin. Dilanjutkan satu bulan dengan tablet HRZE
setiap hari. Setelah itu diturunkan dengan tahap lanjutan selama lima bulan dengan
HRE yang diberikan tiga kali seminggu. Suntikan streptomisin diberikan setelah
penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk penderita yang kambuh,
penderita gagal berobat, atau penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
Obat sisipan
Tabel 4. Obat Sisipan
Tahap
Lama pengobatan
pengobatan
Tahap intensif
1 bulan
Jumlah
300m 450
mg
menelan obat
30
Bila pada akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori 1 atau kategori 2, hasil
pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan setiap hari selama 1 bulan (28
hari).
22
Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai obat etambutol
Tes audiometri bagi yang memakai obat Streptomisin
Pemeriksaan darah terhadap enzim hati, bilirubin, ureum / kreatinin, darah perifer dan asam
urat (untuk pemakai pirazinamid).
Kegagalan Pengobatan
Sebab-sebab kegagalan pengobatan, antara lain:
23
Obat: 1). Paduan obat tidak adekuat. 2). Dosis obat tidak cukup. 3).Minum obat tidak
teratur/tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan. 4). Jangka waktu pengobatan
kurang dari semestinya. 5). Terjadi resistensi obat. 6). Resistensi obat sudah harus
diwaspadai yakni bila dalam 1-2 bulan pengobatan tahap intensif, tidak terlihat
perbaikan.
Drop out: 1. Kekurangan biaya pengobatan. 2. Merasa sudah sembuh. 3. Malas
berobat/ kurang motivasi.
Penyakit: 1). Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat. 2). Penyakit lain
yangmenyertai tuberkulosis seperti diabetes melitus, alkoholisrae. 3). Adanya gangguan
imunologis.
Sebab-sebab kegagalan pengobatan yang terbanyak adalah karena kekurangan
biaya pengobatan atau merasa sudah sembuh. Penanggulangan terhadap kasus-kasus
yang gagal ini adalah:
a. Terhadap pasien yang sudah berobat secara teratur.
- Menilai kembali apakah paduan obat sudah adekuat mengenai dosis dan cara
-
pemberiannya.
Lakukan pemeriksaan uji kepekaan/tes resistensi kuman terhadap obat.
Bila sudah dicoba dengan obat-obat yang masih peka, tetapi ternyata gagal juga,
maka pertimbangkan terapi dengan pembedahan terutama pada pasien dengan
kavitas atau destroyed lung.
tiap bulan.
Nilai kembali tes resistensi kuman terhadap obat.
Bila ternyata terdapat resistensi terhadap obat, ganti dengan paduan obat yang
masih sensitif.
ATELEKTASIS PARU
2.1. Definisi
Atelectasis adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak sempurna
dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang tidak
mengandung udara dan kolaps. Atelectasis seharusnya dapat dibedakan dengan
pneumothoraks. Walaupun kolaps alveolar terdapat pada kedua keadaan tersebut,
penyebab kolaps dapat dibedakan dengan jelas. Atelektasis timbul karena alveoli
menjadi kurang berkembang atau tidak berkembang , sedangkan pneumothoraks
timbul
pneumotoraks tidak dapat dicegah, tetapi atelektasis dapat dicegah dengan perawatan
yang tepat. Terdapat dua penyebab utama kolaps yaitu atelektasis absorpsi sekunder
dari obstruksi bronkus atau bronkiolus, dan atelektasis yang disebabkan oleh
penekanan.
Pada atelektasis absorpsi, obstruksi saluran napas menghambat masuknya udara
ke dalam alveolus yang terletak distal terhadap sumbatan. Udara yang sudah terdapat
dalam alveolus tersebut diabsopsi sedikit demi sedikit ke dalam aliran darah dan
alveolus kolaps. (untuk mengembangkan alveolus yang kolaps total diperlukan
tekanan udara yang lebih besar, seperti halnya seseorang harus meniup balon lebih
keras pada waktu mulai mengembangkan balon). Atelektasis absorpsi dapat
disebabkan oleh obstruksi bronkus intrinsik atau ekstrinsik. Obstruksi bronkus
intrinsik paling sering disebabkan oleh sekret atau eksudat yang tertahan. Tahan
ekstrinsik pada bronkus biasanya disebabkan oleh neoplasma, pembesaran kelenjar
getah bening, aneurisma atau jaringan parut.
2.2. Etiopatogenesis
Terdapat tiga mekanisme yang dapat menyebabkan atau memberikan kontribusi
terjadinya atelektasis, diantaranya adalah: Obstruksi saluran pernapasan, kompresi
jaringan parenkim paru pada bagian ekstratoraks, intratoraks, maupun proses pada
dinding dada , penyerapan udara dalam alveoli, dan gangguan fungsi dan defisiensi
surfaktan. Ketiga penyebab ini dapat menjelaskan dasar fisiologis penyebab atelektasis.
1. Atelektasis Resorpsi
Terjadi akibat adanya udara di dalam alveolus. Apabila aliran masuk udara ke
dalam alveolus dihambat, udara yang sedang berada di dalam alveolus akhirnya
berdifusi keluar dan alveolus akan kolaps.
Gambar
akibat
9.
obstruksi
pada
reversible
saluran
jika
napas.
obstruksi
dihilangkan.
25
26
pleura, atau tumor dalam toraks. Keadaan ini terjadi ketika sumber dari luar
alveolus menimpakan gaya yang cukup besar pada alveolus sehingga alveolus
menjadi kolaps.
Gambar 10. Atelektasis Kompresi. Terjadi ketika rongga pleura mengembang karena
cairan, atau karena udara. Keadaan ini bersifat reversible jika udara dan cairan
dihilangkan.
Atelektasis kompresi terjadi jika dinding dada tertusuk atau terbuka,
karena tekanan atmosfir lebih besar daripada tekanan yang menahan paru
mengembang (tekanan pleura), dan dengan pajanan tekanan atmosfir paru
akan kolaps. Atelektasis kompresi juga dapat terjadi jika terdapat tekanan yang
bekerja pada paru atau alveoli akibat pertumbuhan tumor, distensi abdomen
yang mendorong diafragma ke atas, atau edema dan penimbunan ruang
interstisial yang mengelilingi alveolus. Tekanan ini yang mendorong udara ke
luar dan mengakibatkan kolaps. Atelektasis tekanan lebih jarang terjadi
dibandingkan dengan atelektasis absorpsi. Bentuk atelektasis kompresi
biasanya dijumpai pada penyakit payah jantung, penyakit peritonitis atau abses
diafragma yang dapat menyebabkan diafragma terangkat keatas dan
mencetuskan terjadinya atelektasis. Pada atelektasis kompresi diafragma
bergerak menjauhi atelektasis.
3. Atelektasis Kontraksi
Terjadi akibat perubahan perubahan fibrotik jaringan parenkim paru lokal
atau menyeluruh, atau pada pleura yang menghambat ekspansi paru secara
sempura. Atelektasis kontraksi bersifat irreversible.
27
Gambar 12.
produksi surfaktan.
NRDS atau dikenal sebagai hyaline membrane disease merupakan
keadaan akut yang terutama ditemukan pada bayi prematur, lebih sering pada
bayi dengan usia gestasi dibawah 32 minggu yang mempunyai berat dibawah
1500 gram. Bayi prematur lahir sebelum produksi surfaktan memadai. Surfaktan,
suatu senyawa lipoprotein yang mengisi alveoli, mencegah alveoli kolaps dan
28
atelektasis yang didapatkan berupa demam dan denyut nadi yang meningkat
(takikardi). Pada pemeriksaan klinis didapatkan tanda atelektasis pada inspeksi
didapatkan berkurangnya gerakan pada sisi yang sakit, bunyi nafas yang berkurang,
pada palpasi ditemukan vokal fremitus berkurang, trakea bergeser ke arah sisi yang
sakit, pada
29
dispneu akut, dan sianosis. Hipotensi, takikardia, demam, dan syok juga dapat terjadi.
Perkembangan atelektasis yang lambat
mungkinterjadi secara
asimtomatik atau
30
Tujuan utama dari pengobatan adalah untuk mengeluarkan dahak dan kembali
mengembangkan jaringan paru yang kolaps. Terapi bisa dimulai dengan fisioterapi
thoraks agresif, tetapi mungkin memerlukan bronkoskopi untuk melepaskan sumbatan
pada paru dan reekspansi segmen paru yang kolaps. Jika penyebab atelektasis adalah
obstruksi parsial, maka langkah pertama adalah menghilangkan obstruksinya. Sebuah
benda asing dapat dihilangkan dengan cara membuat pasien batuk, dengan suction, dan
bronkoskopi. Sumbatan lendir dapat di dilakukan dengan cara 'drainase postural', yaitu
cara klasik untuk mengeluarkan sekret dari paru dengan mempergunakan gaya berat
dan sekret itu sendiri. Drainase postural dapat dilakukan untuk mencegah terkumpulnya
sekret dalam saluran nafas dan mempercepat pengeluaran sekret sehingga tidak terjadi
ateletaksis. Selain itu, pasien juga dianjurkan untuk berbaring pada sisi normal
sehingga paru-paru yang kolaps mendapat kesempatan untuk kembali berkembang.
Pasien dapat melakukan pernapasan yang dalam dengan tujuan agar paru dapat
mengembang. Dalam kasus atelektasis yang dikarenakan oleh pengumpulan cairan di
rongga pleura dilakukan drainase interkostalis. Jika alveoli mengalami kompresi karena
beberapa tumor di rongga dada, maka pengangkatan tumor dengan operasi harus
dilakukan. Tetapi jika jaringan paru-paru yang rusak diperbaiki dan tidak dapat
dikembalikan secara normal maka satu-satunya jalan untuk jenis atelektasis adalah
lobektomi.
Tujuan pengobatan adalah mengeluarkan dahak dari paru-paru dan kembali
mengembangkan jaringan paru yang terkena. Tindakan yang biasa dilakukan:
Berbaring pada sisi paru-paru yang sehat sehingga paru-paru yang terkena
kembali bisa mengembang
Menghilangkan penyumbatan, baik melalui bronkoskopi maupun prosedur
lainnya
Latihan menarik nafas dalam (spirometri insentif)
Perkusi (menepuk-nepuk) dada untuk mengencerkan dahak
Postural drainase
Antibiotik diberikan untuk semua infeksi
Pengobatan tumor atau keadaan lainnya.
Pada kasus tertentu, jika infeksinya bersifat menetap atau berulang, menyulitkan
atau menyebabkan perdarahan, maka biasanya bagian paru-paru yang terkena
mungkin perlu diangkat
Setelah penyumbatan dihilangkan, secara bertahap biasanya paru-paru yang
mengempis akan kembali mengembang, dengan atau tanpa pembentukan jaringan
parut ataupun kerusakan lainnya.
31
2.7. Komplikasi
1. Pnemonia. Keadaan ini diakibatkan oleh berkurangnya oksigen dan kemampuan paru
untuk mengembang sehingga secret mudah tertinggal dalam alveolus dan
mempermudah menempelnya kuman dan mengakibatkan terjadinya peradangan
pada paru.
2. Hypoxemia dan gagal napas. Bila keadaan atelektasis dimana paru tidak mengembang
dalam waktu yang cukup lama dan tidak terjadi perfusi ke jaringan sekitar yang
cukup maka dapat terjadi hypoxemia hingga gagal napas. Bila paru yang masih sehat
tidak dapat melakukan kompensasi dan keadaan hipoksia mudah terjadi pada
obstruksi bronkus.
3. Sepsis. Hal ini dapat terjadi bila penyebab atelektasis itu sendiri adalah suatu proses
infeksi, dan bila keadaan terus berlanjut tanoa diobati maka mudah terjadi sepsis
karena banyak pembuluh darah di paru, namun bila keadaa segera ditangani keadaan
sepsis jarang terjadi.
4. Bronkiektasis. Ketika paru paru kehilangan udara, bentuknya akan menjadi kaku dan
mengakibatkan dyspnea, jika obstruksi berlanjut dapat mengakibatkan fibrosis dan
bronkiektasis.
ANEMIA
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis
anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red
cell count). Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian
hematokrit. Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga
parameter tersebut tidak sejalan dengan massa eritrosit, seperti dehidrasi, perdarahan akut
dan kehamilan.
3.1. Kriteria Anemia
32
WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria WHO dipergunakan
secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau dirawat di
rumah sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut. Oleh karena
itu, beberapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria
hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia.
3.2. Patofisiologi dan Gejala Anemia
Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang
timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun
di bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena : 1.) anoksia organ; 2).
Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen.
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin
telah turun di bawah 7 g/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada : a.)
derajat penurunan hemoglobin : b). kecepatan penurunan hemoglobin; c). usia; d).
adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu :
o Gejala umum anemia.
Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia
organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar
hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan
hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7g/dl) sindrom anemia terdiri dari rasa
lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging, mata berkunang-kunang, kaki terasa
dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang
33
mudah dilihat pada kongjungtiva, mukosa mulut telapak tangan dan jaringan di
bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena timbul setelah
penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7g/dl).
o Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh :
Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan
B12
Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali
Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi
34
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan
mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal. Indeks eritrosit :
MCV < 80 fl, MCH < 27 pg, MCHC 26-35%).
Penyebab anemia mikrositik hipokrom :
Berkurangnya zat besi : anemia defisiensi besi
Berkurangnya sintesis globin : thalasemia dan hemoglobinopati
Berkurangnya sintesis heme : anemia sideroblastik
3.4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia disesuaikan dengan etiologi dari anemia, sebagai contoh
penggunaan kortikosteroid berguna pada penatalaksanaan dengan anemia autoimun
hemolitik.
Penatalaksaan yang baik untuk anemia disebabkan oleh kehilangan darah adalah
mengkoreksi penyebab utama dan pemberian oral Ferrous sulfate hingga anemia
teratasi dan untuk selama beberapa bulan selanjutnya. Meskipun dosis umumnya
ferrous sulfate adalah 325 mg oral 3x sehari, pemberian dosis rendah dapat
memberikan hasil yang sama efektif dan menyebabkan efek samping yang lebih
sedikit.
Transfusi sel darah merah dalam bentuk PRC harus diberikan kepada pasien yang
memiliki perdarahan secara aktif dan untuk pasien dengan anemia berat dan gejala.
Transufi paliatif tidak boleh digunakan sebagai pengganti terapi khusus. Pada penyakit
kronis yang berhubungan dengan anemia gangguan kronis, erythropoietin mungkin
dapat membantu dalam mencegah atau mengurangi tranfsui sel darah merah.
Risiko tranfusi darah adalah reaksi hemolitik dan risiko penularan penyakit
menular. Pasien dengan autoimun antibodi terhadap sel darah merah berada pada risiko
yang lebih besar dari reaksi transfusi hemolitik karena kesulitan dalam lintas
pencocokan darah.
PEMBAHASAN
Seorang perempuan 52 tahun dengan keluhan utama disertai dahak kental
berwarna kekuningan sejak 1 bulan SMRS. Keluhan disertai dengan sesak nafas yang
35
hanya dirasakan saat batuk tidak dipengaruhi oleh posisi tidur. Pasien mengatakan
suara serak sejak batuk tersebut. Dan sering mengalami demam yang naik turun dan
hilang timbul. Terdapat penurunan berat badan dan tidak ada keringat malam hari.
Tidak ada riwayat pengobatan TB sebelumnya. Terdapat riwayat sosial yaitu tetangga
pasien yang menderita penyakit paru.
Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya penurunan vokal fremitus kiri
dibandingkan dengan sisi kanan, pada perkusi terdapat redup dimulai dari ICS I
sinistra, pada pemeriksaan auskultasi terdapat suara tambahan rokhi di seluruh
lapangan paru kiri.
Pemeriksaan x-foto thorax proyeksi PA menunjukkan tampak deviasi trakea ke
kiri, pulmo terdapat gambaran proses KP paru lama aktif disertai efusi pleura kiri dan
suspek atelektasis lobus superior paru kiri.
Berdasarkan teori Paofisiologi Sylvia , atelectasis adalah istilah yang berarti
pengembangan paru yang tidak sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada
bagian paru yang terserang tidak mengandung udara dan kolaps. Gejala yang paling
umum didapatkan pada atelektasis adalah sesak napas, pengembangan dada yang
tidak normal selama inspirasi, dan batuk. Gejala gejala lainnya adalah demam,
takikardi, adanya ronki, berkurangnya bunyi pernapasan, pernapasan bronkial,dan
sianosis. Penegakkan diagnosis atelektasis dapat diperkuat dengan hasil radiologi.
Dari foto toraks, didapatkan gambaran berupa penarikan diafragma mendekati lobus
yang kolaps, penarikan mediastinum mendekati lobus paru yang kolaps dan ICS
(intercostal space yang mengecil) akibat tarikan kolaps paru.
Pemberian antibiotika spektrum luas seperti ceftazidime diperlukan bila terdapat
gejala infeksi seperti demam, leukositosis dan neutrofil yang meningkat karena
atelektasis sekunder biasanya menjadi infeksi tanpa memperhatikan
penyebab
obstruksinya. Terapi antitusif tidak diberikan karena dapat mengurangi refleks batuk
yang akan membuat obstruksi lebih jauh. Selain itu, penyakit dasar pada pasien yang
menyebabkan atelektasis ini harus diobati agar penyumbatan ini tidak terjadi lagi.
DAFTAR PUSTAKA
1
WHO.
Indonesian
Tuberculosis
Profile.
Diunduh
dari:
http//:www.who.int/tb/data. 2010.
Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid Edisi
IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2006
36
http://www.TuberculosisTextbook.com. 2007
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan
Edisi
2.
2006.
Avalable
form :
http://tbindonesia.or.id/pdf/BUKU_PEDOMAN_NASIONAL.pdf
Rachmatullah P. Seri Ilmu Penyakit Dalam, Buku ajar: Ilmu Penyakit Paru
10 Light RW. Harrisons Principle of Internal Medicine. 18th ed. Philadelphia : The
McGraw- Hill Companies; 2012. pg. 2178-80
11 Sylvia A Price, Lorraine M Wilson. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit.
Ed 6. Vol 2. Jakarta : EGC, 2005. hal 799-800.
2008.
Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/296468
37