Adalah baja dengan paduan dengan unsur lain seperti C, Mn, Si, Cr, V W, Mo, Co, yang dibanyak
digunakan untuk keperluan pekerjaan teknik yang membutuhkan sifat mekanik yang baik seperti
ketahanan aus, ketahanan pada impak temperatur tinggi, ketahanan getaran, ketahanan beban,
ketangguhan, kekerasan yang baik. Geroge robert adam
Aplikasi dari tool steel ini cukup luas dan dibentuk sesuai dengan kebutuhan dengan menfariasikan
jumlah unsur paduan yang ada dengan melewati proses heat treatment. Seperti untuk palu, pahat, alat
forging, ekstrusi, shockbreaker, pisau baja, tang, gunting pemotong dan sebagainya
Perlakuan panas pada tool steel ini memiliki tahapan utama yaitu:
1) Pemanasan awal untuk membentuk fasa austenite atau disebut dengan proses austenizing
2) Pendinginan untuk membentuk fasa martensite.
3) Melakukan pemanasan kembali pada baja yang telah dikeraskan atau tempering hingga
tmperatur tertntu yang bertujuan untuk menghilangkan austenit sisa, mengkombinasikan antara
kekuatan, duktilitas, dan ketangguhan yang tinggi,
Tempering terjadi pada temperatur A1 (723 C), dan menahannya pada temperatur tersebut hingga
beberapa waktu dan di dinginkan lagi.
Proses aniling yaitu pemansan hingga temperatur asutenit dan ditahan pada temperatur tersbut
bberap waktu dan dilakukan pendingnan lamabt. Tidak dilakukan untuk baja perkakas
a. Hot working tool steel
Hot working tool steel dikenal sebagai Grup H dalam tool steel. Grub H ini terbagi lagi menjadi tiga subkelompok seperti molibdenum hot-work steel, tungsten hot-work steel, dan kromium hot-work steel.
Molybdenum, memiliki mampu las yang baik dan karakteristik pengerasan sekunder. Ini mendorong
pembentukan butir halus. Baja molibdenum hot-kerja meliputi jenis H42 dan H43. H13 adalah baja
perkakas yang dirancang untuk aplikasi yang membutuhkan ketangguhan ekstrim yang
dikombinasikan dengan kekerasan yang baik.
Molibdenum = H42
Lebih tangguh, memerluk perawatan yang lebih besar dibanding yang lain jika dalam proses karburasi
dan proses autenitinizing, lebih tahan panas dibandingkan tungsten, carbon rendah
Cromium = H10 11 12 13 14 19
harus memiliki ketahanan yang sangat baik terhadap impak pada suhu tinggi , ketahanan temperatur
tingginya lebih tinggi daripada cromium dan tunsten tetapi nilai ketangguhannya tidak lebih baik dari
kromium dan tungsten. Penambahan vanadium bertujuan untuk menekan erosi yang terjadi pada
temperatur tinggi. Penambahan silikon untuk menekan adanya reaksi oksidasi hingga temperatur 800
C, tingkat paling rendah adalah H19. Tertinggi H11. Distorsi yang rendah . ketahanan lunaknya hingga
temperatur 540 C, mampu las yang baik, kemampuan ekspansi thermal yang relatif rendah, tahan
reaksi oksidasi dan korosi.
Tungsten = H21 22 23 24
Tahan terhadap aus, impak temperatur tinggi, didingingkan lewat udara air garam dan minyak, ketika
pendinginan menggunakan udara, distorsinya lebih rendah dibanding dengan media pendinginan yang
lain. Digunakan untuk alat-alat forging ataupun ektruksi nikel, kuningan.
d. Mold Steel
Baja ini termasuk salah satu baja karbonrendah karbon alat. Nikel dan kromium adalah dua elemen
utama ada dalam Mold Steel . memiliki ketahanan yang rendah pada temperatur tinggi, tetapi
memiliki ktangguhan dan pengerasan bagian dalam baja yang baik karena adanya kromium dan
nikel. Memiliki katahanan karburasi yang tinggi, berkilau
Aplikasinya untuk sebagai cetakan pada bahan plastik.
Fretting Corrosion disebut juga sebagai Friction Corrosion atau Wear Corrosion atau Chafing atau
Falsebrinelling. Fretting Corrosion adalah korosi erosi yang terjadi karena benda kerja mengalami
vibrasi atau slip. Pada umumnya Fretting Corrosion terjadi pada atmosfir tidak di lingkungan air.
Fretting Corrosion bersifat sangat merusak karena merusak komponen-komponen logam dan
menghasilkan reruntuhan oksida logam.
Fretting Corrosion sering terjadi pada bagian-bagian dari suatu benda kerja yang kontak pada
kondisi kering dan merupakan sasaran pergerakan relative. Contohnya adalah turbin, kontak listrik
antara tembaga dan emas pada produk-produk elektronika, komponen-komponen mesin dan baut pada
pelat penyambungan kereta api. Gambar 2.64 menunjukkan Fretting Corrosion yang terjadi pada baja.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya fretting corrosion antara lain adalah:
terdapat vibrasi atau getaran antar kedua bidang (beban dan benda kerja)
beban dan getaran tersebut harus cukup untuk menimbulkan slip
Terdapat dua konsep yang dapat digunakan untuk menerangkan mekanisme fretting corrosion
yaitu:
wear-oxidation
oxidation-wear
Mekanisme wear-oxidation didasarkan pada konsep bahwa keausan karena gesekan dapat
menyebabkan kerusakan pada logam sedangkan oksidasi merupakan pengaruh yang kedua. Jadi faktor
utamanya adalah adanya gesekan yang menyebabkan keausan benda kerja.
Gambar 2.65
menunjukkan secara skematis mekanisme terjadinya Fretting Corrosion dengan konsep wear-oxidation.
sebelum
sesudah
Con
-
Cold
Weld
tact
poi
nt
Oxidized
particles
didasarkan pada perkiraan bahwa sebagian besar permukaan benda kerja dilindungi dari oksidasi
atmosfir oleh suatu lapisan tipis oksida yang kuat dan pritektif. Jika logam kontak dengan beban dan
dikenakan gesekan berulang-ulang maka lapisan oksida tersebut akan rusak dan meninggalkan sisasisa oksida seperti yang terlihat pada Gambar 2.66 yang menunjukkan secara skematis mekanisme
Fretting Corrosion dengan konsep oxidation-wear.
sebelum
sesudah
expos
ed
metal
Oxid
e
layer
Oxide
particles
Pada umumnya teknik-teknik pengendalian yang dilakukan agar tidak terjadi Fretting Corrosion
antara lain adalah: [Mars G. Fontana, 1986 dan Denny A. Jones, 1992]
a.
Menambah beban sehingga mengurangi terjadinya slip antara beban dan benda kerja tetapi hal
ini harus dilakukan dengan hati-hati karena perubahan yang kecil saja seringkali dapat
menimbulkan Fretting Corrosion.
b.
Melumasi permukaan kontak dengan pelumas atau grease yang viskositasnya rendah. Juga
dapat menggunakan phosphate coating karena pelapisannya bersifat porous dan menyediakan
tempat penampungan oil.
c.
Meningkatkan kekerasan salah satu atau kedua bahan pada daerah yang bergesekan
d.
Meningkatkan
gesekan
antar
bagian-bagian
yang
saling
kontak
dengan
memperkasar
Menggunakan loose gasket, coating sebagai sealant untuk menyerap vibrasi dan mencegah
masuknya oksigen ke permukaan kontak.
f.
Menggunakan logam atau paduan logam yang resistan terhadap Fretting Corrosion. Tabel II. 11
menunjukkan daftar logam atau paduan logam dengan tingkat ketahanan yang berbeda-beda
terhadap Fretting Corrosion.
Mengurangi beban pada permukaan bearing
h.
Jika memungkinkan, menaingkatkan pergerakan relatif antara bagian-bagian yang kontak untuk
mengurangi serangan korosi.
Mengurangi beban pada permukaan bearing
j.
Jika memungkinkan, menaingkatkan pergerakan relatif antara bagian-bagian yang kontak untuk
mengurangi serangan korosi.
Pada hard tool steel pada tool steel baik bertahan jika diserang oleh korosi fretting. Dimanaa korosi
fretting ini yaitu korosi yang terjadi pada konstruksi yang bergerak dengan mengelami gesekan. Jenis
korosi ini biasa terjadi pada sumbu yang berputar dan bergesekan. Material logam yang berputar dan
tergesek tersebut mengalami keausan akibat gesekan dan mengalami korosi secara bersamaan.
Karena sempitnya clearance maka corrosion product ikut berputar bersama logam yang terkorosi.
Korosi jenis ini mengakibatkan konstruksi menjadi longgar, menambah clearance ataupun mengurangi
tingkat kedapnya packing atau sealing.
Teori Oxydation water, berdasarkan bahwa banyak permukaan metal yang dilindiungi dari oksidasi atmosfir oleh suatu
lapisan tipis oksida yang ada pada metal tersebut. Ketika metal mengalami kontak dibawah pembebanan dan gerakan
relatif yang berulang, lapisan oksida terputus pada titik yang tinggi dan menghasilkan oksida debris
Fretting keausan terjadi pada antarmuka antara dua komponen dekat pemasangan saat
mereka
tunduk
berulang
gerak
relatif
sedikit
(tergelincir).
7.51.
Kadang-kadang
serangan
serius,
terutama
karena
dapat
menyebabkan
gerakan makroskopik antara bagian-bagian, atau retak kelelahan dapat berkembang di poros.
oksidasi Fretting dikurangi atau dicegah dengan penggunaan pelumas (misal rendah iscosity
minyak, molibdenum sulfida), yang menghambat akses oksigen dan pada saat yang sama
menekan keausan perekat. metode perlindungan lainnya untuk mencegah akses oksigen dengan
menggunakan gasket atau bahan penyegelan, untuk mengubah parameter mekanik yang
mempengaruhi
faktor dalam Persamaan (7.10), dan menggunakan bahan-bahan yang cocok dalam komponen. Satu
dapat menggunakan bahan keras di kedua bagian, alternatif bahan keras dalam satu bagian dan
lembut
satu
di
lain.
Bahan
lembut
mungkin
lapisan
(mis
Sn,
Pb,
Ag)
ketika
kedua komponen terbuat dari baja.
Pencegahan
Pelumasan dengan oli atau gemuk berviskositas rendah
Menaikkan harga kekerasan dari salah satu atau kedua material yang bersinggungan
Menaikkan gesekan antara material material yang dipasangkan dengan memperkasar permukaan
Menggunakan gasket untuk meredam getaran dan memindahkan oksigen pada permukaan bantal
Menaikkan beban untuk mengurangi slip antara pasangan pasangan material
Menurunkan beban pada permukaan bantalan
Naikkan kecepatan relatif antara bagian bagian untuk mengurangi serangan korosi
4.2.
CFC disebut juga sebagai korosi lelah yaitu kecenderungan suatu material mengalami
retak sebagai akibat adanya kombinasi antara lingkungan korosif dan tegangan siklis yang berulangulang pada daerah tersebut. Gambar 2.40 menunjukkan secara skematis perbedaan antara fatique
(kelelahan) dan CFC. [Mars G. Fontana, 1986]
CFC dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu kandungan oksigen, temperatur, pH dan
komposisi larutan. Sebagai contoh: besi, baja, stainless steel dan Al-bronze menunjukkan ketahanan
yang baik terhadap CFC pada lingkungan laut. Di lingkungan air laut, ketahanan Al-bronze dan
austenitic stainless steel terhadap CFC tinggal 70-80% dari ketahanan normalnya sedangkan
ketahanan paduan baja khrom tinggal 30-40% saja. [Mars G. Fontana, 1986]
Mekanisme terjadinya CFC belum banyak diteliti tetapi penyebab terjadinya CFC secara
kualitatif telah diketahui dengan jelas. CFC pada umumnya dijumpai pada lingkungan korosif yang
menyebabkan terjadinya korosi sumuran. Sumuran-sumuran tersebut menyebabkan dimulainya suatu
retakan baru. Bentuk retakan CFC pada umumnya adalah transgranular tanpa cabang .
Smoth bright
surface
Corrosion
product
Rough fracture
Contoh CFC yang terjadi pada pipa boiler yang terbuat dari baja karbon ditunjukkan oleh
Gambar 2.41. Dari Gambar 2.41 terlihat tipikal produk korosi berupa retakan yang tumbuh secara
perlahan dan secara makroskopik bentuk retakannya adalah beach marks dengan produk korosi
terakumulasi pada retakan yang diskontinu.
Frekuensi tegangan siklik juga penting dalam mempengaruhi ketahanan terhadap CFC
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.42. Dari Gambar 2.42 terlihat bahwa makin kecil frekuensi
tegangan siklik maka penjalaran per siklus semakin besar.
Contoh CFC yang terjadi pada pipa boiler yang terbuat dari baja karbon ditunjukkan oleh
Gambar 2.41. Dari Gambar 2.41 terlihat tipikal produk korosi berupa retakan yang tumbuh secara
perlahan dan secara makroskopik bentuk retakannya adalah beach marks dengan produk korosi
terakumulasi pada retakan yang diskontinu.
Frekuensi tegangan siklik juga penting dalam mempengaruhi ketahanan terhadap CFC
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.42. Dari Gambar 2.42 terlihat bahwa makin kecil frekuensi
tegangan siklik maka penjalaran per siklus semakin besar.
Gambar 2.41 CFC Pada Pipa Boiler Baja Karbon [Denny A. Jones,
1992]
(a)
(b)
Cara-cara pengendalian CFC antara lain adalah: [Mars G. Fontana, 1986 dan Denny A.
Jones, 1992]
a. Menggunakan inhibitor
b. Menggunakan proteksi katodik.
c. Mengatur keagresifitas lingkungan dengan cara menaikkan pH, mereduksi oksidatoroksidator yang terlarut dalam lingkungan.
d. Seleksi material yang tepat.
e. Menggunakan lapis lindung yaitu dengan melapisi benda kerja dengan logam lain
(electro deposition coating) seperti seng, khrom, nikel, tembaga dan nitrida.
f.
Design benda kerja yang sederhana dan menghindari tegangan siklik yang terjadi pada
benda kerja.
Keterangan:
A: lingkungan korosif, B: tegangan tarik, C: susceptible material
Selain kombinasi lingkungan dan karakteristik logam atau paduannya, SCC juga
disebabkan oleh tegangan tarik. Apabila tegangan tarik bertambah maka akan mengurangi waktu
terjadinya retakan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Gambar 2.34.
Dari Gambar 2.34 dapat disimpulkan bahwa ada suatu tegangan minimum agar SCC tidak
terjadi. Tegangan minimum ini tergantung pada temperatur, komposisi logam atau paduannya dan
komposisi lingkungan. Pada beberapa kasus, tegangan minimum besarnya 10% dari yield stress tetapi
pada kasus lain retakan tidak akan terjadi apabila tegangan lebih kecil dari 70% yield stress. Jadi ada
suatu batas tegangan minimum untuk suatu logam atau paduannya dan dalam lingkungan yang
tertentu pula.
SCC dapat berbentuk transgranular atau intergranular dan retakannya mengikuti alur-alur
makroskopik yang umum. Retakan transgranular lebih sering dijumpai daripada intergranular tetapi
kedua retakan ini dapat sekaligus terjadi pada logam atau paduan dengan system kristal yang sama.
Gambar 2.35 menunjukkan mikrostruktur kuningan dan baja karbon yang terkena serangan SCC
dengan bentuk retakan masing-masing transgranular dan intergranular.
Retakan pada umumnya terjadi pada arah tegak lurus tegangan tetapi dapat tersebar
secara acak baik tanpa ataupun dengan cabang. Hal ini tergantung pada struktur dan komposisi logam
dikombinasikan dengan lingkungannya.
Ditinjau dari segi Metalurgi, ketahanan suatu logam atau paduannya terhadap serangan
SCC tergantung pada komposisi kimia, orientasi butiran, komposisi dan distribusi endapan, interaksi
dislokasi dan transformasi fasa atau tingkat ketidaksetabilan. Faktor-faktor ini lebih lanjut berinteraksi
dengan komposisi lingkungan dan tegangan yang mempengaruhi waktu terjadinya retakan.
Gambar 2.36 dan 2.37 [Mars G. Fontana, 1986] masing-masing menunjukkan pengaruh
komposisi paduan pada austenitic stainless steel dan mild steel. Pada kedua kasus ini disimpulkan
bahwa terdapat suatu harga waktu minimum terjadinya retakan yang merupakan fungsi dari komposisi
logam atau paduannya. Fenomena ini berlaku juga untuk paduan tembaga dan emas. Pada umumnya
logam murni mempunyai ketahanan terhadap SCC lebih tinggi daripada paduan logam.
Korosi Lokal yang menyerang batas butir dan atau daerah yang berdekatan dengan batas butir
disebut sebagai Intergranular Corrosion (IGC). IGC terjadi karena adanya pengendapan pada daerah
batas butir. [Kr. Trethewey dan J. Chamberlain, 1991] . Gambar 2.49 menunjukkan secara skematis IGC.
[Denny A.Jones,1992]
Apabila daerah batas butir sedikit lebih reaktif daripada logam matriknya maka akan terjadi
Korosi Merata. Akan tetapi pada kondisi tertentu yaitu permukaan butiran bersifat sangat reaktif
daripada logam matriknya maka akan terjadi IGC.
IGC atau Korosi Antar Butir sering terjadi pada stainless steel khususnya austenitic dan ferritic
stainless steel sebagai akibat dari proses perlakuan panas atau pengelasan. Reaktivitas suatu logam
atau paduan terhadap IGC tergantung pada adanya unsur-unsur pengotor, pengayaan atau
pengurangan salah satu unsur pemadu pada daerah batas butir. Sebagai contoh adanya sejumlah kecil
besi dalam alumunium akan tersegregasi pada batas butir sehingga terjadi IGC. [Mars G. Fontana,
1986] Demikian pula halnya apabila pada batas butir stainless steel konsentrasi khrom berkurang akan
mengakibatkan IGC.
Gambar
2.49
Skema
Intergranular
Corrosion
[Denny
A.Jones,1992]
Teori IGC menyatakan bahwa secara konvensional IGC terjadi karena pengurangan kandungan
khrom di daerah batas butir. Penambahan sejumlah tertentu khrom pada ordinary steel akan
menyebabkan baja tersebut mempunyai ketahanan korosi yang tinggi di sejumlah jenis lingkungan.
Pada umumnya ditambahkan khrom lebih dari 10% ke dalam ordinary steel sehingga dihasilkan
stainless steel.
Gambar 2.50 adalah gambar mikrostruktur austenitic stainless steel yang menunjukkan
sensitivitasnya terhadap IGC. Gambar mikrostruktur ini dihasilkan dengan menggunakan alat Bantu
mikroskop electron.
Apabila kandungan karbon berkurang maka diperlukan waktu yang lebih lama untuk austenitic
stainless steel bersifat sensitive terhadap IGC. Gambar 2.51 menunjukkan pengaruh komposisi karbon
terhadap sensitivitas stainless steel 304 terkena serangan IGC.
Pada temperatur 425-815 oC, khrom karbida yaitu (Fe,Cr) 23C6 bersifat tidak larut dan mengendap
dari suatu larutan padat apabila kandungan karbonnya 0,02% atau lebih. Dengan demikian khrom
berpindah dari larutan padat sehingga kandungan karbon di daerah dekat batas butir menjadi
berkurang. Khromium karbida pada batas butir tidak mengalami perubahan sementara daerah dekat
batas butir yang kandungan khromnya berkurang atau habis (depletion) akan terkorosi pada berbagai
jenis lingkungan. Hal ini disebabkan oleh adanya pengurangan khrom berakibat pada ketahanan
terhadap korosi menjadi tidak tidak memadai.
Tipe 304 stainless steel 18-8 umumnya mengandung 0,06-0,08 % karbon. Kelebihan karbon
digunakan untuk mengombinasikannya dengan khrom sehingga dapat mengendapkan karbida. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat Gambar 2.52. Dari Gambar 2.52 terlihat bahwa karbon sangat siap untuk
berdifusi melalui batas butir pada temperatur sensitisasi tetapi pergerakan khrom lebih lemah daripada
karbon. Maka pada batas butir terbentuk permukaan baru yang disebut sebagai khromium karbida.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kandungan khrom pada batas butir dapat turun
sampai nol sehingga diperoleh dua daerah logam
kandungan khrom diturunkan menjadi 2% maka ketahanan terhadap korosinya menjadi berkurang, dua
komposisi logam yang berbeda akan saling kontak atau berhubungan dan terbentuk suatu daerah yang
luas tetapi tidak diinginkan. Daerah yang mengalami pengurangan (depletion) kandungan khrom akan
menjaga butiran dari serangan korosi. Jadi, pengurangan kandungan khrom berakibat serangan korosi
yang cepat terjadi di daerah batas butir sementara di daerah butiran tidak terjadi atau sedikit
terkorosi. [Mars G. Fontana, 1986]
Unsur-unsur yang dapat menyebabkan sensitisasi selain karbon dan khrom seperti dalam uraian
sebelumnya adalah nikel dan molybdenum. Nikel akan menaikkan aktivitas karbon dalam larutan padat
dan memfasilitasi pengendapan karbida sehingga menaikkan sensitivitas terhadap IGC. Molibdenum
mempunyai sifat mirip dengan khrom yaitu akan mengendap sebagai karbida pada batas butir
sehingga menaikkan sensitivitas terhadap IGC tetapi pengaruh molybdenum lebih kecil daripada khrom
karena konsentrasinya dalam paduan logam lebih kecil.
Batas butiran
Endapan chromium
karbida
Grain
Karbida
Grain
Dissolved metals
Cara pengendalian Intergranular Corrosion atau IGC antara lain adalah: [Denny A. Jones, 1992]
Stainless steel tipe 304L mengandung < 0,03% C dikembangkan untuk aplikasi pada instalasi
nuklir. Akan tetapi, pada saat ini stainless steel tipe 304L digunakan hampir di semua industri.
Menstabilkan paduan dan menambahkan unsur-unsur pemadu seperti titanium dan niobium.
Tipe 347 dan 321 masing-masing mengandung niobium dan titanium. Niobium dan titanium ini akan
bereaksi dengan karbon di atas temperatur 815
memindahkan karbon dari larutan dan karbida akan mengendap secara acak di batas butir pada
temperatur yang lebih tinggi.
carbon) sehingga tidak tersedia lagi karbon untuk mengendapkan chromium di batas butir pada daerah
temperatur kritis yaitu antara 425-815 oC. [Denny A. Jones, 1992]
6.1.
Stress Corrosion Cracking atau disingkat sebagai SCC adalah kegagalan rapuh (brittle
failure) suatu material akibat adanya kombinasi tegangan tarik dan lingkungan yang korosif . Cara
pengendalian korosi yang paling tepat untuk SCC adalah proteksi katodik [Mars G. Fontana, 1986]
Selama proses SCC, sebenarnya logam atau paduannya tidak mengalami kerusakan di
sebagian besar permukaannya. Hanya terjadi retakan halus yang kemudian retakan tersebut
berkembang lebih lanjut.
Dua contoh klasik SCC adalah season cracking pada kuningan dan caustic embrittlement
pada baja. Kedua contoh ini menunjukkan babwa lingkungan korosif mempengaruhi terjadinya SCC.
Kombinasi ketiga faktor yang menyebabkan terjadinya SCC dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 2.33.
Lingkungan yang mempengaruhi terjadinya SCC pada suatu logam atau paduannya
bersifat spesifik. Artinya tidak semua logam atau paduan akan terkena serangan SCC oleh lingkungan
yang sama. Contohnya adalah stainless steel dalam lingkungan khlorida akan terserang SCC tetapi
dalam lingkungan ammonia tidak terserang SCC. Sebaliknya, kuningan dalam lingkungan khlorida tidk
akan terserang SCC tetapi dalam lingkungan ammonia, kuningan terserang SCC.
Keterangan:
A: lingkungan korosif, B: tegangan tarik, C: susceptible material
Selain kombinasi lingkungan dan karakteristik logam atau paduannya, SCC juga
disebabkan oleh tegangan tarik. Apabila tegangan tarik bertambah maka akan mengurangi waktu
terjadinya retakan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Gambar 2.34.
Dari Gambar 2.34 dapat disimpulkan bahwa ada suatu tegangan minimum agar SCC tidak
terjadi. Tegangan minimum ini tergantung pada temperatur, komposisi logam atau paduannya dan
komposisi lingkungan. Pada beberapa kasus, tegangan minimum besarnya 10% dari yield stress tetapi
pada kasus lain retakan tidak akan terjadi apabila tegangan lebih kecil dari 70% yield stress. Jadi ada
suatu batas tegangan minimum untuk suatu logam atau paduannya dan dalam lingkungan yang
tertentu pula.
SCC dapat berbentuk transgranular atau intergranular dan retakannya mengikuti alur-alur
makroskopik yang umum. Retakan transgranular lebih sering dijumpai daripada intergranular tetapi
kedua retakan ini dapat sekaligus terjadi pada logam atau paduan dengan system kristal yang sama.
Gambar 2.35 menunjukkan mikrostruktur kuningan dan baja karbon yang terkena serangan SCC
dengan bentuk retakan masing-masing transgranular dan intergranular.
Retakan pada umumnya terjadi pada arah tegak lurus tegangan tetapi dapat tersebar
secara acak baik tanpa ataupun dengan cabang. Hal ini tergantung pada struktur dan komposisi logam
dikombinasikan dengan lingkungannya.
Ditinjau dari segi Metalurgi, ketahanan suatu logam atau paduannya terhadap serangan
SCC tergantung pada komposisi kimia, orientasi butiran, komposisi dan distribusi endapan, interaksi
dislokasi dan transformasi fasa atau tingkat ketidaksetabilan. Faktor-faktor ini lebih lanjut berinteraksi
dengan komposisi lingkungan dan tegangan yang mempengaruhi waktu terjadinya retakan.
Gambar 2.36 dan 2.37 [Mars G. Fontana, 1986] masing-masing menunjukkan pengaruh
komposisi paduan pada austenitic stainless steel dan mild steel. Pada kedua kasus ini disimpulkan
bahwa terdapat suatu harga waktu minimum terjadinya retakan yang merupakan fungsi dari komposisi
logam atau paduannya. Fenomena ini berlaku juga untuk paduan tembaga dan emas. Pada umumnya
logam murni mempunyai ketahanan terhadap SCC lebih tinggi daripada paduan logam.
Tabel II.7 Kombinasi Lingkungan Dan Logam Atau Paduannya Yang Menyebabkan SCC [Denny A. Jones,
1992]
_________________________________________________________________
Paduan
Lingkungan
Temperatur,oC
_________________________________________________________________
Austenitic
stainless
steel
khlor
Ferritic
stainless
steel
60-200
stainless
steel
SCC dalam asam polythionic. Juga lebih resistan daripada ferritic stainless steel terhadap bentuk korosi lain)
Paduan
290
Nikel
200, 201
Paduan
titanium
25
> 260
30-75
_________________________________________________________________
25
N2O4
serangan
SCC
dengan
bentuk
retakan
masing-masing
Mekanisme terjadinya SCC pada umumnya dapat dibagi menjadi dua tahapan yaitu tahap inisiasi dan
tahap penjalaran atau propagasi. Tahap inisiasi atau disebut juga sebagai tahap pemicuan merupakan
tahap terjadinya retakan