Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Respon anafilaktik merupakan keadaan yang mengancam nyawa setelah
terpapar dengan antigen spesifik. Insiden reaksi anafilaktik selama anestesi
diperkirakan 1:3500 sampai 1:20000 anestesi. Tingkat mortalitas rekasi anafilaksi
bisa mencapai 4% pada pasien cedera otak dan 2% pada pasien yang bukan cedera
otak. Studi di Perancis yang mengevaluasi 789 reaksi anafilasis dan reaksi
anafialktoid, menyatakan bahwa sebab paling sering reaksi anafilaktik perioperatif
adalah neuromuskular blocker (58%), lateks (17%) dan antibiotik (15%).
Reaksi anafiaktik bermanifestasi pada beberapa sistem tubuh seperti
repiratory distress, edema laring, brongkospasme, atau bisa juga terjadi kegagalan
vaskular atau syok tanpa didahului kegagalan pernapasan. Manifestasi pada kulit
bisa berupa pruritus atau urtikaria dengan atau tanpa angioudem. Selain itu juga
bisa terjadi mual, muntah, nyeri perut dan diare sebagai manifestasi dari saluran
cerna.
Tanda dan gejala yang muncul dapat berbeda pada setiap individu, tetapi
hallmark dari reaksi anafilaktik adalah onset klinis muncul dalam waktu yang
sangat cepat setelah masuknya antigen. Munculan klinis bisa berupa obstruksi
saluran napas atas dan/atau bawah. Udem laring, serak atau stridor.
Reaksi anafilaksis perlu untuk didiagnosis dengan cepat dan tepat, karena
keadaan yang berkepanjangan dapat berakibat fatal. Diagnosis reaksi anafilaksis

bergantung kepada onset gejala dan tanda yang muncul dalam beberapa menit
setelah terpapar dengan alergen.
I. 2. Batasan Masalah
Pembahasan Referrat ini dibatasi pada definisi, epidemiologi, faktor risiko,
patogenesis dan patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan,
komplikasi, dan prognosis reaksi anafilaksis.
I. 3. Tujuan Penulisan
Penulisan referrat ini bertujuan untuk memahami dan menambah
pengetahuan tentang reaksi anafilaksis.
I.4. Metode Penulisan
Metode penulisan referrat ini adalah tinjauan kepustakaan berdasarkan
beberapa literatur.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Respon anafilaktik merupakan keadaan yang mengancam nyawa setelah
terpapar dengan antigen spesifik. Reaksi anafiaktik bermanifestasi pada
beberapa

sistem

tubuh

seperti

repiratory

distress,

edema

laring,

brongkospasme, atau bisa juga terjadi kegagalan vaskular atau syok tanpa
didahului kegagalan pernapasan. Manifestasi pada kulit bisa berupa pruritus
atau urtikaria dengan atau tanpa angioudem. Selain itu juga bisa terjadi mual,
muntah, nyeri perut dan diare sebagai manifestasi dari saluran cerna.1
2.2 Epidemiologi Reaksi Anafilaktik
Anafilaksis adalah reaksi yang berlebihan terhadap suatu alergen yang
diperantarai oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Gejalanya muncul dalam hitungan
menit setelah paparan dengan aantigen yang spesifik pada orang yang telah
terensitisasi dan memperlihatkan kegagalan fungsi pernapasan, syok, atau
keduanya. Kematian dapat terjadi pada reaksi anafilaltik atau terjadi syok sirkulasi
yang ireversibel.2
Insiden reaksi anafilaktik selama anestesi diperkirakan 1:3500 sampai
1:20000 anestesi. Tingkat mortalitas rekasi anafilaksi bisa mencapai 4% pada
pasien cedera otak dan 2% pada pasien yang bukan cedera otak. Studi di Perancis
yang mengevaluasi 789 reaksi anafilasis dan reaksi anafialktoid, menyatakan
bahwa sebab paling sering reaksi anafilaktik perioperatif adalah neuromuskular
blocker (58%), lateks (17%) dan antibiotik (15%).2

Menurut The american College of Allergy and Immunology Epidemiology


of Anaphylaxys Working menyatakan bahwa frekuensi anafilaksis adalah sekitar
30-950 kasus 100.000 orang per tahun.
2.3 Etiologi Dan Faktor Predisposisi Reaksi Anafilaksis
Tidak ada bukti yang pasti mengenai usia, jenis kelamin, ras, atau
geografis sebagai faktor predisposisi reaksi anafilaktik kecuali paparan antigen.
Menurut beberapa studi, riwayat atopi yang dimiliki seseorang bukanlah faktor
predisposisi terhadap anafilaktik.
Hal yang bisa memunculkan reaksi anafilaktik pada manusia adalah:
Tabel 2.1 Perkiraan pencetus reaksi anafilaksis di Inggris antara 1992-2001
Sengatan
Kacang-kacangan

47
32

tawon (29), Lebah (4), tidak diketahui (14)


Kacang tanah (10), walnut (6), almond (2), brazil
(2), hazelnut (1), campuran atau tidak diketahui
(11)
Makanan
47
Susu (5), ikan (2), buncis (2), udang (2), pisang
(1), kerang (1)
Antibiotik
27
Penisilin (11), sefalosporin (12), amphoterisin (2),
ciprofloksasin (1), vancomisin (1)
Obat anestesi
39
Suxamethoneium
(19),
vecuronium
(7),
atracurium (6), induksi (7)
Obat-obat lain
NSAID (6), ACE-I (3), gelatin (5), protamin (2),
vitamin K (2), etoposide (1), asetazolamid (1),
petidin (1), anestesi lokal (1), diamorfin (1),
streptokinase (1)
Media kontras
11
Iodin (9), technetium (1), fluorescein (1)
Lain-lain
3
Latex (1), pewarna rambut (1), cacing hydatid (1)
(Pumphrey RS. Fatal anaphylaxis in the UK.)
Reaksi anafilaktoid merupakan reaksi yang menyerupai anafilaktik tetapi
tidak bergantung kepada interaksi antara antibodi IgE dengan antigen. Sebuah
obat dapat langsung menyebabkan pengeluaran histamin dari sel mast (contoh:
urtikaria setelah pemberian morfin sulfat dosis tinggi) atau aktivasi komplemen.

Meskipun mekanismenya berbeda, keduanya sulit untuk dibedakan dan samasama mengancam nyawa.2
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi Reaksi Anafilaksis
Reaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik
terhadap alergen tertentu. Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit,
mukosa, sistem pernafasan maupun makanan, terpapar pada sel plasma dan
menyebabkan pembentukan IgE spesifik terhadap alergen tertentu. IgE spesifik ini
kemudian terikat pada reseptor permukaan mastosit dan basofil. Pada paparan
berikutnya, alergen akan terikat pada IgE spesifik dan memicu terjadinya reaksi
antigen antibodi yang menyebabkan terlepasnya mediator yakni antara lain
histamin dari granula yang terdapat dalam sel. Ikatan antigen antibodi ini juga
memicu sintesis SRS-A ( Slow reacting substance of Anaphylaxis ) dan degradasi
dari asam arachidonik pada membran sel, yang menghasilkan leukotrine dan
prostaglandin. Reaksi ini segera mencapai puncaknya setelah 15 menit. Efek
histamin, leukotrine (SRS-A) dan prostaglandin pada pembuluh darah maupun
otot polos bronkus menyebabkan timbulnya gejala pernafasan dan syok.4
Efek biologis histamin terutama melalui reseptor H1 dan H2 yang berada
pada permukaan saluran sirkulasi dan respirasi. Stimulasi reseptor H1
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, spasme bronkus dan
spasme pembuluh darah koroner sedangkan stimulasi reseptor H2 menyebabkan
dilatasi bronkus dan peningkatan mukus dijalan nafas. Rasio H1 H2 pada
jaringan menentukan efek akhirnya.4,5 Aktivasi mastosit dan basofil menyebabkan
juga respon bifasik dari cAMP intraselluler. Terjadi kenaikan cAMP kemudian
penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan granula kedalam cairan
ekstraselluler. Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat

pelepasan

mediator. Obat-obatan yang mencegah penurunan cAMP intraselluler ternyata


dapat menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain adalah
katekolamin (meningktakan sintesis cAMP) dan methyl xanthine misalnya
aminofilin (menghambat degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediatormediator ini menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun sekresi mediator

sekunder dari netrofil, eosinofil dan trombosit, mediator primer dan sekunder
menimbulkan berbagai perubahan patologis pada vaskuler dan hemostasis,
sebaliknya obat-obat yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya obat cholinergik)
dapat memperburuk keadaan karena dapat merangsang terlepasnya mediator.4,5,6
Reaksi Anafilaktoid
Reaksi anafilaktoid adalah reaksi yang menyebabkan timbulnya gejala
dan keluhan yang sama dengan reaksi anafilaksis tetapi tanpa adanya mekanisme
ikatan antigen antibodi. Pelepasan mediator biokimiawi dari mastosit melewati
mekanisme nonimunologik ini belum seluruhnya dapat diterangkan. Zat-zat yang
sering menimbulkan reaksi anafilaktoid adalah kontras radiografi (idionated),
opiate, tubocurarine, dextran maupun mannitol. Selain itu aspirin maupun NSAID
lainnya juga sering menimbulkan reaksi anafilaktoid yang diduga sebagai akibat
terhambatnya enzim siklooksgenase.
Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi.
Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.7
Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang
dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala. 7,8,9 Alergen yang masuk lewat
kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan ditangkap oleh Makrofag.
Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia
akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E
spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel
Mast (Mastosit) dan basofil.7,8 Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang
berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan
lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat
oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator
vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif
lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediator.7,8

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari


membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi,

meningkatkan

permeabilitas

kapiler

yang

nantinya

menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan


permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet
Activating Factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik
eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan
bronkokonstriksi.7,8
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan
terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang
diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan
perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi
pada keaadan syok yang membahayakan penderita. Hipotensi dan syok dapat
terjadi sebagai akibat dari kehilangan volume intravaskular, vasodilatasi, dan
disfungsi miokard. Peningkatan permeabilitas vaskuler dapat menyebabkan
pergeseran 50 % volume vaskuler ke ruang ekstravaskuler dalam 10 menit.9

Tabel 2.2 Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis


Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis
Anafilaksis (melalui IgE)
Antibiotik (penisilin, sefalosporin)
Ekstrak alergen (bisa tawon, polen)
Enzim (kemopapain, tripsin)
Serum heterolog (antibiotik tetanus, globulin antilimfosit)
Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
Zat pelepas histamin secara langsung :
Obat (opiat, vankomisin, kurare)
Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)
Obat lain (dekstran, fluoresens)
Aktivasi komplemen
Protein manusia (imunoglobulin, dan produk darah)
Bahan dialisis
Modulasi metabolisme arakidonat
Sumber : Iris Renggani, 2009
2.5 Manifestai Klinis Reaksi Anafilaksis
Walaupun gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbedabeda gradasinya sesuai berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat
sensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat barupa syok anafilaktik
gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi. Kedua
gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang kronologisnya
sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya makin
cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita.6,10,11
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3
tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai
1 jam setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24
jam setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam
setelah terpapar dengan alergen. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal
baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat
keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat
ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak di
mulut dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan
periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair.12,13

Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.


Derajat

sedang

dapat

mencakup

semua

gejala-gejala

ringan

ditambah

bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan
mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi.
Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan
yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti
yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame,
edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada
abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang
terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau
renjatan yang irreversible.12,13
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat
terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,
gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan
sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa
takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada
tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.7,8
Sistem pernafasan
Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau
batuk saja yang kemudian segera diikuti dengan udema laring dan bronkospasme.
Kedua gejala terakhir ini menyebabkan penderita nampak dispnue sampai
hipoksia yang pada gilirannya menimbulkan gangguan sirkulasi, demikian pula
sebaliknya, tiap gangguan sirkulasi pada gilirannya menimbulkan gangguan
respirasi. Umumnya gangguan respirasi berupa udema laring dan bronkospasme
merupakan pembunuh utama pada syok anafilaktik.
Sistem sirkulasi
Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari gangguan
respirasi, tapi bisa juga berdiri sendiri, artinya terjadi gangguan sirkulasi tanpa
didahului oleh gangguan respirasi. Gejala hipotensi merupakan gejala yang
menonjol pada syok anafilaktik. Hipotensi terjadi sebagai akibat dari dua faktor,

pertama akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer dan kedua akibat
meningkatnya permeabilitas dinding kapiler sehingga selain resistensi pembuluh
darah menurun, juga banyak cairan intravaskuler yang keluar keruang interstitiel
(terjadi hipovolume relatif). Gejala hipotensi ini dapat terjadi dengan drastis
sehingga tanpa pertolongan yang cepat segera dapat berkembang menjadi gagal
sirkulasi atau henti jantung.6
Gangguan kulit.
Merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi
anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting
untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal untuk
timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas dan gangguan sirkulasi.
Oleh karena itu setiap gangguan kulit berupa urtikaria, eritema, atau pruritus harus
diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat. Dengan kata
lain setiap keluhan kecil yang timbul sesaat sesudah penyuntikan obat,harus
diantisipasi untuk dapat berkembang kearah yang lebih berat.10
Gangguan gastrointestinal
Perut kram, mual, muntah sampai diare merupakan manifestasi dari
gangguan gastrointestinal yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk
timbulnya gejala gangguan nafas dan sirkulasi. Skema perubahan patofisiologi
pada syok anafilaktik.11

10

Tabel 2.3 Gejala dan Tanda Renjatan Anafilaktik dari berbagai organ14
Sistem
Umum
Prodormal

Pernafasan
Hidung
Laring
Lidah
Bronkus
Kardiovaskuler

Gastrointestinal

Kulit
Mata
Susunan saraf pusat
Sumber : Iris Renggani, 2009

Gejala dan Tanda


Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar
dilukiskan, rasa tak enak di dada dan
perut, rasa gatal dihidung dan
palatum.
Hidung gatal, bersih, dan tersumbat.
Rasa tercekik, suara serak, sesak
nafas, stridor, edema, spasme
Edema
Batuk, sesak, mengi, spasme
Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardi,
hipotensi sampai syok, aritmia.
Kelainan EKG: gelombang T datar,
terbalik, atau tanda-tanda infark
miokard
Disfagia, mual, muntah, kolik, diare,
yang kadang-kadang disertai darah,
peristaltik usus meninggi
Urtika, angioderma, di bibir, muka
atau ekstreminitas
Gatal, lakrimasi
Gelisah, kejang

2.6 Diagnosis Reaksi Anafilaksis


Diagnosis reaksi anafilaksis kemungkinan besar bisa ditegakkan apabila
pasien yang telah terpapar dengan alergen mengalami sakit yang mendadak
(biasanya dalam hitungan menit setelah paparan) dengan perubahan kulit yang
cepat dan permasalahan jalan napas dan/atau pernapasan dan/atau sirkulasi yang
mengancam nyawa.3
Kekurangan masifestasi klinis dan luasnya cakupan klinis menyebabkan
sulit untuk menegakkan diagnosis. Banyak pasien reaksi anafilaktik murni yang
11

tidak mendapatkan pengobatan yang seharusnya. Pasien biasanya sudah diberikan


epinefrin injeksi yang tidak memadai untuk menanggulangi reaksi alergi yang
melibatkan kulit, atau menekan vasovagal refleks. Masalah dalam penegakan
diagnosis sering muncul terutama pada pasien anak.3
Satu kriteria diagnosis saja belum cukup untuk mengidentifikasi seluruh
reaksi anafilaktik. Ada range klinis yang luas dan tidak ada satupun yang bisa
benar-benar khas untuk reaksi anafilaktik, meskipun beberapa kombinasi gejala
dan tanda dapat lebih meningkatkan kemungkinan reaksi anafilaktik. Ketika
mengidentifikasi dan memberikan terapi penyakit akut apapun pada pasien, harus
dilakukan pendekatan ABCDE dan dilakukan identifikasi masalah lain yang
mungkin membahayakan nyawa pasien. Diagnosis juga akan semakin kuat jika
ada riwayat paparan pasien dengan alergen.3
3 kriteria untuk menunjang diagnosis reaksi anfilaktik:3
1. Onset cepat dan gejala memburuk dnegan cepat
a. Pasien merasa dan terlihat tidak baik
b. Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit. Jarang sekali munculan
klinisnya muncul terlambat
a. Onset tergantung kepada jenis pencetus. Pecetus yang masuk melalui
intravena memiliki onset yang lebih cepat
2. Masalah jalan napas (airway) dan/atau pernapasan (breathing) dan atau
sirkulasi (circulation).
a. Masalah jalan napas:
Pembengkakan jalan napas, seperti tenggorokan, faring atau laring
edema. Pasien akan kesusahan bernapas dan menelan dan merasa

tenggorokannya tertutup.
Suara serak
Stridor karena obstruksi saluran napas bagian atas

12

b. Masalah napas
Nafas pendek dan cepat
Wheezing
Lelah
Pasien kebingungan karena hipoksia
Sianosis
Henti napas
c. Masalah sirkulasi
Syok anafilaktik, terjadi karena depresi miokardium langsng,
vasodilatasi, dan kebocoran kapiler dan hilangnya cairan dari

sirkulasi.
Takikardi, pada tahap yang lebih berat dapat terjadi bradikardi yang

biasanya terjadi sebelum cardiac arrest


Hipotensi
Pusing
Collapse
Penurunan kesadaran
Anafilaksis dapat menyebabkan iskemik miokard dan perubahan EKG
Cardiac arrest
3. Masalah Airway, Breathing dan Circulation dapat mengganggu status
neurologis pasien (masalah disabilitas) karena penurunan perfusi ke oatak.
Pasien menjadi kebingungan, agitasi dan kehilangan kesadaran
4. Perubahan pada kulit atau mukosa (memerah, urtikaria, angioedema).
Perubahan pada kulit atau mukosa saja bukanlah merupakan tanda reaksi
anafilaktik. Perubahan yang terjadi bisa saja minimal atau ringan pada 20%
kasus reaksi anafilatik.
Dapat dinilai sebagai exposure (E):
Sering merupakan tanda pertama dan muncul pada 80% kasus reaksi

anafilaktik.
Bisa ringan sampai berat.
Keterlibatan mukosa atau kulit atau keduanya.
Pad akulit dapat ditemukan kemerahan, lokal atau seluruh tubuh.
Urtikaria yang bisa muncul dimana saja di tubuh dan gatal.

13

Angioedema hampir serupa dnegan urtikaria namun sudah terjadi


pembengkakan jaringan yang lebih dalam, sering pada kelopak mata,
bibir, dan terkadang di mulut dan tenggorokan.

Gambar 2.1 : Kriteria diagnosis reaksi anafilaksis16


2.7 Diagnosis Banding Reaksi Anafilaksis
Beberapa keadaan yang dapat menyerupai reaksi anafilaksis yaitu reaksi
vasovagal,infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histerik, atau
angioderma herediter.14
14

1. Reaksi Vasovagal
Sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan. Pasien tampak mau
pingsan, pucat dan berkeringat. Dibandingkan dengan reaksi anafilaksis, pada
reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan
darahnya turun, tetapi masih muda diukur dan biasanya tidak terlalu rendah
seperti pada anafilaksis.14
2. Infark Miokard
Gejala nyeri dada, merupakan gejala yang paling menonjol, baik dengan
penjalaran atau tidak. Gejala tersebut sering diikuti dengan sesak, tetapi tidak
tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas, maupun kulit. Pemeriksaan
elektrokardiografi dan enzimatik akan membantu diagnosis infark miokard.14
3. Reaksi Hipoglikemik
Diakibatkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau oleh sebab lain. Pasien
tampak lemah, pucat, berkeringat sampai tak sadar. Tekanan darah kadang-kadang
menurun, tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas, maupun kulit.
Pemeriksaan kadar gula darah dan pemberian terapi glukosa menyokong
diagnosis reaksi hipoglikemik.14
4. Reaksi Histerik
Tidak dijumpai tanda-tanda gagal napas, hipotensi atau sianosis. Pasien
kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Penilaian tanda-tanda vital
dan status neurologik dengan cepat membedakan keadaan ini dengan reaksi
anafilaktik. Sering pasien mengeluh parestesia.14
5. Sindrom Angioedema Neurotik Herediter
Sindrom ini ditandai dengan angioedema saluran napasbagian atas dan
sering disertai dengan kolik abdomen. Tidak dijumpai kelainan kulit atau kolaps
vaskuler. Adanya riwayat keluarga yang mempunyai sindroma ini disertai
penurunan kadar inhibitor C1 esterase mendukung adanya sindrom angioedema
neurotik herediter.14

15

2.8 Tatalaksana Reaksi Anafilaksis


Jika terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik
peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan
adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga
menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras.
Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik
vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation
dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup
dasar.
a) Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi
kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan
napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi
kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif,
melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
b) Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak
ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut
ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10
liter/menit melalui masker. Oksigen harus diberikan pada penderita yang
mengalami sianosis, dispnu yang jelas, atau penderita dengan mengi.15
c) Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.
karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

16

Apabila anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstrimitas atau


sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang turniket proksimal dari daerah
suntikan atau tempat gigitan tersebut. Setiap 10 menit turniket ini dilonggarkan
selama 1-2 menit.
Untuk mengatasi syok pada anak dapat diberikan cairan NaCl fisiologis
atau Ringer Laktat sebanyak 20 ml/kgBB secepatnya sampai syok teratasi, lalu
dilanjutkan dengan cairan maintenance. Pemberian cairan akan meningkatkan
tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis
cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan pilihan mengingat
terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila
memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan
kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan
terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma.
Beberapa hal yang harus diperhatikan terkait posisi pasien :3
- Pasien dengan masalah pada jalan nafas (Airway) atau pernafasan (Breathing)
sebaiknya duduk jika pasien sanggup sehingga melancarkan pernafasan
- Berbaring lurus dengan atau tanpa menaikan kaki sangat membantu pada pasien
dengan tekanan darah rendah (Circulation). Jika pasien tidak sadarkan diri, jangan
mendudukan atau mendirikan pasien karena kemungkinan dapat menimbulkan
cardiac arrest.
- Pasien tidak sadar yang masih bernafas di posisikan kesamping
- Pasien yang hamil sebaiknya berbaring ke arah kiri untuk mencegah kompresi
kaval.
Hentikan pencetus3
17

- Hentikan semua obat yang diduga menyebabkan reaksi anafilaktik misalnya


hentikan segera infus intravena dari antibiotic atau obat lainnya
- Jika anafilaksis diinduksi oleh makanan, tindakan untuk memuntahkan makanan
yang dimakan tidak dianjurkan
- Jangan menunda terapi definitive jika tidak dapat menghentikan pemicu
Cardiorespiratory arrest saat reaksi anafilaktik3
Lakukan resusitasi jantung paru segera dan ikuti guideline yang ada.
Berikan adrenalin dengan dosis yang disesuaikan pada ALS (Advanced Life
Support). Pemerian adrenalin secara intramuscular tidak dianjurkan pada pasien
yang mengalami cardiac arrest.

18

Algoritma tatalaksana anafilaksis3

19

Gambar 2.2 : Algoritme Resusitasi Syok Anafilaksis3


Obat-obatan untuk reaksi anafilaksis

20

1. Adrenalin (epinefrin)
Adrenalin merupakan obat yang paling penting untuk mengatasi reaksi
anafilaksis. Berdasarkan beberapa penelitian, adrenalin terbukti dapat mengtasi
kesulitan bernafas dan mengembalikan curah jantung normal pada pasien dengan
reaksi anafilaksis. Sebagai agonis alfa reseptor, adrenalin menyebabkan
vasokonstriksi perifer dan mengurangi oedema. Sebagai beta reseptor, adrenalin
menyebabkan dilatasi pada bronkus, meningkatkan kontraksi miokard, dan
menekan pelepasan histamine dan leukotriene. Selain itu terdapat reseptor
adrenergic beta-2 pada sel mast yang menghambat aktivasi dengan demikian
adrenalin melemahkan reaksi alergi yang berhubungan dengan IgE.3
Adrenalin bekerja maksimal jika diberikan segera setelah onset namun
masih mungkin terdapat risiko saat diberikan secara intravena. Efek samping
biasanya jarang jika diberikan intramuskular dengan dosis yang tepat. Kadang
masih terdapat perdebatan apakah komplikasi seperti iskemia miokard disebabkan
oleh alergen atau adrenalin yang diberikan.3
Adrenalin sebaiknya diberikan kepada seluruh pasien yang memiliki
kondisi yang mengancam jiwa. Jika ditemukan pasien dengan reaksi anafilaktik
yang tidak mengancam jiwa, pasien harus diobservasi dengan seksama dan
diberikan terapi simtomatik dengan tetap menggunakan pendekatan ABCDE.
Adrenalin harus tersedia di setiap klinik jika reaksi anafilaksis terjadi.3

Adrenalin secara intramuskular


Pemberian adrenalin secara intramuskular merupakan pilihan terbaik
sebagai terapi reaksi anafilaksis. Monitor pasien secepat mungkin (nadi,
tekanan darah, EKG, saturasi oksigen). Hal ini akan membantu mengawasi

21

respons terhadap adrenalin. Pemberian secara intramuskular memiliki


beberapa keuntungan :3
- Lebih aman
- Tidak membutuhkan akses intravena
- Pemberian secara intramuskular lebih mudah untuk dipraktekan
Lokasi peyuntikan yang dianjurkan adalah daerah anterolateral sepertiga
tengah paha. Sebaiknya jarum yang digunakan panjang sehingga untuk
memastikan adrenalin diinjeksikan ke otot. Terapi adrenalin secara subkutan
atau inhalasi tidak dianjurkan sebagai tatalaksana reaksi anafilaktik karena
tidak efektif.3

Gambar 2.3: Dosis pemberian adrenalin secara intramuskular3


Ulangi pemberian adrenalin secara intramuskular dengan dosis yang sama jika
tidak ditemukan perbaikan klinis pada pasien. Pemberian diberikan dengan jeda
setiap lima menit tergantung kondisi pasien.3

Adrenalin secara intravena (hanya untuk spesialis)


Pemberian adrenalin secara intramuskular merupakan pilihan utama
hampir diseluruh palayanan kesehatan. Terdapat risiko yang lebih besar dan

22

dapat menyebabkan efek samping berbahaya yang disebabkan oleh dosis yang
tidak sesuai atau misdiagnosis anafilaksis pada saat penggunaan adrenalin
intravena. Oleh karena itu pemberian intramuskular lebih disarankan.3
Pemberian adrenalin secara intravena hanya untuk tenaga kesehatan
yang berpengalaman dalam penggunaan vasopressor pada praktek sehari-hari
(seperti : dokter anestesi, dokter emergensi, dokter intensif).3
Pada beberapa layanan kesehatan adrenalin yang diberikan secara
intravena diberikan untuk resusitasi pasien yang mengalami cardiac arrest.
Pada pasien dengan keadaan sirkulasi yang baik, pemberian adrenalin secara
intravena dapat menyebabkan hipertensi yang mengancam jiwa, takikardi,
aritmia, dan iskemia miokard.3
Pasien yang diberikan adrenalin secara intravena harus dimonitor dengan
EKG, saturasi oksigen, dan tekanan darah. Pasien yang membutuhkan terapi
adrenalin secara berulang-ulang dapat diberikan secara intravena, sedangkan
pasien yang membutuhkan terapi adrenalin secara intravena berulang-ulang,
dapat memasang infus adrenalin (hanya boleh dilakukan oleh tenaga
professional.3

23

Gambar 2.4 : Dosis terapi untuk adrenalin secara intravena3

Adrenalin auto-injectors
Auto-injectors sering diberikan pada pasien yang berisiko tinggi untuk
mengalami reaksi anafilaksis. Saat ini terdapat dua jenis auto-injector yaitu
0.15 dan 0.3 mg.3

Oksigen (berikan segera)


Berikan oksigen dengan konsentrasi maksimal dengan menggunakan
masker biasanya diatas 10 L/min. Jika pasien diintubasi, ventilasinya paru
dengan oksigen konsentrasi tinggi menggunakan self-inflating bag.3
24

Cairan (berikan segera)


Selama reaksi anafilaksis banyak cairan tubuh yang keluar dari sirkulasi
pasien dan juga akan terjadi vasodilatasi, tekanan darah rendah, dan tandatanda syok. Jika terdapat akses intravena, berikan cairan intravena dengan
metode fluid challenge (20ml/kg BB pada anak atau 500-1000 ml pada
dewasa) dan perhatikan respon pasien, berikan cairan tambahan jika
dibutuhkan. Tidak terdapat bukti yang mendukung bahwa penggunaan cairan
koloid lebih baik dibanding cairan kristaloid pada keadaan ini. Pertimbangkan
cairan koloid sebagai penyebab reaksi anafilaktik jika pasien telah mendapat
infus koloid sebelumnya dan segera hentikan infusnya. Hartmanns solution
atau Nacl 0.9 % merupakan cairan yang dianjurkan untuk resusitasi. Jumlah
cairan yang banyak mungkin dibutuhkan.3
Jika akses intravena sulit dilakukan, pemberian cairan melalui intra-osseus
dapat dilakukan untuk melakukan resusitasi pada anak dan dewasa, namun

hanya dapat dilakukan di layanan kesehatan yang berfasilitas.3


Antihistamin (setelah melakukan resusitasi awal)
Antihistamin merupakan tatalaksana lini kedua untuk reaksi anafilaksis.
Bukti yang mendukung penggunaan antihistamin sebagai terapi anafilaksis
tidak kuat, namun dapat dijelaskan secara teori. Antihistamin (H1antihistamine)
bronkokonstriksi

dapat
yang

membantu

menghambat

disebabkan

oleh

efek

histamine.

vasodilatasi
Berikan

chlorphenamine secara perlahan secara intravena atau intramuskular.3

Gambar 2.5 : Dosis chlorphenamine berdasarkan usia3

25

dan

injeksi

Terdapat beberapa penelitan yang mendukung bahwa pemberian


antihistamin H2 seperti ranitidine dan simetidin dapat diberikan sebagai terapi
awal pada reaksi anafilaksis.3

Steroid (diberikan setelah resusitasi awal)


Kortikosteroid dapat membantu dengan menghambat atau memperpendek
lamanya reaksi. Pada asma, terapi kortikosteroid pada awal onset sangat
membantu pada pasien anak-anak maupun dewasa. Namun, terdapat sedikit
bukti yang menjelaskan berapa dosis optimal hidrokortison yang diberikan
pada anafilaksis. Pada tatalaksana pasien dengan asma, pemberian
hidrokortison dosis tinggi tidak memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan dosis rendah. Berikan injeksi hidrokortison perlahan
secara intravena atau intramuskular, namun hati-hati untuk tidak menyebabkan
hipotensi lebih lanjut.3

Gambar 2.6 : Dosis hidrokortison yang diberikan pada dewasa dan anak-anak

Obat-obatan lainnya

Obat-obatan jantung
Adrenalin tetap merupakan pilihan utama untuk tatalaksana reaksi
anafilaksis. Beberapa penelitian yang menyatakan bahwa pemberian obat-obatan
vasopresor dan inotropic (noradrenalin, vasopressin, metaraminol, dan glucagon)
jika resusitasi awal dengan adrenalin dan cairan tidak berhasil. Hanya gunakan

26

obat-obat ini ditempat yang memiliki fasilitas yang cukup (ruangan intensif) dan
dengan tenaga kesehatan yang berpengalaman. Glucagon dapat berguna untuk
tatalaksana reaksi anafilaktik pada pasien yang mengkonsumsi beta-blocker.
Beberapa pasien mengalami bradikardi setelah reaksi anafilaktik, pertimbangkan
pemberian atropine secara intravena.3
2.9 Komplikasi dan Prognosis Reaksi Anafilaksis
Komplikasi reaksi anafilaksis sangat jarang terjadi dan kebanyakan pasien
yang mengalami hal ini dapat pulih dengan baik. Komplikasi yang mungkin
terjadi adalah iskemi miokard karena efek dari hipotensi dan hipoksia, terutama
pada pasien yang telah memiliki riwayat kelainan arteri koroner. Hipoksia yang
berkepanjangan dapat juga menyebabkan cedera otak. Hal ini berdasarkan pada
reaksi jaringan seperti edema laring atau brongkospasme yang berujung kepada
hipoksia.9
Penanganan

yang

cepat,

tepat,

dan

sesuai

dengan

prinsip

kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi


anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang
sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan
anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi
anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu
umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis,
asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi
seperti -blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh
alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.
27

BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1.

Kesimpulan
Anafilaksis merupakan reaksi hipersensitivitas sistemik yang segera

timbul dan dicirikan dengan edema pada berbagai jaringan dan turunnya tekanan
darah karena vasodilatasi masif. Hal ini diakibatkan karena adanya antigen yang

28

masuk melalui injeksi, sengatan seranga, atau absorbsi melalui permukaan epitel
kulit atau mukosa usus.
Alergen tersebut mengaktivasi sel mast di jaringan untuk melepaskan
mediator yang masuk ke bantalan vaskular di seluruh tubuh. Penurunan tonus
vaskular dan kebocoran plasma disebabkan karena pelepasan mediator bisa
memicu penurunan tekanan darah atau syok, disebut sebagai syok anafilasis yang
sering berakiat fatal. Efek pada sistem kardiovaskular yang diikuti dengan
konstriksi saluran pernapasan atas dan bawah, edema laring, hipermotilitas usus,
dan urtikaria.
Terapi utama reaksi anafilaksis adalah epinefrin sistemik yang bisa
menyelamatkan nyawa penderita dengan membalikkan efek mediator sel mast
pada brongkokonstriksi dan vasodilatasi. Epinefrin juga dapat membantu
memperbaiki cardiac output dan mencegah circulatory collapse. Antihisamin juga
bisa digunakan sebagai terapi reaksi anafilaksis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Fauci AS, et al. 2008. Harrisons Principle of Internal Medicine, 17th ed.
United State: Mc Graw Hill.
2. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. 2013. Morgan & Mikails: Clinical
Anesthesiology, 5th ed. United State: Mc Graw Hill.
3. Working Group of the Resuscitation Council (UK). Emergency treatment of
anaphylactic reactions. 2008. Resuscitation Council (UK).
4. Koury SI, Herfel LU. (2000) Anaphylaxis and acute allergic reactions. In
:International edition Emergency Medicine.Eds :Tintinalli,Kellen,Stapczynski
5th ed McGrraw-Hill New York-Toronto.pp 242-6
5. Martin (2000) In: Fundamentals Anatomy and Physiology,5th ed pp.788-9 4.

29

6. Rehatta MN.(2000). Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan. In :


Update on Shock.Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran Universitas
Airlangga Surabaya.
7. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316. Hal
1442-1445
8. Longecker, DE. Anaphylactic Reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology.
2008; Chapter 88, hal 1948-1963.
9. Mustafa,
SS.
Anaphylaxis.

April

8,

2013.

Available

at:

http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview. Diakses pada 28


Agustus 2016.
10. Sanders,J.H, Anaphylactic Reaction Handbook of Medical Emergencies,
Med.Exam. Publ.Co,2 nd Ed.154 : 1978. 6.
11. Austen, K.F, : Systemic Anaphylaxix in Man JAMA, 192 : 2 .1965
12. Sampson HA, et al. Clinical Immunology and Allergy. Margaret and
Fremantle Hospitals, Western Australia; 2006.
13. Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy
Clinical Immunology. Hobart, Australia; 2004. p.371-376.
14. Rengganis, Iris, Heru Sundaru, Nanang Sukmana, dan Dina Mahdi. 2009.
Renjatan Anafilaktik dalam Ilmu Penyakit Dalam Ed V. Jakarta: Internal
Publishing
15. Rachman O, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Anafilaksis dalam Buku Ajar
Alergi Imunologi Anak. Edisi Kedua. 2007. Jakarta: Balai Penerbit IDAI
16. Estelle F, Simons R, Ardusso L, Bilo M, et al. 2012 Update : World Allergy

Organization Guidelines for the assessment and management of anaphylaxis.


Lippincott Williams & Wilkins.

30

Anda mungkin juga menyukai