PENDAHULUAN
bergantung kepada onset gejala dan tanda yang muncul dalam beberapa menit
setelah terpapar dengan alergen.
I. 2. Batasan Masalah
Pembahasan Referrat ini dibatasi pada definisi, epidemiologi, faktor risiko,
patogenesis dan patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan,
komplikasi, dan prognosis reaksi anafilaksis.
I. 3. Tujuan Penulisan
Penulisan referrat ini bertujuan untuk memahami dan menambah
pengetahuan tentang reaksi anafilaksis.
I.4. Metode Penulisan
Metode penulisan referrat ini adalah tinjauan kepustakaan berdasarkan
beberapa literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Respon anafilaktik merupakan keadaan yang mengancam nyawa setelah
terpapar dengan antigen spesifik. Reaksi anafiaktik bermanifestasi pada
beberapa
sistem
tubuh
seperti
repiratory
distress,
edema
laring,
brongkospasme, atau bisa juga terjadi kegagalan vaskular atau syok tanpa
didahului kegagalan pernapasan. Manifestasi pada kulit bisa berupa pruritus
atau urtikaria dengan atau tanpa angioudem. Selain itu juga bisa terjadi mual,
muntah, nyeri perut dan diare sebagai manifestasi dari saluran cerna.1
2.2 Epidemiologi Reaksi Anafilaktik
Anafilaksis adalah reaksi yang berlebihan terhadap suatu alergen yang
diperantarai oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Gejalanya muncul dalam hitungan
menit setelah paparan dengan aantigen yang spesifik pada orang yang telah
terensitisasi dan memperlihatkan kegagalan fungsi pernapasan, syok, atau
keduanya. Kematian dapat terjadi pada reaksi anafilaltik atau terjadi syok sirkulasi
yang ireversibel.2
Insiden reaksi anafilaktik selama anestesi diperkirakan 1:3500 sampai
1:20000 anestesi. Tingkat mortalitas rekasi anafilaksi bisa mencapai 4% pada
pasien cedera otak dan 2% pada pasien yang bukan cedera otak. Studi di Perancis
yang mengevaluasi 789 reaksi anafilasis dan reaksi anafialktoid, menyatakan
bahwa sebab paling sering reaksi anafilaktik perioperatif adalah neuromuskular
blocker (58%), lateks (17%) dan antibiotik (15%).2
47
32
Meskipun mekanismenya berbeda, keduanya sulit untuk dibedakan dan samasama mengancam nyawa.2
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi Reaksi Anafilaksis
Reaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik
terhadap alergen tertentu. Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit,
mukosa, sistem pernafasan maupun makanan, terpapar pada sel plasma dan
menyebabkan pembentukan IgE spesifik terhadap alergen tertentu. IgE spesifik ini
kemudian terikat pada reseptor permukaan mastosit dan basofil. Pada paparan
berikutnya, alergen akan terikat pada IgE spesifik dan memicu terjadinya reaksi
antigen antibodi yang menyebabkan terlepasnya mediator yakni antara lain
histamin dari granula yang terdapat dalam sel. Ikatan antigen antibodi ini juga
memicu sintesis SRS-A ( Slow reacting substance of Anaphylaxis ) dan degradasi
dari asam arachidonik pada membran sel, yang menghasilkan leukotrine dan
prostaglandin. Reaksi ini segera mencapai puncaknya setelah 15 menit. Efek
histamin, leukotrine (SRS-A) dan prostaglandin pada pembuluh darah maupun
otot polos bronkus menyebabkan timbulnya gejala pernafasan dan syok.4
Efek biologis histamin terutama melalui reseptor H1 dan H2 yang berada
pada permukaan saluran sirkulasi dan respirasi. Stimulasi reseptor H1
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, spasme bronkus dan
spasme pembuluh darah koroner sedangkan stimulasi reseptor H2 menyebabkan
dilatasi bronkus dan peningkatan mukus dijalan nafas. Rasio H1 H2 pada
jaringan menentukan efek akhirnya.4,5 Aktivasi mastosit dan basofil menyebabkan
juga respon bifasik dari cAMP intraselluler. Terjadi kenaikan cAMP kemudian
penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan granula kedalam cairan
ekstraselluler. Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat
pelepasan
sekunder dari netrofil, eosinofil dan trombosit, mediator primer dan sekunder
menimbulkan berbagai perubahan patologis pada vaskuler dan hemostasis,
sebaliknya obat-obat yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya obat cholinergik)
dapat memperburuk keadaan karena dapat merangsang terlepasnya mediator.4,5,6
Reaksi Anafilaktoid
Reaksi anafilaktoid adalah reaksi yang menyebabkan timbulnya gejala
dan keluhan yang sama dengan reaksi anafilaksis tetapi tanpa adanya mekanisme
ikatan antigen antibodi. Pelepasan mediator biokimiawi dari mastosit melewati
mekanisme nonimunologik ini belum seluruhnya dapat diterangkan. Zat-zat yang
sering menimbulkan reaksi anafilaktoid adalah kontras radiografi (idionated),
opiate, tubocurarine, dextran maupun mannitol. Selain itu aspirin maupun NSAID
lainnya juga sering menimbulkan reaksi anafilaktoid yang diduga sebagai akibat
terhambatnya enzim siklooksgenase.
Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi.
Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.7
Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang
dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala. 7,8,9 Alergen yang masuk lewat
kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan ditangkap oleh Makrofag.
Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia
akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E
spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel
Mast (Mastosit) dan basofil.7,8 Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang
berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan
lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat
oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator
vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif
lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediator.7,8
meningkatkan
permeabilitas
kapiler
yang
nantinya
sedang
dapat
mencakup
semua
gejala-gejala
ringan
ditambah
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan
mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi.
Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan
yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti
yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame,
edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada
abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang
terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau
renjatan yang irreversible.12,13
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat
terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,
gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan
sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa
takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada
tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.7,8
Sistem pernafasan
Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau
batuk saja yang kemudian segera diikuti dengan udema laring dan bronkospasme.
Kedua gejala terakhir ini menyebabkan penderita nampak dispnue sampai
hipoksia yang pada gilirannya menimbulkan gangguan sirkulasi, demikian pula
sebaliknya, tiap gangguan sirkulasi pada gilirannya menimbulkan gangguan
respirasi. Umumnya gangguan respirasi berupa udema laring dan bronkospasme
merupakan pembunuh utama pada syok anafilaktik.
Sistem sirkulasi
Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari gangguan
respirasi, tapi bisa juga berdiri sendiri, artinya terjadi gangguan sirkulasi tanpa
didahului oleh gangguan respirasi. Gejala hipotensi merupakan gejala yang
menonjol pada syok anafilaktik. Hipotensi terjadi sebagai akibat dari dua faktor,
pertama akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer dan kedua akibat
meningkatnya permeabilitas dinding kapiler sehingga selain resistensi pembuluh
darah menurun, juga banyak cairan intravaskuler yang keluar keruang interstitiel
(terjadi hipovolume relatif). Gejala hipotensi ini dapat terjadi dengan drastis
sehingga tanpa pertolongan yang cepat segera dapat berkembang menjadi gagal
sirkulasi atau henti jantung.6
Gangguan kulit.
Merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi
anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting
untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal untuk
timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas dan gangguan sirkulasi.
Oleh karena itu setiap gangguan kulit berupa urtikaria, eritema, atau pruritus harus
diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat. Dengan kata
lain setiap keluhan kecil yang timbul sesaat sesudah penyuntikan obat,harus
diantisipasi untuk dapat berkembang kearah yang lebih berat.10
Gangguan gastrointestinal
Perut kram, mual, muntah sampai diare merupakan manifestasi dari
gangguan gastrointestinal yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk
timbulnya gejala gangguan nafas dan sirkulasi. Skema perubahan patofisiologi
pada syok anafilaktik.11
10
Tabel 2.3 Gejala dan Tanda Renjatan Anafilaktik dari berbagai organ14
Sistem
Umum
Prodormal
Pernafasan
Hidung
Laring
Lidah
Bronkus
Kardiovaskuler
Gastrointestinal
Kulit
Mata
Susunan saraf pusat
Sumber : Iris Renggani, 2009
tenggorokannya tertutup.
Suara serak
Stridor karena obstruksi saluran napas bagian atas
12
b. Masalah napas
Nafas pendek dan cepat
Wheezing
Lelah
Pasien kebingungan karena hipoksia
Sianosis
Henti napas
c. Masalah sirkulasi
Syok anafilaktik, terjadi karena depresi miokardium langsng,
vasodilatasi, dan kebocoran kapiler dan hilangnya cairan dari
sirkulasi.
Takikardi, pada tahap yang lebih berat dapat terjadi bradikardi yang
anafilaktik.
Bisa ringan sampai berat.
Keterlibatan mukosa atau kulit atau keduanya.
Pad akulit dapat ditemukan kemerahan, lokal atau seluruh tubuh.
Urtikaria yang bisa muncul dimana saja di tubuh dan gatal.
13
1. Reaksi Vasovagal
Sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan. Pasien tampak mau
pingsan, pucat dan berkeringat. Dibandingkan dengan reaksi anafilaksis, pada
reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan
darahnya turun, tetapi masih muda diukur dan biasanya tidak terlalu rendah
seperti pada anafilaksis.14
2. Infark Miokard
Gejala nyeri dada, merupakan gejala yang paling menonjol, baik dengan
penjalaran atau tidak. Gejala tersebut sering diikuti dengan sesak, tetapi tidak
tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas, maupun kulit. Pemeriksaan
elektrokardiografi dan enzimatik akan membantu diagnosis infark miokard.14
3. Reaksi Hipoglikemik
Diakibatkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau oleh sebab lain. Pasien
tampak lemah, pucat, berkeringat sampai tak sadar. Tekanan darah kadang-kadang
menurun, tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas, maupun kulit.
Pemeriksaan kadar gula darah dan pemberian terapi glukosa menyokong
diagnosis reaksi hipoglikemik.14
4. Reaksi Histerik
Tidak dijumpai tanda-tanda gagal napas, hipotensi atau sianosis. Pasien
kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Penilaian tanda-tanda vital
dan status neurologik dengan cepat membedakan keadaan ini dengan reaksi
anafilaktik. Sering pasien mengeluh parestesia.14
5. Sindrom Angioedema Neurotik Herediter
Sindrom ini ditandai dengan angioedema saluran napasbagian atas dan
sering disertai dengan kolik abdomen. Tidak dijumpai kelainan kulit atau kolaps
vaskuler. Adanya riwayat keluarga yang mempunyai sindroma ini disertai
penurunan kadar inhibitor C1 esterase mendukung adanya sindrom angioedema
neurotik herediter.14
15
16
18
19
20
1. Adrenalin (epinefrin)
Adrenalin merupakan obat yang paling penting untuk mengatasi reaksi
anafilaksis. Berdasarkan beberapa penelitian, adrenalin terbukti dapat mengtasi
kesulitan bernafas dan mengembalikan curah jantung normal pada pasien dengan
reaksi anafilaksis. Sebagai agonis alfa reseptor, adrenalin menyebabkan
vasokonstriksi perifer dan mengurangi oedema. Sebagai beta reseptor, adrenalin
menyebabkan dilatasi pada bronkus, meningkatkan kontraksi miokard, dan
menekan pelepasan histamine dan leukotriene. Selain itu terdapat reseptor
adrenergic beta-2 pada sel mast yang menghambat aktivasi dengan demikian
adrenalin melemahkan reaksi alergi yang berhubungan dengan IgE.3
Adrenalin bekerja maksimal jika diberikan segera setelah onset namun
masih mungkin terdapat risiko saat diberikan secara intravena. Efek samping
biasanya jarang jika diberikan intramuskular dengan dosis yang tepat. Kadang
masih terdapat perdebatan apakah komplikasi seperti iskemia miokard disebabkan
oleh alergen atau adrenalin yang diberikan.3
Adrenalin sebaiknya diberikan kepada seluruh pasien yang memiliki
kondisi yang mengancam jiwa. Jika ditemukan pasien dengan reaksi anafilaktik
yang tidak mengancam jiwa, pasien harus diobservasi dengan seksama dan
diberikan terapi simtomatik dengan tetap menggunakan pendekatan ABCDE.
Adrenalin harus tersedia di setiap klinik jika reaksi anafilaksis terjadi.3
21
22
dapat menyebabkan efek samping berbahaya yang disebabkan oleh dosis yang
tidak sesuai atau misdiagnosis anafilaksis pada saat penggunaan adrenalin
intravena. Oleh karena itu pemberian intramuskular lebih disarankan.3
Pemberian adrenalin secara intravena hanya untuk tenaga kesehatan
yang berpengalaman dalam penggunaan vasopressor pada praktek sehari-hari
(seperti : dokter anestesi, dokter emergensi, dokter intensif).3
Pada beberapa layanan kesehatan adrenalin yang diberikan secara
intravena diberikan untuk resusitasi pasien yang mengalami cardiac arrest.
Pada pasien dengan keadaan sirkulasi yang baik, pemberian adrenalin secara
intravena dapat menyebabkan hipertensi yang mengancam jiwa, takikardi,
aritmia, dan iskemia miokard.3
Pasien yang diberikan adrenalin secara intravena harus dimonitor dengan
EKG, saturasi oksigen, dan tekanan darah. Pasien yang membutuhkan terapi
adrenalin secara berulang-ulang dapat diberikan secara intravena, sedangkan
pasien yang membutuhkan terapi adrenalin secara intravena berulang-ulang,
dapat memasang infus adrenalin (hanya boleh dilakukan oleh tenaga
professional.3
23
Adrenalin auto-injectors
Auto-injectors sering diberikan pada pasien yang berisiko tinggi untuk
mengalami reaksi anafilaksis. Saat ini terdapat dua jenis auto-injector yaitu
0.15 dan 0.3 mg.3
dapat
yang
membantu
menghambat
disebabkan
oleh
efek
histamine.
vasodilatasi
Berikan
25
dan
injeksi
Gambar 2.6 : Dosis hidrokortison yang diberikan pada dewasa dan anak-anak
Obat-obatan lainnya
Obat-obatan jantung
Adrenalin tetap merupakan pilihan utama untuk tatalaksana reaksi
anafilaksis. Beberapa penelitian yang menyatakan bahwa pemberian obat-obatan
vasopresor dan inotropic (noradrenalin, vasopressin, metaraminol, dan glucagon)
jika resusitasi awal dengan adrenalin dan cairan tidak berhasil. Hanya gunakan
26
obat-obat ini ditempat yang memiliki fasilitas yang cukup (ruangan intensif) dan
dengan tenaga kesehatan yang berpengalaman. Glucagon dapat berguna untuk
tatalaksana reaksi anafilaktik pada pasien yang mengkonsumsi beta-blocker.
Beberapa pasien mengalami bradikardi setelah reaksi anafilaktik, pertimbangkan
pemberian atropine secara intravena.3
2.9 Komplikasi dan Prognosis Reaksi Anafilaksis
Komplikasi reaksi anafilaksis sangat jarang terjadi dan kebanyakan pasien
yang mengalami hal ini dapat pulih dengan baik. Komplikasi yang mungkin
terjadi adalah iskemi miokard karena efek dari hipotensi dan hipoksia, terutama
pada pasien yang telah memiliki riwayat kelainan arteri koroner. Hipoksia yang
berkepanjangan dapat juga menyebabkan cedera otak. Hal ini berdasarkan pada
reaksi jaringan seperti edema laring atau brongkospasme yang berujung kepada
hipoksia.9
Penanganan
yang
cepat,
tepat,
dan
sesuai
dengan
prinsip
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1.
Kesimpulan
Anafilaksis merupakan reaksi hipersensitivitas sistemik yang segera
timbul dan dicirikan dengan edema pada berbagai jaringan dan turunnya tekanan
darah karena vasodilatasi masif. Hal ini diakibatkan karena adanya antigen yang
28
masuk melalui injeksi, sengatan seranga, atau absorbsi melalui permukaan epitel
kulit atau mukosa usus.
Alergen tersebut mengaktivasi sel mast di jaringan untuk melepaskan
mediator yang masuk ke bantalan vaskular di seluruh tubuh. Penurunan tonus
vaskular dan kebocoran plasma disebabkan karena pelepasan mediator bisa
memicu penurunan tekanan darah atau syok, disebut sebagai syok anafilasis yang
sering berakiat fatal. Efek pada sistem kardiovaskular yang diikuti dengan
konstriksi saluran pernapasan atas dan bawah, edema laring, hipermotilitas usus,
dan urtikaria.
Terapi utama reaksi anafilaksis adalah epinefrin sistemik yang bisa
menyelamatkan nyawa penderita dengan membalikkan efek mediator sel mast
pada brongkokonstriksi dan vasodilatasi. Epinefrin juga dapat membantu
memperbaiki cardiac output dan mencegah circulatory collapse. Antihisamin juga
bisa digunakan sebagai terapi reaksi anafilaksis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fauci AS, et al. 2008. Harrisons Principle of Internal Medicine, 17th ed.
United State: Mc Graw Hill.
2. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. 2013. Morgan & Mikails: Clinical
Anesthesiology, 5th ed. United State: Mc Graw Hill.
3. Working Group of the Resuscitation Council (UK). Emergency treatment of
anaphylactic reactions. 2008. Resuscitation Council (UK).
4. Koury SI, Herfel LU. (2000) Anaphylaxis and acute allergic reactions. In
:International edition Emergency Medicine.Eds :Tintinalli,Kellen,Stapczynski
5th ed McGrraw-Hill New York-Toronto.pp 242-6
5. Martin (2000) In: Fundamentals Anatomy and Physiology,5th ed pp.788-9 4.
29
April
8,
2013.
Available
at:
30