Anda di halaman 1dari 9

https://bettykurniatytp.wordpress.

com/2013/04/04/l
andasan-sosial-budaya-dalam-pendidikan/

Pendahuluan
Di era globalisasi seperti sekarang ini, informasi dari sudut dunia manapun sangat
mudah untuk kita ketahui. Akibatnya tanpa disadari difusi atau persebaran ide-ide,
baik berupa sistem sosial ataupun budaya dari luar masuk ataupun masyarakat luar
menyebar dan mungkin ikut terinternalisasi dalam kehidupan suatu masyarakat.
Persebaran ide-ide tersebut, makin intens karena didukung oleh kemajuan teknologi
informasi dan pengaruh burukpun semakin kompleks terjadi dimasyarakat, tak
terkecuali masyarakat di Indonesia.
Permasalah sosial dan budaya yang terjadi semakin marak akhir-akhir ini, mulai dari
tawuran antar desa, tawuran antar pelajar, degradasi moral dan etika, krisis
kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpin, banyaknya anak yang putus
sekolah dan kesadaran orang tua yang kurang tentang pendidikan, serta banyaknya
kriminalitas yang diakibatkan dari semakin merajalelanya narkoba di masyarakat
Indonesia. Menyikapi permasalahan sosial dan budaya, John Dewey dalam (Dewey,
1916) berpandangan bahwa secara kodrati manusia memiliki kemampuan untuk
mengaktualisasi diri sesuai dengan kondisi sosialnya. Hal tersebut dapat diakibatkan
karena kebiasaan yang terjadi di lingkungannya. John Dewey juga menjelaskan
bahwa kejahatan bukanlah sesuatu yang tidak dapat dirubah. Sebaliknya, kejahatan
merupakan hasil kebiasaan manusia yang dibentuk dan dikondisikan oleh budaya.
Oleh karena itu, syarat mutlak untuk mengatasi kejahatan adalah mengubah
kebiasaan-kebiasaan masyarakat, yaitu kebiasaannya dalam berpikir dan bereaksi
terhadap lingkungan sosial
Gejala-gejala negatif dan destruktif menjadi gambaran sehari-hari dari fenomena
kebangsaan kita sekarang. Fenomena atau gejala destruktif ini seakan-akan telah
membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama mereka para
petinggi yang seharusnya dapat menjadi figur atau contoh teladan bagi masyarakat
Indonesia. Permasalahan sosial dan budaya yang terjadi di masyarakat tidak terlepas
dari pendidikan. Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam menyikapi

dan sekaligus sebagai problem solver terhadap masalah sosial budaya yang timbul.
Dalam (Dewey, 1916), John Dewey mengatakan bahwa salah satu tujuan sekolah
formal adalah memastikan setiap siswa dapat memiliki eksistensi walaupun dari latar
belakang sosial yang berbeda.
Dikembalikannya urusan kebudayaan menjadi domain Kementerian Pendidikan
Nasional disambut baik oleh berbagai kalangan. Bahkan, pengamat pendidikan dari
Universitas Negeri Jakarta, HAR Tilaar dalam (Negeri, 2011), menilai pemerintah
selama ini telah salah arah dalam memisahkan pendidikan dan kebudayaan.
Sementara itu, pengamt pendidikan Arief Rachman mendukung dikembalikannya
urusan kebudayaan menjadi domain kewenangan Kementerian Pendidikan Nasional.
Menurutnya, pendidikan dan kebudayaan seperti pohon ilmu yang saling terkait dan
tidak bisa terpisahkan.
Dari uraian diatas diketahui bahwa sosial dan budaya berpengaruh terhadap
pendidikan, oleh karena itu masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah
komponen apa dari pendidikan yang dilandasi oleh sosial budaya.
Pembahasan
Sosiologi Pendidikan
Pendidikan pada hakikatnya adalah kegiatan sadar dan disengaja secara penuh
tanggung jawab yang dilakukan orang dewasa kepada anak sehingga timbul
interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicitacitakan yang dilakukan secara bertahap berkesinambungan di semua lingkungan
yang saling mengisi (rumah tangga, sekolah, masyarakat). Kegiatan pendidikan
merupakan proses interaksi antara dua individu, dua generasi yang memungkinkan
generasi muda mengembangkan dirinya. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi
dalam lembaga yang disebut sekolah. Sekolah sengaja dibentuk oleh masyarakat
agar pola dan kegiatan pendidikan semakin intensif (Tirtarahardja, 2005, hal. 95).
Unsur sosial merupakan aspek individual alamiah yang ada sejak manusia itu lahir.
Langeveld mengatakan setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosialitas atau
kemampuan untuk bergaul, saling berkomunikasi yang pada hakikatnya terkandung
unsur saling memberi dan saling menerima (Tirtarahardja, 2005, hal. 18). Aktivitas
sosial tercermin pada pergaulan sehari-hari, saat terjadi interaksi sosial antar
individu yang satu dengan yang lain atau individu dengan kelompok, serta antar

kelompok. Di dalam interaksi ini ada keterkaitan saling mempengaruhi (Ahmadi,


2003, hal. 13).
Menurut H.P Fairchild dalam (Ahmadi, 2007, hal. 1) mengatakan bahwa sosiologi
pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah
pendidikan yang fundamental. Sedangkan sosiologi merupakan ilmu pengetahuan
yang terdiri atas konsep dan prinsip mengenai kehidupan kelompok sosial,
kebudayaan, dan perkembangan pribadi.
Dengan demikian pengertian sosiologi pendidikan yaitu ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang hubungan dan interaksi manusia, baik itu individu atau
kelompok dengan peresekolahan sehingga terjalin kerja sama yang sinergi dan
berkesinambungan antara manusia dengan pendidikan.

Sosiologi dan Pendidikan


Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompokkelompok dan struktur sosialnya. Salah satu bagian sosiologi, yang dapat dipandang
sebagai sosiologi khusus adalah sosiologi pendidikan. Wuradji (1988) dalam (Pidarta,
2009, hal. 153) menulis bahwa sosiologi pendidikan meliputi interaksi guru-siswa,
dinamika kelompok di kelas dan di organisasi intra sekolah, struktur dan fungsi
sistem pendidikan, dan sistem masyarakat serta pengaruhnya terhadap pendidikan.
Wujud dari sosiologi pendidikan adalah tentang konsep proses sosial.
Pendidikan merupakan tempat terjadinya interaksi sosial dari warga lembaga
pendidikan tersebut yang memiliki latar belakang sosial yang berbeda-beda. Dalam
proses interaksi yang terjadi ada kemungkinan terjadinya integrasi maupun
disintegrasi. Integrasi dapat terjadi jikalau antara kelompok sosial yang berinteraksi
memiliki hubungan yang serasi sehingga interaksi sosial akan membuahkan
kerjasama dan asimilasi budaya satu sama lain. Di sisi lain, jika interaksi yang terjadi
antar kelompok sosial tidak baik maka yang akan terjadi adalah disintegrasi, yang
dapat berwujud konflik dan kompetisi tidak sehat. Konflik sangat berpeluang terjadi
pada saat individu atau kelompok sosial memiliki latar belakang budaya yang
bertentangan dengan budaya yang di anut oleh individu atau kelompok sosial yang
lain. Disinilah peran pendidikan sangat besar dalam menghalau konflik dengan

memberikan pemahaman konsep tentang nilai-nilai sosial dan tujuan hidup


bermasyarakat yang sama.
Pendidikan tidak selalu diartikan berada dalam ranah pendidikan formal, karena ada
pendidikan informal, pendidikan dalam keluarga yang memiliki peran lebih besar
dalam penanaman konsep hidup sebagai makhluk sosial karena rumah adalah
tempat pertama terjadinya sosialisasi. Pada keluarga yang telah mengajarkan
bagaimana bersikap yang baik antar anggota keluarga yang berbeda maka akan
tumbuh anak-anak yang memiliki sosialisasi yang baik pula.
Perkembangan manusia dipengaruhi oleh dua aspek, yaitu aspek biologik dan aspek
personal-sosial. Selain aspek biologik, aspek personal-sosial harus mendapat
perhatian khusus dikarenakan banyak kasus menunjukkan bahwa anak yang
memiliki isolasi sosial tidak dapat berkembang sebagai pribadi sosial yang normal.
Oleh karena itu proses sosialisasi dan pembentukan kesetiaan sosial (formation of
social loyalities) harus berjalan secara simultan sehingga kemampuan anak dalam
bersosialisasi dan beradaptasi semakin meningkat. Untuk mencapai tujuan
perkembangan anak dalam aspek sosial-personal, sekolah menggunakan metodemetode pembelajaran yang dapat meningkatkan proses sosialisasi anak, antara lain
metode reward and punishment, metodedidactic teaching, dan metode teacher
model.
Mengacu pada kondisi diatas maka sudah seharusnya sekolah memperhatikan sisi
sosial dan budaya dalam pengembangan kurikulum. Menurut Ahmadi (2007, hal.
129), kurikulum tidak hanya rangkaian pelajaran namun lebih dari itu kurikulum
adalah situasi dan kondisi dimana sekolah dapat menyelidiki dan mengorganisir
secara sadar untuk tujuan pengembangan kepribadian murid untuk membuat
perubahan tingkah laku.

Kebudayaan dan Pendidikan


Imran (1989) menuliskan dalam (Pidarta, 2009, hal. 164) bahwa kebudayaan
menurut Taylor adalah totalitas yang kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan kemampuan-kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh orang sebagai anggota masyarakat.

Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti
keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama yaitu nilai-nilai. Broom dan
Selznick dalam (Ahmadi, 2007, hal. 182) berpendapat bahwa fungsi pendidikan
sekolah ada lima macam, yaitu transmisi budaya, integrasi sosial, inovasi, seleksi
dan alokasi, dan mengembangkan kepribadian anak.
Pengertian transmisi budaya tidak hanya terbatas pada mengajarkan anak tentang
pengetahuan, bagaimana cara belajar, dan melainkan juga sikap, nilai-nilai, dan
norma-norma, bahkan pendidikan sikap, nilai-nilai dan norma dipelajari secara
informal dalam situasi formal di dalam kelas dan di sekolah.
Dalam kondisi masyarakat indonesia yang heterogen dan pluralistik, fungsi sekolah
dalam menjamin intergrasi sosial sangatlah penting mengingat bahaya disintegrasi
sosial sangat besar pada masyarakat yang memiliki bermacam-macam adat, bahasa
daerah, agama, dan taraf perkembangannya. Sehingga pendidikan dalam hal ini
sekolah perlu mengajarkan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa
pemersatu yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang baik antar suku, bahkan
buku pelajaran pun di tulis dalam bahasa Indonesia agar terjadi kesamaan
pengalaman yang akan berujung pada perkembangan sikap dan nilai yang sama
dalam diri anak. Selain diajarkan bahasa Indonesia, sekolah juga mengajarkan
kepada anak tentang corak kepribadian nasional melalui pelajaran sejarah, dan
geografi nasional, upacara bendera, dan peringatan hari besar nasional serta lagulagu nasional.
Selain keluarga, sekolah juga ikut bertanggung jawab terhadap perkembangan
kepribadian anak, sehingga dalam pendidikan sekolah yang diajarkan tidak hanya
pengetahuan yang akan berpengaruh pada intelek anak, melainkan diajarkan juga
perkembangan watak anak melalui latihan kebiasaan dan tata tertib, budi pekerti,
pendidikan agama dan sebagainya.
Tiap sekolah pasti memiliki kebudayaan yang khas sekolah yang
bersangkutan (Ahmadi, 2007, hal. 187). Penelitian menunjukkan bahwa budaya
sekolah mempunyai pengaruh yang mendalam terhadap proses dan cara belajar
siswa. Sebagai contoh apa yang di hayati siswa dalam sikap belajar, kewibawaan,
sikap terhadap nilai-nilai, dan sebagainya tidak berasal dari kurikulum formal sekolah
tapi dari budaya sekolah.

Masyarakat dan Sekolah


Asal mula munculnya sekolah adalah atas dasar anggapan dan kenyataan bahwa
pada umumnya para orang tua tidak mampu mendidik anak mereka secara
sempurna dan lengkap. Karena itu mereka membutuhkan bantuan kepada pihak lain,
dalam hal ini adalah lembaga pendidikan, untuk mengembangkan anak-anak mereka
secara relatif sempurna, walaupun cita-cita ini tidak otomatis tercapai. Warga
masyarakat dan para personalia sekolah masih memerlukan perjuangan keras untuk
mencapai cita-cita itu, yang sampai sekarang belum pernah berhenti. Sebab sejalan
dengan perkembangan kebudayaan, makin banyak yang perlu dipelajari dan
diperjuangankan di sekolah.
Manfaat pendidikan bagi masyarakat adalah untuk meningkatkan peranan mereka
sebagai warga masyarakat, baik yang berkaitan dengan kewajiban maupun dengan
hak mereka. Dalam rangka pendidikan seumur hidup misalnya, warga belajar bisa
belajar tentang apa saja sesuai dengan minat dan bakat mereka, sehingga
pemahaman, keterampilan tertentu, dan sikap mereka semakin meningkat. Hal ini
membuat mereka merasa semakin mantap sebagai warga negara (Pidarta, 2009,
hal. 176). Hubungan yang erat antara sekolah dengan masyarakat karena saling
membutuhkan satu dengan yang lain, membuat kemungkinan terbentuknya badan
kerja sama yang relatif lama.
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah kita sarikan penjelasan masyarakat dan sekolah
ini sebagai berikut:
1.

Sekolah tidak dapat dipisahkan dari masyarakat

2.

Sekolah bermanfaat bagi kemajuan budaya masyarakat, khususnya


pendidikan anak-anak.

3.

Masyarakat memberi sejumlah dukungan kepada sekolah.

4.

Perlu ada badan kerja sama antara sekolah dengan masyarakat dalam
mensukseskan pendidikan (Pidarta, 2009, hal. 183).

Fungsi Sosiologi Terhadap Pendidikan


Dalam perkembangan landasan sosial budaya memiliki fungsi yang amat penting
dalam dunia pendidikan yaitu :
1.

Mewujudkan masyarakat yang cerdas, yaitu masyarakat yang pancasilais


yang memiliki cita-cita dan harapan dapat demokratis dan beradab,

menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan bertanggung jawab dan


berakhlak mulia tertib dan sadar hukum, kooperatif dan kompetitif serta
memiliki kesadaran dan solidaritas antar generasi dan antara bangsa.
2.

Transmisi budaya, sekolah berfungsi sebagai reproduksi budaya


menempatkan sekolah sebagai pusat penelitian dan pengembangan. Fungsi
semacam ini merupakan fungsi pada perguruan tinggi. Pada sekolah-sekolah
yang lebih rendah, fungsi ini tidak setinggi pada tingkat pendidikan tinggi.

3.

Pengendalian Sosial, pengendalian sosial berfungsi memberantas atau


memperbaiki terjadinya suatu perilaku menyimpang. Pengendalian sosial juga
berfungsi melindungi kesejahteraan masyarakat seperti lembaga
pemasyarakatan dan lembaga pendidikan.

4.

Meningkatkan Iman dan Taqwa kepada Tuhan YME, pendidikan sebagai


budaya haruslah dapat membuat anak-anak mengembangkan kata hati dan
perasaannya taat terhadap ajaran-ajaran agama yang dipeluknya.

5.

Analisis Kedudukan Pendidikan dalam Masyarakat, hubungan antara lembaga


pendidikan dengan masyarakat dapat dianalogikan sebagai selembar kain
batik. Dalam hal ini motif-motif atau pola-pola gambarnya adalah lembaga
pendidikan dan kain latarnya adalah masyarakat. Antara lembaga pendidikan
dengan masyarakat terjadi hubungan timbal balik simbiosis mutualisme.
Pendidikan atau sekolah memberi manfaat untuk meningkatkan peranan
mereka sebagai warga masyrakat.

Menurut Broom (1981), fungsi pendidikan antara lain sebagai transmisi budaya,
meningkatkan integrasi sosial atau bermasyarakat, mengadakan seleksi dan alokasi
tenaga kerja melalui pendidikan itu sendiri, dan mengembangkan kepribadian.
Pendidikan Multikultural
Tilaar (2002) mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus
tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama, dan kultural
domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan
interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individuindividu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang
dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas
terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya
merupakan sikap peduli dan mau mengerti (difference), atau politics of
recognition politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.

Hal senada juga diungkapkan oleh Mantan Menteri Pendidikan Nasional, Malik Fajar
(2004) dalam (Sukardjo, Komarudin. U, 2009) bahwa multikulturalisme perlu
ditumbuhkan karena potensi yang dimiliki Indonesia secara kultural, tradisi, dan
lingkungan geografi, serta demografis sangat luar biasa. Pemahaman
multikulturalisme harus sudah ditanamkan sejak dini pada setiap anak agar
terkontruksi rasa kepemilikan dan kebanggaan akan budaya bangsa.
Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik SARA yang terjadi di negeri ini adalah
disebabkan lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearifan budaya.
Dengan demikian dianggap perlu untuk diperkenalkan kepada segenap masyarakat
terutama siswa tentang pendidikan multikultural, pendidikan lintas budaya yang
akan menimbulkan kearifan dalam menghargai keragaman etnis, budaya, dan
agama.
Lembaga pendidikan sebagai miniatur masyarakat Indonesia dari segi agama dan
budaya, sangat terasa perjumpaan lintas budaya dan agama. Dengan dasar itu,
pemerintah wajib menfasilitasi beragam kemungkinan terjadinya pertemuan antar
budaya lokal. Melalui pendidikan yang toleran, situasi tegang dan penuh konflik akan
diarahkan kepada sikap empatik dan inklusif terhadap pluralitas. Bahkan secara
psikologis pendidikan toleransi dan empati mampu memperhalus sensibilitas
manusia, membuatnya menyadari eksistensi dirinya sebagai bagian kecil dari sistem
sosial.
Komarudin Hidayat (2004) dalam (Sukardjo, Komarudin. U, 2009) mengajukan prinsip
yang harus dipakai guru untuk mengarahkan sekolah dengan kultur yang
berorientasi multikultural. Setiap anak adalah istimewa, pendekatan multi
intelligences, active learning, universalitas agama, dan semangat kemanusiaan dan
keindonesiaan.
Apabila semua lembaga pendidikan yang merupakan miniatur masyarakat Indonesia
telah berhasil menanamkan pemahaman multikulturalisme dengan baik, maka
terbentuknya masyarakat madani Indonesia akan menjadi suatu keniscayaan.
Masyarakat Madani adalah suatu masyarakat yang berbudaya, maju dan modern,
setiap warganya menyadari dan mengetahui hak-hak dan kewajibannya terhadap
negara, bangsa dan agama serta terhadap sesama, dan menjunjung tinggi hak-hak
asasi manusia. Menurut Tilaar (2002), ciri-ciri pokok masyarakat madani Indonesia
adalah : 1) Kesukarelaan, artinya bukan masyarakat paksaan. 2) Keswasembadaan,

artinya tidak menggantungkan hidup dengan orang lain. 3) Kemandirian, artinya


percaya dengan kekuatan sendiri. 4) Keterkaitan dengan hukum yang disepakati,
artinya mentaati hukum yang berlaku.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa landasan sosial dan budaya sangat
penting dalam pendidikan karena berhubungan dengan norma dan nilai-nilai. Adapun
komponen pendidikan yang dilandasi oleh sosial dan budaya adalah kurikulum
sekolah, dimana unsur sosial dan budaya harus diperhatikan dalam mengembangkan
kurikulum pendidikan di sekolah.
Sekolah harus menerapkan konsep sosiologi pendidikan, dimana setiap individu
maupun kelompok sosial dalam lingkup sekolah harus memahami eksistensinya
sebagai makhluk sosial sehingga interaksi sosial yang terjalin dalam proses
pendidikan berjalan sinergi.
Sekolah memiliki fungsi sebagai transmisi budaya, yang berarti dalam proses
pendidikan harus didukung oleh kurikulum yang menerapkan konsep transmisi
budaya. Sekolah tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan tapi juga mengajarkan
budaya yang berisi nilai-nilai dan norma-norma, serta budi pekerti yang baik.
Karena sekolah merupakan miniatur masyarakat Indonesia maka dalam menyikapi
kondisi masyarakat indonesia yang multikultural, sekolah harus menerapkan
pendidikan toleransi agar tidak terjadi disintegrasi dan konflik SARA.
About these ads

Anda mungkin juga menyukai