Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

SINUSITIS JAMUR INVASIF

Disusun oleh :
Nama

: Ana Nurrida

NIM

: 2011730003

Dokter Pembimbing :
dr. Dian Nurul Al Amini, Sp.THT

KEPANITERAAN KLINIK STASE THT RSIJ PINDOK KOPI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
JAKARTA
2015

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT karena dengan
rahmat dan karunia-Nya penyusun dapat menyelesaikan tugas Laporan kasus ini dengan judul
Sinusitis Jamur Invasif .
Laporan kasus ini merupakan prasyarat mengikuti kepaniteraan klinik bagian THT.
Penyusun sangat menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna, baik mengenai materi
maupun teknik penyusunannya. Karena itu penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak sebagai perbaikan dari laporan kasus ini.
Pada kesempatan ini, penyusun ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
atas bimbingan, bantuan serta dukungan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
pembuatan tugas ini.
Akhir kata, penyusun mengharapkan pembuatan tugas Laporan Kasus berjudul
Sinusitis Jamur Invasif ini dapat diterima dan bermanfaat bagi para pembaca.

Wassalamu alaikum Wr. Wb

Jakarta, 30 September 2015

Penyusun

BAB II
STATUS PASIEN
1. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. IP

Umur

: 55 tahun

Jenis kelamin

: Laki - laki

Agama

: Islam

Suku bangsa

: Indonesia

Pekerjaan

: Karyawan Swasta

Alamat

: Pondok Kopi

2. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama :
Hidung kanan tersumbat sejak 8 bulan yang lalu

B. Riwayat Penyakit Sekarang :


Laki-laki usia 55 tahun datang ke Poliklinik THT RSIJ Pondok Kopi dengan keluhan
hidung kanan tersumbat sejak 8 bulan yang lalu dan bertambah berat 2 hari yang lalu,
keluar cairan kental dari hidung berwarna kehijauan dan kadang disertai darah, tidak
berbau, cairan ini terutama keluar saat pagi hari dan jika udara dingin keluhan bertambah
berat, os mengatakan seperti merasa adanya lendir yang mengalir di tenggorokan, os
mengaku sering bersin-bersin jika terkena debu, os mengeluhkan mata berair dan nyeri
di bawah mata, pandangan mata normal, telinga terasa berdenyut

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit THT
Os mengaku sering mengalami keluhan serupa dan keluhan hilang timbul

Riwayat penyakit sistemik


Riwayat penyakit hipertensi dan diabetes mellitus disangkal

D. Riwayat Pengobatan
Os belum mengonsumsi obat apapun sebelum berobat ke RSIJ Pondok Kopi

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa
F. Riwayat Alergi
Os mengaku memiliki alergi terhadap debu dan udara dingin
G. Riwayat Psikososial

Riwayat merokok (+), riwayat minum minuman beralkohol disangkal

3. PEMERIKSAAN FISIK
A. GENERALIS
Keadaan umum
: Sakit sedang

Kesadaran
Tanda vital

: Composmentis

- Nadi
- Pernapasan
- Suhu
Kepala
Mata
Mulut
Thorax
Abdomen
Ekstremitas
Kulit

: 88 x/menit, kuat, reguler.


: 18 x/menit
: Afebris
: normocephal
: sklera ikterik (-/-)
: bibir kering (-), sianosis (-), pucat (-)
: simetris, retraksi (-/-), massa (-/-), scar (-/-)
: cembung (-), massa (-), scar ()
: udem (-/-)
: scar (-)

B. STATUS LOKALIS THT


1. Telinga

Dextra

Aurikula
Aurikula

Sinistra

Normotia, helix sign (-),

Normotia, helix sign (-), tragus

tragus sign (-)

sign (-)

Preaurikula appendege (-)

Preaurikula

Preaurikula appendege (-)

tanda radang(-), pus(-),

tanda radang(-), pus(-), nyeri

nyeri tekan(-), fistula(-)

tekan(-), fistula(-)

Tenang, udem(-), fistel(-),


sikatriks(-), nyeri tekan(-)
Hiperemis(-), udem(-),
sekret(-), serumen (-),

Retroaurikula

MAE

massa(-)
hiperemis (-), reflek

Tenang, udem(-), fistel(-),


sikatriks(-), nyeri tekan(-)
Hiperemis(-), udem(-),
serumen(-), sekret(-), massa (-)

Membran timpani
hiperemis (-), reflek cahaya

cahaya (+), perforasi (-),

(+), perforasi (-), bulging (-)

bulging (-)
Tidak diuji

Uji Rinne

Tidak diuji

Tidak diuji

Uji Weber

Tidak diuji

Tidak diuji

Uji Schwabach

Tidak diuji

2. Hidung

Dextra

Rhinoskopi anterior

Sinistra

Hiperemis

Mukosa

Tenang

(+)

Sekret

(-)

Hipertrofi

Konka inferior

Eutrofi

Deviasi (-)

Septum

Deviasi (-)

(-)

Massa

(-)

(+)

Passase udara

(+)

Sinus paranasal
1 Inspeksi
2

mata (-), dahi (-)


Palpasi
:

pembengkakan pada wajah (+), sudut medial


nyeri tekan kedua pipi (+), dahi (-), sudut

medial mata (-)


b Rinoskopi posterior : tidak dilakukan
3. Tenggorok
Pemeriksaan Orofaring
Dextra

Pemeriksaan Orofaring
Mulut

Sinistra

Tenang
Bersih, basah
Tenang
Karies (+)
Simetris

Mukosa mulut
Lidah
Palatum molle
Gigi geligi
Uvula

Tenang
Bersih, basah
Tenang
Karies (+)
Simetris

Tenang

Tonsil
Mukosa

Tenang

T1

Besar

T1

Kripta
Detritus
Perlengketan

tidak melebar
-

Mukosa
Post nasal drip

Tenang
-

tidak melebar
Faring
Tenang
Pemeriksaan Nasofaring

Nasofaring (Rhinoskopi posterior)


Konka superior
Torus tubarius
Fossa Rossenmuller
Muara tuba eustachius

Sulit dinilai
Sulit dinilai
Terdapat massa
Sulit dinilai

Pemeriksaan Laringofaring
Laringofaring (Laringoskopi indirect)
Epiglotis
Plika ariepiglotika
Plika ventrikularis
Plika vokalis
Rima glotis

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Endoskopi : massa di nasofaring (+)

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

5.
6.
CT

Scan Sinus Paranasal :


Kesan :

Curiga SOL yang mengisi cavum nasi,


sinus maksilaris, etmoidalis, dan sfenoid sisi

kanan
Infiltrasi lesi ke retro bulbi kanan dan

parafaring space kanan curiga malignancy


Tanda mastoiditis kanan

5. DIAGNOSIS KERJA
Sinusitis Jamur Invasif
DD :
- Karsinoma Nasofaring
- Tumor Sinonasal

6. TATALAKSANA
Pembedahan, debridement
Setelah pembedahan dan debridement, diberikan Amfoterisin B dosis tinggi (1-1,5
mg/kgBB/hari), itraconazole oral (400 mg/hari) bisa menggantikan Amfoterisin B
saat stadium akut sudah berlalu.
7. PROGNOSIS

Quo ad vitam
Quo ad fungsionam

: bonam
: dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
SINUSITIS
A. Anatomi sinus paranasal
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan
kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior,
disebut sebagai vestibulum. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Dinding
lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka
superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina
perpendikularius os palatum, dan lamina pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat
empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior,
kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior,
sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
dinamakan dengan meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, media dan superior. Dinding inferior merupakan dasar hidung yang dibentuk
oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum.
Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os
nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian
besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen - filamen
n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju
bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka.

Kompleks osteomeatal (KOM)


Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media, ada muara-muara
saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan
sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM). KOM adalah bagian dari sinus
etmoid anterior. Pada potongan koronal sinus paranasal, gambaran KOM terlihat jelas
yaitu suatu rongga antara konka media dan lamina papirasea. Isi dari KOM terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus
frontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus
maksila.
Prosesus

unsinatus

berbentuk

bumerang

memanjang

dari

anterosuperior

ke

posteroinferior sepanjang dinding lateral hidung, melekat di anterosuperior pada pinggir


tulang lakrimal dan di posteroinferior pada ujung superior konka inferior. Prosesus
unsinatus membentuk dinding medial dari infundibulum.
Bula etmoid terletak di posterior prosesus unsinatus dan merupakan sel udara etmoid
yang terbesar dan terletak paling anterior. Bula etmoid dapat membengkak sangat besar
sehingga menekan infundibulum etmoid dan menghambat drainase sinus maksila.
Infundibulum etmoid berbentuk seperti terowongan dengan dinding anteromedial dibatasi
oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior dibatasi oleh bula etmoid, dan pada
bagian posteroinferolateral nya terdapat ostium alami sinus maksila sedangkan proyeksi
dari tepi terowongan yang membuka kearah kavum nasi membentuk hiatus semilunaris
anterior.
Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel-sel etmoid anterior.
Karena letaknya sangat dekat dengan resesus frontal, sel ini merupakan patokan anatomi
untuk operasi sinus frontal. Dengan membuka sel ini akan memberi jalan menuju resesus
frontal.
Resesus frontal dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari meatus media dan
merupakan drainase dari sinus frontal, dapat langsung ke meatus media atau melalui
infundibulum etmoid menuju kavum nasi.
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar
hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui ostiumnya. Ada 3
pasang sinus yang besar yaitu sinus maksila, sinus frontal dan sinus sfenoid kanan dan
kiri, dan beberapa sel-sel kecil yang merupakan sinus etmoid anterior dan posterior. Sinus
maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior termasuk kelompok sinus anterior dan

bermuara di meatus media, sedangkan sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid
merupakan kelompok sinus posterior dan bermuara di meatus superior.
Sinus Maksila
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal
maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya
adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum.
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke
hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan
dari anatomi sinus maksila adalah:
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar
(P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar
(M3), bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi
gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita
Universitas Sumatera Utara
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari gerakan silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang
sempit.
Identifikasi endoskopik sinus maksila adalah melalui ostium alami sinus maksila yang
terdapat di bagian posterior infundibulum. Ostium sinus maksila biasanya berbentuk
celah oblik dan tertutup oleh penonjolan prosesus unsinatus dan bula etmoid. Sisi anterior
dan posterior dari ostium sinus maksila adalah fontanel dan terletak di sebelah inferior
lamina papirasea. Sinus maksila dapat ditembus dengan relatif aman pada daerah sedikit
ke atas konka inferior dan didekat fontanel posterior.
Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokal infeksi bagi sinus-sinus lainnya.
Pada orang dewasa, bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan
dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara
di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel

sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang
menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis),
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya
dan terletak di posterior dari lamina basalis.
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian sempit, disebut resesus frontal, yang
berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di
daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat
bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis
maksila.
Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai
usia maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak
simetris. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada
lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15 % orang
dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak
berkembang.
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya
gambaran septum-septum dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi
sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri
anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan
infundibulum etmoid.
Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid berbentuk seperti tonjolan yang terletak di lateral septum nasi. Jika sinus
sfenoid telah dibuka dan bagian dinding anterior diangkat maka akan tampak konfigurasi
khas dari bagian dalam sinus sfenoid; yang terdiri dari tonjolan sela tursika, kanalis
optikus dan indentasi dari arteri karotis. Sinus sfenoid mengalirkan sekretnya ke dalam
meatus superior bersama dengan etmoid posterior.
B. Definisi

Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter seharihari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di
seluruh dunia.
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyakit utamanya
adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat
diikuti oleh infeksi bakteri. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis,
sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.
Sinus paranasal yang sering terkena ialah sinus ethmoid dan maksila, sedangkan
sinus frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi. Sinus maksila disebut juga
antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah
menyebar ke sinus, disebut sinusitis dentogen.
Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena meyebabkan komplikasi ke orbita dan
intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.
C. Etiologi dan faktor predisposisi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung,
kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osteomeatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada
sindroma Kartegener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rhinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto
polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan yang
berpolusi, udara dingin dan kering, serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama
menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.
D. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya


klirens mukosiliar di dalam kompleks osteo-meatal. Mukus juga mengandung substansi
antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap
kuman yang masuk bersama dengan udara pernapasan.
Organ-organ yang membentuk kompleks osteo-meatal letaknya berdekatan dan
bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak
dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga
sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa
dianggap rhinosinusitis non-bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa
pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media
yang baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan
ini disebut dengan rhinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik.

Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi
berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak
dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa
menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan
ini mungkin diperlukan tindakan operasi.
E. Klasifikasi dan Mikrobiologi

Konsensus internasional tahun 1995 membagi rhinosinusitis hanya akut dengan


batas sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu. Konsensus tahun 2004
membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut dengan batas 4 minggu
sampai dengan 3 bulan, dan kronik jika lebih dari 3 bulan.
Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari
sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik adanya faktor
predisposisi harus dicari dan diobati secara tuntas.
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut
adalah Streptococcus pneumonia (30 - 50%), Haemophylus influenzae (20 40%), da
Moraxella catarrhalis (4%). Pada anak, M. catarrhalis paling sering ditemukan (20%).
Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya bakteri yang
ada lebih condong ke arah bakteri gram negatif dan anaerob.
Sinusitis dentogen
Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronis. Dasar
sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga
sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi. Bahkan kadangkadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi
atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau
melalui pembuluh darah dan limfe.
Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang
mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati
sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik
yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali juga perlu dilakukan irigasi sinus maksila.
Sinusitis jamur
Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan yang
tidak jarang ditemukan. Angka kejadiannya meningkat dengan meningkatnya pemakaian
antibiotik, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan dan radioterapi. Kondisi yang
merupakan predisposisi antara lain diabetes melitus, neutropenia, penyakit AIDS, dan
perawatan yang lama di rumah sakit. Jenis jamur yang sering menyebabkan infeksi sinus
paranasal ialah spesies Aspergilus dan Candida.

Perlu diwaspadai adanya sinusitis jamur pada kasus sebagai berikut: sinusitis
unilateral, yang sukar disembuhkan dengan terapi antibiotik. Adanya gambaran
kerusakan tulang dinding sinus, atau bila ada membran berwarna putih keabu-abuan pada
irigasi antrum.
Para ahli membagi sinusitis jamur sebagai bentuk invasif dan non-invasif.
Sinusitis jamur invasif terbagi menjadi invasif akut fulminan dan invasif kronik indolen.
Sinusitis jamur invasif akut, ada invasi jamur ke jaringan dan vaskular. Sering terjadi
pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, pasien dengan imunosupresi seperti leukemia
dan neutropenia, pemakaian steroid lama dan terapi imunosupresan. Imunitas yang
rendah dan invasi pembuluh darah menyebabkan penyebaran jamur sangat cepat dan
dapat merusak dinding sinus, jaringan orbita, dan sinus kavernosus. Di kavum nasi,
mukosa berwarna biru kehitaman dan ada mukosa konka atau septum yang nekrotik.
Sering berakhir dengan kematian.
Sinusitis jamur invasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan gangguan
imunologik atau metabolik seperti diabetes. Bersifat kronik progresif dan bisa juga
menginvasi sampai ke orbita atau intrakranial, tetapi gambaran kliniknya tidak sehebat
yang bersifat fulminan karena perjalanan penyakitnya lebih lambat. Gejalanya seperti
sinusitis bakterial, tetapi sekretnya kental dengan bercak-bercak kehitaman, yang bila
dilihat dengan mikroskop merupakan koloni jamur.
Sinusitis jamur non-invasif, atau misetoma, merupakan kumpulan jamur di dalam
rongga sinus tanpa invasi ke dalam mukosa dan tidak sampai mendestruksi tulang. Sering
mengenai sinus maksila. Gejala klinis sering menyerupai sinusitis kronis berupa rinore
purulen, post nasal drip, dan napas bau. Kadang-kadang ada massa jamur juga di kavum
nasi. Pada operasi bisa ditemukan materi jamur berwarna cokelat kehitaman dengan atau
tanpa pus di dalam sinus.
Terapi untuk sinusitis jamur invasif ialah pembedahan, debridemen, anti jamur
sistemik, dan pengobatan terhadap penyakit dasarnya. Obat standar ialah amfoterisin B,
bisa ditambah dengan rifampisin atau flusitosin agar lebih efektif. Pada misetoma hanya
perlu terapi bedah untuk membersihkan massa jamur, menjaga ventilasi dan drainase
sinus. Tidak diperlukan anti jamur sistemik.
F. Menifestasi klinis

Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa


tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal
drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas
sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri
pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang orbita menandakan
sinusitis ethmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada
sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang orbita, dan daerah
mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga.
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang
menyebabkan batuk dan sesak napas pada anak.
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang
hanya 1 atau 2 gejala-gejala di bawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk
kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba
eustachius, gangguan ke paru seperti bronkhitis (sino-bronkhitis), bronkhiektasis dan
yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak,
mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.
G. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior, dan posterior, pemeriksaan
naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas
ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan ethmoid anterior dan
frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis ethmoidalis posterior dan sfenoid). Pada
rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan
dan kemerahan pada kantus medius.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT-Scan. Foto polos
posisi Waters, PA, lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar
seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, air-fluid level,
atau penebalan mukosa.
CT-Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu
menilai secara anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang

diagnosis sinusitis kronis yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi
sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan ini sudah jarang dilakukan karena sangat terbatas kegunaannya.
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari
meatus medius/superior, untuk mendapatkan antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi
bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila
melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang
sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.
H. Terapi
Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi,
dan mencegah perubahan menjadi kronis. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan
di kompleks osteo-meatal sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk
menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium
sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika
diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat
diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis
antibiotik diberikan selama 10-14 hari walaupun gejala klinik sudah menghilang. Pada
sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman gram negatif dan anaerob.
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan,
seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl
atau diatermi. Antihistamin tidak rutin diberikan karena sifat antikolinergiknya dapat
menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan
antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement juga
merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan
jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.
Tindakan operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk
sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir
semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan
tindakan lebih ringan dan tidak radikal. Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak

membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang
ireversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.
I. Komplikasi
Komplikasi sinusitis yang berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada
sinusitis kronis dengan eksarsebasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.
Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata, yaitu
sinus ethmoid, kemudian frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui
tromboflebitis dan perikontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra,
selulitis orbita, abses periosteal, abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi trombosis
sinus kavernosus.
Kelainan intrakranial dapat berupa meningitis, abses ekstradural/subdural, abses
otak dan trombosis sinus kavernosus.
Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa: Osteomielitis dan abses
periosteal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada
anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula
pada pipi.
Kelainan paru seperti bronkhitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus
paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sino-bronkhitis. Selain itu, dapat juga
menyebabkan kambuhnya asma bronkhial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya
disembuhkan.

SINUSITIS JAMUR
A. Definisi Sinusitis Jamur
Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal
Angka kejadiannya meningkat seiring meningkatnya pemakaian antibiotik,

kortikosteroid, obat-obat imunosupresan, dan radioterapi


Kondisi lain yang menjadi predisposisi antara lain diabetes mellitus, neutropenia,
penyakit AIDS, dan perawatan yang lama di Rumah Sakit

B. Klasifikasi Sinusitis Jamur


1 Sinusitis jamur invasif
- Akut

Sering terjadi pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, pasien


dengan imunosupresi seperti leukemia atau neutropenia, pada

pemakaian steroid jangka lama, dan terapi imunosupresan


Imunitas yang rendah dan invasi pembuluh darah menyebabkan
penyebaran jamur sangat cepat dan dapat merusak dinding sinus,
jaringan orbita, dan sinus cavernosus

Kronik
Sering terjadi pada pasien dengan gangguan imunologik dan

metabolik seperti diabetes


Dapat juga menginvasi sampai ke orbita dan intrakranial tetapi
gambaran klinis nya tidak sehebat bentuk fulminan karena perjalanan

penyakitnya lebih lambat


Gejalanya seperti sinusitis bakterial, tetapi sekret hidung kental
dengan bercak-bercak kehitaman

Sinusitis jamur non invasif


Kumpulan jamur dalam rongga sinus tanpa invasi ke mukosa dan tidak

mendestruksi tulang
Sering mengenai sinus maxilla
Gejala berupa rinore purulen, post nasal drip, napas bau, terkadang ada
massa jamur di cavum nasi

C. Etiologi
Jenis jamur yang paling sering menyebabkan sinusitis jamur adalah spesies
Aspergillus dan Candida.

D. Diagnosis
Perlu diwaspadai adanya sinusitis jamur adalah pada kasus :

Sinusitis unilateral, yang sukar disembuhkan dengan antibiotik


Adanya gambaran kerusakan tulang dinding sinus
Adanya membran berwarna putih keabuan pada irigasi antrum
E. Tatalaksana
1 Sinusitis jamur invasif akut
- Pembedahan, debridement
- Setelah pembedahan dan debridement, diberikan Amfoterisin B dosis tinggi
(1-1,5 mg/kgBB/hari), itraconazole oral (400 mg/hari) bisa menggantikan
Amfoterisin B saat stadium akut sudah berlalu.
2

Sinusitis jamur invasive kronik


- Tindakan pembedahan adalah tatalaksana wajib
- Amfoterisin B ( 2 gram/hari), dapat diganti dengan ketoconazole atau
itraconazole

Sinusitis jamur non-invasif


- Rekomendasi terapi adalah tindakan bedah, untuk membersihkan massa
jamur, menjaga drainase, dan ventilasi sinus

F. Komplikasi
1 Sinusitis jamur invasif akut
Dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan nekrosis jaringan sekitar
Trombosis sinus cavernosus dan invasi sistem saraf pusat dan menyebabkan
kematian 50-80%.
2

Sinusitis jamur invasif kronik


Erosi rongga orbita atau sistem saraf pusat jika penyakit ini tidak diobati

Sinusitis jamur non-invasif


Jika terlambat diobati, akan menimbulkan gejala sinusitis yang berbahaya,
dapat terjadi komplikasi ke rongga orbita.

Anda mungkin juga menyukai