Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar belakang
Ginjal adalah organ yang sangat penting bagi tubuh yang berfungsi untuk
mengekskresikan zat-zat yang tidak diperlukan oleh tubuh serta zat-zat beracun.
Selain itu ginjal juga berfungsi untuk mengatur keseimbangan cairan pada tubuh.
Zat-zat yang tidak lagi diperlukan oleh tubuh kemudian dibuang bersama dengan
urine. Jika terjadi kerusakan pada ginjal, zat-zat yang berbahaya bagi tubuh dapat
kembali diserap oleh tubuh karena ginjal gagal mengekskresi, atau zat-zat yang
diperlukan oleh tubuh malah terbuang bersama urine.
Nefrotik sindrom merupakan penyakit yang ditandai dengan proteinuria,
yaitu urine yang mengandung protein. Hal ini merupakan tanda bahwa ada
kerusakan pada ginjal, karena protein adalah zat yang diperlukan oleh tubuh
namun malah terbuang bersama dengan urine. Penderita tidak menyadari tanda
awal ini karena proteinuria hanya dapat terdeteksi dengan pemeriksaan
mikroskopis. Penderita datang ke dokter setelah muncul gejala sistemik seperti
edema.
Nefrotik sindrom pada pasien dengan nefropati diabet adalah kasus yang
paling sering. Selain itu, nefrotik sindrom juga banyak terjadi pada anak-anak.
Pada tahun 2016 didapatkan 50 kasus nefropati diabetes dari 1 juta populasi dan
20 kasus nefrotik sindrom pada anak-anak dari 1 juta populasi. Hal ini
menunjukkan bahwa nefrotik sindrom tidak jarang terjadi.

Jika tidak segera ditangani, nefrotik sindrom dapat memberikan dampak


metabolic yang tidak sepele pada tubuh seperti :
Infeksi
Hyperlipidemia dan aterosklerosis
Hypokalemia dan abnormalitas tulang
Hiperkoagulasi
Hypovolemia
Maka dari itu, penting bagi tenaga kesehatan untuk mengetahui apa itu
nefrotik sindrom dan mengetahui penatalaksanaan nefrotik sindrom untuk
mencegah terjadinya komplikasi yang memperparah keadaan penyakit pasien.
1.2.

Tujuan
1. Mengetahui etiologi, patofisiologi dan gejala klinis dari sindroma nefrotik
agar dapat dilakukan deteksi dini pasien dengan sindrom nefrotik.
2. Mengetahui penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis sindrom nefrotik agar
dapat dilakukan tindak lanjut yang tepat untuk pasien sindrom nefrotik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Anatomi dan fisiologi ginjal


Ginjal merupakan organ penting bagi tubuh karena memiliki fungsi yang
penting pada fase akhir metabolisme tubuh yaitu :

Filtrasi : Mengekskresi zat-zat yang tidak diperlukan oleh tubuh serta zat-

zat beracun
Reabsorbsi : Berfungsi untuk menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh
pada kadar yang tepat. Cairan didalam tubuh meliputi garam, elektrolit

dan tekanan darah.


Mengatur hormon

Ginjal memiliki bagian yang disebut unit fungsional yaitu nefron, karena
proses filtrasi dan reabsorbsi terjadi di nefron. Nefron terletak di korteks renalis
dan medulla renalis. Nefron terdiri dari beberapa bagian yaitu bagian-bagian
yang berada di korteks yang terdiri dari : glomerulus, kapsula bowman, tubulus
kontortus proksimal, tubulus kontortus distal dan tubulus kolektivus. Serta
bagian dari nefron yang berada di medulla renalis yaitu lengkung henle yang
berada diantara tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distal.
Bagian dari nefron yang berfungsi untuk filtrasi adalah glomerulus.
Glomerulus memfiltrasi darah dari arteri renalis yang bercabang menjadi arteriol
afferent, yang kemudian melewati glomerulus dan berlanjut menjadi arteriol
efferent, dimana hasil dari filtrasi dari glomerulus akan masuk ke kapsula
bowman. Kapsula bowman adalah semacam kantong yang membungkus
glomerulus dan berfungsi untuk mengumpulkan cairan hasil filtrasi dari
glomerulus. Endotel glomerulus memiliki pori-pori kecil yang dapat dilewati
oleh partikel-partikel kecil seperti Na+, asam amino dan glukosa. Setelah
melewati endotel, partikel tersebut menembus melewati membrana basalis, lalu

melewati podosit. Partikel yang besar seperti protein tidak dapat menembus
melewati lapisan-lapisan ini.

Gambar 2.1. Anatomi ginjal dan nefron

Bagian dari nefron yang lainnya berfungsi untuk reabsorbsi adalah Tubulus
kontortus proksimal. Tubulus kontortus proksimal berfungsi untuk menyerap
partikel kecil seperti glukosa, Na+, air dan asam amino yang dibutuhkan oleh
tubuh yang ikut terfiltrasi tadi dan terbentuklah urine primer. Urine primer
kemudian melewati lengkung henle menuju ke tubulus kontortus distal yang

merupakan tempat untuk melepaskan zat-zat yang tidak berguna lagi untuk tubuh
ataupun zat-zat yang berlebihan dalam tubuh. Kemudian terbentuklah urine
sekunder. Urine kemudian masuk ke tubulus kolektivus dan disalurkan ke calyx
renalis lalu pelvis renalis untuk diekskresi menuju ureter ke kandung kemih.
Tujuan ginjal melakukan filtrasi dan reabsorbsi adalah untuk mempertahankan
homeostasis. Sistem homeostasis pada ginjal meliputi :

Menjaga keseimbangan pH darah


Menjaga kestabilan tekanan darah
Menjaga osmolaritas plasma
Mengeliminasi zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh

Proses reabsorbsi pada ginjal menyesuaian keadaan didalam tubuh. Misalnya,


jika kebutuhan glukosa dalam tubuh sudah berlebihan (seperti pada kasus
diabetes mellitus), maka ginjal tidak akan mereabsorbsi glukosa lagi. Akhirnya
glukosa terbuang bersama dengan urine. Maka dari itu, ginjal seringkali menjadi
suatu penanda jika ada kelainan pada system metabolisme tubuh.

2.2.
Sindroma Nefrotik
2.2.1. Definisi
Nefrotik sindrom

merupakan

salah

satu

manifestasi

klinik

glomerulonephritis (GN) ditandai dengan edema anasarca, proteinuria masif


>3,5 g/hari, hypoalbuminemia <3,5 g/dl, hiperkolesterolemia dan lipiduria.
Pada proses awal atau sindroma nefrotik ringan, untuk menegakkan diagnosis,
tidak semua gejala tersebut harus ditemukan.

Umumnya nefrotik sindrom diklasifikasikan menjadi nefrotik sindrom


primer dan nefrotik sindrom sekunder. Pada nefrotik sindrom primer terjadi
kelainan pada glomerulus itu sendiri di mana faktor etiologinya tidak
diketahui. Penyakit ini sering ditemukan pada kasus anak.
2.2.2. Etiologi
Glomerulonefritis primer :
o Glomerulonefritis lesi minimal (GNLM)
o Glomerulosklerosis fokal (GSF)
o Glomerulonefritis membranosa (GNMN)
o Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)
o Glomerulonefritis proliferatif lain
Glomerulonefritis sekunder akibat infeksi :
o HIV, hepatitis virus B dan C
o Sifilis, malaria, skistosoma
o Tuberculosis, lepra
Keganasan
o Adenokarsinoma paru
o Adenokarsinoma payudara
o Adenokarsinoma kolon
o Limfoma Hodgkin
o Myeloma multiple
o Karsinoma ginjal
Sistemik lupus eritematosa (SLE)
Rheumatoid artritis
Diabetes mellitus
Efek obat dan toksin
2.2.3. Patofisiologi
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah
proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder.
Kelainan ini disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler
glomerulus yang sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilangnya
muatan negatif glikoprotein dalam dinding kapiler.
Pada dinding kapiler glomerulus terdapat membrane basal glomerulus
yang mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein.

Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier)


dan yang kedua adalah berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada
sindroma nefrotik, kedua mekanisme penghalang tersebut terganggu.
Akibatnya fungsi mekanisme penghalang yang dimiliki oleh membran basal
glomerulus untuk mencegah kebocoran atau lolosnya protein terganggu.
Konfigurasi protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui
membrane basal glomerulus. Pada sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri
atas campuran albumin dan protein yang sebelumnya terfiltrasi didalam
tubulus terlalu banyak akibat dari kebocoran glomerulus dan akhirnya
diekskresikan dalam urin.
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan
ukuran moleul protein yang keluar melalui urine. Proteinuria disebut selektif
apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin.
Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar
seperti immunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuan
struktur membrane basal glomerulus.
Keutuhan membrane basal glomerulus hanya dapat dilihat dibawah
mikroskop electron dimana terdapat fusi dari foot processus sel podosit pada
epitel visceral glomerulus sehingga sel terlepas dari membrane basal
glomerulus. Hal ini menyebabkan muatan negative pada membrane basal
glomerulus menurun sehingga protein dapat lolos ke dalam urine.
Pada sindrom nefrotik, protein hilang lebih dari 3,5 g/kgbb/hari yang
terutama terdiri dari albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia. Pada
umumnya, edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5

gram/dl. Mekanisme edema belum diketahui secara fisiologis tetapi


kemungkinan edema terjadi karena penurunan tekanan onkotik atau osmotik
intravaskuler yang memungkinkan cairan menembus ke ruangan interstisial,
hal ini disebabkan oleh karena hipoalbuminemia.
Keluarnya cairan ke ruang interstisial menyebabkan edema yang
diakibatkan pergeseran cairan. Akibat dari pergeseran cairan ini volume
plasma total dan volume darah arteri menurun dibandingkan dengan volume
sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan penurunan volume intravaskuler
yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi aliran darah ke ginjal.
Hal ini dideteksi lalu mengaktifkan sistem rennin-angiotensinaldosteron (RAAS) yang akan meningkatkan vasokonstriksi dan juga akan
mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume intravaskular yang akan
merangsang peningkatan aldosteron yang merangsang reabsorbsi natrium di
tubulus distal dan merangsang pelepasan hormon antidiuretik yang
meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus. Hal ini mengakibatkan
peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik plasma berkurang natrium
dan air yang direabsorbsi akan memperberat edema.
Edema pada sindroma nefrotik juga dapat diterangkan dengan teori
underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hypoalbuminemia
merupakan factor kunci terjadinya edema pada sindrom nefrotik dengan
mekanisme hypoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik
plasma sehingga cairan bergeser dari intravascular ke interstitial dan terjadi
edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan
plasma, terjadilah hypovolemia. Hal ini membuat ginjal melakukan

kompensasi dengan cara meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme


kompensasi ini akan memperbaiki volume intravascular tetapi juga akan
mengeksaserbasi terjadinya hypoalbuminemia sehingga edema semakin
berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi Na+ adalah defek renal
utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler
meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat
kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua
mekanisme tersebut ditemukan secara bersamaan pada pasien dengan
sindrom nefrotik.
Stimulasi renin angiotensin, aktivasi aldosteron dan hormon
antidiuretik akan mengaktifasi terjadinya hipertensi. Pada sindrom nefrotik
kadar kolesterol, trigliserid, dan lipoprotein serum meningkat disebabkan oleh
hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati,
dan terjadinya katabolisme lemak yang menurun karena penurunan kadar
lipoprotein lipase plasma. Hal ini kalau berkepanjangan dapat menyebabkan
arteriosclerosis.
Mekanisme hyperlipidemia pada sindroma nefrotik dihubungkan
dengan meningkatnya sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya
katabolisme. Semula diduga hyperlipidemia merupakan hasil stimulasi
nonspesifik terhadap sintesis protein oleh hati. Karena sintesis protein tidak
berkorelasi dengan hyperlipidemia, disimpulkan bahwa hyperlipidemia tidak
langsung

diakibatkan

oleh

hypoalbuminemia.

Hyperlipidemia

dapat

ditemukan pada sindrom nefrotik dengan kadar albumin mendekati normal

dan sebaliknya pada pasien dengan hypoalbuminemia kadar kolesterol dapat


normal.
Tingginya kadar LDL pada sindrom nefrotik disebabkan peningkatan
sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan
gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL
tinggi. Menurunnya aktivitas enzim lipoprotein lipase diduga merupakan
penyebab berkurangnya

katabolisme VLDL pada sindrom nefrotik.

Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma


atau viskositas yang menurun. Sedangkan penurunan kadar HDL pada
sindrom nefrotik diduga akibat berkurangnya enzim lechitin cholesterol
acyltransferase yang berfungsi katalisasi pembentukan HDL. Penurunan
aktivitas enzim tersebut diduga terkait dengan hypoalbuminemia yang terjadi
pada sindrom nefrotik. Lipiduria sering ditemukan pada sindrom nefrotik dan
ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel dan cast seperti badan lemak
berbentuk oval dan fatty cast. Lipiduria lebih berkaitan dengan proteinuria
daripada dengan hyperlipidemia.
2.2.4. Manifestasi Klinik
1. Gejala utama yang ditemukan adalah :
Edema anasarka. Pada awalnya dijumpai edema terutamanya jelas pada
kaki, namun dapat juga pada daerah periorbital, skrotum atau labia. Bisa
juga terjadi asites dan efusi pleura. Akhirnya edema menjadi menyeluruh

dan masif (anasarka).


Proteinuria > 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari pada anak

anak.
Hipoalbuminemia < 20-30 mg/dl.
Hiperlipidemia atau hiperkolesterolemia > 250mg/dl

10

2. Pada sebagian pasien dapat ditemukan gejala lain yang jarang:


Hipertensi
Hematuria
Diare
Anorexia
Fatigue atau malaise ringan
Nyeri abdomen atau nyeri perut
Berat badan meningkat
Hiperkoagulabilitas
2.2.5. Pemeriksaan diagnostik
1. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak
mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang
berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna
kemerahan yang menandakan hematuria.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan edema di kedua kelopak
mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum atau labia. Kadangkadang ditemukan hipertensi.
3. Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis sindrom nefrotik,
antara lain :
1) Urinalisis dan bila perlu biakan urin
Biakan urin dilakukan apabila terdapat gejala klinik yang mengarah
pada infeksi saluran kemih (ISK). Volume biasanya kurang dari 400 ml/24
jam (fase oliguri ) yang terjadi dalam 24-48 jam setelah ginjal rusak,
warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb,
Monoglobin, Porfirin. Berat jenis kurang dari 1,020 menunjukkan
penyakit ginjal seperti glomerulonephritis dan pielonefritis. Menetap pada
1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat. pH lebih besar dari 7

11

ditemukan pada infeksi saluran kencing, nekrosis tubular ginjal dan gagal
ginjal kronis (GGK).
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindromk nefrotik. Proteinuria
berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes
semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat, 3+ menandakan kandungan
protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih
yang masuk dalam nephrotic range.
2) Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies:
epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai
eritrosit, leukosit, torak hialin dan torak eritrosit.
3) Protein urin kuantitatif
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari. Pada individu sehat, total
protein urin 150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria
diagnosis. Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein
urin dan kreatinin > 2g/g, ini mengarahkan pada kadar protein urin per
hari sebanyak 3g.
4) Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit,

trombosit, hematokrit, LED)


Albumin dan kolesterol serum
Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin
Pengukuran dapat dilakukan dengan cara klasik ataupun
dengan

rumus

Schwartz.

Rumus

Schwartz

digunakan

untuk

memperkirakan laju filtrasi glomerulus (GFR).


eGFR = K x L/Scr

12

Keterangan :
eGFR : estimated GFR (ml/menit/1,73 m2)
L

: tinggi badan (cm)

Scr

: serum kreatinin (mg/dL)

: konstanta (bayi aterm:0,45; anak dan remaja putri:0,55;


remaja putra:0,7)

dengan kadar GFR normal 90 - 120 mL/min/1.73 m2

Kadar komplemen C3
Apabila terdapat kecurigaan lupus erimatosus sistemik,
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear
antibody), dan anti ds-DNA.

5) USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.
6) Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset usia >
8 tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta
terdapat manifestasi nefritik signifikan. Pada SN dewasa yang tidak
diketahui asalnya, biopsy mungkin diperlukan untuk diagnosis.Penegakan
diagnosis patologi penting dilakukan karena masing-masing tipe memiliki
pengobatan dan prognosis yang berbeda. Penting untuk membedakan
minimal-change disease pada dewasa dengan glomerulosklerosisfokal,
karena minimal-change disease memiliki respon yang lebih baik terhadap
steroid.

13

2.2.6. Kriteria Sindrom Nefrotik


1) Remisi
Apabila proteinuri negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2LPB/jam) 3
hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut remisi.
2) Relaps
Apabila proteinuri 2+ ( >40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu >2 mg/mg) 3 hari berturut-turut dalam satu minggu,
maka disebut relaps.
3) Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh
(2mg/kg/hari) selama 4 minggu mengalami remisi.
4) Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh
(2mg/kg/hari) selama 4 minggu tidak mengalami remisi.
5) Sindrom nefrotik relaps jarang
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6 bulan sejak
respons awal atau < 4 kali dalam 1 tahun.
6) Sindrom nefrotik relaps sering
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps 2 kali dalam 6 bulan sejak
respons awal atau 4 kali dalam 1 tahun. 10
7) Sindrom nefrotik dependen steroid

14

Sindrom nefrotik yang mengalami relaps dalam 14 hari setelah dosis


prednison diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh atau dihentikan dan terjadi 2
kali berturut-turut.
2.2.7. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan farmakologis
a. Proteinuria
ACE inhibitor diindikasikan untuk menurunkan tekanan darah
sistemik dan glomerular serta proteinuria. Obat ini mungkin memicu
hyperkalemia pada pasien dengan insufisiensi ginjal moderat sampai
berat. Restriksi protein tidak lagi direkomendasikan karena tidak
memberikan progres yang baik.
b. Edema
Diuretik hanya diberikan pada edema yang nyata, dan tidak dapat
diberikan pada Sindrom Nefrotik yang disertai dengan diare, muntah
atau hipovolemia, karena pemberian diuretik dapat memperburuk
gejala tersebut. Pada edema sedang atau edema persisten, dapat
diberikan furosemid dengan dosis 1-3 mg/kg per hari. Pemberian
spironolakton dapat ditambahkan bila pemberianfurosemid telah lebih
dari 1 minggu lamanya, dengan dosis 1-2 mg/kg per hari. Bila edema
menetap dengan pemberian diuretik,dapat diberikan kombinasi
diuretik dengan infus albumin. Pemberian infus albumin diikuti
dengan pemberian furosemid 1-2 mg/kg intravena. Albumin biasanya
diberikan selang sehari untuk menjamin pergeseran cairan ke dalam
vaskuler dan untuk mencegah kelebihan cairan (overload). Penderita

15

yang mendapat infus albumin harus dimonitor terhadap gangguan


napas dan gagal jantung.
c. Infeksi
Penderita Sindrom Nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, yang
paling sering adalah selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena
pengeluaran imunoglobulin G, protein faktor B dan D di urin,
disfungsi sel T, dan kondisi hipoproteinemia itu sendiri. Pemakaian
imunosupresif menambah risiko terjadinya infeksi. Pemeriksaan fisik
untuk mendeteksi adanya infeksi perlu dilakukan. Selulitis umumnya
disebabkan oleh kuman stafilokokus, sedang sepsis pada SN sering
disebabkan oleh kuman Gram negatif. Peritonitis primer umumnya
disebabkan oleh kuman Gram-negatif dan Streptococcus pneumoniae
sehingga perlu diterapi dengan penisilin parenteral dikombinasikan
dengan sefalosporin generasi ke-tiga, seperti sefotaksim atau
seftriakson selama 10-14 hari.
d. Hipertensi
Hipertensi pada Sindrom Nefrotik dapat ditemukan sejak awal pada
10-15% kasus, atau terjadi sebagai akibat efek samping steroid.
Pengobatan hipertensi pada Sindrom Nefrotik dengan golongan
inhibitor enzim angiotensin konvertase, calcium channel blockers, atau
beta adrenergic blockers.
e. Hipovolemia
Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian
diuretik yang tidak terkontrol, terutama pada kasus yang disertai
dengan sepsis, diare, dan muntah. Gejala dan tanda hypovolemia ialah
hipotensi, takikardia, akral dingin dan perfusi buruk, peningkatan
16

kadar urea dan asam urat dalam plasma. Pada beberapa anak memberi
keluhan nyeri abdomen. Hipovolemia diterapi dengan pemberian
cairan fisiologis dan plasma sebanyak 15-20 ml/kg dengan cepat, atau
albumin 1 g/kg berat badan.
f. Tromboemboli
Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh karena
keadaan hiperkoagulabilitas. Selain disebabkan oleh penurunan
volume intravaskular, keadaan hiperkoagulabilitas ini dikarenakan
juga oleh peningkatan faktor pembekuan darah antara lain factor V,
VII, VIII, X serta fibrinogen, dan dikarenakan oleh penurunan
konsentrasi antitrombin III yang keluar melalui urin. Risiko terjadinya
tromboemboli akan meningkat pada kadar albumin plasma < 2 g/dL,
kadar fibrinogen > 6 g/dL, atau kadar antitrombin III < 70%. Pada SN
dengan risiko tinggi, pencegahan komplikasi tromboemboli dapat
dilakukan dengan pemberian asetosal dosis rendah dan dipiridamol.
Heparin hanya diberikan bila telah terjadi tromboemboli, dengan dosis
50 U/kg intravena dan dilanjutkan dengan 100 U/kg tiap 4 jam secara
intravena.
g. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia

pada

Sindrom

Nefrotik

meliputi

peningkatan

kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan asam lemak. Kolesterol hampir


selalu ditemukan meningkat, namun kadar trigliserida, fosfolipid tidak
selalu meningkat. Peningkatan kadar kolesterol berbanding terbalik
dengan kadar albumin serum dan derajat proteinuria. Keadaan
hiperlipidemia ini disebabkan oleh karena penurunan tekanan onkotik
17

plasma sebagai akibat dari proteinuria merangsang hepar untuk


melakukan sintesis lipid dan lipoprotein, di samping itu katabolisme
lipid pada Sindrom Nefrotik juga menurun. Pengaruh hiperlipidemia
terhadap morbiditas dan mortalitas akibat kelainan kardiovaskuler
pada anak penderita Sindrom Nefrotik masih belum jelas. Sedangkan
manfaat pemberian obat-obat penurun lipid seperti kolesteramin,
derivat asam fibrat atau inhibitor HMG-CoA reduktase (statin) masih
diperdebatkan.
2. Penatalaksanaan dengan kortikosteroid
Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu
diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan
keadaan pasien, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.
a. Cara penanganan sekiranya terjadi sindrom nefrotik kambuh (relaps) :
Berikan prednison sesuai protokol relaps, segera setelah diagnosis
relaps ditegakkan.
Perbaiki keadaan umum penderita.
b. Cara penanganan sekiranya terjadi sindrom nefrotik kambuh tidak
sering (sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan
atau < 4 kali dalam masa 12 bulan)
Induksi :
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari)
maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari

selama 3 minggu.
Rumatan :
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam,
diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4
minggu. Setelah 4 minggu, prednison dihentikan.

18

c. Sindrom nefrotik kambuh sering (sindrom nefrotik yang kambuh > 2


kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam masa 12 bulan).
Induksi :
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari)
maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari

selama 3 minggu
Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam,
diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4
minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40
mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30
mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam
selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu,

kemudian prednison dihentikan.


d. Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral
2-3 mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8
minggu siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter
spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons terhadap
pengobatan awal, relaps sering, terdapat komplikasi, terdapat kontra
indikasi steroid, atau untuk biopsi ginjal
3. Penatalaksanaan non farmakologis
Selain penatalaksanaan farmakologis, perlu diberikan penatalaksanaan
non farmakologis seperti diet pada pasien sindrom nefrotik. Jenis diet
yang direkomendasikan adalah diet seimbang dengan protein dan kalori
yang adekuat. Kebutuhan protein anak ialah 1,5 2 g/kg, namun anak-

19

anak dengan proteinuria persisten yang seringkali mudah mengalami


malnutrisi diberikan protein 2 2,25 g/kg per hari. Maksimum 30% kalori
berasal dari lemak. Karbohidrat diberikan dalam bentuk kompleks seperti
zat tepung dan maltodekstrin.
Gejala ureum dapat hilang bila protein dapat dibatasi dengan syarat
kebutuhan energi dapat terpenuhi dengan baik, protein yang diberikan
sebaiknya mengandung asam amino yang esensial, diet yang hanya
mengandung 20 gram protein yang dapat menurunkan nitrogen darah,
kalori diberikan sekitar 30 kal/kgBB dapat dikurangi apabila didapati
obesitas.
Selain itu perlu juga dilakukan pengaturan minum pada pasien. Hal ini
dilakukan untuk pengobatan penyakit dasar dan pengobatan cairan dan
elektrolit, yaitu pemberian cairan intravena sampai diuresis cukup
maksimal.
4. Pencegahan perburukan fungsi ginjal
a. Pengendalian hipertensi :
Tekanan darah harus dikendalikan dengan obat-obatan golongan
tertentu, tekanan darah data diturunkan tanpa diturunkan fungsi ginjal,
misalnya dengan betabloker, methyldopa, vasodilator, juga mengatur
pemasukan garam.
b. Pengendalian darah :
Peningkatan kalium darah dapat mengakibatkan kemaitan mendadak,
ini dapat dihindari dengan hati-hati dalam pemberian obat-obatan dan
diit buah-buahan, hiperkalemia dapat diagnosis dengan pemeriksaan
EEG dan EKG, bila hiperkalemia sudah terjadi maka dilakukan
pengurangan intake kalium, pemberian natrium bicarbonate secara

20

intra vena, pemberian cairan parental (glukosa), dan pemberian


insulin.
c. Penanggulangan anemia :
Anemia merupakan keadaan yang sulit ditanggulangi pada gagal ginjal
kronis, usaha pertama dengan mengatasi faktor defisiensi, untuk
anemia normakrom trikositik dapat diberikan supplemen zat besi oral,
tranfusi darah hanya diberikan pada keadaan mendesak misalnya
insufisiensi karena anemia dan payah jantung.
d. Penanggulangan Asidosis :
Pada umumnya asidosis baru timbul pada tahap lanjut dari nefrotik
sindrom. Sebelum memberikan pengobatan khusus, faktor lain yang
harus diatasi dulu misalnya rehidrasi. Pemberian asam melalui
makanan dan obat-obatan harus dihindari. Pengobatan natrium
bikarbonat dapat diberikan melalui peroral dan parenteral, pada
permulaan diberi 100 mg natrium bicarbonate, diberikan melalui
intravena secara perlahan-lahan. Tetapi lain dengan dilakukan dengan
cara hemodialisis dan dialysis peritoneal.
e. Pengobatan dan pencegahan infeksi :
Ginjal yang sedemikian rupa lebih mudah mengalami infeksi, hal ini
dapat memperburuk faal ginjal. Obat-obatan antimikroba diberikan
bila ada bacteriuria. Dengan memperhatikan efek nefrotoksik, tindakan
katetrisasi

harus

sedapat

mungkin

mempermudah terjadinya infeksi.


2.2.8. Komplikasi Sindrom Nefrotik
1. Kelainan koagulasi dan timbulnya

dihindari

trombosis.

karena

dapat

Peningkatan

permeabilitas glomerulus mengakibatkan:

21

a. Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein di dalam urin


seperti antithrombin III (AT III), protein S bebas, plasminogen dan
antiplasmin.
b. Hipoalbuminemia

menimbulkan

aktivasi

trombosit

lewat

tromboksan A2.
c. Meningkatnya sintesis protein prokoagulan dan tertekannya
fibrinolisis.
2. Aktivasi sistem hemostatik di dalam ginjal dirangsang oleh faktor
jaringan monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler
glomerolus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan
agregasi trombosit.
3. Infeksi sekunder terutama

infeksi

kulit

oleh

streptococcus,

staphylococcus, bronkopneumonia, TBC. Erupsi erisipelas pada kulit


perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit ini batasnya
tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan biasanya tidak
ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan.
4. Gangguan klirens renali pada pasien sindrom nefrotik mungkin
disebabkan kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan
berkurangnya hantaran natrium dan air ke ansa henle tebal. Gangguan
pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan menurunkan pH
urin sesudah pemberian beban asam.
5. Gagal ginjal akut terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi
filtrasi berkurang, tapi karena edema interstisial dengan akibatnya
meningkatnya tekanan tubulus proksimalis yang menyebabkan
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).

22

6. Anemia yang disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum


yang menurun akibat proteinuria. Anemia hipokrom mikrositik, karena
defisiensi besi yang tipikal, namun resisten terhadap pengobatan
preparat Fe.
7. Peritonitis karena adanya edema di mukosa usus membentuk media
yang baik untuk perkembangan kuman-kuman komensal usus.
Biasanya akibat infeksi streptokokus pneumonia, E.coli.
8. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral.
a. Karena protein pengikat hormon hilang melalui urin . Hilangnya
globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien
sindrom nefrotik dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan
dengan beratnya proteinuria.
b. Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan
berakibat menurunkan kalsium terikat, tetapi fraksi yang
terionisasi normal dan menetap. Disamping itu pasien sering
mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal dengan
membaiknya proteinuria. Absorbsi kalsium yang menurun di GIT,
dengan eksresi kalsium dalam feses lebih besar daripada
pemasukan.

2.2.9. Prognosis sindrom nefrotik


Prognosis makin baik jika dapat didiagnosis segera. Pengobatan segera
dapat mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme
kompensasi ginjal maupun proses autoimun. Prognosis juga baik bila

23

penyakit memberikan respons yang baik terhadap kortikosteroid dan


jarang terjadi relaps. Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) pasien
sindrom nefrotik memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal
dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relaps berulang dan
sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.
Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan
bertahun-tahun

dengan

kortikosteroid.

Terapi

antibakteri

dapat

mengurangi kematian akibat infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap


kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai
berikut :
a. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di
b.
c.
d.
e.
f.

atas 6 tahun.
Disertai oleh hipertensi
Disertai hematuria
Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnya
gambaran klinis penyakit.
BAB III
KESIMPULAN

1. Sindrom nefrotik adalah kelainan pada ginjal yang merupakan salah satu
manifestasi klinik glomerulonephritis yang ditandai dengan edema anasarca,
proteinuria

masif

>3,5

g/hari,

hypoalbuminemia

<3,5

g/dl,

hiperkolesterolemia dan lipiduria dan dapat disebabkan oleh kelainan pada


ginjal sendiri ataupun penyakit sistemik.
24

2. Pemberian terapi kortikosteroid adalah terapi utama pada sindroma nefrotik.

Jika tidak segera dilakukan tatalaksana, dapat terjadi komplikasi yaitu


kerusakan pada ginjal yng lebih parah. Sedangkan jika ditangani dngan benar
maka prognosisnya baik, tidak terjadi kelainan lebih lanjut pada glomerulus.

25

Anda mungkin juga menyukai