Anda di halaman 1dari 4

Isu sosial budaya pada pasien vegetative state

Isu sosial budaya pada pasien vegetative state terkait dengan aspek psikologi pada
keluarga maupun pasien itu sendiri. Karena pernyataan pasien maupun keputusan keluarga
sangat berperan terhadap pemngambilan keputusan medis pada pasien yang mengalami
vegetative state.
Jika keadaan vegetasi telah ditentukan, dokter berkewajiban mendiskusikan keadaan
pasien dengan keluarga atau pihak yang mewakili pasien. Diskusi ini meliputi keadaan pasien
saat ini, prognosis, dan rencana perawatan termasuk pemakaian alat bantu penunjang
kehidupan.
Dokter perlu memerhatikan pendapat keluarga pasien. Persetujuan rencana
pengobatan dari pihak keluarga sangat diperlukan mengingat tingkat ketidakpastian relatif
tinggi. Apakah pasien akan diobati secara agresif (artinya penekanan pada upaya kuratif,
menyetujui pemakaian seluruh sarana dan prasarana pengobatan yang ada dalam ilmu
kedokteran) atau dilakukan pengobatan paliatif (artinya penekanan pada aspek perawatan).
Suasana yang penuh dengan ketidakpastian, perbedaan antara yang tampak/ fakta
hasil observasi dengan interpretasi fakta, dan berbagai keterbatasan yang ada baik di sisi
dokter maupun di sisi keluarga pasien dikomunikasikan dengan baik dan sabar sehingga tidak
timbul salah pengertian. Di Indonesia, faktor-faktor inilah yang paling sering membawa
masalah sehingga merusak hubungan keluarga pasien-dokter dan memunculkan masalah
yang bersifat sangat kompleks.
Pada salah satu kaidah bioetik seorang dokter wajib berbuat baik, menghormati
martabat manusia, dan harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap dalam kondisi sehat.
Perlakuan terbaik kepada pasien merupakan poin utama dalam kaidah beneficence. Dengan
kata lain, kita harus memberikan yang terbaik dan mengupayakan semaksimal mungkin untuk
kesembuhan pasien dengan bertanggung jawab dan berkasih sayang, sebagaimana tingkat
ekonomi, pandangan politik, agama, perbedaan kedudukan sosial, kebangsaan dan
kewarganegaraan tidak boleh mengubah sikap dan pelayanan dokter terhadap pasiennya. Di

sisi lain seorang pasien dengan vegetative state tidak mampu berfikir secara logis dan
membuat keputusan sendiri, dikarenakan hilangnya fungsi kognitif, sehingga keluargalah
yang lebih banyak memutuskan apa yang akan di lakukan selanjutnya karena di sini
keluargalah kompeten menentukan keputusan.
Karena pada dasarnya seseorang dikatakan kompeten secara hukum untuk melakukan
informed concent jika ia telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang baik.
Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah.
Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai
penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi
terganggu.
Jika dalam anggota keluarga ada yang mengalami keadaan vegetative state, sudah
pasti mereka akan berjuang sedemikian hebat untuk kesembuhan anggota keluarganya.
Mungkin pada awal terdiagnosanya vegetative state, ada perasaan menolak kenyataan dan
perasaan tidak percaya atas apa yang diutarakan oleh dokter, disini peran dokter untuk
memahami dan memberi informasi dengan baik sangat diperlukan sehingga tidak tercipta
suatu kesalahpahaman. Ketidakpercayaan pada awalnya merupakan sesuatu yang wajar,
dimana jika disadari sangatlah tidak mudah menerima kenyataan bahwa salah satu orang
terdekat mereka didiagnosa seperti itu.
Namun dengan pendekatan yang baik, diharapkan keluarga pasien bisa menerima
kenyataan dan mulai membantu dalam upaya perbaikan keadaan pasien. Melihat dari sisi
keluarga, selain mereka mempunyai kewajiban yang sama untuk berjuang mempertahankan
dan melakukan yang terbaik, mereka

juga merupakan kelompok yang rentan, dimana

keluarga pasien pasti mengalami stress berkepanjangan akibat tuntutan ekonomi, tenaga dan
waktu yang harus tercurahkan untuk pasien.
Disini dalam mengambil keputusan kita juga harus memperhatikan keadaan keluarga,
tentunya dengan tidak membeda-bedakan namun tetap melihat sisi terbaik dengan meninjau
semua aspek yang berkaitan. Jangan sampai ada kelompok yang dirugikan atas keputusan
yang diambil. Jika keluarga memutuskan untuk menjalani euthanasia maka hal tersebut harus
disetujui oleh pengadilan.
Dunia memang tidak seluruhnya sependapat dengan euthanasia, dan setidaknya sikap
moral yang menang pada kasus tersebut telah menantang sikap moral membela kehidupan

yang selama ini dianut dunia kedokteran. Sebagian para ahli etik yang pro-putusan
pengadilan mencari alasan pembenaran dari segi moral, sedangkan mereka yang kontra
mengemukakan bahwa tindakan tersebut adalah pembunuhan. Yang membela pemberian
nutrisi dan hidrasi kepada pasien dalam keadaan vegetatif tetap mempunyai alasan yaitu
kehidupan manusia bagaimanapun harus dihormati.
Yang dipersoalkan adalah apakah pemberian nutrisi dan hidrasi seperti itu merupakan
suatu tindak medis atau cara asuhan yang biasa. Kalau dianggap sebagai tindak medis, tidak
perlu dilanjutkan bila ternyata tidak efektif lagi. Karena tindak medis dilakukan untuk
menyembuhkan atau memperbaiki kesehatan. Kalau tujuan itu tidak mungkin tercapai lagi,
tindakan itu kehilangan maknanya dan lebih baik dihentikan saja. Dalam konteks pasien
vegetatif state, diberikan makanan artifisial supaya pasien menjadi sadar lagi. Dan untuk
menjalankan prosedur itu diperlukan profesionalisme keperawatan yang cukup tinggi.
Sehingga pendapat bahwa prosedur itu tergolong tindak medis, maka boleh dihentikan bila
tidak ada makna medis lagi. Sebaliknya, pendapat bahwa prosedur itu merupakan cara asuhan
biasa, maka asuhan selalu harus diberikan. Jika seorang manusia tidak bisa makan sendiri, ia
harus dibantu oleh sesamanya. Misalnya, anak kecil. Demikian juga pasien yang tidak sadar
harus diasuh terus. Bahkan dapat dinilai sebagai kelalaian, jika menghentikan asuhan itu.
Jalan keluar untuk permasalahan ini dicari dengan menafsirkan kemauan pasien
sendiri. Jika pasien pernah menyatakan bahwa ia tidak mau kehidupannya diperpanjang
dengan makanan artifisial seperti itu, hal itu merupakan alasan yang cukup untuk
menghentikan prosedur itu, asal keluarga mendukung.
Cara lain untuk mengetahui kehendak pasien yaitu bila pasien meninggalkan surat
wasiat dimana ia menyatakan tidak ingin kehidupannya diperpanjang terus bila suatu saat
mengalami keadaan vegetatif tetap atau ia telah menunjuk seseorang untuk mengambil
keputusan terbaik atas namanya bila suatu saat ia mengalami keadaan vegetatif tetap.
Namun, bila tidak diketahui kemauan pasien, pertanyaan bisa timbul, apakah
pemberian makanan secara artifisial tidak lebih baik dihentikan saja, bila sudah berlangsung
terlalu lama dan tidak terlihat bermanfaat lagi untuk melanjutkannya? Dalam hal ini sering
kali keinginan keluarga dinilai sudah cukup untuk menjadi sebuah keputusan.

Situasi seperti itu yang membingungkan dari segi etika, maka penuntun yang aman
adalah kaidah emas (hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana saudara sendiri ingin
diperlakukan).
Ada sebuah prinsip bahwa tidak pernah wajib menggunakan sarana-sarana yang tidak
proporsional. Rupanya pemberian nutrisi dan hidrasi kepada pasien dalam keadaan vegetatif
tetap termasuk kategori itu, karena tidak ada manfaat lagi yang dapat diperoleh dengan
prosedur itu, sedangkan beban untuk keluarga dan tim medis sangat berat. Kalau perawatan
itu harus dilakukan oleh tenaga-tenaga profesional, beban finansial juga akan terasa sangat
berat, khususnya dalam negara-negara berkembang.
Dan keadaan vegetatif tetap yang dapat berlangsung bertahun-tahun lamanya,
mungkin pada awal terdiagnosanya vegetative state, ada perasaan menolak kenyataan dan
perasaan tidak percaya atas apa yang diutarakan oleh dokter, dokter berperan membantu
untuk memahami dan memberi informasi dengan baik. Dengan pendekatan yang baik,
diharapkan keluarga pasien dapat menerima kenyataan dan mulai membantu dalam upaya
perbaikan keadaan pasien. Keluarga pasien pasti mengalami stress berkepanjangan akibat
tuntutan ekonomi, tenaga, lelah fisik akibat terus-menerus merawat dan waktu yang harus
tercurahkan untuk pasien.
Jadi, jalan keluar yang paling baik adalah keputusan terakhir diberikan oleh
pengadilan, seperti sekarang sudah dipraktekkan di beberapa negara.

Anda mungkin juga menyukai

  • VDBF
    VDBF
    Dokumen8 halaman
    VDBF
    eliyana yunita
    Belum ada peringkat
  • Safkjr
    Safkjr
    Dokumen75 halaman
    Safkjr
    eliyana yunita
    100% (1)
  • VFBR
    VFBR
    Dokumen16 halaman
    VFBR
    eliyana yunita
    Belum ada peringkat
  • VGHCN
    VGHCN
    Dokumen4 halaman
    VGHCN
    eliyana yunita
    Belum ada peringkat