BAB I
PENDAHULUAN
I.I LATAR BELAKANG
Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan
kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi kepada pelayanan pasien. Farmasi rumah sakit
bertanggung jawab terhadap semua barang farmasi yang beredar di rumah sakit tersebut.
Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan farmasi, mengharuskan adanya perubahan
pelayanan dari paradigma lama (drug oriented) keparadigma baru (patient oriented) dengan
filosofi pharmaceutical care atau pelayanan kefarmasian (Depkes RI, 2004).
Peran farmasis dalam farmasi klinis antara lain mengkaji instruksi pengobatan atau resep
pasien; mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat atau
alatkesehatan; memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan;
memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien/keluarga; memberikan konseling
kepada pasien/keluarga; melakukan penanganan obat kanker; melakukan penentuan kadar obat
dalam darah; melakukan pencatatan setiap kegiatan dan melaporkan setiap kegiatan (Depkes RI,
2004). Salah satu hal yang efektif dalam pemantauan terapi obat adalah dengan melakukan
kunjungan secara langsung kepada pasien (visit). Visite merupakan kegiatan kunjungan kepasien
rawat inap baik visite mandiri maupun bersama tim dokter dan tenaga kerja lainnya. Tujuannya
adalah menilai rasionalitas penggunaan obat. Penilaian rasionalitas penggunaan obat meliputi 4
T+1 W yaitu tepat pasien,tepat obat, tepat indikasi, tepat dosis dan waspada efek samping.
Beberapa penelitian menunjukkan dampak positif dari pelaksanaan kegiatan visite pada aspek
humanistic (contoh : peningkatan kualitas hidup pasien, kepuasan pasien), aspek klinik (contoh :
perbaikan tanda-tanda klinik, penurunan kejadian reaksi obat yang tidak diinginkan, penurunan
morbiditas dan mortalitas, penurunan lama hari rawat), serta aspek ekonomi (contoh :
berkurangnya biaya obat dan biaya pengobatan secara keseluruhan).
Hubungan antara diabetes dan gangrene telah dikenal sejak lama. Pada tahun 1887 Pryce,
Ahli bedah dari inggris menggambarkan seorang penderita diabetes yang menderitan europati
perifer dan kemudian mengalami ulkus di plantar pedis. Dia menyimpulkan bahwa diabetes
Page | 2
sendiri dapat menyebabkan ulkus. Pada tahun 1934 Joslin juga melaporkan bahwa gangrene
merupakan ancaman bagi para penderita diabetes. Gangrene diabetic adalah merupakan suatu
bentuk dari kematian jaringan pada penderita diabetes mellitus oleh karena berkurangnya atau
terhentinya aliran darah ke jaringan. Walaupun diabetes mellitus merupakan penyakit kronik
yang tidak menyebabkan kematian secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal bila
pengelolaannya tidak tepat. Pengelolaan DM memerlukan penanganan secara multidisiplin yang
mencakup terapi non-obat dan terapi obat. Oleh karena itu, pentingnya peran farmasis dalam
keberhasilan penatalaksana diabetes ini.
Studi pengkajian penggunaan obat secara rasional dilaksanakan di ruang rawat inap pulau
bintan Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo.
1.2 TUJUAN
Tujuan dilakukan studi kasus ini adalah :
1. Meningkatkan rasionalitas penggunaan obat di RUMKITAL Dr. Mintohardjo.
2. Memberikan pemahaman dan motivasi kepada pasien untuk mematuhi terapi yang telah
ditetapkan oleh dokter.
3. Memonitoring efek samping obat.
Page | 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit
Sesuai dengan SK Menkes Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan
Rumah Sakit bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi kepada pelayanan pasien,
penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua
lapisan masyarakat. Farmasi rumah sakit bertanggung jawab terhadap semua barang farmasi
yang beredar di rumah sakit tersebut.
Tujuan pelayanan farmasi adalah :
a. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa maupun dalam
keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun fasilitas yang tersedia.
b. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan professional berdasarkan prosedur kefarmasian dan
etik profesi.
c. Melaksanakan KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) mengenai obat.
d. Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku.
e. Melakukan dan memberikan pelayanan bermutu melalui analisa. Telaah dan evaluasi
pelayanan.
f. Mengawasi dan member pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi pelayanan.
g. Mengadakan penelitian di bidang farmasi dan peningkatan metoda.
2.2 Pelayanan Farmasi Klinik
A. Definisi
Pelayanan farmasi klinik adalah pelayanan farmasi yang diberikan sebagai bagian dari
perawatan penderita melalui interaksi dengan profesi kesehatan lainnya yang secara langsung
terkait dengan perawatan penderita. Ruang lingkupnya meliputi pengkajian order obat,
pengambilan sejarah pengobatan penderita, partisipasi dalam kunjungan ke ruang perawatan
penderita, pembuatan profil pengobatan penderita (P3), pemantauan terapi obat (PTO),
pendidikan dan konseling bagi penderita, pelayanan informasi obat bagi profesi kesehatan,
Page | 4
peran dalam program jaminan mutu. Evaluasi penggunaan obat (EPO), pemantauan reaksi
obat yang merugikan (MESO), pelayanan total parenteral nutrition.
B. Interview Riwayat Pengobatan
Interview pengobatan adalah kegiatan komunikasi dengan pasien dan atau keluarga untuk
memperoleh riwayat pengobatan yang berguna bagi penyusun data base pelayanan
kefarmasian. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk memperoleh informasi khususnya
aspek penggunaan obat yang dapat digunakan dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian.
C. Pengkajian Resep
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memastikan ketepatan ataupun kerasionalan order
obat, dalam konteks ini tidak hanya berupa resep, namun lebih ditekankan lagi pada
permintaan obat dan dokter yang mungkin ditulis dengan format lain seperti order obat pada
kartu pengobatan (medical record).
D. Seleksi Produk Obat
Fungsi seleksi obat biasanya dilaksanakan oleh dokter sedangkan apoteker menyediakan
guidance dan rekomendasi dalam bentuk informasi dan opini yang sering kali mempengaruhi
penulisan resep. Tujuan yang ingin dicapai adalah optimisasi kualitas pelayanan pasien dan
outcome klinik, promosi penggunaan obat secara berkualitas, memastikan bahwa seleksi obat
mengikuti formularium, ketersediaan dan keterbatasan obat.
E. Monitoring Produk Obat
Monitoring penggunaan obat merupakan kegiatan pemantauan terapi obat yang diberikan
kepada pasien yang spesifik dan terdiri atas beberapa kegiatan, yaitu :
1) Pemantauan efektifitas obat
Menilai dengan kondisi klinik pasien, menilai parameter laboratorium, manila hasil
observasi tanda vital terkait dengan parameter efektifitas.
2) Pemantauan dan monitoring efek samping obat
Apoteker berperan dalam mencegah, mendeteksi, menilai dan mengelola efek
samping obat (ESO). Penekanan terletak terhadap pencegahan supaya reaksi obat
berlawanan tidak terjadi ataupun pencegahan agar tidak terulang lagi. Kegiatan
Page | 5
pemantauan reaksi obat yang merugikan merupakan bagian dari kegiatan tim farmasi
dan terapi, yang lebih dikenal dengan istilah Monitoring Efek Samping Obat
(MESO). Laporan tersebut dikirim kepada tim MESO panitia farmasi dan terapi
untuk diverifikasi, dianalisa dan dievaluasi. Kegiatan MESO nasional untuk
dilakukan tindak lanjut berupa regulasi, feedback kepada pelapor).
3) Terapeutik Drug Monitoring (TDM)
Tujuan yang ingin dicapai adalah mengoptimalkan terapi obat dengan menggunakan
informasi TDM dikaitkan dengan efek terapeutik obat.
4) Manajemen interaksi obat
Tujuan yang ingin dicapai adalah mengidentifikasi pasien yang mempunyai resiko
tinggi terhadap interaksi obat, mengenai secara dini interaksi obat yang terjadi, serta
mengambil tindakan untuk menghindarkan kejadian interaksi yang berulang.
5) Konseling obat
Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk menyediakan informasi yang ditujukan untuk
menghimbau penggunaan obat secara aman sehingga dapat meningkatkan outcome
terapi. Instalasi farmasi rumah sakit mengadakan pelayanan konseling penderita yang
merupakan suatu proses sistemik untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah
pasien yang berkaitan dengan pengambilan dan penggunaan obat. Kegiatan pelayanan
ini diutamakan untuk pasien bertanggung jawab atas obatnya sendiri.
2.3 Praktik Visite
Praktik visite yang dilakukan oleh apoteker bertujuan untuk :
1. meningkatkan pemahaman mengenai riwayat pengobatan pasien, perkembangan kondisi
klinik dan rencana terapi secara komprehensif.
2. Memberikan informasi mengenai farmakologi, farmakokinetika, bentuk sediaan obat,
rejimen dosis dan aspek lain terkait terapi obat pada pasien.
3. Memberikan rekomendasi sebelum keputusan klinik ditetapkan dalam hal pemilihan
terapi, implementasi dan monitoring terapi.
4. Memberikan rekomendasi penyelesaian masalah terkait penggunaan obat akibat
keputusan klinik yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Sebelum memulai praktik visit diruang rawat, seorang apoteker perlu membekali diri dengan
berbagai pengetahuan minimal : patofisiologi, terminology medis, farmakokinetika, farmakologi,
farmakoterapi, farmakoekonomi, farmakoepidemiologi, pengobatan berbasis bukti. Selain itu,
Page | 6
diperlukan kemampuan interpretasi data laboratorium dan data penunjang diagnostic lain ;
berkomunikasi secara efektif dengan pasien dan tenaga kesehatan lain. Praktik visit
membutuhkan persiapan dengan memperhatikan hal-hal berikut :
i.
ii.
iii.
Seleksi pasien
Pengumpulan informasi penggunaan obat
Pengkajian masalah terkait obat
Stage 1
Stage 2
Stage 3
Stage 4
Stage 5
Stage 6
: Normal foot
: High risk foot
: Ulcerated foot
: Infected foot
: Necrotic foot
: Unsalvable foot
Page | 7
Untuk stage 1 dan 2 peran pencegahan primer sangat penting dan semuanya dapat
dikerjakan pada pelayanan kesehatan primer.
Untuk stage 3 dan 4 kebanyakan sudah memerlukan perawatan ditingkat pelayanan
kesehatan yang lebih memadai umumnya sudah memerlukan pelayanan spesialistik.
Untuk stage 5 dan 6 jelas merupakan kasus rawat inap dan jelas sekali memerlukan suatu
kerja sama tim yang sangat erat dimana harus ada dokter bedah utamanya bedah vascular/
ahli bedah plastic dan rekonstruksi. Untuk optimalisasi pengelolaan gangrene diabetes pada
setiap tahap harus diingat berbagai factor yang harus dikendalikan yaitu :
-
Grade 3
yang minimal
Ulkus yang lebih dalam sampai ke tendon, tulang dan terdapat abses dan
Grade 4
osteomyelitis
Ulkus dan menimbulkan gangrene local pada jari-jari kaki atau kaki bagian
Grade 5
depan
Lesi/ulkus dengan gangrene diseluruh kaki
B
C
0
Tidak ada luka
Infeksi
Iskemik
1
Luka superficial
Infeksi
Iskemik
2
3
Luka sampai tendon, Luka
dengan
abses, selulitis,
Infeksi
Iskemik
Page | 8
Infeksi
iskemik
dan Infeksi
iskemik
Infeksi
dan
iskemik
Infeksi sering menjadi penyulit dari gangrene. Gangrene ini merupakan penyebab
masuknya bakteri dan sering polimikrobial yang menyebar dengan cepat dan dapat
menyebabkan kerusakan berat dari jaringan. Pengerusakan dari jaringan ini menjadi alasan
utama untuk melakukan suatu tindakan amputasi. Amputasi ini bukanlah merupakan suatu
konsekuensi dari penyakit vaskuler ataupun neuropati yang tidak dapat dielakkan,
pengenalan secara dini dan dengan cepat dalam suatu pencegahan serta penentuan dari suatu
obat yang tepat dan intensif terhadap suatu komplikasi dari pada gangrene akan dapat
mengurangi jumlah dari suatu tindakan amputasi dari penderita diabetes dengan gangrene
(Piliang, 1999).
Pada suatu keadaan infeksi gangrene biasanya disebabkan oleh suatu organism dari
sekitar kulit yang pada umumnya adalah Staphylococcus aureus ataupun Streptococcus. Jika
drainase tidak adekuat maka perkembangan sellulitis yang dapat menyebabkan sepsis untuk
menginfeksi tendon, tulang dan sendi dibawahnya. Kadang-kadang Staphylococcus aureus
ataupun Streptococcus dijumpai bersamaan dan ini dapat bergabung mengakibatkan sellulitis
yang meluas dan cepat (Parlindungan, et al, 2002)
Streptococcus mensekresikan hialuronidase yang dapat mempercepat penyebaran
distribusi necrotizing toxin dari Staphylococcus. Enzim dari bakteri ini juga angiotoxic dan
dapat menyebabkan terjadinya in situ thrombosis dari pembuluh darah. Jika pembuluh darah
mengalami thrombosis yang kemudian akan menjadi nekrotik dan gangrene, keadaan ini
mungkin akan menjadi dasar yang disebut dengan gangrene diabetic (Subekti, 2005). Kuman
gram negative aerob sama seperti kuman anaerob pada umumnya tumbuh dengan subur pada
infeksi. Kuman aerob ini akan cepat menginfeksi aliran darah dan kadang-kadang
mengakibatkan bakteriemia yang akan dapat mengancam kehidupan. Dengan mengetahui
factor yang dominan dapat diusahakan memperbaiki hasil dari pengobatan maupun
mencegah terjadinya ulkus/gangrene (Septyanti & Shahab, 2006).
Page | 9
BAB III
HASIL PENGAMATAN
3.1 Profil Pengobatan Penderita
I.
Data Klinis Pasien
Nama
: Tn. M
Status
: Kawin
Jenis Kelamin : Pria
Umur
: 59 tahun
Alamat
: Jln. Tanah Tinggi I no. 78, JakPus
Tanggal masuk : 17 april 2013
Ruangan
: Pulau Bintan
Dokter
: dr. James Towoliu, Sp.PD & dr. Okky Tjatur, Sp.PD
II.
Anamnesa Pasien
Keluhan Utama
: Luka di kaki kanan
P a g e | 10
III.
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum
Kesadaran
Tinggi Badan
Berat Badan
Tekanan Darah
Nadi
Penatalaksanaan Khusus
Diagnosa Kerja
: TSS
: CM
: 170 cm
: 70 kg
: 140/70 mmHg
: 80 x menit
: Lab Lengkap
: gangrene pedis dextra
Penatalaksanaan Terapi
:
Ringer laktat tpn
Injeksi cefoperazone 3x1
Metronidazol drip 3x500 mg
Ranitidine 2x1 amp
Nonflamin 3x1 tab
Plataal 2x100 mg
Acropid 3x6 IU
P a g e | 11
P a g e | 12
P a g e | 13
P a g e | 14
P a g e | 15
P a g e | 16
P a g e | 17
P a g e | 18
IV.
Hasil Laboratorium
Pemeriksaan
Hasil
Normal
Glukotest
SGOT
SGPT
Ureum
172
11
6
57
P a g e | 19
Kreatinin
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin (Hb)
Hematrokit (Ht)
Trombosit
Albumin
Globulin
Na
K+
Cl
1,6
20.700
3,48
9,3
29
228.000
2,8
5,0
150
4,0
113
Gula Darah
180
160
140 136
120
100
80
171
138
149
94
81
89
100 97
83
80
86
Gula Darah
78
60
40
20
0
P a g e | 20
kadar yang dapat dicapai dengan pemberian infus IV. Kadar tertinggi terdapat di dalam
empedu. Pada meningitis, kadar dalam cairan cerebrospinal dapat mencapai kadar
P a g e | 21
memperlihatkan spectrum antimikroba yang sama dengan metronidazole. Perbedaannya
dengan metronidazole ialah masa paruhnya yang lebih panjang sehingga dapat diberikan
sebagai dosis tunggal perhari dan efek sampingnya lebih ringan dari pada metronidazole.
Farmakokinetik : absorpsi metronidazole berlangsung dengan baik sesudah pemberian
oral. Satu jam setelah pemberian dosis tunggal 500 mg peroral diperoleh kadar plasma
kira-kira 10 g/mL. umumnya untuk kebanyakan protozoa dan bakteri yang sensitive,
rata-rata diperlukan kadar tidak lebih dari 8 g/mL. Waktu paruhnya berkisar antara 8-10
jam. Pada beberapa kasus terjadi kegagalan karena rendahnya kadar sistemik. Ini
mungkin disebabkan oleh absorpsi yang buruk atau metabolism yang terlalu cepat. Obat
ini di ekskresikan melalui urin dalam bentuk asal dan bentuk metabolit hasil oksidasi dan
glukoronidasi. Urin mungkin berwarna cokelat kemerahan karena mengandung pigmen
tak dikenal yang berasal dari obat. Metronidazole juga diekskresikan melalui air liur, air
susu, cairan vagina, dan cairan seminal dalam kadar yang rendah. Masa paruh tinidazol
hari, kemudian 1 gram tiap 12 jam. Infus intravena, 500 mg tiap 8 jam.
3. Ranitidine Inj (ISO FARMAKOTERAPI)
Golongan terapi : antitukak sub.golongan reseptor antagonis H2
Farmakodinamik : simetidine dan ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif dan
reversible. Perangsang reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung sehingga
dewasa dan memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal (Fater, Ed.5)
Komposisi : ranitidine injeksi 25 mg/ml
P a g e | 22
Indikasi : tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esophagitis, dipepsia episodic
kronis, tukak akibat AINS, tukak duodenum karena H.pylori, sindrom Zollinger-Ellison,
menyusui.
Efek samping : sangat sering diare, kotoran tidak normal, sakit kepala; mual, muntah,
dyspepsia, perut kembung, nyeri perut; takikardi, jantung berdebar, angina, aritmia, nyeri
dada; rhinitis; pusing; ekimosis; ruam kulit; gatal; edema;, asthenia; lebih jarang gastritis,
infark miokard, gagal jantung kongesti, hipotensi postural, insomnia, kecemasan, mimpi
abnormal, dispnoea, pneumonia, batuk, reaksi hipersensitif, diabetes mellitus, nyeri otot,
makan).
6. Actrapid
Indikasi : diabetes mellitus
Peringatan : pada gagal ginjal berat, mungkin memerlukan pengurangan dosis;
P a g e | 23
-
siprofloksasin
dan
norfloksasin
dapat
meningkatkan
efek
trimetropim
dapat
meningktakan
efek
hipoglikemik
repaglinid-hindari
Kalium klorida 0,30 g, Kalsium klorida 0,2 g, air untuk injeksi 1000 ml.
Indikasi : mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi.
Kontra indikasi : hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis
laktat.
Efek samping : reaksi-reaksi yang mungkin terjadi karena larutan atau cara
pemberiannya termasuk timbulnya panas, infeksi pada tempat penyuntikan,
thrombosis vena atau flebitis yang meluas dari tempat penyuntikan, ektravaskular.
Bila terjadi reaksi efek samping, pemakaina harus dihentikan dan harus dilakukan
P a g e | 24
:
: teratur
: ada perubahan
BAB IV
PEMBAHASAN
Wawancara sejarah obat dilakukan untuk memperoleh sejarah lengkap dari obat-obatan
yang diminum oleh pasien. Wawancara dilakukan pada pasien yang dirawat di ruangan
P a g e | 25
Bintan untuk menggali informasi obat-obat apa saja yang diberikan kepada pasien tersebut
setelah masuk rumah sakit yaitu dengan cara melihat rekam medik. Data yang diperoleh
kemudian dikaji apakah apakah obat yang di minum pasien menimbulkan efek samping obat
atau adakah interaksi obat antara obat yang satu dengan obat yang lainnya.
Dari hasil wawancara pasien bernama Tn. M yang dirawat sejak 18 april 2013 hingga
dilakukannya wawancara pasien masih dalam keadaan di infus. Pasien diketahui menderita
penyakit gangren diabetic yang menyebabkan salah satu kaki pasien diamputasi. Obat yang
diberikan kepada pasien yaitu obat infuse RL, ranitidine injeksi, metronidazol, cefoperazon,
nonflamin, plataal, dan acrapid.
Dimana infuse RL digunakan untuk menggantikan elektrolit yang hilang dalam tubuh
atau mencegah dari kekurangan cairan dan menambah asupan makanan. Cefoperazone
digunakan sebagai antibiotic yang merupakan golongan sefalosporin, ranitidine digunakan
untuk mengatasi tukak asam lambung dimana pengurangan asam lambung akan bermanfaat
bagi pasien. Metronidazol digunakan sebagai antiamuba. Nonflamin digunakan sebagai
analgesil golongan non opioid untuk mengatasi nyeri. Plataal digunakan sebagai antiplatelet
dan acrapid digunakan sebagai insulin.
Dari obat-obatan yang digunakan tidak menimbulkan interaksi obat sama sekali. Pada
saat melakukan wawancara dengan Tn.M, beliau mengatakan bahwa tenggorokan beliau
sakit dan sariawan. Beliau juga mengalami mual dan sudah 3 minggu belum buang air besar.
Mual yang dialami merupakan efek samping dari obat-obatan yang beliau konsumsi sehingga
dokter memberinya ranitidine injeksi agar dapat mengatasi tukak asam lambung kemudian
tenggorokan sakit dan sariawan dikarenakan beliau kurang nafsu makan sehingga tidak ada
vitamin dan nutrisi yang masuk kedalam tubuhnya. Begitupun dengan susah buang air besar
yang beliau alami dikarena beliau hanya memakan sedikit makanan sehingga tidak ada sisa
makanan (sampah) yang bisa dikeluarkan dari tubuh.
Dari grafik dapat dilihat bahwa pada awal pasien masuk rumah sakit gula darah pasien
meningkat tetapi dapat menurun dari hari kehari setelah diberi obat meskipun pada tanggal
23, 26, 28 april dan 1 mei gula darah pasien meningkat kembali. Hal tersebut mungkin
dikarenakan factor-faktor tertentu.
P a g e | 26
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
P a g e | 27
Dari hasil pengkajian obat dan wawancara pasien, maka dapat disimpulkan bahwa :
1) obat-obatan yang dikonsumsi oleh pasien tidak menimbulkan interaksi obat sehingga
aman bagi pasien.
2) Salah satu obat yang di konsumsi pasien menimbulkan efek samping seperti mual,
biasanya merupakan golongan analgetik. Sehingga pasien diberikan ranitidine injeksi
untuk mengatasi tukak asam lambung.
5.2 Saran
Perlu adanya penggalian informasi lebih lanjut kepada pasien, sehingga pengobatan yang
sedang dijalani pasien dapat lebih optimal.
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association : Diagnosis and classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care,
2004. s5-s10.
Badan POM RI. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Sagung seto: Jakarta
P a g e | 28