Definisi
World Health Association (WHO) memprediksi bahwa penyakit
kardiovaskuler, terutama SKA akan menjadi penyebab utama morbiditas dan
mortalitas di negara-negara berkembang sebelum tahun 2020 (Katz,2006). WHO
dan American Heart Association (AHA) pada akhir tahun 1950 menegakkan
diagnosis SKA berdasarkan 2 dari 3 kriteria yaitu manifestasi klinis nyeri dada,
gambaran EKG dan penanda enzim jantung (Luepker,2003).
Sindroma Koroner Akut (SKA) terdiri dari infark miokard akut (IMA)
disertai elevasi segmen ST (IMA STE), IMA tanpa elevasi segmen ST (IMA non
STE) dan angina pektoris tak stabil (APTS) (Braunwald,1989; Christopher
PC,2005). Walaupun presentasi klinisnya berbeda tetapi memiliki kesamaan
patofisiologi (Libby,1995). Jika troponin T atau I positif tetapi tanpa gambaran ST
elevasi disebut IMA non STE dan jika troponin negatif disebut APTS seperti yang
ditunjukkan pada gambar 1. (Hamm dkk,2004; PERKI,2012)
American College of Cardiology (ACC) menyatakan bahwa adanya
peningkatan enzim jantung yaitu troponin ataupun creatine kinase MB (otot,otak)
(Luciano,2005) walaupun hanya sedikit merupakan penanda adanya nekrosis
miokard dan pasien harus dikategorikan sebagai IMA (Newby dkk,2003). Secara
umum, IMA-STE menggambarkan oklusi koroner total akut (Foo & De
Bono,2000). Tujuan terapi adalah tindakan reperfusi segera, komplit dan menetap
dengan angioplasti primer (Levine dkk,2011) atau terapi fibrinolitik (Antman
dkk,2008). Sedangkan pada pasien dengan IMA non STE/APTS, strategi awal
pada pasien ini adalah meredakan iskemia dan gejala, memantau pasien dengan
EKG serial dan mengulangi pengukuran penanda nekrosis miokard (Wright RS
dkk,2011).
Epidemiologi
Angka mortalitas dalam rawatan di rumah sakit pada IMA-STE dibanding
IMA non STE adalah 7% dibandingkan 4%, tetapi pada jangka panjang (4 tahun),
angka kematian pasien IMA non STE ternyata 2 kali lebih tinggi dibanding pasien
IMA-STE (Rationale and design of GRACE, 2001).
Patofisiologi
Lapisan endotel pembuluh darah yang normal akan mengalami kerusakan
oleh adanya faktor risiko antara lain, faktor hemodinamik seperti hipertensi, zat-
zat vasokonstriktor, mediator (sitokin) dari sel darah, asap rokok, peningkatan
gula darah dan oksidasi oleh Low Density Lipoprotein-C (LDL-C) (Libby,1995;
Hamm dkk,2004). Kerusakan ini akan menyebabkan sel endotel menghasilkan
cell molecule adhesion seperti sitokin (interleukin-1), tumor nekrosis faktor (TNF), kemokin (monocyte chemoatractant factor-I), dan platelet derived growth
factor. Sel inflamasi seperti monosit dan T-limfosit masuk ke permukaan endotel
dan bermigrasi dari endotelium ke sub endotel. Monosit kemudian berproliferasi
menjadi makrofag dan mengambil LDL teroksidasi yang bersifat lebih aterogenik.
Makrofag ini terus membentuk sel busa (Braunwald, 1989; Libby,1995).
LDL yang teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel dan
menghasilkan respon inflamasi. Sebagai tambahan terjadi respon dari angiotensin
II yang menyebabkan gangguan vasodilatasi dan mengaktifkan efek protrombin
dengan melibatkan platelet dan faktor koagulasi. Akibat kerusakan endotel terjadi
respon protektif yang dipicu oleh inflamasi dan terbentuk lesi fibrofatty dan
fibrous. Plak yang stabil bisa menjadi tidak stabil (vulnerable) dan mengalami
rupture (Libby, 1995). Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis seperti
kolagen, adenosin diphosphate (ADP), epinefrin dan serotonin memicu aktivasi
trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan-A2
(vasokonstriktor lokal yang poten).
Selain itu aktivasi trombosit memicu reseptor glikoprotein II/IIIa yang
mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang
larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen. Dimana
keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat platelet yang berbeda
secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi
(Deckelbaum,1990; Foo dkk,2000).
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin
menjadi trombin yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri
koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri
dari agregat trombus dan fibrin (Findlay dkk, 2005; Braunwald, 1989)
IMA STE umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu IMA STE karena timbulnya banyak kolateral sepanjang
waktu. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerotik
mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi ruptur lokal akan
menyebabkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologi menunjukkan plak
koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan
inti kaya lipid. Pada IMA STE gambaran klasik terdiri dari fibrin rich red trombus
yang dipercaya menjadi dasar sehingga IMA STE memberikan respon terhadap
terapi trombolitik ( Hamm dkk,2004)
Karakteristik Pasien
Data dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa sebelum umur 60 tahun
didapatkan 1 dari 5 laki-laki dan 1 dari 17 perempuan menderita SKA. Ini berarti
bahwa laki-laki mempunyai risiko 2-3 kali lebih besar dari perempuan (Katz
dkk,2006; Morrow dkk,2001). Usia sering dihubungkan sebagai faktor determinan
terhadap hasil akhir pada kejadian SKA bahwa peningkatan usia dihubungkan
dengan peningkatan yang bermakna terhadap hasil akhir klinis (Jacobs dkk,1999;
Krumholz dkk, 1999). Pada penelitian GRACE ternyata menunjukkan bahwa usia
merupakan prediktor penduga yang independen terhadap kematian dalam rawatan
rumah sakit pada kejadian SKA dengan odds ratio 1.70 setiap 10 tahun, dimana
usia tua memiliki risiko tinggi kematian pada SKA.
Penelitian yang dilakukan Antman dkk (2000) menunjukkan hasil bahwa
walaupun usia di atas 65 tahun merupakan bagian dari penilaian skor risiko TIMI
namun ternyata tindakan angiografi dan revaskularisasi lebih sedikit dilakukan
pada usia tua . Hasil penelitian SPACE di Arab Saudi menunjukkan bahwa pasien
dengan usia 70 tahun memiliki angka kematian di rumah sakit lebih tinggi (7%)
dibandingkan dengan usia < 70 tahun (1.6% - 3%) hal ini oleh karena pasien usia
tua kurang mendapat terapi secara agresif (Al-Saif dkk,2011).
Elektrokardiografi
Meta analisis kecil pada pasien APTS memberikan hasil bahwa beta
blocker akan menurunkan rata-rata progresi kejadian infark miokard sebesar 13%
(Yusuf dkk, 1998). Penelitian meta analisis dari COMMIT/CCS dengan
pemberian beta blocker lebih awal pada pasien IMA STE dengan Killip klas I
(tidak ada tanda gagal jantung) disertai dengan tekanan darah sistolik > 105
mmHg dan denyut jantung > 65 kali/menit memperlihatkan bahwa pemberian
intravena yang diikuti pemberian oral akan menurunkan angka kematian (absolute
RR 0.7%, relative RR 13%), kejadian infark berulang (absolute RR 0.5%, relative
RR 22%) dan serangan jantung (absolute RR 0.7%, relative RR 15%) (Chen dkk,
2005). II.2.8.3.
Terapi Antikoagulan
Pada pasien dengan IMA non STE, pemberian unfractionated heparin
(UFH) dalam 48 jam ternyata mengurangi angka kematian ataupun infark miokard
(absolute RR 2.5%; relative RR 33%). Pada pasien dengan IMA STE, pemberian
UFH yang diikuti dengan aspirin dan trombolitik dengan agen spesifik fibrin,
ternyata memberikan hasil yang cukup baik dengan menurunnya angka kejadian
infark ulangan (0.3% absolute RR) dan kematian (0.5% absolute RR) (Eikelboom
dkk, 2000). Penelitian secara RCT membandingkan pemberian low molecular
weight heparin (LMWH) dengan UFH pada IMA STE menunjukkan beberapa
manfaat pada penggunaan LMWH, terutama enoxaparin (Wong dkk, 2003).
Secara meta analisis memastikan bahwa pasien yang diterapi dengan trombolitik,
LMWH (enoxaparin) memiliki hasil akhir klinis yang jauh lebih baik pada kasus
IMA, (absolute RR 2.3%, relative RR 41%); iskemik berulang (absolute RR 2.0%,
relative RR 30%); kematian ataupun infark berulang (absolute RR 2.9%, relative
RR 26%); dan kematian atau iskemik berulang (absolute RR 4.8%, relative RR
28%) tapi tidak ada penurunan pada angka kematian bila dibandingkan dengan
penggunaan UFH. (Theroux P, 2003).
Terapi Reperfusi
Pasien IMA STE yang datang ke rumah sakit yang memiliki fasilitas
tindakan intervensi koroner perkutan (IKP) harus dilakukan tindakan IKP primer
dalam 90 menit saat kontak medis pertama kali diberikan (Klas I, Level of
Evidence :A). Pasien IMA STE yang datang ke rumah sakit yang tidak memiliki
fasilitas tindakan IKP dan tidak dapat dirujuk ke pusat IKP dan tidak dapat
dilakukan tindakan IKP dalam 90 menit saat kontak medis pertama kali, harus
diberikan terapi fibrinolitik dalam 30 menit setelah tiba di rumah sakit, kecuali
didapatkan kontraindikasi terapi fibrinolitik (Klas I, Level of Evidence:B)
(Antman, 2007; Brodie dkk, 2001). Tujuannya adalah untuk meningkatkan jumlah
pasien yang mendapatkan tindakan IKP primer, setidaknya 75% pasien dilakukan
tindakan IKP dalam 90 menit setelah tiba di rumah sakit, berdasarkan penggunaan
strategi evidenced-based untuk mengurangi keterlambatan (Bradley, 2006).
Meskipun ditemukan hubungan antara waktu pemberian terapi dan hasil akhir
klinis, hasil yang terbaik adalah pemberian trombolisis dalam jam pertama saat
pasien tiba di rumah sakit (Milaveta JJ, 1998; David OW, 2004) . Hal ini juga
ditunjukkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh De Luca, dkk (2004) bahwa
keterlambatan 30 menit dalam pemberian terapi reperfusi akan memberikan 7,5%
angka kematian dalam 1 tahun. Salah satu hal yang penting adalah bahwa waktu
untuk pemberian terapi dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk usia lanjut,
jenis kelamin perempuan dan riwayat diabetes ataupun tindakan revaskularisasi
sebelumnya. Pasien dengan SKA yang tidak mendapatkan terapi reperfusi ternyata
menunjukkan angka risiko kematian yang lebih tinggi. Pada pasien IMA STE
ternyata hal ini sangat mempengaruhi hasil akhir jangka pendek dan jangka
panjang (David OW,2004).