Anda di halaman 1dari 7

1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan hakikat akal
Akal adalah suatu daya yang diciptakan Allah Taala bagi manusia untuk memikir,
mengkaji dan memahami sesuatu mengikut syarat-syaratnya yang tertentu. Ini adalah makna
umumnya. Dari segi kewujudannya, ia adalah satu jisim halus yang menjadi rahasia Allah
Taala. Dalam Al-Quran Allah Taala telah menjelaskan jisim halus ini dengan firmanNya
yang bermaksud
Apabila mereka bertanya kepada engkau (wahai Muhammad) tentang roh, katakanlah:
Roh itu urusan Tuhan. Dan kamu hanya bisa diberitahu sedikit saja (QS. Al-Isra : 85).
Maka jisim halus itu berfungsi kepada empat fungsi yaitu sebagai hati, roh, nafsu dan akal.
Maka akal itu adalah sebangsa dengan hati, roh dan nafsu cuma berlainan fungsi.
Ada dari kalangan pendebat kristen membuat dakwah bahwa muslim tidak mengetahui
tentang roh, karena ayat diatas mengatakan roh itu rahasia Tuhan. Memang benar bahwa roh
itu rahasia Allah SWT. Dapatkah sesiapa menerangkan hakikat roh? Tidak sama sekali.
Namun jangan lupa dengan ujung ayat
...kamu hanya diberitahu sedikit saja.
Maka dengan ini muslim masih mendapat ilmu untuk membicarakan tentang roh. Ilmu ini
dikaruniakan Allah SWT kepada muslim pilihan dari kalangan ahli tasawuf. Mereka inilah
yang banyak membicarakan tentang roh, nafsu, hati dan akal. Ia dijelaskan secara ibarat
karena hakikat jisim halus itu hanyalah yang diketahui oleh Allah SWT saja. Tentang hakikat
roh, hati dan nafsu ini akan dijelaskan dalam bab tasawuf kelak.
Akal adalah kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibandingan dengan
makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengannya, manusai dapat membuat hal-hal yang dapat
mempermudah urusan mereka di dunia. Namun segala yang dimiliki manusia tentu ada
keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar yang tidak boleh dilewati.
Akal secara bahasa dari mashdar Yaqilu, Aqala, Aqlaa, jika dia menahan dan
memegang erat apa yang dia ketahui.
Definisi akal menurut:
Ibn Abd Rabbih
Berpendapat bahwa akal adalah penerima ilmu dan tidak bekerja diluar tugas tersebut
sedikitpun. Pendapat ini sangat menarik perhatian Dr. Zaki Najib Mahmud dan menyatakan
kekagumannya.
Perhatikanlah. Akal tidak melahirkan ilmu dari perutnya, sebagaimana laba-laba
mengeluarkan benang-benang dari perutnya. Akal menerima hasil dari luar, dari alam beserta
isinya yang hidup atau yang mati, melalui serapan inderawi pendengaran, pengelihatan dan
rabaan. Akal terikat dengan hal-hal yang tampak dn eksprimental, kenyataan inderawi dan
gejala-gejala nyata, sungguh melampoi watak dan tugasnya, apabila akal merusak ikatanikatan itu untuk bergerak secara bebas dan tanpa batas.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Kata akal memiliki arti: menahan, mengekang, menjaga, dan semacamnya adalah
lawan dari kata melepas, membiarkan, menelantarkan, dan semacamnya. Keduanya nampak
pada jisim yang nampak untuk jisim yang nampak, dan terdapat pada hati untuk ilmu batin,
maka akal adalah menahan dan memegang erat ilmu yang mengharuskan untuk
mengikutinya. Karena lafadz akal dimuthlakkan pada berakal dengan ilmu.
Syaikh Al-Albani
Akal menurut asal bahasa adalah At Tarbiyyah yaitu sesuatu yang mengekang dan
mengikatnya agar tidak lari kekanan dan kiri. Dan tidak mungkin bagi orang yang berakal
tersebut tidak lari kekanan dan kekiri kecuali jika dia mengikuti kitab dan sunnah dan
mengikat dirinya dengan pemahaman salaf.
Al-Imam Abdul Qosim Al-Ashbahany
Akal ada dua macam yaitu: Thabii dan diusahakan. Yang Thabii adalah yang datang
bersamaan dengan kelahiran, seperti kemampuan untuk menyusui, makan, tertawa bila
senang, dan menangis jika dalam keadaan sedih.
B.

Fungsi akal dalam dunia islam


Akal memiliki fungsi yang sangat besar sekali didalam eksistensi manusia. Karena
akal manusia bisa memikirkan apa-apa yang kongkrit dan juga abstrak. Karena kekuatan akal
manusia bisa bertahan hidup didalam dunia ini. Oleh sebab itu kita biasa klasifikasikan
kedudukan akal dalam islam sebagai berikut:

1. Kedudukan akal sebagai pengijtihad


Kedudukan akal dalam dunia islam adalah sebagai pengijtihad. Maksudnya para
mujtahid menggunakan akal fikiran mereka untuk mencari satu keputusan dalam syariat.
Sesuai dengan difinisinya juga ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli
hukum (Al-Faqih) dalam mencari tahu tentang hukum-hukum syariat. Jadi bagi para
mujtahid akal sangatlah penting peranannya, dalam memikirkan sesuatu masalah
membutuhkan akal yang cemerlang supaya mendapatkan hasil yang maksimal dalam
menentukan hukum.
Ijtihad didalam islam telah melahirkan mazhab-mazhab fiqh yang menggambarkan
kecemerlangan akal pemikiran, namun fiqh pun masih membutuhkan pemikiran lebih lanjut
tentang hukum-hukum yang ada didalamnya. Dengan menggunakan akal yang cemerlang
para mujitahid akal memutuskan segala perkara dengan maksima dan tanpa mengada-ada.
Karena itu seorang mujitahid jika hendap mengijtihadkan suatu perkara maka akalnay harus
tenang dan tidak semerautan. Karena ketenangan akal mempengaruhi hasil dari ijtihad itu
sendiri. Seorang mujitahid bahkan tidak akan mampu mengijtihadkan suatu perkara jika akal
fikirannya belum tenang. Jika akal fikirannnya sudah tenanga maka para mujitahid akan
mampu memecahkan segala perkara dengan mudah dan maksimal. Dari itu sangat luarbiasa
sekali fungsi dan peranan akal dalam islam. Denga menggunakan akal fikiran para mujitahid
bisa memutuskan suatu perkara dengan baik dan maksimal. Jadi akal dapat difungsikan
sebagai pengijtihad atau kedudukannya sebagai pengijtihad.
2. Kedudukan akal untuk mengenal diri manusia sendiri.

Otak dan akal dapat menjadi jalan masuk untuk mengenal diri manusia. Buka saja
karena akal merupakan komponen tubuh tertinggi dari manusia, karena juga karena akal
mencitrakan dan memberikan ciri khas dari manusia. Dalam hadits dinyatakan bahwa:


Artinya: Barang siapa yang mengenal dirinya maka sudah mengenal Tuhannya.
Dari hadits ini kita bisa ambil kesimpulan bahwa jika jika seseorang sudah mengenal
dirinya maka dia sudah mengenal tuhannya. Mengenal diri sendiri bagi manusia bukan hanya
mengenal dari fisiknya saja tapi harus mengenal dari mana ia datang dan kemana ia kembali.
Semua itu mutlak menggunakan akal fikiran. Seseorang menggunakan akalnya untuk
memikirkan dirinya darimana mereka datang. Dengan akal mereka akan menerawang jauh
sejauh aklanya bisa berfikir darimana dia datang. Setelah mnggunakan akal fikirannya
dengan maksimal maka seseorang akan dapat mengenal jati dirinya bahwa kita semua itu
datang karena ada yang menciptakan. Seseorang akal mengambil contoh dari benda-benda
disekelilingnya yang dapat mereka buat, benda tersebut ada karena ada yang membaut atau
ada yang menciptakan. Dari itu seseorang akan berfikir dirinya ada karena ada yang
menciptakannya. Tapi siapa yang bisa menciptakan dirinya yang begitu sempurna bagi
pengelihatan mereka? Dari penikiran itu seseorang pasti akan berfikir kepada tuhan yang bisa
menciptakan segala sesuatu denga kekuasaannya. Maka haidits diatas sangatalah benar sekali
jika seseorang sudah mengenal dirinya maka sungguh mereka suda mengenal tuhannya.
Namun jika seseorng hanya bisa mengenal dirinya sendiri, maka mereka belum bisa
mengunkan akal fikiran mereka untuk memikirkan adanya Dzat yang telah menciptakan dia.
Atau karena mereka mengelak dari kebenaran itu, mereka tidak mau mengakui tentang
adanya sang pencipta yang maha kuasa yang mampu menciptkan segala sesuatu denan hanya
mengucapkan Kunfaakun maka jadilah.
Akal manusia sangatlah terbatas sekali, karena itu ada batasan-batasan kemampuan
untuk berfikir yang dijelaskan oleh Rsulallah SAW. Karena tu Rasulallah SAW. telah
memberikan suatu batasan didalam hadits yang berbunyi:




Artinya: Berfikirlah tentang ciptaan Allah, dan janganlah berfikir tentang Dzat Allah. Setiap yang
terlintas dibenakmu tentang Allah, sungguh dia berbeda dari hal itu.
Dari hadits diatas jelas sekali bahwa akal manusia itu sangatlah terbatas. Akal
manusia yang diberikan oleh Allah hanya mampu memikirkan apa-apa yang menjadi ciptaan
Allah SWT. Akan tetapi akal manusia tidak akan pernah mampu memikirkan tentang Dzat
Allah. Karena keterbatasan akal yang digariskan oleh Allah yang maha kuasa lagi maha
bijaksana. Memikirkan tentang Dzat Allah adalah kegilaan yang tidak sesuai dengan metode
yang sehat, sebab bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas (mkhluk) memikirkan yang
tidak terbatas (kholik), yang fana memikirkan yang maha kekal, yang lemah memikirkan
yang maha kuat, yang bakal mati memikirkan yang maha hidup.
Sebenarnya akal pun tidak akan dapat menjangkau seluruh makhluk yang memenuhui
alam kosmos ini, baik matahari, bintang-bintang, bulan, pelanet dan semua peristiwa yang

terjadi didalamnya. Lalau bagaimana mampu mengenal atau memikirkan Dzat pencipta
makhluk-makhluk itu. Sesumggunya dia:

103 : )
Artinya: Tidak dapatt dicapai oleh pengelihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang
kelihatan dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui (QS. Al-Anam : 103)
Islam meletakkan tangan manusia diatas papan alam raya agar dengan akalnya
menggapai iktibar dan pelajaran dari penomena-penomena kosmik ini. Namun apabila akal
melampaui batas-batasnya akan terjerat didalam pemikiran yang dipaksakan, rancu dan
terjatuh. Islam membina akal berdasarkan makna tersebut. Didalam banyak tempat islam
menjelaskan berbagai persoalan berdasarkan sebab akibat, premis dan konklusi. Metode ini
tidak mudah ditempuh oleh akal tanpa menyelaminya lebih dahulu.
Pembinaan ini dimaksudkan agar akal mengetahui bahwa kekuasaan Allah SWT tidak
terbatas, namun dapat dipahami dengan menguraikan antara premis dan konklusi, dan
merajut hubungan antara sebab dan akibat.
3. Kedudukan akal untuk meyakini alam gaib atau mahluk gaib.
Akal diberikan kepada manusia untuk kehidupan ini. Ia menciptakan gerak dan
kegiatan hidup didalamnya. Apakah ia dapat menembus semua rashasia kehidupan dan
misteri alam raya ini? Dibidang alam nyata saja, bagaimanakah akal menafsirkan bahwa
langit dibangun tanpa tiang, dan sistem tata surya yang teratur ini? Bagaimanakah akal
menafsirkan rahasia kehidupan yang timbul dari benda mati?
Itulah yang harus dijawab oleh akal. Sangat mudah menebaknya, karena secara
intuitif akal adalah mahluk yang terbatas. Bagaimanapun kehebatan dan kesempurnaan
temuan-temuan akal, pada puncak tertentu, namun jarak atara yang ada (wujud) dan tiada
(adam) adalah jarak yang tidak dapat digambarkan oleh akal manusia. Akal akan sulut
menjawabnya karena jarak ini berhubungan dengan kehendak pencipta.
Kalaulah akal tidak mengakui kehendak pencipta ini, ia akan kehilangan dirinya, atau
akan terjatuh sepanjang masa.
Abu Al-Hasan al-Nadwi mencoba menganalisis kelemahan akal manusia untuk
mengetahui rahasia-rahasia alam dan bidang-bidang gaib. Didalam analisisnya Al-Nadwi
meletakkan akal pada bentuka alamiah dan ruang materialnya: kalau kita lakukan kritik
terhadap akal secara logika dan cermat. Terlepas dari dominasi akal atas akal, kita akan
melihat kelemahan akal menjalankan tugas alamiahnya, dan bahkan keterpaksaannya mencari
bantuan dari sesuatu yang tidak lebih berarga daripadanya. Misalnya untuk mengenal
seseuatu yang belum pernah diketahui, akal membutuhkan data-data yang telah dihasilkan
sebelumnya. Premis-premis ini tidak lain hanyalah obyek-obyek inderawi (mahsusat). Kalau
kita melilhat pada obyek-obyek akal (makulat) dan pengembaraannya yang panjang, nampak
bahwa sarana yang dipergunakan oleh akal untuk mengungkapkan dunia-dunia baru dan
menyelam didalam lautan majhul (tidak nampak) adalah obyek inderawi yang muncul secara
tidak sempurna. Data-data permulaan yang sangat membantu akal mencapai konklusi,

mempunyai nilai yang tinggi karena indera manusia lemah dan manusia sendiri tidak
mempunyai simpanan data. Disitulah akal tidak akan mampu menerobos jalan kedepan
untuk sampai kepada sesuatu konklusi didalam masalah metafisik (gaib), sebagaimana tidak
seorangpun diantara kita yang lemah dapat mengarungi lautan tanpa perahu, atau hendak
terbang tanpa pesawat.
Jelas sekarang persoalan yang dikemukakan diatas, disekitar kemungkinan akal untuk
memecahkan misteri langit dan bumi, misteri bermula dan berakhirnya alam, misteri alam
ghaib, dan misteri di luar medan akal yang sempit. Akal tidak mungkin akan mampu
mencapainya, sebab kalau mungkin tentu unta dapat mampu masuk kedalam lubang jarum.
Karena itu, sebaiknya akal berdiam diri mengenai masalah-masalah tersebut. Abu Bakar ibn
Al-Arabi melepaskan akal dari obyek-obyek tidak dapat dijangkau oleh pemikiran, karena
obyek-obyek ini jauh lebih besar daripada akal sendiri. Dia membantah filsuf-filsuf yang
meletakkan akal pada kedudukan dan medan diluar jangklauannya, disamping menyatakan
sebagai klaim-klaim mereka tentang akal sebagai suatu ketololan. Sulit untuk
dipertanggungjawabkan, asumsi bahwa akal berkuasa mutlak untuk atau mencapai semua
obyek. Kami tidak mengklailm bahwa akal dapat mengetahui segala sesuatu dengan
sendirinya dan secara bebas. Ia terikat dan terbatas pada persepsinya sendiri, sedangakan
medan siluar lintasannya tidak mungkin dicapai. Adapun orang-orang yang dapat mengertuk
pintunya dalam menembusnya adalah para nabi yang memang dianugrahi sarana untuk
mengetahui hakikatnya dan mengungkapkan aturan-aturannya.

4. Kedudukan akal untuk memikirkan penciptaan Allah SWT


Sudah pasti bahwa akal adalah anugrah yang palaing mulia yang Allah berikan kepada
manusia. Dengan akal manusia bisa memikirkan apa-apa yang menjadi ciptaan Allah SWT.
Bagaimana langit dibentangkan tanpa adanya tiang yang menyanggahnya, bagaimana
bergulirnya waktu hingga terjadinya pergantian siang dan malam, semua itu bisa manusia
ketahui dengan akal yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam Al-Quran Allah SWT
berfirman:







191-190 : ...
Artinya: sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia. (QS. Ali Imran: 190-191)
Demikianlah yang difirmankan oleh Allah dalam Al-Quran. Bahwasanya dari semua apa
yang diciptakan Allah adalah ada tanda-tanda bagi orang yang berakal. Dari itu sebagai
manusia hendaknya mempergunakan akal kita untuk memikirkan apa yang telah Allah
ciptakan, bagaimana terjadinya penciptaan langit dan bumi yang begitu luas dan besar ini,

bagaimana sang pencipta bisa merancang sedemikiran rupa apa yang ada didalamnya. Dan
bagaimana pula langit yang begitu luas dan panjang yang dibentangkan dari masyrik ila
magrib yang tidak ada satupun tiang yang menyanggannya. Inilah kebesara yang Allah
perlihatkan kepada kita semua. Inilah kebesaran kekuasaan yang dipertontonkan Allah
kepada semua mahluknya, agar supaya mau berfikir bahwa dari yang demikian itu adalah
tanda-tanda kebesaran Allah SWT.
Demikian pula dijelaskan didalam ayat diatas bahwa bagaiman silih bergantinya siang
dan malam. Bagaiman pada pagi hari matahari mulai memancarkan sinarnya yang keemasan,
dan pasa sore hari matahari itu akan tenggelam dengan sendirinya. Akankah kita memungkiri
semua kebenaran yang diperlihatkan oleh Alllah kepada setiap mahluknya? Siapakah yang
mampu memutar dunia ini sehingga terjadinya pergantian singa dan malam?
Lagi-lagi kita disuruh mempergunakan akal kita untuk memikirkan semua itu. Hanya
Allahlah yang mampu mengatur semua itu, hanya Allahlah yang mempunyai kekuasaan
mengatur sulih bergantinya siang dan malam.
Didalam akhir ayat diatas diterangakan yang artinya.....Ya Tuhan kami, tidaklah
Engkau menciptkan ini dengan sia-sia. Dari ayat diatas sudah jelas sekali bahwa apapun
yang Allah ciptakan tidak ada yang sia-sia. Manusia diperintahkan oleh Allah untuk
mempergunakan akal mereka untuk memikirkan setiap apa yang terjadi di alam ini. Jikalau
manusia telah menggungakan akal mereka, maka semua yang diciptakan Allah tidak ada yang
sia-sia. Karena Allah Maha Tahu atas segala sesuatu.
5. Fungsi akal sebagai sarana kebebasan berfikir.
Islam sangat mengharagai kebebasan berfikir, karena suatu peradaban tidak akan
pernah bangun tanpa kebebasan ini. Pemikiran bebas dapat membuka pintu pengetahuan
sehingga karenanya bangsa-bangsa dan peradabannya tumbuh berkembang.
Pemikitan adalah buah akal. Akal salah satu nikmat Tuhan yang dianugrahkan kepada
manusia. Islam menganggap akal sebagai salah satu unsur keberadaannya dan suatu energi
hidup didalam bangunannya yang tinggi. Karena itu islam selalu mengontrolnya dan
memberinya batas-batas tertentu yang harus dilalui gerakannya, dan tidak boleh melangkah
lebih jauh melalui batas-batas itu, agar tidak terjadi kerusakan dan kemudaratan di dalam
kehidupan ini. Akal harus bergerak di bawah sinar roh islam yang datang untuk
menyelamatkan manusia seluruhnya dari mara bahaya dan kerusakan.
Pada dasarnya dan gerak alamiahnya, pemikiran merupakan dialog
antara tidak dan ya. Karena itu sikap menolak dan menerima secara mutlak dan buta tidak
dipandang sebagai pemikiran. Sikap menolak secara mutlak adalah sikap kebandelan anak
kecil, dan sikap menerima secara mutlak merupakan sikap budak. Allah-lah yang maha luas
ilmu-Nya dan mengetahui kebenaran secara ilmulyakin, yaitu pengetahuan yang tidak
mengenal kalau....kalau....kalau... Sedangkan oengetahuan kita sebagai manusia, paling
tingginyapun adalah pengetahuan yang memungkinkan penggantian dan perubahan, kita
masih dapat menguatkan suatu pengganti atas pengganti yang lain. Tidaklah suatu pemikiran
kecuali memberikan kemungkinan benar bagi pemikiran-pemikiran lain.

Pendapat yang kita kemukakan adalah pendapat yang mungkin diterima dan ditolak
melalui dialog-dialog, dan kita sendiri dapat menolak dan menerima pendapat-pendapat lain
yang muncul.
Adalah watak pemikiran bebas untuk selalu tanpak sebagai suatu dialog yang
seimbang. Seseorang tidak dapat memaksakan pemikirannya kepada orang lain, dan tidak
mengikutinya kecuali dengan benar.
Dalam hubungannya dengan manusia, Abu Ala Al-Mawdudi membagi kebebasan
berfikir kepada tiga kelompok:
Pertama, kelompok yang semata-mata berdasar kepada kebebasan akal dalam segala
urusan kehidupan. Mereka mempercayai sepenuhnya dan merasa cukup dengan apa yang
dihasilkan oleh akal manusia.
Kedua, kelompok yang pada lahirnya mengikuti suatu agama, namun mereka lebih
suka mengikuti pemikiran dan pendapat sendiri. Dalam masalah kepercayaan dan aturanaturan kehidupan, mereka tidak lebih suka kembali kepada agamanya.
Ketiga, kelompok yang tidak mempergunakan akal, mengkebirinya, dan dengan serta
merta berdiri di belakang orang lain, bertaklid buta.
Kelompok pertama sangat menghargai kebebasan, akan tetapi tidak mengetahui batasanbatasannya yang benar. Kebebasan berfikir jenis ini berbahaya bagi peradaban, karena
diantara yang dituntut oleh kebebasan ialah agar seseorang tidak mempercayai sesuati kecuali
benar menurut pendapatnya sendiri, dan tidak menempuh suatu jalan kecuali yang dibenarkan
oleh akalnya sendiri.
Berbeda dengan kebebasan ini, kebebasan menuntut kesepakatan semua pihak
terhadap unsur-unsur dan aturan-aturan peradaban, pemikiran dan sebagian kepercayaan,
kemudian mewujudkannya di dalam kehidupan mereka. Kebebasan berfikir yang tidak
terbatas bertentangan dengan watak peradaban.
Kelompok kedua lebih jelek !keadaanya dari kelompok pertama. Kelompok pertama
sekedar sesat, namunkelompok kedua ini pembohong, munafik, penipu, penyembunyi
sesuatu.
Kelompok ketiga, tingakt terendah dipandang dari sudut kemampuan akalnya. Dua
kelompok pertama membawa akal keluar kemampuannya, sedangkan kelompok ketiga tidak
memfungsikan akal.
Di dalam khazanah fiqh islam, dapat dijumpai rumusan-rumusan hukum yang
menggambarkan kebebasan berfikir di dalam islam. Ibn Taymiyah yang kendatipun mengakui
kelebihan dan keutamaan imam-imam fiqh yang dihormati oleh kaum muslimin, menyatakan:
Tidaklah benar apabila seseorang berpegang pada suatu mazhab tertentu yang dipilihnya,
padahal ia mendapatkan kebenaran pada mazhab lain. Ia harus menjadi pencari kebenaran,
tidak boleh panatik kepada seorang imam dan tidak melihat syariat kecuali dengan dan dari
pandangannya sendiri. Sebab seseorang dapat diambil dan ditinggalkan pendapatnya kecuali
seiring dengan taman muliaMuhammad SAW.

Anda mungkin juga menyukai