Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sayuran merupakan bahan pangan yang berasal dari tumbuhan yang
memiliki kadar air yang tinggi dan dikonsumsi dalam keadaan segar atau
setelah diolah secara minimal. Kadar air yang terkandung dalam sayuran
mencapai 70-95% (Tjahjadi dkk, 2008). Selain itu, sayuran juga
mengandung banyak vitamin dan mineral, seperti vitamin A, vitamin C, zat
besi, kalsium, dan lain-lain. Karena memiliki kadar air tinggi dan
mengandung banyak zat gizi yang bermanfaat bagi manusia, maka sayuran
mudah mengalami kerusakan. Kerusakan pada sayuran dapat disebabkan
oleh mikroorganisme, mekanis, maupun kerusakan kimiawi. Oleh karena itu,
perlu diusahakan beberapa cara pengolahan untuk memperpanjang umur
simpan. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam pengolahan sayuran
adalah dengan cara fermentasi.
Fermentasi merupakan cara tertua selain pengeringan yang dilakukan
oleh manusia dengan tujuan untuk pengawetan dan pengolahan makanan.
Pengawetan bahan pangan dengan metode fermentasi diduga mulai
berkembang di Timur jauh semenjak manusia mulai mengumpulkan dan
menyimpan bahan pangan, salah satunya sayuran. Dalam menyimpan
sayuran, mereka menghadapi masalah dalam hal mempertahankan mutu
organoleptik dan nilai gizinya, terutama apabila disimpan dalam waktu yang
relatif lama. Untuk mengatasi masalah tersebut, dilakukan dengan
menambahkan garam atau air laut pada sayuran untuk memperpanjang masa
simpannya.
Fermentasi dapat dideskripsikan sebagai suatu proses perubahan
secara biokimia pada bahan pangan oleh aktivitas mikroorganisme dan
metabolit aktivitas enzim, yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut
(Rustan, 2013). Proses katabolisme memegang peranan penting dalam siklus
kehidupan mikroorganisme. Kemampuan mikroba dalam mengubah

karbohidrat melalui proses katabolisme tersebut menjadi asam laktat, asam


asetat, alkohol, dan senyawa-senyawa lain, menyebabkan mikroorganisme
menjadi penting bagi manusia untuk menghasilkan makanan awet dan
bergizi tinggi.
Hampir semua jenis sayuran dapat difermentasi, dengan syarat
sayuran misalnya buncis. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan sayuran
yang berpotensi ekonomi tinggi karena mempunyai peluang pasar yang
cukup luas, baik di dalam maupun di luar negeri. Buncis merupakan salah
satu sumber protein nabati yang murah dan mudah dikembangkan, serta
mengandung vitamin, mineral, dan serat yang sangat berguna bagi
perkembangan tubuh manusia (Rismunandar 1982). Polong buncis yang
masih muda biasanya dibuat sayur seperti sayur sop, sayur asem, cap cay,
ditumis atau sebagai lalab matang atau mentah. Buncis sangat mudah rusak
dan umur simpannya pendek. Oleh karena itu untuk memperpanjang umur
simpan buncis maka dilakukan proses fermentasi acar buncis.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian fermentasi sayuran ?
2. Apa pengertian tanaman buncis ?
3. Bagaimana proses fermentasi acar buncis ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui
proses fermentasi pada buncis.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Fermentasi Sayuran


Fermentasi menurut Desrosier (1988) adalah suatu proses oksidasi
atau penguraian karbohidrat dalam kondisi anaerob atau anaerob sebagian.
Pada proses fermentasi biasanya tidak menimbulkan bau busuk dan
menghasilkan gas karbondioksida selama sel-sel mikroorganisme yang
hidup bekerja. Fermentasi yang normal adalah perubahan karbohidrat
menjadi asam. Apabila dalam proses fermentasi timbul bau busuk, maka
fermentasi

tersebut

mengalami

kontaminasi

akibat

pertumbuhan

mikroorganisme yang menguraikan protein (Desrosier, 1988). Proses


fermentasi dalam pengolahan pangan mempunyai beberapa keuntungankeuntungan, antara lain sebagai berikut.

Proses fermentasi dapat dilakukan pada kondisi pH dan suhu normal,


sehingga tetap mempertahankan (atau sering bahkan meningkatkan)
nilai gizi dan organoleptik produk pangan,

Karakteristik flavor dan aroma produk yang dihasilkan bersifat khas,


tidak dapat diproduksi dengan teknik/metode pengolahan lainnya

Memerlukan konsumsi energi yang relatif rendah karena dilakukan


pada kisaran suhu normal

Modal dan biaya operasi untuk proses fermentasi umumnya rendah

Teknologi fermentasi umumnya telah dikuasai secara turun temurun


dengan baik.
Mikroorganisme sudah terdapat pada bahan pangan secara alami dan

dapat menimbulkan kerusakan apabila tidak diatasi. Seperti yang telah


dijelaskan sebelumnya bahwa proses fermentasi adalah proses yang
memanfaatkan jasa mikroorganisme, maka pengendalian proses fermentasi
pada

dasarnya

adalah

pengendalian

pertumbuhan

dan

aktivitas

mikroorganisme tersebut. Pengendalian fermentasi bergantung pada kondisi


lingkungan yang ada. Kondisi lingkungan selama proses fermentasi

berlangsung dapat berubah apabila terjadi perubahan pada faktor-faktor


pengendali fermentasi. Faktor-faktor pengendali fermentasi ini akan sangat
menentukan berlangsungnya fermentasi. Faktor-faktor pengendali selama
proses fermentasi berlangsung menurut Desrosier (1988) adalah sebagai
berikut.

pH bahan pangan, kebanyakan bahan pangan segar yang dikonsumsi


bersifat, asam misalnya pH untuk sayuran berkisar antara 4,6 sampai
6,5.

Ketersediaan sumber energi, di mana karbohidrat yang terdapat dalam


suatu bahan pangan akan mempengaruhi mikroorganisme yang
dominan tumbuh, misalnya gula dalam susu adalah laktosa sehingga
mikroorganisme yang dapat memfermentasikan laktosa yang akan
dominan tumbuh.

Ketersediaan oksigen, tergantung pada jenis mikroorganisme dan


produk akhir fermentasi yang diinginkan, misalnya fermentasi produk
alkohol menggunakan khamir memerlukan kondisi oksigen yang
terbatas.

Suhu, tiap jenis mikroorganisme yang diinginkan dalam fermentasi


memiliki suhu optimum masing-masing sehingga pengaturan suhu
substrat perlu diperhatikan.

Pengaruh natrium klorida, adanya garam dalam substrat dapat


mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dengan membatasi
jumlah air yang tersedia.
Fermentasi pada sayuran merupakan fermentasi spontan, yaitu proses

fermentasi tanpa penambahan mikroba (starter) dan terjadi dengan


sendirinya dengan bantuan mikroflora yang terdapat secara alami. Sayuran
sebagai mediumnya selanjutnya dikondisikan sehingga mikroba tertentu
yang melakukan fermentasinya yang dapat tumbuh dengan baik. Fermentasi
pada sayuran adalah metode pengawetan yang mengkombinasikan antara
penggaraman untuk mengendalikan mikroorganisme secara selektif dan
fermentasi untuk memantapkan jaringan yang diawetkan. Garam merupakan

salah satu bahan tambahan pangan yang memegang peranan penting dalam
pengawetan pangan dan biasa digunakan dalam proses fermentasi bahan
pangan.

Dalam

fermentasi,

garam

berperan

untuk

menyeleksi

mikroorganisme yang dapat tumbuh (Desrosier, 1988).


Garam dalam larutan suatu substrat bahan pangan dapat menekan
aktivitas pertumbuhan mikroorganisme tertentu, dengan membatasi jumlah
air yang tersedia dan menyebabkan plasmolisis. Setiap ion dari garam yang
terionisasi akan menarik molekul-molekul air di sekitarnya. Makin besar
kadar garam, makin banyak air yang ditarik. Pada titik ini, mikroorganisme
tidak dapat tumbuh karena tidak adanya air bebas yang tersedia bagi
pertumbuhan

mikroorganisme.

Jumlah

garam

yang

ditambahkan

berpengaruh pada populasi dan jenis mikroorganisme yang dapat tumbuh


dan yang tidak tumbuh, sehingga kadar garam dapat mengendalikan
aktivitas fermentasi apabila faktor-faktor lainnya sama (Desrosier, 1988).
Walau awalnya terjadi secara tidak disengaja, fermentasi sayuran
dapat mengawetkan sayuran tersebut dan menghasilkan produk dengan
aroma dan cita rasa yang khas. Pada produk fermentasi sayuran, mikroba
yang melakukan fermentasi adalah dari jenis bakteri penghasil asam laktat.
Larutan garam tersebut menyebabkan hanya bakteri asam laktat yang dapat
tumbuh. Adanya garam menjadikan air dan zat gizi seperti gula tertarik
keluar secara osmosis dari sel-sel sayuran. Gula-gula dalam cairan tersebut
merupakan makanan bagi bakteri asam laktat, yang selanjutnya diubah
menjadi asam laktat. Asam laktat inilah yang berfungsi sebagai pengawet
produk tersebut. Kondisi yang anaerobik mutlak diperlukan agar fermentasi
berjalan dengan baik. Suhu selama proses fermentasi juga sangat
menentukan jenis mikroba dominan yang akan tumbuh. Umumnya
diperlukan suhu 30C untuk pertumbuhan mikroba (Rustan, 2013).
2.2 Buncis (Phaseolus vulgaris L.)
Buncis merupakan salah satu jenis tanaman sayuran polong yang
memiliki banyak kegunaan. Sebagai bahan sayuran, polong buncis dapat
dikonsumsi dalam keadaan muda atau dikonsumsi bijinya. Buncis bukan
tanaman asli Indonesia, tetapi berasal dari meksiko selatan dan Amerika

Tengah. Buncis yang dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia memiliki


banyak jenis. Dari ragam varietas tersebut, tanaman buncis secara garis
besar dibagi dalam dua tipe, yaitu buncis tipe membelit atau merambat dan
buncis tipe tegak atau tidak merambat (Cahyono, 2007).
Kedudukan tanaman buncis dalam tatanama tumbuhan (taksonomi) di
klasifikasikan ke dalam (Benson, 1957):
Kingdom : Plant Kingdom
Divisio : Spermatophyta
Sub division : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Sub kelas : Calyciflorae
Ordo : Rosales (Leguminales)
Famili : Leguminosae (Papilionaceae)
Sub family : Papilionoideae
Genus : Phaseolus
Spesies : Phaseolus vulgaris L.

Sumber : pinterest.com
Buncis merupakan sumber protein, vitamin dan mineral yang penting
dan mengandung zat-zat lain yang berkhasiat untuk obat dalam berbagai
macam penyakit. Gum dan pektin yang terkandung dapat menurunkan kadar
gula darah, sedangkan lignin berkhasiat untuk mencegah kanker usus besar
dan kanker payudara. Serat kasar dalam polong buncis sangat berguna untuk

melancarkan pencernaan sehingga dapat mengeluarkan zat-zat racun dari


tubuh (Cahyono, 2007). Zat-zat gizi yang terdapat di dalam buncis dalam
100 g bahan yang dapat dimakan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan nilai gizi kacang buncis per 100 g bahan

Berdasarkan kegunaannya, buncis terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu :


1. Buncis Perancis : bagian yang dikonsumsi ialah polong berdaging yang
berwarna hijau kuning, atau ungu yang mengandung biji yang belum
berkembang. Polong tidak mempunyai urat samping.
2. Buncis filet haricot : polong mengandung urat samping (string), tetapi
polong muda berdaging yang dikonsumsi.
3. Buncis haricot : biji segar adalah bagian yang dimakan, sedangkan
polong mengandung urat samping dan serat umumnya tidak
dikonsumsi.
4. Buncis bijian kering : biji kupasan kering adalah bagian yang
dikonsumsi, sedangkan polong mempunyai urat samping, serat, lapisan
lir kertas, dan tidak dimakan (Rubatzky, 1998)

Pada buah, batang, dan daun buncis mengandung senyawa kimia yaitu
alkaloid, saponin, polifenol, dan flavonoid, asam amino, asparagin, tannin,
fasin (toksalbumin). Biji buncis mengadung senyawa kimia yaitu
glukoprotein, tripsin inhibitor, hemaglutinin, stigmasterol, sitosterol,
kaempesterol,

allantoin

leukopelargonidin,

dan

inositol.

leukosianidin,

Kulit

kaempferol,

biji

mengandung

kuersetin,

mirisetin,

pelargonidin, sianidin, delfinidin, pentunididin dan malvidin. Sedangkan


buncis segar mengandung vitamin A dan vitamin C (Hernani, 2006).
Kandungan kimia buncis memiliki manfaat yaitu untuk meluruhkan air seni,
menurunkan kadar gula dalam darah, bijinya dapat menurunkan tekanan
darah tinggi, beri-beri dan daunnya untuk menambah zat besi (Hernani,
2006).
2.3 Prose Fermentasi Acar Buncis
2.3.1

Proses pembuatan acar buncis


Bahan yang digunakan adalah buncis muda varietas lokal, garam

dapur (NaCl), dan akuades. Alat yang diperlukan dalam pembuatan acar
adalah botol bekas selai, pisau, spatula, baskom plastik dan otoklaf. Proses
pembuatannya sebagai berikut :

Buncis yang digunakan adalah yang masih muda dengan umur 60 hari
setelah tanam (HST), sehat dan segar. Bagian gagang dan pangkal
buncis dibuang kemudian sisanya dipotong dengan ukuran 5 cm, lalu
dicuci.

Buncis dimasukkan ke dalam botol steril hingga penuh dengan posisi


berdiri. Botol disterilisasi dalam otoklaf dengan suhu 121C selama 15
menit.

Larutan garam yang telah disiapkan dimasukkan ke dalam botol yang


berisi buncis hingga seluruh buncis terendam. Larutan garam dibuat
dengan cara melarutkan garam dapur dalam air kemudian dipanaskan
sampai suhu 60C hingga seluruh garam larut, lalu disaring.
Konsentrasi garam yang dibuat adalah 15%.

Fermentasi dilakukan dengan cara menyimpan buncis dalam ruangan


bersuhu 27C selama 15 hari. Untuk mengetahui perubahan buncis
selama proses fermentasi, setiap hari dilakukan pengamatan terhadap
pH cairan, total asam padatan, dan total bakteri pada acar buncis.

Diagram Alim Proses Pembuatan Acar Buncis


2.3.2 Proses Fermentasi
Acar adalah sayuran atau buah-buahan yang diawetkan dalam larutan
garam yang kemudian dilakukan fermentasi asam laktat. Asam laktat dapat
berasal dari fermentasi cairan buah atau sayuran itu sendiri atau
ditambahkan dalam bentuk cuka makan. Hampir semua jenis sayuran dapat
difermentasi secara alami oleh bakteri asam laktat, karena sayuran
mengandung gula yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri tersebut
(Apandi 1984). Proses penting dalam pembuatan acar adalah penggaraman.
Garam berfungsi sebagai bahan untuk menarik air dan zat gizi dari jaringan
bahan yang difermentasi untuk pertumbuhan bakteri pembentuk asam laktat
(Apriyanto 1984).

Proses fermentasi sayuran dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti


kondisi anaerobik, konsentrasi garam, suhu, dan adanya bakteri asam laktat
(Buckle et al. 1985). Pada waktu 18-24 jam setelah proses fermentasi
berlangsung, garam berdifusi masuk ke dalam jaringan sayuran dan zat
nutrisi sayuran terdifusi keluar sehingga zat nutrisi tersebut dapat digunakan
untuk pertumbuhan bakteri asam laktat. Makin lama waktu fermentasi maka
jumlah bakteri makin meningkat. Meningkatnya jumlah bakteri selama
fermentasi disebabkan kondisi substrat masih memungkinkan untuk
berlangsungnya metabolisme bakteri. Namun, aktivitas bakteri menurun
karena terhambat oleh keasaman yang dihasilkan (Saripah 1983).
Selanjutnya terjadi fermentasi gula oleh bakteri asam laktat yang
menghasilkan asam laktat. Bakteri asam laktat merupakan bakteri yang
diperlukan dalam fermentasi sayuran. Bakteri ini secara alami terdapat pada
sayuran itu sendiri. Pemanfaatan bakteri ini yang dikombinasikan dengan
pemberian garam dan suhu yang tepat akan menghasilkan produk fermentasi
yang bermutu baik.
Bakteri asam laktat memerlukan suhu optimal yang berbeda-beda
untuk pertumbuhannya. Jenis bakteri ini sangat peka terhadap suhu dan
tumbuh baik pada suhu 25- 30C. Jika konsentrasi asam yang diinginkan
sudah tercapai maka fermentasi dapat dihentikan dengan jalan menaikkan
suhu di atas suhu maksimalnya (Saripah 1983).

10

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Fermentasi pada sayuran dilakukan dengan mengkombinasikan antara


penggaraman dan fermentasi.

Selain dapat mengawetkan dan memperpanjang umur simpan, fermentasi


pada sayuran juga menghasilkan suatu produk pangan dengan sifat
inderawi yang khas.

Pada acar buncis tahapan pembuataannya meliputi sortasi, pencucian,


pembotolan, penggaraman, penutupan dan fermentasi.

Fermentasi acar buncis dibantu oleh bakteri asam laktat yang terdapat
pada buncis.

11

DAFTAR PUSTAKA
Apandi. 1984. Teknologi Buah dan Sayuran. Alumni, Bandung. hlm. 10.
Apriyanto.1984. Pengolahan berbagai Macam Tanaman. Institut Pertanian
Bogor. hlm. 11-16.
Benson, L. 1957. Plant Classification. D.C. Heat and Company. Boston.
Buckle, Edwards, Fleet, dan Wotton. 1985. Ilmu Pangan (terjemahan) Cetakan
Pertama. UI Press, Jakarta. hlm. 92-100, 109-110, 116-169.
Cahyono, 2007. Kacang Buncis, Teknik Budidaya dan Analisis Usaha Tani.
Penerbit Kanisius. Hal. 9-125.
Desrosier, N. W., 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah M.
Muljohardjo. UI-Press, Jakarta.
Hernani dan Raharjo, M., 2006, Tanaman Berkhasiat Antioksidan. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Rismunandar.1982.Bertanam Sayur-Sayuran.Terate:Bandung.
Rubatzky, V. E. dan M. Yamaguchi, 1998. Sayuran Dunia 2 Prinsip, Produksi,
dan Gizi. ITB, Bandung.
Rustan, I. R. 2013. Studi Isolasi dan Identifikasi Bakteri Asam Laktat dari
Fermentasi Cabai Rawit (Capsicum frutencens L.) [Skripsi]. Fakultas
Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar.
Tjahjadi, C., H. Marta, dan Y. Cahyana. 2008. Bahan Ajar Penanganan
Pascapanen Sayur, Buah, dan Biji-bijian Volume 1 : Penanganan
Pascapanen Sayur dan Buah. Fakultas Teknologi Industri Pertanian
Universitas Padjadjaran, Bandung

12

Anda mungkin juga menyukai