Anda di halaman 1dari 10

1

HIPERTENSI PADA USIA LANJUT


Wiwid Samsulhadi

PENDAHULUAN
Hipertensi ditandai dengan peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 140 mmHg
atau peningkatan tekanan darah diastolik sebesar 90 mmHg. Pada studi cross sectional dan
longitudinal menunjukkan bahwa peningkatan tekanan darah sistolik berhubungan dengan
bertambahnya usia seseorang. Sedangkan tekanan darah diastolik meningkat hanya sampai
usia 50 tahun dan selanjutnya akan konstan atau menurun sedikit (Kaplan, 2006; Chobanian,
2007).
Hipertensi pada usia lanjut sebagian besar merupakan hipertensi sistolik terselubung
(Isolated Systolic Hypertension), dan pada umumnya merupakan hipertensi primer. Adanya
hipertensi, baik Isolated Systolic Hypertension maupun kombinasi sistolik dan diastolik
merupakan faktor resiko morbiditas dan mortalitas untuk usia lanjut. Hipertensi masih
merupakan faktor resiko utama untuk stroke, gagal jantung dan penyakit koroner (Kaplan,
2006; Gradman, 2007).
Hipertensi sistolik terselubung (Isolated Systolic Hypertension) adalah jika tekanan
darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik < 90 mmHg, hipertensi jenis ini
sering ditemukan pada usia lanjut (Nawrot, 2005; Chobanian, 2007; Wallace, 2007).
Dalam makalah ini akan dibahas patofisiologi dan pendekatan perawatan hipertensi
usia lanjut,

yang nantinya diharapkan dapat mengurangi akibat yang ditimbulkan dari

hipertensi sehingga dapat menurunkan angka kejadian dan meningkatkan kualitas hidup.
EPIDEMIOLOGI
Pada studi Framingham, peningkatan tekanan darah diastolik terjadi pada usia di
bawah 50 tahun, peningkatan tekanan darah diastolik kurang berperan dalam terjadinya
jantung koroner dibandingkan dengan peningkatan tekanan darah sistolik. (Nawrot, 2005; Qi
Fu, 2006).
Menurut JNC VII Isolated Systolic Hipertension memberi batasan tekanan darah
sistolik 140 mmHg dan tekanan diastolik < 90 mmHg.. Isolated Systolic Hipertension
adalah subtipe hipertensi primer pada subjek dengan usia > 50 tahun. Isolated Systolic
Hypertension didapatkan pada duapertiga dari hipertensi pada usia lanjut. Pada penderita usia
Tinjauan Kepustakaan Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr.
Soetomo

2
Surabaya, 1 Desember 2009

lanjut dengan hipertensi yang terkontrol, Isolated Systolic Hypertension didapatkan sekitar
80% dan 20% peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik (Chobanian, 2007; Wallace,
2007).
Data NHANES IIII menunjukkan bahwa pada usia dibawah 50 tahun didapatkan
isolated dyastolic hypertension (SBP < 140 mmHg dan DBP 90 mmHg) sebanyak 54.9%,
sedangkan pada hipertensi dengan SBP 140 mmHg dan DBP 90 mmHg ditemukan sekitar
45.1%. ( Nawrot, 2005; Chobanian, 2007)..
GAMBARAN KLINIS
Peningkatan tekanan darah

tidak dapat dipisahkan dengan bertambahnya usia

seseorang. Peningkatan tekanan darah sistolik akan tetap meningkat seiring dengan
bertambahnya usia sedangkan tekanan darah diastolik akan meningkat sampai usia 50 tahun
(Gradman, 2007; Beckett, 2008).
Hasil beberapa studi epidemiologi menjelaskan bahwa peningkatan tekanan darah
sistolik adalah faktor resiko untuk terjadinya heart attack, gagal jantung, stroke, gagal ginjal
kronik atau perdarahan retina. Pada Multiple Risk Factor Intervention Trial (MRFIT), setelah
usia 50 tahun tekanan darah sistolik merupakan prediktor kuat penyebab kematian akibat
penyakit jantung koroner dibanding tekanan darah diastolik. Dengan terjadinya Isolated
Systolic Hypertension dapat meningkatkan terjadinya penyakit kardiovaskuler dan
meningkatkan angka kematian akibat kelainan kardiovaskuler (Chobanian, 2007; Wallace,
2007; Beckett, 2008).
PATOFISIOLOGI
Komponen tekanan darah secara fisiologi terdiri dari dua faktor utama yaitu MAP dan
pulse pressure (PP). MAP merupakan interaksi antara cardiac output (CO) dan systemic
vascular resistance (SVR) (MAP = CO x SVR). Pulse pressure adalah perbedaan antara
tekanan darah sistolik dan diastolik yang ditentukan oleh compliance dari vascular bed arteri
dan stroke volume dan juga dipengaruhi oleh ejection rate dari ventrikel kiri. Tekanan arteri
rata-rata (mean arterial pressure) adalah rata-rata dari tekanan darah sistolik dan diastolik, hal
ini tergantung pada cardiac output dan resistensi perifer total (Nawrot, 2005; Kaplan, 2006;
Franklin, 2008).
Pulse wave velocity dipengaruhi oleh arteri perifer dan arteri sentral. Karakteristik
arteri perifer lebih kaku dibandingkan dengan arteri sentral. Kondisi ini menyebabkan pulse

3
wave travel menjadi cepat. Dengan peningkatan pulse wave velocity menjadi prediktor
morbiditas dan mortalitas dari kardiovaskular (Kaplan, 2006; Franklin, 2008).
Isolated Systolic Hypertension pada penderita usia lanjut adalah suatu gejala penyakit
karena kekakuan dinding arteri dengan bertambahnya usia. Distensibilitas arteri dan pulse
wave velocity menggambarkan elastisitas dari arteri. Pada orang dewasa muda yang sehat,
reflected waves terjadi bersamaan dengan diastolik, peningkatan tekanan diastolik, dan perfusi
koroner. Dengan adanya kekakuan arteri, reflected wave bergerak lebih cepat mencapai aorta
proksimal ketika sistolik dan menyebabkan augmentasi dari tekanan sistolik sehingga tekanan
diastolik menurun.. Pemeriksaan histopatologi aorta pada usia lanjut didapatkan penebalan
dari tunica media karena akumulasi dari serat-serat kolagen dan penumpukan dari kalsium.
Tonus vasokonstriktor pada arteri besar dapat meningkat seiring dengan bertambahnya usia
dan berkurangnya reseptor 2 adrenergik. (Nawrot, 2005)
Fungsi endotel mempunyai fungsi sebagai vasodilatasi dipengaruhi oleh aliran darah
yang mulai menurun pada usia sekitar 50 tahun, dimana pada usia ini pulse pressure mulai
meningkat. Fungsi endotel lebih tampak pada wanita premenopouse dibanding pada pria.
Pengamatan ini menunjukkan bahwa estrogen mempengaruhi fungsi endotel. Estrogen
mengaktifkan mekanisme relaksasi vaskuler oleh endotel, termasuk jalur nitrit okside-cGMP
dan prostasiklin-cAMP (Nawrot, 2005; Qi Fu, 2006).
Endotel menghasilkan bermacam-macam mediator yang mempengaruhi tonus dan
struktur dari pembuluh darah serta menentukan suseptibilitas dari dinding pembuluh darah
aterogenesis. Salah satu dari mediator tersebut adalah nitrit oksid, yang disintesis dari asam
amino L-arginin yang dibantu oleh sintesa enzim nitrit oksid (Nawrot, 2005; Kapaln, 2006;
Wallace, 2007).
Endotelin-1 merupakan vasokonstriktor yang dilepaskan oleh endotel dan dapat
meningkatkan kekakuan arteri. Konsentrasi endotelin-1 pada plasma menunjukkan hubungan
positif yang signifikan dengan kekakuan aorta pada penderita dengan penyakit arteri koroner
(Nawrot, 2005; Kaplan,2006; Wallace, 2007).
Beberapa perubahan histologis yang terjadi pada dinding pembuluh darah seiring
dengan proses penuaan menyebabkan aterosklerosis. Peningkatan ketebalan dari tunika intima
dan media arteri karotis merupakan pertanda awal dari aterosklerosis yang berhubungan
dengan proses penuaan (Nawrot, 2005; Wallace, 2007).
Proses

penuaan

menyebabkan

perubahan

dalam

fungsi

jantung,

sirkulasi

hemodinamik, metabolisme lipid, dan detoksifikasi dari spesies yang reaktif terhadap oksigen
yang kesemuanya dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada usia lanjut. Walaupun

4
proses penuaan merupakan faktor resiko yang paling berperan dalam peningkatan tekanan
darah, stroke dan penyakit koroner, mekanisme patofisiologi yang mendasari pengamatan ini
hingga saat ini masih belum diketahui (Nawrot, 2005).
Obesitas dapat dihubungkan dengan penurunan elastisitas aorta. Peningkatan tekanan
darah yang diikuti dengan penambahan berat badan dihubungkan dengan perubahan yang
sangat besar pada fungsi kardiovaskuler dan ginjal, termasuk peningkatan volume plasma,
meningkatkan reabsorpsi natrium di tubulus, penurunan dari resistensi perifer total,
peningkatan denyut jantung, aktivasi dari sistem saraf simpatis, dan aktivasi sistem reninangiotensin-aldosteron. Jaringan lemak mensekresi hormon leptin yang dapat meningkatkan
aktivitas simpatetik (Nawrot, 2005; Corrada, 2006; Kaplan, 2006; Mancia, 2007).
Orang dewasa dengan familial hypercholesterolemia secara signifikan mempunyai
distensibilitas aorta yang rendah. Perubahan pada dinding pembuluh darah yang disebabkan
karena hiperkolesterolemia dapat memyebabkan (1) gangguan respon dari endothelial
relaxing factor (nitrit oksid); (2) peningkatan komposisi kolagen dan kalsium dalam deposit
kolesterol pada dinding pembuluh darah; (3) efek toksik dari lipoprotein yang teroksidasi
pada endotel (Nawrot, 2005).
Merokok dapat meningkatkan tekanan darah aorta, kekakuan arteri dan plasma von
Willebrand (marker dari kerusakan endotel). Lebih dari 3800 zat kimia yang terkandung
dalam asap tembakau dapat meyebabkan stress oksidatif baik secara langsung atau melalui
biotransformasi dari zat-zat tersebut. Merokok dapat meningkatkan tonus simpatetik secara
mendadak. Merokok juga dapat menurunkan produksi nitrit oksid, vasodilator primer yang
dihasilkan oleh sel endotel (Nawrot, 2005; Mancia, 2007).
Diabetes mellitus berhubungan dengan peningkatan kekakuan arteri dan penurunan
fungsi endotel. Glycation dari protein akibat perubahan metabolisme sel berkaitan dengan
hiperglikemia dan perkembangan dari komplikasi pada diabetes melitus. Proses kimia ini
mengubah protein sehingga dapat berinteraksi dengan sel-sel pada dinding pembuluh darah,
menginduksi aktivitas dari sitokin dan growth factor, yang dapat menyebabkan cross-link dari
molekul kolagen satu dengan yang lain sehingga menyebabkan penurunan dari elastisitas
kolagen dan akan terjadi penurunan distensibilitas arteri (Selvin, 2006; Stults, 2006; Nawrot,
2005).
Homosistein adalah asam amino yang mengandung sulfur, yang dibentuk pada
metabolisme dari metionin menjadi sistein, merupakan faktor resiko tersendiri pada penyakit
kardiovaskuler. Homosistein dikenal sebagai faktor yang berperan dalam proses
aterosklerosis. (Nawrot, 2005).

5
Dari percobaan secara in vitro dan pada binatang, diperoleh bukti bahwa konsentrasi
homosistein yang tinggi berhubungan dengan toksisitas endotel oleh karena stress oksidatif
yang merupakan hasil auto-oksidasi dari homosistein. Pada saat proses ini berlangsung,
terbentuk hidrogen peroksida dan superoksid yang dapat meningkatkan oksidasi low density
lipoprotein, dan menurunkan bioavailabilitas nitrit oksid. Penurunan nitrit oksid menyebabkan
vasokonstriksi (Nawrot, 2005; Stults, 2006).
PENATALAKSANAAN HIPERTENSI USIA LANJUT
Sasaran utama terapi hipertensi adalah untuk menurunkan tekanan darah secara
optimal, mengurangi kemungkinan kerusakan organ target dan mencegah terjadinya
aterosklerosis. Tujuan pengobatan hipertensi adalah untuk menurunkan tekanan darah kurang
dari 140 mmHg, sedang untuk penderita yang mempunyai resiko, target tekanan darah kurang
dari 130/80 mmHg. Penurunan tekanan darah akan menurunkan resiko morbiditas atau
mortalitas akibat komplikasi kardiovaskuler (Kaplan, 2006; Chobanian, 2003).
Pengobatan hipertensi harus dimulai sejak dini untuk mencegah kerusakan organ
target. Menurut National Institute for Healt and Clinical (NICE/BHS) tahun 2006
merekomendasikan untuk memulai terapi hipertensi bila tekanan darah > 160/100 mmHg atau
pada keadaan Isolated Systolic Hypertension (ISH) tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau
pada tekanan darah > 140 mmHg dan diserta keadaan resiko kardiovaskuler, kerusakan organ
target, resiko kardiovaskuler (Higgins, 2004).
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi non farmakologis dan farmakologis. Terapi
non farmakologis harus dilaksanakan oleh semua penderita hipertensi dengan tujuan
menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor resiko serta penyakit penyerta
lainnya (Kaplan, 2006; Chobanian, 2007).
Prinsip terapi hipertensi pada usia lanjut dimulai dengan obat anti hipertensi terpilih
dalam dosis rendah, titrasi perlahan untuk meminimilisasi efek samping hipotensi ortostatik.
Penurunan berat badan dan pengurangan konsumsi natrium terbukti sebagai salah satu
intervensi hipertensi yang efektif pada populasi usia lanjut (Mancia, 2007)
1. Pengobatan Non Farmakologi
Tujuan utama terapi hipertensi tidak hanya mencegah komplikasi terhadap penyakit
jantung dan serebral tetapi ditujukan untuk memperbaiki kualitas hidup penderita hipertensi.
Perubahan gaya hidup dapat memberikan keuntungan dalam mengontrol tekanan darah.

6
Beberapa uji klinik menyatakan bahwa terapi hipertensi dapat mencegah terjadinya efek
samping pada penderita hipertensi usia lanjut (Chobanian, 2003; Kaplan, 2006).
Terapi non farmakologis terdiri dari :

Menurunkan berat badan (bila obesitas), untuk mencapai berat badan ideal (BMI 18,524,9 Kg/m2).

Mengurangi asupan garam, yaitu tidak melebihi 100 mmol/hari (2,4 grm Na atau 6
grm NaCl).

Mengatur diet dengan banyak makan buah, sayuran, rendah lemak jenuh.

Meningkatkan aktifitaas fisik dengn aerobik teratur seperti jalan cepat 30 menit/hari.

Berhenti merokok.

Membantasi konsumsi alkohol tidak melebihi 30 ml = 28 grm etanol/hari = 1 0z bagi


pria dan 15 ml = oz bagi wanita.
Menurunkan berat badan sangat efektif untuk merubah gaya hidup bila dikaitkan

dengan penurunan tekanan darah. Begitu juga halnya pada penderita hipertensi usia lanjut,
dimana penurunan berat badan dapat mengontrol tekanan darah (Kaplan, 2006; Chobanian,
2007 ).
Penderita hipertensi usia lanjut sangat sensitif terhadap garam bila dibandingkan
dengan penderita hipertensi usia muda. Dari uji kilnik yang telah dilakukan bahwa dengan
pengurangan garam sebanyak 100 mmol/ hari dapat menurunkan tekanan darah sistolik 4,3
mmHg dan tekanan diastolik 2 mmHg (Chobanian, 2007).
Pengaturan makanan dengan meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta sedikit
asupan lemak dapat mengurangi tekanan darah pada penderita hipertensi usia lanjut. Begitu
juga halnya dengan peningkatan aktivitas fisik dan mengurangi konsumsi alkohol dapat
mengontrol tekanan darah pada penderita hipertensi usia lanjut (Chobanian, 2007).
2. Terapi Farmakologi
Penatalaksanaan hipertensi pada usia lanjut sama seperti penatalaksanaan hipertensi
pada usia lainnya. Penurunan tekanan darah akan menurunkan resiko morbiditas dan
mortalitas akibat komplikasi kardiovaskuler (WHO, 2003).
Terapi farmakologis hendaknya mengikuti kaidah mulai dari dosis kecil dinaikkan
secara bertahap dengan interval yang panjang, satu macam obat dan baru dikombinasi jika
tidak berhasil (Chobanian, 2003).
JNC VII menggaris bawahi bahwa bila tidak ada indikasi spesifik untuk menggunakan
obat anti hipertensi lain, pilihan utama adalah diuretik dan bila tekanan darah belum

7
terkontrol bisa ditambahkan obat-obatan lain seperti antagonis kalsium, AT-II antagonist, ACE
Inhibitor, beta bloker (Mancia, 2007; Chobanian, 2007).
WHO-ISH memberi pilihan lebih bebas dimana semua obat-obatan antihipertensi bisa
digunakan sebagai obat pillihan utama, tetapi pada penderita hipertensi usia lanjut perlu
diperhatikan faktor-faktor yang menguntungkan atau merugikan (WHO, 2003).
Terapi awal dimulai dengan diuretik dosis kecil, lebih mudah dengan pemberian sekali
sehari, obat pilihan adalah golongan tiazid (murah dan dapat ditoleransi dengan baik) secara
efektif menurunkan tekanan darah pada usia lanjut, terutama Isolated Systolic Hypertension.
Karena umumnya usia lanjut memiliki aktivitas renin plasma yang rendah dan volume plasma
yang relatif kecil, sehingga sangat sensitif terhadap diuretik. Penelitian besar studi SHEP dan
STOP menunjukkan penurunan angka kejadian stroke dan kematian kardiovaskuler yang
bermakna pada hipertensi usia lanjut, bila diberikan diuretik dengan / tanpa penghambat beta.
Namun kiranya perlu diingat bahwa pada usia lanjut pengurangan volume cairan bila tidak
berhati-hati akan sangat berbahaya, karena dapat menimbulkan hemokonsentrasi, dehidrasi
dan gangguan keseimbangan elektrolit darah (Chobanian, 2003).
Calcium Channel Blocker (CCB) dari sistem pembuluh darah arteri masuk ke dalam
sel sehingga menyebabkan dilatasi arteri koroner dan juga arteri perifer. Ada dua kelompok
obat CCB, yaitu dihidropyridin dan nonhidropyridin. Keduanya efektif untuk pengobatan
hipertensi usia lanjut. CCB diindikasikan untuk pasien yang memiliki faktor resiko tinggi
penyakit koroner dan untuk pasien dengan diabetus mellitus. (Gradman, 2004; Kaplan, 2006).
Kelompok nondihydropiridin (diltiazem, verapamil) mempunyai efek inotropik negatif
dan kronotropik, sehingga baik diberikan pada pasien dengan fibrilasi atrial dan takikardi
supraventrikuler. Kelompok dihydropiridin (amlodipine, felodipine) aman diberikan pada
pasien dengan payah jantung, hipertensi atau angina stabil kronik. (Gradman, 2004; Kaplan,
2006).
Kelompok dihidropyridin, terutama nifedipin dapat menyebabkan hipotensi ortostatik,
edema perifer dan hiperplasia gusi. Hal ini sering dijumpai pada usia lanjut. Verapamil juga
sering menyebabkan konstipasi pada usia lanjut. (Gradman, 2004; Kaplan, 2006)
ACE-Inhibitor, sering kurang responsif pada usia lanjut yang mempunyai kadar renin
rendah, namun bermanfaat untuk hipertensi dengan gagal jantung kongestif. ACE-Inhibitor
merupakan obat pilihan utama untuk usia lanjut dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri
dengan fraksi ejeksi > 40 %, dan penderita dengan diabetes mellitus (WHO, 2003).

8
Pada penggunaan ACE Inhibitor sebagai terapi pada hipertensi usia lanjut diperlukan
pemeriksaan serum kreatinin setiap 1-2 minggu. Karena mempunyai resiko terjadinya stenosis
arteri renalis (Nawrot, 2005).
Obat golongan -blocker dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas pasien usia
lanjut dengan hipertensi. Obat golongan -blocker dapat digunakan untuk usia lanjut dengan
resiko tinggi penyakit koroner, infark miokard serta gagal jantung. (Niall, 2005)
Beta blocker adalah penghambat reseptor beta-adrenergik yang reversibel dan juga
menghambat efek katekolamin (adrenalin dan nor adrenalin) dan agen-agen farmakologika
(isoprenalin) dengan cara menghambat bahan-bahan tersebut terikat dengan reseptornya.
(Niall, 2005)
Efek beta blocker dalam menurunkan hipertensi dengan cara menurunkan denyut nadi
(kronotropik negatif) dan isi sekuncup/stroke volume (inotropik negatif). Hal ini memberikan
efek penurunan kardiak output sebesar 1520%, dimana juga memberikan efek penurunan
pelepasan renin, keluaran simpatis sentral, blokade/hambatan presinaps dan perubahan
tahanan perifer pembuluh darah sehingga dapat menurunkann tekanan darah lebih lanjut. Efek
beta blocker termasuk juga mengurangi takikardia akibat latihan dan kecemasan, mengurangi
tremor akibat kecemasan, hipoglikemia, dan tirotoksikosis. Karena beta blocker menghmabat
secara menyeluruh dan tidak selektif maka dapat memberi efek bronkokonstriksi dan
eksaserbasi asma, hipoglikemia akibat pengurangan glukoneogenesis, mimpi buruk dan
halusinasi. (Niall, 2005)
Beta Blocker kurang efektif untuk usia lanjut karena reseptor beta dan respon terhadap
beta agonis telah berkurang. Beta blocker dapat digunakan bila hipertensi disertai dengan
adanya takikardia, sebagai pencegahan sekunder terhadap infark miokard akut, iskemia dan
aritmia. Efek samping penggunaan beta blocker berupa gagal jantung akibat efek inotropik
negatif dan kronotropik negatif sehingga terjadi penurunan curah jantung yang berlebihan.
(WHO, 2003).
Antagonis kalsium, dapat menurunkan tekanan darah pada usia lanjut, baik hipertensi
sistolik maupun Isolated Systolic Hypertension. Lebih efektif dibandingkan diuretik dan
hanya sedikit efek samping pada metabolik. Verapamil dan Diltiazem mempunyai kekurangan
adanya efek inotropik negatif dan menimbulkan konstipasi. Efek samping ini kurang pada
golongan dihidropiridin, tetapi ini jarang menimbulkan edema dan nokturia. (WHO, 2003).
AT-II antagonist memiliki kerja mirip dengan ACE Inhibitor, dan bekerja sebagai
antagonist langsung terhadap reseptor angiotensin II dan tidak berpengaruh
bradikinin (WHO, 2003).

terhadap

9
Penghambat reseptor alfa
-

Efektif bila dikombinasi dengan penyekat beta, tetapi mempunyai efek samping
berupa hipotensi ortostatik sehingga dianjurkan monitor tekanan darah pada posisi
berdiri (misal: prazosin).

Bermanfaat melancarkan diuresis

pada penderita hipertrofi prostat dengan

hipertensi disamping menurunkan tekanan darah.


RINGKASAN
Hipertensi pada usia lanjut sebagian besar adalah Isolated Systolic Hypertension.
Penyebab hipertensi usia lanjut didominasi oleh perubahan sistem kardiovaskuler akibat
proses penuaan. Diagnosis dan evaluasi penderita hipertensi usia lanjut penting untuk
stratifikasi faktor resiko dan selanjutnya digunakan untuk menentukan terapi yang tepat.
Menurut ESH-ESC 2003, merekomendasikan penurunan Tekanan Darah Sistolik (TDS) < 140
mmHg dan Tekanan Darah Diastolik (TDD) < 90 mmHg, bila disertai diabetes melitus atau
penyakit ginjal dianjurkan mencapai < 130/80 mmHg, dan bila ada penyakit jantung koroner
TDD diharapkan pada kisaran 85-90 mmHg.
Terapi hipertensi usia lanjut meliputi terapi non farmakologis dan terapi farmakologis.
Strategi terapi sudah dimulai sejak melakukan diagnosis dan evaluasi penderita untuk
melakukan terapi.
Terapi farmakologis hipertensi usia lanjut dapat dimulai sejak dini untuk mencegah
kerusakan organ target. Tahapan pemilihan pengobatan hipertensi usia lanjut yang dianjurkan
dengan menggunakan Calcium Channel Blocker atau dengan menggunakan diuretik. Tetapi
bila tidak berhasil mmengendalikan tekanan darah dapat digunakan obat lain seperti antagonis
kalsium, beta bloker, ACE Inhibitor, AT-II antagonis, alfa bloker dan sebagainya disesuaikan
dengan kondisi klinik penderita.
DAFTAR PUSTAKA
1. Beckett NS, Peter R, Fletcher, Staessen JA, Liu L, Dumitrascu D et al (2008).
Treatment of Hypertension in Patients 80 Years of Age or Older. N Engl J Med; 358
p:12.
2. Chobanian AV (2007). Isolated Systolic Hypertension in the Elderly. N Engl J Med;
357: 789-96.
3. Chobanian AV (2003). The Seventh Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure.

10
4. Corrada MM, Kawas CH, Mozaffar F, Paganini-Hill A (2006). Association of Body
Mass Index and Weight Change with All-Cause Mortality in the Elderly. Am J
Epidemiol;163: 938949.
5. Franklin SS and Mitchel GF (2008). Aging, Arterial Function, and Systolic
Hypertension. In: Hypertension Primer. The Essential of High Blood Pressure 4 TH ed.
Izzo JL, Sica AS, Black HR. pp : 144-8.
6. Gradman AH and Morsy M (2007). Hypertension in the elderly. Cardiology Review
Ascend Media Healtcare.
7. Higgins B, Williams B, Bakhshi ML, et al. NICE Clinical Guideline 18 (2004).
Hypertension Management in Adults in Primary Care: Pharmacological update.
8. Kaplan NM (2006). Primary Hypertension. Pathogenesis In: Kaplans Clinical
Hypertension 9th ed. Lippincott Wilkins, Philadelphia. pp : 96 224.
9. Mann SJ (2006). Treatment of elderly patients with hypertension. Cardiology Review
Ascend Media Healtcare.
10. Mancia G, Backer GD, Dominizcak A et al (2007). Guidelines for Management of
Arterial Hypertention. European Heart Journal 28, 1462-1536.
11. Nawrot T et al (2005). Blood Pressure and Aging. In: Hypertension Principles and
Practice Edited by Battegay EJ, Lip GY, Bakris GL. pp: 701-9.
12. Niall S, Colwell, Murphy MB (2005). -Adrenergic Receptor Blocker in
Hypertension. In: Hypertension Principles and Practice Edited by Battegay EJ, Lip
GY, Bakris GL. pp: 447-59.
13. Qi Fu and Benjamin DL (2006). Hypertension and Antihypertensive Therapy in
Elderly Women How Much Do We Really Know?. American Heart Association J
Hypertens. pp:323-4.
14. Selvin E et all (2006). The Burden and Treatment of Diabetes in Elderly Individuals in
the U.S. In: Diabetes Care volume 29. pp:24159.
15. Stults B. and Jones RE (2006). Management of Hypertension in Diabetes. Diabetes
Spectrum Vol 19.
16. World Health Organization (2003), International Socciety of Hypertension Writing
Group, World Healt Organization International Society of Hupertension Statement of
management of Hypertension. J Hypertens 2003: 1983-1992
17. Wallace SML, Yasmin, Carmel, Maki-Petaja KM, Booth AD, Cockcroft JR, et al
(2007). Isolated Systolic Hypertension Is Characterized by Increased Aortic Stiffness
and Endothelial Dysfunction. Hypertension 50:228-33.
18. Wexler R and Aukerman G (2006). Nonpharmacologic Strategies for Managing
Hypertension. American Family physician vol 73.

-------o0o-------

Anda mungkin juga menyukai