Gangguan Cemas
PEMBIMBING
dr. Esther Sinswu, Sp.KJ
Penyusun
Karlina Lestari
1102010142
CEMAS
PENDAHULUAN
1.1
Definisi
Cemas merupakan suatu sikap alamiah yang dialami oleh setiap manusia sebagai
bentuk respon dalam menghadapi ancaman. Namun ketika perasaan cemas tersebut
menjadi berkepanjangan atau maladaptif,maka perasaan itu berubah menjadi gangguan
cemas atau anxiety disorder.
Gangguan cemas merupakan salah satu gangguan jiwa yang sering terjadi. Pada tahun
1991 di Amerika Serikat dilaporkan gangguan cemas pada orang dewasa adalah 2.9% dari
seluruh populasi, sedangkan di Indonesia diperkirakan 6-7%. Wanita lebih sering
mengalami gangguan cemas dibandingkan laki-laki dengan prevalensi umur 16-40 tahun.
1.2
Etiologi
Berdasarkan etiologi, gangguan cemas dapat disebabkan oleh faktor genetik,
gangguan neurobiokimiawi, aspek kepribadian dan aspek fisik. Menurut DSM-IV
terdapat tujuh macam gangguan cemas yaitu, gangguan panik dengan atau tanpa
agoraphobia, agoaphobia dengan atau tanpa gangguan panik, fobia spesifik, fobia sosial,
gangguan obsesif kompulsif, gangguan stress pasca trauma dan gangguan cemas
menyeluruh. Keluhan yang dirasakan penderita juga bermacam-macam, seperti rasa
khawatir, gelisah, sulit tidur, takut mati, sulit membuat keputusan dan sebagainya.
2.1
PENDAHULUAN
Gangguan cemas merupakan gangguan yang sering dijumpai pada klinik psikiatri.
Kondisi ini terjadi sebagai akibat interaksi faktor-faktor biopsikososial, termasuk kerentanan
genetik yang berinteraksi dengan kondisi tertentu, stress dan trauma yang menimbulkan
sindroma klinis yang bermakna.
Angka prevalensi untuk gangguan cemas menyeluruh 3 8 % dan rasio antara
perempuan dan laki-laki sekitar 2 : 1. Pasien dengan gangguan cemas menyeluruh sering
memiliki komorbiditas dengan gangguan mental lainnya seperti gangguan panik. Gangguan
obsesif kompulsif, gangguan stress pasca trauma dan gangguan depresi berat.
Gangguan cemas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder, GAD) merupakan
kondisi gangguan yang ditandai dengan kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan dan
tidak rasional bahkan terkadang tidak realistik terhadap berbagai peristiwa kehidupan seharihari.
Kondisi yang dialami hampir sepanjang hari, berlangsung sekurang-kurangnya selama
6 bulan. Kecemasan yang dirasakan sulit untuk dikendalikan dan berhubungan dengan gejala
somatik seperti ketegangan otot, iritabilitas, kesulitan tidur, dan kegelisahan sehingga
menyebabkan penderitaan yang jelas dan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial dan
pekerjaan.
2.2
ETIOLOGI
Teori Biologi
Area otak yang diduga terlibat timbulnya GAD adalah lobus oksipitalis yang
mempunyai reseptor benzodiazepine tertinggi di otak. Basal ganglia, sistem limbik
dan korteks frontal juga di hipotesiskan terlibat pada etiologi timbulnya GAD. Pada
pasien GAD juga ditemukan sistem serotonergik yang abnormal. Neurotransmitter
yang berkaitan dengan GAD adalah GABA, serotonin, norepinefrin, glutamat dan
kolesistokinin.
DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis gangguan cemas menyeluruh menurut DSM IV-TR
A. Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan yang timbul hampir
setiap hari, sepanjang hari, terjadi sekurangnya 6 bulan, tentang sejumlah
aktivitas atau kejadian (seperti pekerjaan atau aktivitas sekolah)
B. Penderita merasa sulit mengendalikan kekhawatirannya.
C. Kecemasan dan kekhawatiran disertai 3 atau lebih dari 6 gejala berikut
ini (dengan sekurangnya beberapa gejala lebih banyak terjadi
dibandingkan tidak terjadi selama 6 bulan terakhir)
1. Kegelisahan
2. Merasa mudah lelah
3. Sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong
4. Iritabilitas
5. Ketegangan otot
6. Gangguan tidur ( sulit tertidur, atau tetap tertidur, atau tidur gelisah
dan tidak memuaskan)
Catatan : hanya satu nomor diperlukan pada anak.
D. Fokus kecemasan dan kekhawatiran tidak terbatas pada gangguan aksis I
misalnya, kecemasan atau ketakutan adalah bukan tentang menderita
suatu serangan panik (seperti pada gangguan panik), merasa malu pada
situasi umum (fobia sosial), terkontaminasi (seperti pada gangguan
obsesif-kompulsif), merasa jauh dari rumah atau sanak saudara (seperti
cemas perpisahan), penambahan berat badan (seperti pada anorexia
nervosa), atau menderita keluhan fisik berganda (seperti pada gangguan
somatisasi), atau menderita penyakit serius (seperti pada gangguan
hipokondriasis), serta kecemasan dan kekhawatiran tidak terjadi sematamata selama gangguan stress pasca trauma.
E. Kecemasan dan kekhawatiran atau gejala fisik menyebabkan penderitaan
bermakna secara klinis atau gangguan fungsi sosial, pekerjaan atau
fungsi penting lain.
F. Gangguan yang terjadi bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu
zat (misalnya penyalahgunaan zat, medikasi) atau kondisi medis umum
(misal, hipotiroidisme), dan tidak terjadi semata-mata selama suatu
ganguan mood, gangguan psikotik, atau gangguan perkembangan
pervasif.
2.3
GAMBARAN KLINIS
Gejala utama GAD adalah anxietas, ketegangan motorik, hiperaktivitas
yang adekuat, beberapa lainnya meminta konsultasi medik tambahan untuk masalahmasalah mereka.
2.5
DIAGNOSIS BANDING
Gangguan cemas menyeluruh perlu dibedakan dari kecemasan akibat kondisi
PROGNOSIS
Gangguan cemas menyeluruh merupakan suatu keadaan kronis yang mungkin
TERAPI
Farmakoterapi
Psikoterapi
Benzodiazepin
Terapi Kognitif-perilaku
Merupakan obat pilihan pertama. Pemberian Pendekatan kognitif mengajak pasien secara
benzodiazepin
dimulai
dengan
prilaku,
mengenali
gejala
respons terapi. Penggunaan sediaan dengan somatik secara langsung. Teknik utama
waktu paruh menengah dan dosis terbagi yang digunakan pada pendekatan behavioral
dapat mencegah terjadinya efek yang tidak adalah relaksasi dan biofeedback.
diinginkan. Lama pengobatan rata-rata 2-6
minggu dilanjutkan dengan masa tappering
off selama 1-2 minggu.
Buspiron
Terapi Suportif
diberikan
reassurance
dan
penderita
GAD
yang
sudah
dilakukan
antara
benzodiazepin
kemudian
penggunaan
dilakukan
dengan
bersama
buspiron
tappering
off
terapi
buspiron
sudah
mencapai
maksimal.
SSRI
Psikoterapi berorientasi tilikan
Sertraline dan paroxetine merupakan pilihan Terapi ini mengajak pasien penyingkapan
yang
lebih
baik
daripada
Pemberian fluoksetin dapat meningkatkan relasi objek, serta kebutuhan self pasien.
anxietas sesaat. SSRI efektif terutama pada Dari
pasien GAD dengan riwayat depresi.
pemahaman
akan
komponen-
GANGGUAN SOMATOFORM
3.1. Definisi
Gangguan somatoform (somatoform disorder) adalah suatu kelompok gangguan yang
ditandai oleh keluhan tentang masalah atau simptom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh
penyebab kerusakan fisik (Nevid, dkk, 2005).
soma yang berarti tubuh dalam bahasa Yunani. Pada gangguan somatoform, penderita
hadir dengan berbagai gejala yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada
abnormalitas organik yang dapat ditemukan sebagai penyebab gangguan tersebut.
Gejala-gejala fisik pada gangguan somatoform ini cukup serius untuk menyebabkan
penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien
untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan
somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu
penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala.
Gangguan somatoform berbeda dengan gangguan-gangguan lain yang disebabkan
oleh kepura-puraan yang disadari ataupun gangguan buatan. Sebagai contoh, gangguan
somatoform berbeda dengan malingering, atau kepura-puraan simtom yang bertujuan untuk
mendapatkan hasil yang jelas. Gangguan ini juga berbeda dengan gangguan factitious yaitu
suatu gangguan yang ditandai oleh pemalsuan simtom psikologis atau fisik yang disengaja
tanpa keuntungan yang jelas. Selain itu gangguan ini juga berbeda dengan sindrom
Muchausen yaitu suatu tipe gangguan factitious yang ditandai oleh kepura-puraan mengenai
keluhan-keluhan medis.
3.2. Epidemiologi
Epidemiologi dari gangguan somatoform bervariasi menurut jenis gangguannya.
Prevalensi gangguan somatisasi sepanjang hidup adalah 0.2-2% pada perempuan dan 0.2%
pada laki-laki. Perempuan lebih banyak menderita gangguan somatisasi dibandingkan lakilaki dengan rasio 5 berbanding 1. Onset dari gangguan somatisasi adalah sebelum usia 30
tahun dan berawal mula pada masa remaja. Sementara itu, pada gangguan konversi, rasio
perempuan dibanding laki-laki adalah 2 berbanding 1, dengan onset yang dapat terjadi kapan
pun, baik pada usia kanak-kanak hingga usia tua.
Hingga saat ini, belum banyak terdapat data bagi pasien dengan gangguan dismorfik
tubuh karena minimnya jumlah pasien yang mengunjungi psikiater dalam menangani
gangguan ini. Para pasien umumnya lebih cenderung mengunjungi dermatologis, internis,
ataupun ahli bedah plastik. Walaupun demikian, suatu penelitian menyatakan 90& pasien
dengan gangguan ini pernah mengalami satu episode depresi berat dalam hidupnya, 70%
mengalami gangguan cemas, dan 30% mengalami gangguan psikotik.
3.3. Etiologi
Etiologi dari gangguan somatoform melibatkan faktor-faktor psikososial berupa
konflik psikis di bawah sadar yang mempunyai tujuan tertentu. Faktor genetik juga dapat
ditemukan pada transmisi gangguan ini.
Pada faktor penyebab yang berhubungan dengan emosi dan kognitif, penyebab ganda
yang terlibat adalah sebagai berikut:
Salah interpretasi dari perubahan tubuh atau gejala fisik sebagai tanda dari
(gangguan konversi).
Menyalahkan kinerja buruk dari kesehatan yang menurun mungkin merupakan
suatu strategi self-handicaping (hipokondriasis).
3.4. Patofisiologi
Sebenarnya, patofisiologi dari gangguan somatoform masih belum diketahui dengan
jelas hingga saat ini. Namun, gangguan somatoform primer dapat diasosiasikan dengan
peningkatan rasa awas terhadap sensasi-sensasi tubuh yang normal. Peningkatan ini dapat
diikuti dengan bias kognitif dalam menginterpretasikan berbagai gejala fisik sebagai indikasi
penyakit medis. Pada penderita gangguan somatoform biasanya ditemukan juga gejala-gejala
otonom yang meningkat seperti takikardia dan hipermotilitas gaster. Peningkatan gejala
otonom tersebut adalah sebagai efek-efek fisiologis dari komponen-komponen noradrenergik
endogen. Sebagai tambahan, peningkatan gejala otonom dapat pula berujung pada rasa nyeri
akibat hiperaktivitas otot dan ketegangan otot seperti pada pasien dengan muscle tension
headache6.
3.5. Klasifikasi
Dalam membedakan keluhan-keluhan pasien, secara garis besar gangguan
somatoform diklasifikasikan menjadi lima subtipe sebagai berikut:
1) Gangguan somatisasi; ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak
sistem organ.
2) Gangguan konversi; ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis.
3) Hipokondriasis; ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada kepercayaan
pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu.
4) Gangguan dismorfik tubuh; ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang
berlebih-lebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat.
5) Gangguan nyeri; ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata berhubungan dengan
faktor psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis.
Selain itu, DSM IV juga memiliki dua kategori residual untuk diagnostik gangguan
somatoform, yaitu:
6) Undiferrentiated somatoform; gangguan somatoform yang tidak tidak termasuk
pada salah satu penggolongan diatas, yang ada selama enam bulan atau lebih.
7) Golongan somatoform yang tidak terperinci (NOS : not otherwise specified)
adalah kategori untuk gejala somatoform yang tidak memenuhi diagnosis gangguan
somatoform yang disebutkan salah satu diatas.
FaktorPsikososial
Secara psikososial, gejala-gejala pada gangguan somatisasi adalah bentuk
komunikasi
sosial
yang
bertujuan
menghindarkan
diri
dari
kewajiban,
Mual
Muntah
Sulit menelan
Sakit pada lengan dan tungkai
Nafas pendek (tidak disebabkan oleh olah raga)
Amnesia
Komplikasi kehamilan dan menstruasi
Retensi urin
Penglihatan kabur, dll.
Pada gangguan ini sering kali terdapat penderitaan psikologik dan masalah
interpersonal yang menonjol, seperti depresi atau cemas, yang memerlukan terapi khusus.
Ancaman akan bunuh diri sering dilakukan, namun bunuh diri aktual sangat jarang terjadi.
Pasien biasanya akan mengungkapkan keluhan dengan emosi yang berlebihan dan dramatis.
Pasien dengan gangguan somatisasi biasanya tampak mandiri, terpusat pada dirinya, haus
penghargaan dan pujian, serta manipulatif.
3.5.1.3. Pedoman Diagnostik
Berdasarkan DSM-IV-TR, diagnosis gangguan somatisasi terpenuhi apabila gejala
diawali sebelum usia 30 tahun.
memenuhi minimal 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala
pseudoneurologik, serta tidak satu pun yang dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan
laboratorium. Berikut kriteria gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR:
A. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama
periode beberapa tahun dan membutuhkan terapi, yang menyebabkan gangguan
bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
B. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual yang terjadi pada
sembarang waktu selama perjalanan gangguan:
1. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya
empat tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya kepala, perut, punggung,
sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan
seksual, atau selama miksi)
2. Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal
selain nyeri (misalnya mual, kembung, muntah selain dari selama kehamilan,
diare, atau intoleransi terhadap beberapa jenis makanan)
3. Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduktif
selain dari nyeri (misalnya indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi,
menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang
kehamilan).
4. Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu gejala atau defisit
yang mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri
9 bulan.
reguler yaitu sekali sebulan dan dilakukan secara singkat. Pada saat pertemuan, walaupun
akan selalu ada kemungkinan bagi dokter untuk melakukan pemeriksaan fisik terhadap
keluhan somatik baru pasien, dokter disarankan untuk mendengarkan keluhan somatik
sebagai ekspresi emosional dan bukan sebagai keluhan medis.
pemeriksa harus memiliki kemampuan untuk menilai antara keluhan yang harus ditanggapi
secara medis dengan keluhan yang tidak.
Pemeriksaan penunjang dan laboratorium sebaiknya dihindari pada pasien dengan
gangguan somatisasi. Psikoterapi individual dan psikoterapi kelompok adalah jenis terapi
yang
disarankan
agar
pasien
dapat
mengatasi
gejala-gejala
yang
dialaminya,
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rasio perempuan dibandingkan dengan lakilaki dapat bervariasi dari 2:1 hingga 10:1 pada gangguan konversi. Gangguan ini banyak
terjadi pada populasi pedesaan, individu dengan pendidikan rendah, kelompok sosioekonomi
rendah, dan anggota militer yang pernah terpapar dengan situasi peperangan. Gangguan ini
juga sering disertai dengan gangguan depresi, cemas, skizofrenia, dan frekuensi gangguannya
meningkat pada seseorang dengan anggota keluarga yang memiliki gangguan konversi juga.
3.5.2.1. Etiologi
Faktor Psikoanalitik
Menurut teori ini, gangguan konversi disebabkan oleh represi konflik-konflik
intrapsikik yang tidak disadari dan konversi dari kecemasan ke dalam gejala fisik.
Gejala-gejala pada gangguan konversi memiliki hubungan simbolik dengan konflik
yang tidak disadari oleh pasien. Berbagai gejala ini juga memberikan peluang bagi
pasien untuk menunjukkan bahwa mereka membutuhkan perhatian dan penanganan
yang khusus. Dengan begitu, gejala-gejala tersebut telah berfungsi sebagai
pemberitahuan secara nonverbal bahwa pasien memiliki control dan manipulasi
Gejala-gejala ini juga tidak jarang disertai dengan gejala depresi dan cemas,
dengan resiko tinggi pasien mengalami bunuh diri. Gangguan konversi umumnya berkaitan
dengan gangguan kepribadian pasif-agressif, dependen, antisocial, dan histrionik.
a. Gejala Sensorik
Contoh dari gejala ini adalah anastesi dan parestesi terutama bagian ekstrimitas.
Gejala-gejala ini tidak sesuai dengan penyakit saraf pusat maupun tepi. Gejala yang
melibatkan organ sensorik khusus dapat menimbulkan ketulian, kebutaan, dan tunnel
vision walaupun evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensorik yang intact ataupun
pupil yang bereaksi terhadap cahaya.
b. Gejala Motorik
Gejala ini terdiri dari gerakan abnormal, gangguan gaya berjalan (cth: astasia abasia),
kelemahan dan paralisis. Dapat juga ditemukan tremor ritmik kasar, gerak koreoform,
tik, dan menghentak-hentak yang memburuk bila pasien mendapat perhatian.
c. Gejala Bangkitan
Pseudo-seizures merupakan gejala yang dapat terlihat pada gangguan konversi.
Namun, hanya sekitar 1/3 pasien dengan gejala tersebut yang disertai dengan
gangguan epilepsy.
d. Gambaran klinis lainnya:
Keuntungan primer : pasien memperoleh keuntungan primer dengan
A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik volunter atau
sensorik yang mengarahkan pada kondisi neurologis atau kondisi medis lain.
B. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau defisit karena
awal atau eksaserbasi gejala atau defisit adalah didahului oleh konflik atau stresor
lain.
C. Gejala atau defisit tidak ditimbulkkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau berpura-pura).
D. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan, dijelaskan
sepenuhnya oleh kondisi medis umum, atau oleh efek langsung suatu zat, atau sebagai
perilaku atau pengalaman yang diterima secara kultural.
E. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain atau memerlukan
pemeriksaan medis.
F. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi
semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan tidak dapat diterangkan
dengan lebih baik oleh gangguan mental lain.
Sebutkan tipe gejala atau defisit:
Sementara menurut PPDGJ III, pedoman diagnostik pasti dari gangguan konversi
adalah sebagai berikut:
A. Ciri-ciri klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang tercantum pada
F44.
B. Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut.
C. Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan waktu yang jelas dengan
masalah dan peristiwa yang stressful atau hubungan interpersonal yang terganggu
(meskipun hal tersebut disangkal oleh pasien).
3.5.2.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Lebih dari 90% gejala awal pada pasien dengan gangguan konversi membaik dalam
waktu beberapa hari hingga hampir satu bulan.
mengalami gangguan ini lagi, namun 25% mengalami episode tambahan pada saat
mengalami tekanan. Semakin lama gejala gangguan konversi ini berjalan, maka semakin
buruk juga prognosisnya. Sebanyak 25-50% pasien akan mempunyai gangguan neurologis
ataupun kondisi non-psikiatrik lain yang akan mempengaruhi sistem persarafan di kemudian
harinya. Oleh karena itu, pasien dengan gangguan tersebut harus segera dievaluasi secara
neurologis pada saat diagnosis ditegakkan.
3.5.2.5. Terapi
Resolusi gejala gangguan konversi biasanya berlangsung spontan. Pasien dengan
gangguan ini dapat diberikan psikoterapi suportif berorientasi tilikan atau terapi perilaku.
Terapi hypnosis, anticemas, dan relaksasi sangat efektif dalam beberapa kasus. Pemberian
amobarbital atau lorazepam parenteral dapat membantu memperoleh riwayat penyakit,
terutama ketika pasien baru saja mengalami peristiwa yang traumatis.
Pendekatan psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi tilikan dapat menuntun pasien
menahami konflik intrapsikik dan symbol dari gejala-gejala yang dimilikinya. Semakin lama
pasien menghayati peran sakit, maka pasien semakin regresi, sehingga pengobatan akan
semakin sulit.
3.5.3. Hipokondriasis
Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang ter preokupasi dengan ketakutan
atau keyakinan menderita penyakit yang serius. Pasien memiliki interpretasi yang tidak
realistis ataupun akurat terhadap gejala atau sensasi fisik, meskipun tidak ditemukan
penyebab medis. Ketakutan dan keyakinannya menimbulkan penderitaan bagi dirinya sendiri
dan menganggu kemampuannya untuk berfungsi secara baik di bidan sosial, interpersonal
dan pekerjaan. Prevalensi pasien dengan hipokondriasis adalah 4-6% dari populasi pasien
medik umum. Gejala-gejala dapat timbul di usia berapapun, namun paling sering di antara
usia 20-30 tahun.
3.5.3.1. Etiologi
Pasien hipokondriasis memiliki skema kognitif yang salah yang menyebabkan mereka
salah menginterpretasikan sensasi fisik. Pasien menambah dan memperbesar sensasi somatik
yang dialaminya karena rasa tidak nyaman secara fisik dan memiliki ambang toleransi yang
rendah.
Selain itu, gejala-gejala hipokondriasis dapat dipandang sebagai permintaan untuk
mendapatkan peran sakit pada seseorang yang mengahadapi masalah berat yang tak dapat
diselesaikannya.
Teori lain juga memandang gangguan ini sebagai bentuk varian dari
gangguan mental lainnya seperti depresi dan cemas. Sedangkan menurut teori psikodinamik,
dorongan agresivitas dan permusuhan yang ditujukan kepada orang lain dipindahkan ke
dalam gangguan-gangguan somatik, seperti kemarahan, ketidakpuasan, atau penolakan dan
kehilangan di masa lalu. Hipokondriasis juga dipandang sebagai pertahanan terhadap rasa
bersalah, tanda dari kepedulian berlebihan terhadap diri sendiri, ataupun sebagai hukuman di
masa lalu dari perasaaan bahwa dirinya jahat serta berdosa.
3.5.3.2. Gambaran Klinis
Pasien dengan hipokondriasis yakin bahwa mereka menderita penyakit serius yang
belum dapat terdeteksi dan sangat sulit diyakinkan sebaliknya. Dengan berjalannya waktu,
keyakinannya pun akan beralih ke penyakit lain.
Meskipun DSM IV-TR menyatakan bahwa gangguan ini harus sudah berlangsung
selama 6 bulan, keadaan hipokondriakal sesaat dapat saja terjadi setelah sdanya tekanan yang
berat seperti kematian atau penyakit serius yang diderita oleh orang yang bermakna bagi
pasien. Keadaan ini harus didiagnosisi sebagai gangguan somatoform yang tak tergolongkan.
3.5.3.3. Pedoman Diagnostik
Berdasarkan DSM IV-TR kriteria hipokondriasis adalah sbb:
A. Preokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia menderita, suatu penyakit
serius didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejala-gejala tubuh.
B. Preokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat dan
penentraman.
terjadwal juga akan membuat pasien merasa tenang dan tahu bahwa dokternya tak
Farmakoterapi diberikan
yang
menetap
terhadap
adanya
deformitas
atau
perubahan
bentuk/penampakan.
B. Penolakan yang menetap dan tidak mau menerima nasihat atau dukungan penjelasan
dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang
melandasi keluhan-keluhannya.
3.5.4.4. Perjalanan Penyakit
Munculnya gejala dari gangguan ini biasanya bertahap.
Kepedulian penderita
gangguan tubuh dismorfik terhadap bagian tubuh tertentu akan semakin menjadi-jadi
sehingga berujung pada permintaan untuk operasi atau bantuan medis lainnya. Gangguan ini
bersifat kronik.
3.5.4.5. Terapi
Pada pasien dengan gangguan tubuh dismorfik, terapi dengan prosedur medic
pembedahan, dermatologis, kedokteran gigi, dan yang lainnya biasanya tidak berhasil
mengatasi keluhannya.
mengurangi gejala yang dikeluhkan minimal 50%. Bila terdapat gangguan mental lain yang
menyertai maka pemberian psikoterapi dan farmakoterapi yang adekuat sebaiknya diberikan.
Gangguan nyeri
merupakan keluhan tersering dalam praktek kedokteran, lebih banyak pada perempuan
dibandingkan dengan laki-laki.
3.5.5.1. Etiologi
1. Faktor psikodinamik
Pasien mungkin mengekspresikan konflik intrapsikik secara simbolik lewat tubuh.
Pasien lain secara tak sadar menganggap luka emosional sebagai suatu kelemahan dan
tak diperbolehkan secara sosial sehingga memindahkan masalah pada tubuhnya.
Nyeri dapat berfungsi sebagai cara untuk memperoleh cinta, hukuman terhadap
kesalahan, dan menebus rasa bersalah atau perasaan bahwa dirinya jahat.
2. Faktor perilaku
Perilaku nyeri diperkuat apabila dihargai dan dihambat apabila diabaikan atau diberi
hukuman.
3. Faktor Interpersonal
Nyeri yang sulit diobati telah diketahui sebagai sarana untuk memanipulasi dan
memperoleh keuntungan dalam hubungan interpersonal, misalnya untuk memastikan
kesetiaan anggota keluarga, dsb.
4. Faktor biologis
Defisiensi endorphin berhubungan dengan peningkatan stimulus sensorik yang
datang.
A. Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis merupakan pusat gambaran klinis dan
cukup parah untuk memerlukan perhatian klinis.
B. Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
C. Factor psikologis dianggap memiliki peranan penting dalam onset, kemarahan,
eksaserbasi atau bertahannya nyeri.
D. Gejala atau deficit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau berpura-pura).
E. Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau
gangguan psikotik dan tidak memenuhi criteria dipareunia.
Berdasarkan PPDGJ III, kriteria diagnosisnya adalah sebagai berikut:
A. Keluhan utama adalah nyeri berat menyiksa dan menetap, yang tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun gangguan fisik.
B. Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau masalah
psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadika alasan dalam mempengaruhi adanya
gangguan tersebut.
C. Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan baik personal maupun
medis untuk yang bersangkutan2.
3.5.5.4. Perjalanan Penyakit
Nyeri umumnya muncul secara tiba-tiba dengan derajat keparahan meningkat dalam
hitungan minggu atau bulan. Prognosis bervariasi, akan tetapi biasanya akan menjadi
gangguan kronik dan menimbulkan penderitaaan dan ketidak-berdayaan yang parah.
3.5.5.5. Terapi
Rehabilitasi harus disertakan ke dalam terapi pasien dengan gangguan ini.
Farmakoterapi yang digunakan antara lain SSRI, antidepresan trisiklik, dan amfetamin.
Sedangkan psikoterapi yang dipilih adalah terapi kognitif untuk mengubah pikiran negative
dan mengembangkan sikap positif.
kuat, keluhan yang diutarakan tidak terlalu banyak, atau tidak ada gangguan pada fungsi
sosial dan keluarga. Pada diagnosa ini, belum dapat diketahui pasti ada tidaknya faktor
psikologis yang mendasari, namun tidak boleh ditemukan adanya faktor fisik yang mendasari
keluhan-keluhan pasien.
Pedoman diagnosis untuk gangguan somatoform yang tidak terperinci adalah sebagai
berikut:
A. Pseudokiesis : keyakinan palsu sedang hamil, yang disertai dengan tanda objektif
kehamilan, yang dapat berupa pembesaran perut (walaupun umbilicus tidak menjadi
menonjol), penurunan aliran menstruasi, amenorea, sensasi subjektif gerakan janin,
dan nyeri persalinan pada tanggal yang diperkirakan terjadinya persalinan.
Perubahan endokrin mungkin ditemukan tetapi sindroma tidak dapat dijelaskan oleh
suatu kondisi medis umum yang menyebabkan perubahan endokrin (misalnya, tumor
yang mensekresikan hormone).
B. Suatu gangguan yang melibatkan gejala hipokondriasis non psikiatrik dengan lama
kurang dari 6 bulan
C. Suatu gangguan yang melibatkan keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan
(misalnya. Kelelahan atau kelemahan tubuh) dengan lama kurang dari 6 bulan yang
tidak karena gangguan mental lain
GANGGUAN PANIK
PENDAHULUAN
4.1
Definisi
Di antara beberapa gangguan cemas yang dikenal, gangguan panik merupakan
gangguan yang lebih sering dijumpai akhir-akhir ini. Peneilitian di negara-negara barat
bahwa kurang lebih 1.7% dari populasi orang dewasa. Angka kejadian sepanjang hidup
gangguan panik sebanyak 3-5.6%.
Gangguan panik terjadi paling banyak pada perempuan dengan perbadningan 2 per 3
dari laki-laki. Pada umunya terjadi pada usia dewasa muda sekitar 25 tahun. Tetapi bisa
terjadi pada usia berapapun termasuk anak-anak dan remaja.
4.2
Etiologi
Faktor Biologik
Beberapa peneliti menemukan bahwa gangguan panik berhubungan dengan
abnormalitas struktur dan fungsi otak. Dari penelitian tersebut diperoleh data bahwa pada
otak pasien dengan gangguan panik beberapa neurotransmitter mengalami gangguan fungsi,
yaitu serotonin, GABA (Gamma Amino Butiric Acid), dsan norepinefrin. Hal ini didukung
fakta bahwa SSRI Serotonin Reuptake Inhibitors efektif pada terapi pasien-pasien dengan
gangguan cemas termasuk gangguan panik.
Berdasarkan hipotesis patofisiologi, terjadi disregulasi baik pada sistem perifer
maupun sistem saraf pusat. Pada beberapa kasus ditemukan peningkatan tonus
simpatomimetik dalam sistem otonom. Penelitian pada status neuroendokrin juga ditemukan
abnormalitas.
Serangan panik merupakan respon terhadap rasa takut yang terkondisi yang
ditampilkan oleh fear network yang terlalu sensitif, yaitu amigdala, korteks prefrontal dan
hipokampus yang berperan pada serangan panik.
Faktor Genetik
Pada keturunan pertama penderita gangguan panik dengan agoraphobia mempunyai
resiko 4 sampai 8 kali mendapat serangan yang sama.
Faktor Psikososial
Analisis penelitian mendapatkan bahwa terdapat pola ansietas akan sosialisasi maka
kanak, hubungan dengan orang tua tidak mendukung serta perasaan terperangkap. Pada
kebanyakan pasien, rasa marah dan agresifitas sulit dikendalikan. Pada kebanyakan pasien
dengan gangguan panik, terdapat kesulitan mengendalikan rasa marah dan fantasi-fantasi
nirsadar yang terkait. Misalnya, pasien mempunyai harapan dapat melakukan balas dendam
terhadap orang tertentu. Harapan ini merupaka suatu ancaman terhadap figur yang melekat.
Menurut teori kelekatan, pasien-pasien dengan gangguan panik memiliki gaya kelekatan yang
bermasalah, antara lain dalam bentuk preokupasi terhadap kelekatannya itu.
4.3
Patofisiologi
Gangguan ini dimulai pada akhir masa remaja, awal masa dewasa atau usia
pertengahan. Pada umumnya tidak ditemuka stressor saat awitan, walaupun sering pula
dihubungkan dengan adanya stressor psikososial. Gangguan panik biasanya berlangsung
kronik, sangat bervariasi pada setiap pasien. Dalam jangka panjang, 30-40% pasien tidak lagi
mengalami serangan panik, 50% mengalami gejala ringan dan tidak memengaruhi
kehidupannya. Sisanya masih mengalami gejala yang bermakna.
Pada saat serangan pertama atau kedua pasien sering mengabaikannta dan baru
menyadari setelah frekuensi dan intensitas bertambah. Hal ini juga dapat dipicu dari
mengonsumsi kafein berlebihan.
Depresi sering menyertai, yaiut pada 40-8-% kasus, walaupun jarang terungkap ide
bunuh diri, namun resiko tersebut meningkat, 20-40% diantara pasien juga mengonsumsi
alkohol atau zat lainnya. Sering terjadi perubahan perilaku, interaksi dalam keluarga dan hasil
akademis dan pekerjaan mungkin dapat memburuk. Agoraphobia yang terjadi pada gangguan
panik akan reda bila gangguan paniknya mendapat terapi.
4.4
Gangguan panik terutama ditandai dengan serangan panik secara berulang, terjadi
secara spontam dam tidak terduga, disertai gejala otonomik yang kuat, terutama sistem
kardiovaskular dan respiratori. Serangan terjadi selama 10 menit, gejala meningkat secara
cepat. Kondisi cemas pada gangguan panik biasanya terjadi secara tiba-tiba dan dapat
,eningkat hingga sangat tinggi dan disertai dengan gangguan jantung, yaitu rasa nyeri di dada,
berdebar-debar, keringat dingin dan terasa seperti tercekik. Kondisi ini membuat pasien
merasa khawatir bahwa dirinya akan mengalami kembali haltersebut (anticipatory anxiety)
sehingga pasien akan mencari pertolongan ke rumah sakit terdekat.
Pada pemeriksaan status mental saat serangan terjadi ruminasi, kesulitan bicara
seperti gagap dan gangguan memori. Depresi, depersonalisasi dan derealisasi dapat dialami
saat serangan panik. Fokus perhatian pasien adalah takut mati karena masalah jantung atau
pernapasan, sering pasien merasa seperti akan menjadi gila.
Agorafobia yang dialami oleh pasien dengan gangguan panik menyebabkan oenderita
menolak untuk meninggalkan rumah ketempat yag sulit mendapatkan pertolongan. Gejala
penyerta lainnya adalah depresi, obsesif kompulsif, dan pemeriksa harus waspada dengan
tendensi bunuh diri.
4.5
sekunder dari gangguan depresi, terutama pada laki-laki. Bila pada saat yang sama kriteria
depresi dipenuhi maka gangguan panik bukan merupakan diagnosis utama
4.5
Penatalaksanaan
Farmakoterapi
- SSRI
:
Sertralin,
fluoxetin,
Psikoterapi
- Terapi relaksasi
Dapat meredakan
secara
relatif
bagi
Prinsipnya
akhirnya
dihentikan
jadi
berlatih
setiap
adalah
hari.
melatih
yang
hanya
otot pernapasan.
Terapi kognitif perilaku
Individu
diajak
restrukturisasi
melakukan
kognitif
yaitu
mengecewakan.
Psikoterapi dinamik
Individu diajak untuk memahami
diri
dan
kepribadiannya,
bukan
4.6
Prognosis
Penderita dengan fungsi premorbid baik serta durasi serangan singkat bertendensi
FOBIA
PENDAHULUAN
5.1
Definisi
Fobia adalah suatu ketakutan irasional yang jelas, menetap dan berlebihan terhadap
suatu objek spesifik, keadaan atau situasi. Dibedakan dalam tiga jenis, agorafobia, fobia
spesifik, fobia sosial
5.2
Agorafobia
Adalah ketakutan terhadap ruang terbuka, orang banyak serta adanya kesulitan untuk
Etiologi
Faktor Biologis
Penggunaan antagonis reseptor b-adrenergik seperti propanolol misal
berbicara ditempat umum mungkin akan melepaskan banyak norepinefrin dan
epinefrin baik secara sentral atau perifer.
Faktor Genetik
Beberapa penelitian menemukan adanya peningkatan resiko gangguan panik
empat hingga delapan kali lipat pada sanak keluarga derajat pertama. Fobia spesifik
cenderung terdapat salam satu keluarga, terutama tipe darah-injeksi-luka. Ada
penelitian malaporkan bahwa duapertiga hingga tigaperempat pasien mempunyai
sekurangnya satu sanak keluarga derajat pertama dengan fobia spesifik dari tipe yang
sama.
Pada fobia sosial, sanak keluarga derajat pertama pasien adalah kira-kira tiga
kali lebih mungkin mederita fobia sosial dibandingkan sanak saudara derajat pertama
tanpa gangguan mental.
Faktor Psikososial
Penelitian menyimpulkan bahwa anak-anak tertentu yang ada predisposisi
kobnstitusional terhadap fobia, memiliki tempramen inhibisi perilaku terhadap yang
tidak dikenal (behavioral inhibition to the unfamiliar) dengan stress lingkungan yang
kronis akan mencetuskan timbulnya fobia.
5.2.2
Kriteria Diagnostik
Menurut DSM IV-TR
A. Kecemasan berada di dalam suatu tempat atau situasi darinya
kemungkinan meloloskan diri adalah sulit (atau merasa malu) atau dimana
mungkin tidak terdapat pertolongan jika mendapat serangan panik atau
gejala mirip panik yang tidak diharapkan secara situasional. Ketakutan
agorafobia biasanya mengenai kelompok karakteristik situasi seperti diluar
rumah sendirian; berada di tempat ramai atau berdiri sendiri di sebuah
barisan, berada di atas jembatan atau berpergian dengan bis, kereta atau
mobil.
B. Situasi dihindari (misalnya jarang berpergian) atau jika dilakukan dengan
penderitaan yang jelas atau dengan kecemasan mendapat serangan panik
atau gejala mirip panik atau perlu didampingi teman
C. Kecemasan atau penghindaran fobik tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain seperti fobia sosial (misalnya penghindaran terbatas
pada situasi sosial karena takut dipermalukan), fobia spesifik (misalnya
penghindaran situasi seperti lift), gangguan obsesif kompulsif (misalnya
menghindari kotoran pada seseorang dengan obsesi tentang kontaminasi),
gangguan stress pasca trauma (misalnya menghindari stimuli ynga
berhubungan dengan stresor berat) atau gangguan cemas perpisahan
(misalnya menghindari meninggalkan rumah atau sanak saudara).
5.3
Fobia Spesifik
A. Ketakutan yang jelas menetap yang berlebihan atau tanpa alasan, ditujukan
dengan keberadaan atau antisipasi objek yang spesifik atau situasi tertentu
(misalnya naik pesawat terbang, medapat injeksi, melihat darah).
B. Paparan terhadap stimulus fobik hampir selalu memprovokasi respons
kecemasan yang segera dalam bentuk serangan panik situasional atau
dipredisposisikan dengan situasi. Catatan: pada anak-anak, kecemasan
dapat diekspresikan dengan menangis, tantrum, membeku atau melekat
erat.
Tipe hewan
masa kanak-kanak.
Tipe lingkungan : ketinggian, badai, air
Tipe darah-injeksi-luka
Tipe situasional : transportasi ummum, jembatan, elevator, pesawat
5.4
Fobia Sosial
A. Ketakutan irasional yang jelas mentap terhadap satu atau lebih situasi
sosial atau tampil didepan orang-orang yang belum dikenal atau dengan
kemungkinan dinilai oleh orang lain yang tak dikenal. Individu merasa
takut bahwa ia akan bertindak dengan cara yang akan memalukan atau
merendahkan.
B. Pemaparan dengan situasi sosial yang ditakuti hampir selalu mencetuskan
kecemasan, yang dapat berupa serangan panik yang berkaitan dengan
situasi atau dipredisposisikan oleh situasi.
C. Orang menyadari bahwa ketakutan adalah berlebihan atau tanpa alasan
D. Situasi sosial atau taukt tampil didepan umum yang ditakuti dihindari atau
dihadapi dengan distres yang berat.
Penatalaksanaan.
A. Terapi psikologik.
a. Terapi perilaku, seperti desensitasi sistematik yang sering dilakukan;
terapi pemaparan, imaginal exposure, participent remodelling,
guided
Definisi
Obsesi adalah aktivitas mental seperti pikiran, perasaan, idea, impuls yang
berulang dan intrusif. Kompulsif adalah pola perilaku tertentu yang berulang dan
disadari seperti menghitung, memeriksa dan menghindar.
Gangguan obsesif kompulsif digambarkan sebagai pikiran dan tindakan yang
berulang dan menghabiskan waktu atau menyebabkan distress dan hendaya yang
bermakna.
Prevalensi gangguan obsesif-kompulsif sebesar 2-2.4% sebagian besar dialami
oleh remaja atau dewasa muda (18-24tahun) dengan perbandingan laki-laki dan
perempuan sama.
6.2
Etiologi
Penyebab obsesif kompulsif memiliki sifat multifaktorial, yaitu interaksi
antara faktor biologik, genetik dan psikososial.
6.3
Manifestasi Klinis
Pada umumnya obsesif kompulsif memiliki gambaran tertentu seperti ini :
1. Adanya ide atau impuls yang terus menerus menekan kedalam
kesadaran individu.
2. Perasaan cemas atau takut akan ide atau impuls yang aneh
3. Obsesi dan kompulsi yang egoalien.
4. Pasien mengenali obsesi dan kompulsi merupakan sesuatu yang
abstrak dan irrasional.
5. Individu yang menderita obsesi kompulsi merasa adanya keinginan
kuat untuk melawan.
1. Kontaminasi
Pola yang paling sering adalah onsesi tentang kontaminasi, yang
dikuti oleh perilaku mencuci dan membersihkan atau menghindari
objek yang dicurigai terkontaminasi.
2. Sikap ragu-ragu yang patologik.
Pola kedua yang sering terjadi adalah obsesi tentang ragu-ragu
yang diikuti dengan perilaku kompulsi mengecek / memeriksa.
Tema obsesi tentang situasi berbahaya atau kekerasan (seperti lupa
mematikan kompor atau tidak mengunci rumah)
3. Pikiran yang intrusif
Pola yang jarang adalah pikiran intrusif yang tidak didahului
dengan kompulsi, biasanya pikiran berulang-ulang seksual atau
tindakan dan agresif.
4. Simetri
Obsesi yang temanya kebutuhan untuk simetri, ketepatan sehingga
bertindak lamban, misalnya makan bisa memerlukan waktu
berjam-jam atau mencukur kumis atau janggut.
Pola yang lain
obsesi
trichotilomania,
6.5
bertemakan
keagamaan,
Diagnosis Banding
- Kondisi medik tertentu
- Gangguan Tourette
6.7
Perjalanan Penyakit
Lebih dari 50% pasien dengan gangguan obsesif kompulsif gejala awalnya
muncul mendadak. Permulaan gangguan terjadi setelah adanya peristiwa yang
menimbulkan stress, misalnya kehamilan, masalah seksual, kematian keluarga.
Seringkali pasien merahasiakan gejala sehingga terlambat datang berobat. Perjalanan
penyakit bervariasi, sering berlangsung panjang, beberapa pasien mengalami
perjalanan penyakit yang berfluktuasi sementara sebagian lain menetap atau terus
menerus ada.
Tata Laksana
Mengingat faktor utama penyebab obsesif kompulsif adalah faktor biologik,
maka pengobatan yang disarankan adalah pemberian farmakoterapi dan terapi
perilaku.
7.1
Definisi
Terjadinya gangguan stress pasca trauma didahului oleh adanya suatu stressor berat
yang melampaui kapasitas hidup seseorang, serta menimbulkan penderitaan bagi setiap
orang. Kondisi psikologis seseorang sebelum mengalami peristiwa traumatik tersebut akan
berdampak terhadap respons yang ditimbulkan sebagai akibat peristiwa tersebut.
7.2
Etiologi
Beberapa faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami gangguan stress
pasca trauma adalah :
1. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang bersangkutaan
2.
3.
4.
5.
maupun keluarganya.
Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual.
Kecendrungan untuk mudah menjadi khawatir.
Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial.
Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya problem
menyesuaikan diri.
6. Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna.
7. Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya baik
tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh suatu kondisi atau
peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya.
Tipe kejadian yang cendrung akan meningkatkan angka kejadian gangguan stress pasca
trauma dapat dikategorikan menjadi ;
1. Mereka yang mengalami tindakan kekerasan interpersonal
2. Mereka yang mengalami kecelakaan atau bencana alam yang mengancan nyawa, baik
berupa kejadian yang alamiah atau kejadian yang dibuat oleh manusia
3. Trauma berulang dan bersifat kronik
Berdasarkan DSM IV ada beberapa jenis kejadian yang potensial mungkin akan
meningkatkan gaangguan stress pasca traauma, yaitu ;
1. Kekerasan personaal (kekerasan seksual, penyerangan fisik dan perampokan)
2. Penculikan
3. Penyanderaan
4. Serangan mkiliter
5. Serangan teroris
6. Penyiksaan
7. Ditahan dalam penjara sebagai tahanan politik atau tahanan perang
8. Bencana alam baik yang alamiah maupun yang dibuat oleh manusia
9. Kecelakaan mobil yang berat
10. Didiagnosis mengalami penyakit berat yang mengancam kehidupan
Pada umumnya individu yang mempunyai karakter extrovert atau lebih berpikir
positif lebih jarang mengalami masalah psikologis seperti ini. Karakteristik dari
peristiwa traumtik yang dialami juga akan mempengaruhi jenis reaksi psikologis yang
bakan terjadi, seperti :
1. Durasi dan intensitas dari stressor yang dialami
2. Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap kehidupan seseorang
3. Berat ringannya kehilangan yang dialami (baik material maupun personal)
oleh beberapa neuropeptida otak pada waktu orang berhadapan dengan peristiwa
traumatik. Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico-Releasing Factor (CFR) dan
beberapa neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang
dan mensekresi pengeluaran
yang akhirnya
Hal-hal yangf berkaitan dengan aspek psikodinamik dari gangguan stres pasca trauma
adalah :
1. Arti subjektif dari stresor yang dialami mungkin menentukan dampak dari
peristiwa traumatik yang dialami oleh seseorang.
2. Kejadian traumatik yang dialami mungkin mereaktivasi konflik-konflik
psikologis akibat peristiwa traumatik di masa kanak.
3. Peristiwa traumatik akan membuat seseorang gagal untuk meregulasi sistem
afeksinya.
4. Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan timbul dalam bentuk
somatisasi atau aleksitimia.
5. Beberapa sistem defensi yang sering digunakan pada individu dengan
gangguan stress pasca trauma adalah penyangkalan, splitting, projeksi,
disosiasi dan rasa bersalah.
6. Model relasi objek yang digunakan adalah projeksi dan introjeksi dari
berbagai peran seperti penyelamat yang omnipoten atau korban yang
omnipoten.
Gambaran klinis dan diagnosis
Gangguan ini selalu merupakan konsekuensi langsung dari suatu stress akut
yang berat atau trauma berkelanjutan. Stres yang terjadi ataau keadaan yang tidak
nyaman tersebut merupakan faktor pemicu utama, dan tanpa hal tersebut gangguan ini
akan terjadi.
Gambaran klinis dari gangguan stress pasca trauma seringkali berupa adanya
ingatan-ingatan kembali akan peristiwa-peristiwa traumatik yang pernah dialami serta
mendesak untuk timbul ke alam sadar dan disertai adanya mimpi-mimpi buruk.
Individu juga dengan sengaja tampak menghindari berbagai situasi atau kondisi yang
akan mengingatkannya akan peristiwa traumatik tersebut.
Umumnya individu dengan gangguan stress pasca trauma datang ke dokter
tidak dengan gejala-gejala tersebut , mereka umumnya datang dengan gejala depresi ,
ide-ide bunuh diri, penarikan diri dari lingkungan sosialnya, kesulitan tidur,
penyalahgunaan alkohol/zat adiktif lainnya, serta berbagai keluhan fisik lainnya
(misalnya nyeri kronik, irritable bowel syndrome). Penelitian mendapatkan bahwa
individu dengan gangguan stress pasca trauma 3 kali lebih banyak mengunjungi
praktek dokter umum atau pusat pelayanan kesehatan primer jika dibandingkan
dengan kunjungan ke professional kesehatan mental lainnya.
Kriteria diagnosis dari Gangguan Stress Pasca Trauma berdasarkan DSM IV
adalah sebagai berikut :
1. Individu peranah terpapar dengan peristiwatraumatik berupa ;
a. Individu mengalami, menjadi saksi mata atau berhadapan langsung dengan
suatu kejadian atau beberapa kejaadian yang mengerikan atau ancaman
terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain.
b. Respons individu yang terlibat dalam peristiwa yang sangat mengerikan,
keputusasaan atau ketakutan yang luar biasa. Pada anak, kondisi ini
mungkin ditunjukkan oleh adanya perilaku yang disorganisasi atau agitasi.
2. Pengalaman peristiwa traumatik selalu timbul berulang dalam salah satu
bentuk di bawah ini ;
a. Adanya bayangan, pikiran atau persepsi yang berkaitan dengan peristiwa
traumatik yang timbul secara berulang dan menyebabkan penderitaan bagi
individu yang bersangkutan. Bagi anak, kondisi ini diekspresikan melalui
pola mainan yang bertemakan peristiwa traumatik yang dialaminya.
b. Adanya mimpi-mimpi buruk berulang yang menimbulkan penderitaan bagi
individu. Pada anak, kondisi ini sering kali berupa timbulnya mimpi buruk
tanpa dapat dikenali isi dari mimpi-mimpinya itu.
c. Berprilaku atau berperasaan seolah-olah peristiwa traumatik yang dialami
itu terjadi kembali (termasuk ilusi, halusinasi dan episode disosiatif yang
bersifat flashback)
d. Adanya distress psikologis jika berhadapan dengan hal-hal atau simbolsimbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian
atau seluruhnya secaara internal maupun eksternal.
e. Adanya reaksi fisiologis jika berhadapan dengan hal-hal atau simbolsimbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatikbaik sebagian atau
seluruhnya secara internal maaupun eksternal.
3. Adanya perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus-stimulus yang
berkaitan dengan peristyiwqa traumatik yang dialami dan disertai dengan
respons emosi yang membeku secara keseluruhan (tidak dijumpai sebelum
trauma terjadi), yang ditunjukkan oleh 3 atau lebih gejala di bawah ini ;
a. Adanya usaha untuk menghindari pikiran-pikiran, perasaan, atau
pembicaraan yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialaminya
b. Adanya usaha untuk menghindari aktivitas, tempat-tempat atau orangorang yang bangkitkan ingatan-ingatan tentang peristiwa traumatik yang
dialaminya.
c. Kesulitan untuk mengingat kembali aspek-aspek penting yang berkaitan
dengan peristiwa traumatik yang dialaminya.
d. Penurunan yang jelas akan keterkaitan atau pastisipasi dalam aktivitasaktivitas.
e. Merasa asing atau merasa terpiasah dari lingkungan atau orang-orang
disekitarnya.
f. Adanya ekaspersi afektif yang terbatas, misalnya tidak mampu lagi
merasakan perasaan dicintai.
g. Kehilangan motivasi untuk membina masa depannya, misalnya tidak
mempunyai
keinginan
lagi
untuk mengembangkan
karier, hidup
Tatalaksana
Tatalaksana gangguan stress pasca trauma diharapkan dalam bentuk yang
komprehensif, meliputi :
-
Pemberian medikasi
Anti depresan golongan SSRI Fluoxetin 10-60mg/hari, Sertralin 50-200mg/hari,
atau Fluvoxamine 50-300mg/hari.
Psikoterapi :
Psikoterapi yang diberikan umumnya, seperti psikoterapi kognitif-perilaku,
mengontrol pikiran-pikiran.
modifikasi pola hidup, seperti diet yang sehat mengarut konsumsi kafein, alkohol,
rokok dan obat-obatan lainnya.