Anda di halaman 1dari 49

Referat

Gangguan Cemas

PEMBIMBING
dr. Esther Sinswu, Sp.KJ

Penyusun
Karlina Lestari
1102010142

CEMAS
PENDAHULUAN

1.1

Definisi
Cemas merupakan suatu sikap alamiah yang dialami oleh setiap manusia sebagai
bentuk respon dalam menghadapi ancaman. Namun ketika perasaan cemas tersebut
menjadi berkepanjangan atau maladaptif,maka perasaan itu berubah menjadi gangguan
cemas atau anxiety disorder.
Gangguan cemas merupakan salah satu gangguan jiwa yang sering terjadi. Pada tahun
1991 di Amerika Serikat dilaporkan gangguan cemas pada orang dewasa adalah 2.9% dari
seluruh populasi, sedangkan di Indonesia diperkirakan 6-7%. Wanita lebih sering
mengalami gangguan cemas dibandingkan laki-laki dengan prevalensi umur 16-40 tahun.

1.2

Etiologi
Berdasarkan etiologi, gangguan cemas dapat disebabkan oleh faktor genetik,
gangguan neurobiokimiawi, aspek kepribadian dan aspek fisik. Menurut DSM-IV
terdapat tujuh macam gangguan cemas yaitu, gangguan panik dengan atau tanpa
agoraphobia, agoaphobia dengan atau tanpa gangguan panik, fobia spesifik, fobia sosial,
gangguan obsesif kompulsif, gangguan stress pasca trauma dan gangguan cemas
menyeluruh. Keluhan yang dirasakan penderita juga bermacam-macam, seperti rasa
khawatir, gelisah, sulit tidur, takut mati, sulit membuat keputusan dan sebagainya.

GANGGUAN CEMAS MENYELURUH

2.1

PENDAHULUAN

Gangguan cemas merupakan gangguan yang sering dijumpai pada klinik psikiatri.
Kondisi ini terjadi sebagai akibat interaksi faktor-faktor biopsikososial, termasuk kerentanan
genetik yang berinteraksi dengan kondisi tertentu, stress dan trauma yang menimbulkan
sindroma klinis yang bermakna.
Angka prevalensi untuk gangguan cemas menyeluruh 3 8 % dan rasio antara
perempuan dan laki-laki sekitar 2 : 1. Pasien dengan gangguan cemas menyeluruh sering
memiliki komorbiditas dengan gangguan mental lainnya seperti gangguan panik. Gangguan
obsesif kompulsif, gangguan stress pasca trauma dan gangguan depresi berat.
Gangguan cemas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder, GAD) merupakan
kondisi gangguan yang ditandai dengan kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan dan
tidak rasional bahkan terkadang tidak realistik terhadap berbagai peristiwa kehidupan seharihari.
Kondisi yang dialami hampir sepanjang hari, berlangsung sekurang-kurangnya selama
6 bulan. Kecemasan yang dirasakan sulit untuk dikendalikan dan berhubungan dengan gejala
somatik seperti ketegangan otot, iritabilitas, kesulitan tidur, dan kegelisahan sehingga
menyebabkan penderitaan yang jelas dan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial dan
pekerjaan.
2.2

ETIOLOGI

Teori Biologi
Area otak yang diduga terlibat timbulnya GAD adalah lobus oksipitalis yang
mempunyai reseptor benzodiazepine tertinggi di otak. Basal ganglia, sistem limbik
dan korteks frontal juga di hipotesiskan terlibat pada etiologi timbulnya GAD. Pada
pasien GAD juga ditemukan sistem serotonergik yang abnormal. Neurotransmitter
yang berkaitan dengan GAD adalah GABA, serotonin, norepinefrin, glutamat dan
kolesistokinin.

Pemeriksaan PET (Positron Emission Tomography) pada pasien GAD


ditemukan penurunan metabolisme di ganglia basal dan massa putih otak.
Teori Genetik
Pada sebuah studi didapatkan bahwa hubungan genetik pasien GAD dan
gangguan Depresi Mayor pada pasien wanita. Sekitar 25% dari keluarga tingkat
pertama GAD juga menderita gangguan yang sama. Sedangkan pada penelitian pada
pasangan kembar didapatkan angka 50% pada kembar monozigotik dan 25% pada
kembar dizigotik.
Teori Psikoanalitik
Teori psikoanalitik menghipotesiskan bahwa amxietas adalah gejala dari
konflik bawah sadar yang tidak terselesaikan. Pada tingkat yang paling primitif
anxietas dihubungkan dengan perpisahan dengan objek cinta. Pada tingkat yang lebih
matang lagi anxietas dihubungkan dengan kehilangan cinta dari objek yang penting.
Anxietas kastrasi berhubungan dengan fase oetipal sedangkan anxietas superego
merupakan ketakutan seseorang untuk mengecewakan nilai dan pandagannya sendiri.
Teori Kognitif-perilaku
Penderita GAD berespons secara salah dan tidak tepat terhadap ancaman,
disebabkan oleh perhatian selektif terhadap hal-hal negatif pada lingkungan, adanya
distorsi pada pemrosesan informasi dan pandangan yang sangat negatif terhadap
kemampuan diri sendiri untuk menghadapi ancaman.
2.4

DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis gangguan cemas menyeluruh menurut DSM IV-TR
A. Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan yang timbul hampir
setiap hari, sepanjang hari, terjadi sekurangnya 6 bulan, tentang sejumlah
aktivitas atau kejadian (seperti pekerjaan atau aktivitas sekolah)
B. Penderita merasa sulit mengendalikan kekhawatirannya.
C. Kecemasan dan kekhawatiran disertai 3 atau lebih dari 6 gejala berikut
ini (dengan sekurangnya beberapa gejala lebih banyak terjadi
dibandingkan tidak terjadi selama 6 bulan terakhir)
1. Kegelisahan
2. Merasa mudah lelah
3. Sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong

4. Iritabilitas
5. Ketegangan otot
6. Gangguan tidur ( sulit tertidur, atau tetap tertidur, atau tidur gelisah
dan tidak memuaskan)
Catatan : hanya satu nomor diperlukan pada anak.
D. Fokus kecemasan dan kekhawatiran tidak terbatas pada gangguan aksis I
misalnya, kecemasan atau ketakutan adalah bukan tentang menderita
suatu serangan panik (seperti pada gangguan panik), merasa malu pada
situasi umum (fobia sosial), terkontaminasi (seperti pada gangguan
obsesif-kompulsif), merasa jauh dari rumah atau sanak saudara (seperti
cemas perpisahan), penambahan berat badan (seperti pada anorexia
nervosa), atau menderita keluhan fisik berganda (seperti pada gangguan
somatisasi), atau menderita penyakit serius (seperti pada gangguan
hipokondriasis), serta kecemasan dan kekhawatiran tidak terjadi sematamata selama gangguan stress pasca trauma.
E. Kecemasan dan kekhawatiran atau gejala fisik menyebabkan penderitaan
bermakna secara klinis atau gangguan fungsi sosial, pekerjaan atau
fungsi penting lain.
F. Gangguan yang terjadi bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu
zat (misalnya penyalahgunaan zat, medikasi) atau kondisi medis umum
(misal, hipotiroidisme), dan tidak terjadi semata-mata selama suatu
ganguan mood, gangguan psikotik, atau gangguan perkembangan
pervasif.
2.3

GAMBARAN KLINIS
Gejala utama GAD adalah anxietas, ketegangan motorik, hiperaktivitas

autonom, dan kewaspadaan secara kognitif. Kecemasan bersifat berlebihan dan


mempengaruhi berbagai aspek kehidupan pasien. Ketegangan motorik bermanifestasi
sebagai bergetar, berkeringat, palpitasi, dan disertai gejala saluran pencernaan.
Terdapat juga kewaspadaan kognitif berupa iritabilitas.
Pasien GAD biasanya datang ke dokter umum karena keluhan somatik, ataud
atang ke spesialis karena gejala spesifik seperti diare kronik. Pasien biasanya mencari
perhatian (seeking behavior). Berapa pasien menerima diagnosis GAD dan terapi

yang adekuat, beberapa lainnya meminta konsultasi medik tambahan untuk masalahmasalah mereka.
2.5

DIAGNOSIS BANDING
Gangguan cemas menyeluruh perlu dibedakan dari kecemasan akibat kondisi

medis umum ataupun gangguan yang berhubungan dengan penggunaan zat.


Diperlukan pemeriksaan medis termasuk tes kimia darah, elektrokardiografi, dan tes
fungsi tiroid. Klinis harus menyingkirkan adanya intoksikasi kafein, penyalahgunaan
stimulansia, kondisi putuh zat atau obat seperti alkohol, hipnotik-sedatif dan
anxiolitik.
Gangguan psikiatrik lain yang merupakan diagnosis banding GAD adalah
gangguan panik, fobia, gangguan somatisasi, gangguan penyesuaian dengan
kecemasan, dan gangguan kepribadian. Membedakan GAD dengan gangguan depresi
dan distimik tidak mudah, dan gangguan-gangguan ini seringkali terdapat bersamasama GAD.
2.6

PROGNOSIS
Gangguan cemas menyeluruh merupakan suatu keadaan kronis yang mungkin

berlangsung seumur hidup. Sebanyak 25% penderita akhirnya mengalami gangguan


panik, juga dapat mengalami gangguan depresi mayor.
2.7

TERAPI
Farmakoterapi
Psikoterapi
Benzodiazepin
Terapi Kognitif-perilaku
Merupakan obat pilihan pertama. Pemberian Pendekatan kognitif mengajak pasien secara
benzodiazepin

dimulai

dengan

dosis langsung mengenali distorsi kognitif dan

terendah dan ditingkatkan sampai mencapai pendekatan

prilaku,

mengenali

gejala

respons terapi. Penggunaan sediaan dengan somatik secara langsung. Teknik utama
waktu paruh menengah dan dosis terbagi yang digunakan pada pendekatan behavioral
dapat mencegah terjadinya efek yang tidak adalah relaksasi dan biofeedback.
diinginkan. Lama pengobatan rata-rata 2-6
minggu dilanjutkan dengan masa tappering
off selama 1-2 minggu.
Buspiron

Terapi Suportif

Efektif pada 60%-80% penderita GAD. Pasien

diberikan

reassurance

dan

Buspiron lebih efektif dalam memperbaiki kenyamanan, digali potensi-potensi yang


gejala kognitif dibanding gejala somatik ada dan belum tampak, didukung egonya,
pada GAD. Tidak menyebabkan withdrawal. agar lebih bisa beradaptasi optimal dalam
Kekurangannya adalah fek klinisnya baru fungsi sosial dan pekerjaannya.
terasa setelah 2-3minggu. Terdapat bukti
bahwa

penderita

GAD

yang

sudah

menggunakan benzodiazepin tidak akan


memberikan respon baik dengan buspiron.
Dapat

dilakukan

antara

benzodiazepin

kemudian

penggunaan

dilakukan

dengan

bersama
buspiron

tappering

off

benzodiazepin setelah 2-3minggu, disaat


efek

terapi

buspiron

sudah

mencapai

maksimal.
SSRI
Psikoterapi berorientasi tilikan
Sertraline dan paroxetine merupakan pilihan Terapi ini mengajak pasien penyingkapan
yang

lebih

baik

daripada

fluoksetin. konflik bawah sadar, menilik egostrength,

Pemberian fluoksetin dapat meningkatkan relasi objek, serta kebutuhan self pasien.
anxietas sesaat. SSRI efektif terutama pada Dari
pasien GAD dengan riwayat depresi.

pemahaman

akan

komponen-

komponen tersebut, kita sebagai terapis


dapat memperkirakan sejauh mana pasien
dapat diubah menjadi lebih matur; bila tidak
tercapai, minimal kita memfasilitasi agar
pasien dapat beradaptasi dalam fungsi sosial
dan pekerjaannya.

GANGGUAN SOMATOFORM

3.1. Definisi
Gangguan somatoform (somatoform disorder) adalah suatu kelompok gangguan yang
ditandai oleh keluhan tentang masalah atau simptom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh
penyebab kerusakan fisik (Nevid, dkk, 2005).

Gangguan somatoform berasal dari kata

soma yang berarti tubuh dalam bahasa Yunani. Pada gangguan somatoform, penderita
hadir dengan berbagai gejala yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada
abnormalitas organik yang dapat ditemukan sebagai penyebab gangguan tersebut.
Gejala-gejala fisik pada gangguan somatoform ini cukup serius untuk menyebabkan
penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien
untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan
somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu
penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala.
Gangguan somatoform berbeda dengan gangguan-gangguan lain yang disebabkan
oleh kepura-puraan yang disadari ataupun gangguan buatan. Sebagai contoh, gangguan
somatoform berbeda dengan malingering, atau kepura-puraan simtom yang bertujuan untuk
mendapatkan hasil yang jelas. Gangguan ini juga berbeda dengan gangguan factitious yaitu
suatu gangguan yang ditandai oleh pemalsuan simtom psikologis atau fisik yang disengaja
tanpa keuntungan yang jelas. Selain itu gangguan ini juga berbeda dengan sindrom
Muchausen yaitu suatu tipe gangguan factitious yang ditandai oleh kepura-puraan mengenai
keluhan-keluhan medis.

3.2. Epidemiologi
Epidemiologi dari gangguan somatoform bervariasi menurut jenis gangguannya.
Prevalensi gangguan somatisasi sepanjang hidup adalah 0.2-2% pada perempuan dan 0.2%
pada laki-laki. Perempuan lebih banyak menderita gangguan somatisasi dibandingkan lakilaki dengan rasio 5 berbanding 1. Onset dari gangguan somatisasi adalah sebelum usia 30
tahun dan berawal mula pada masa remaja. Sementara itu, pada gangguan konversi, rasio

perempuan dibanding laki-laki adalah 2 berbanding 1, dengan onset yang dapat terjadi kapan
pun, baik pada usia kanak-kanak hingga usia tua.
Hingga saat ini, belum banyak terdapat data bagi pasien dengan gangguan dismorfik
tubuh karena minimnya jumlah pasien yang mengunjungi psikiater dalam menangani
gangguan ini. Para pasien umumnya lebih cenderung mengunjungi dermatologis, internis,
ataupun ahli bedah plastik. Walaupun demikian, suatu penelitian menyatakan 90& pasien
dengan gangguan ini pernah mengalami satu episode depresi berat dalam hidupnya, 70%
mengalami gangguan cemas, dan 30% mengalami gangguan psikotik.

3.3. Etiologi
Etiologi dari gangguan somatoform melibatkan faktor-faktor psikososial berupa
konflik psikis di bawah sadar yang mempunyai tujuan tertentu. Faktor genetik juga dapat
ditemukan pada transmisi gangguan ini.

Selain itu, gangguan somatoform juga dapat

dihubungkan dengan adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme) suatu zat tertentu di


lobus frontalis dan hemisfer non-dominan dari otak manusia.
Secara umum, faktor-faktor penyebab gangguan somatoform dapat dikelompokkan
sebagai berikut (Nevid, dkk, 2005):
1. Faktor-faktor Biologis
Faktor ini berhubungan dengan kemungkinan adanya pengaruh genetik (biasanya
pada gangguan somatisasi)
2. Faktor Lingkungan Sosial
Sosialisasi terhadap wanita pada peran yang lebih bergantung, seperti peran sakit
yang dapat diekspresikan dalam bentuk gangguan somatoform.
3. Faktor Perilaku
Pada faktor perilaku ini, penyebab ganda yang terlibat adalah:
Terbebas dari tanggung jawab yang biasa atau lari atau menghindar dari situasi

yang tidak nyaman atau menyebabkan kecemasan (keuntungan sekunder).


Adanya perhatian untuk menampilkan peran sakit
Perilaku kompulsif yang diasosiasikan dengan hipokondriasis atau gangguan
dismorfik tubuh dapat secara sebagian membebaskan kecemasan yang
diasosiasikan dengan keterpakuan pada kekhawatiran akan kesehatanatau
kerusakan fisik yang dipersepsikan.

4. Faktor Emosi dan Kognitif

Pada faktor penyebab yang berhubungan dengan emosi dan kognitif, penyebab ganda
yang terlibat adalah sebagai berikut:

Salah interpretasi dari perubahan tubuh atau gejala fisik sebagai tanda dari

adanya penyakit serius (hipokondriasis).


Dalam teori Freudian tradisional, energi psikis yang terpotong dari impulsimpuls yang tidak dapat diterima dikonversikan ke dalam simtom fisik

(gangguan konversi).
Menyalahkan kinerja buruk dari kesehatan yang menurun mungkin merupakan
suatu strategi self-handicaping (hipokondriasis).

3.4. Patofisiologi
Sebenarnya, patofisiologi dari gangguan somatoform masih belum diketahui dengan
jelas hingga saat ini. Namun, gangguan somatoform primer dapat diasosiasikan dengan
peningkatan rasa awas terhadap sensasi-sensasi tubuh yang normal. Peningkatan ini dapat
diikuti dengan bias kognitif dalam menginterpretasikan berbagai gejala fisik sebagai indikasi
penyakit medis. Pada penderita gangguan somatoform biasanya ditemukan juga gejala-gejala
otonom yang meningkat seperti takikardia dan hipermotilitas gaster. Peningkatan gejala
otonom tersebut adalah sebagai efek-efek fisiologis dari komponen-komponen noradrenergik
endogen. Sebagai tambahan, peningkatan gejala otonom dapat pula berujung pada rasa nyeri
akibat hiperaktivitas otot dan ketegangan otot seperti pada pasien dengan muscle tension
headache6.

3.5. Klasifikasi
Dalam membedakan keluhan-keluhan pasien, secara garis besar gangguan
somatoform diklasifikasikan menjadi lima subtipe sebagai berikut:
1) Gangguan somatisasi; ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak
sistem organ.
2) Gangguan konversi; ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis.
3) Hipokondriasis; ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada kepercayaan
pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu.

4) Gangguan dismorfik tubuh; ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang
berlebih-lebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat.
5) Gangguan nyeri; ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata berhubungan dengan
faktor psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis.
Selain itu, DSM IV juga memiliki dua kategori residual untuk diagnostik gangguan
somatoform, yaitu:
6) Undiferrentiated somatoform; gangguan somatoform yang tidak tidak termasuk
pada salah satu penggolongan diatas, yang ada selama enam bulan atau lebih.
7) Golongan somatoform yang tidak terperinci (NOS : not otherwise specified)
adalah kategori untuk gejala somatoform yang tidak memenuhi diagnosis gangguan
somatoform yang disebutkan salah satu diatas.

3.5.1. Gangguan Somatisasi


Gangguan somatisasi atau yang juga dikenal sebagai Briquets Syndrome dicirikan
dengan berbagai gejala somatik yang bermacam-macam (multipel), berulang dan sering
berubah-ubah yang tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan fisik maupun laboratorium.
Gejala-gejala fisik tersebut umumnya telah berlangsung beberapa tahun sebelum pasien
datang ke psikiater. Keluhan yang diutarakan pasien dapat meliputi berbagai sistem organ
seperti gastrointestinal, seksual, saraf, dan bercampur dengan keluhan nyeri.
Gangguan ini bersifat kronis dan berkaitan dengan stressor psikologis yang bermakna,
sehingga menimbulkan hendaya di bidang sosial dan okupasi serta adanya perilaku mencari
pertolongan medis yang berlebihan.
3.5.1.1. Etiologi

FaktorPsikososial
Secara psikososial, gejala-gejala pada gangguan somatisasi adalah bentuk
komunikasi

sosial

yang

bertujuan

menghindarkan

diri

dari

kewajiban,

mengekspresikan emosi, atau menyimbolkan perasaan.


FaktorBiologis
Data genetik mengindikasikan adanya transmisi genetik pada gangguan somatisasi
dengan prevalensi 10-20% pada perempuan turunan pertama, sedangkan saudara
laki-lakinya cenderung terlibat pada penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian
antisosial. Prevalensi pada kembar monozigot adalah 29% dan pada kembar dizigot
10%.

3.5.1.2. Gambaran Klinis


Pasien dengan gangguan somatisasi umumnya hadir dengan riwayat medik yang panjang
dan rumit. Gejala-gejala somatik yang sering dikeluhkan antara lain4:

Mual
Muntah
Sulit menelan
Sakit pada lengan dan tungkai
Nafas pendek (tidak disebabkan oleh olah raga)
Amnesia
Komplikasi kehamilan dan menstruasi
Retensi urin
Penglihatan kabur, dll.

Pada gangguan ini sering kali terdapat penderitaan psikologik dan masalah
interpersonal yang menonjol, seperti depresi atau cemas, yang memerlukan terapi khusus.
Ancaman akan bunuh diri sering dilakukan, namun bunuh diri aktual sangat jarang terjadi.
Pasien biasanya akan mengungkapkan keluhan dengan emosi yang berlebihan dan dramatis.
Pasien dengan gangguan somatisasi biasanya tampak mandiri, terpusat pada dirinya, haus
penghargaan dan pujian, serta manipulatif.
3.5.1.3. Pedoman Diagnostik
Berdasarkan DSM-IV-TR, diagnosis gangguan somatisasi terpenuhi apabila gejala
diawali sebelum usia 30 tahun.

Selama perjalanan gangguan, keluhan pasien harus

memenuhi minimal 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala
pseudoneurologik, serta tidak satu pun yang dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan
laboratorium. Berikut kriteria gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR:
A. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama
periode beberapa tahun dan membutuhkan terapi, yang menyebabkan gangguan
bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
B. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual yang terjadi pada
sembarang waktu selama perjalanan gangguan:
1. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya
empat tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya kepala, perut, punggung,
sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan
seksual, atau selama miksi)
2. Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal
selain nyeri (misalnya mual, kembung, muntah selain dari selama kehamilan,
diare, atau intoleransi terhadap beberapa jenis makanan)
3. Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduktif
selain dari nyeri (misalnya indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi,
menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang
kehamilan).
4. Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu gejala atau defisit
yang mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri

(gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau


kelemahan setempat, sulit menelan atau benjolan di tenggorokan, afonia,
retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi atau nyeri, pandangan ganda,
kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif seperti amnesia; atau hilangnya
kesadaran selain pingsan).
C. Salah satu (1)atau (2):
1. Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau
efek langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau
alkohol)
2. Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau
pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dan
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
D. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti gangguan buatan
atau pura-pura).
Sedangkan menurut PPDGJ III, diagnosis pasti dari gangguan somatisasi memerlukan
semua hal berikut2:
A. Adanya banyak keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat dijelaskan atas
adanya dasar kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya 2 tahun.
B. Tidak mau menerima nasihat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada
kelainan fisik yang dapat menjelaskan kelainan-kelainannya.
C. Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan
dengan keluhan keluhan nya dan dampak dari perilakunya.
2.5.1.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Pada umumnya, perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik dengan
diagnosis ditegakkan sebelum usia 25 tahun. Namun, gejala-gejala awal dari gangguan ini
terlah berlangsung sejak masa remaja seperti masalah menstruasi pada remaja perempuan.
Keluhan-keluhan seksual yang terdapat pada gangguan ini biasanya disebabkan oleh masalah
yang terjadi di dalam hubungan rumah tangga pasangan suami istri.
Periode keluhan yang ringan berlangsung 9 hingga 12 bulan lamanya, sedangkan
gejala yang berat dan pengembangan dari keluhan-keluhan baru berlangsung selama 6 sampai

9 bulan.

Kebanyakan pasien akan mulai mencari pertolongan medis sebelum gejala

berlangsung hingga 1 tahun.

Eksaserbasi dari gejala-gejala somatik pada gangguan

somatisasi dapat terjadi apabila terdapat peningkatan tekanan kehidupan.


3.5.1.5. Terapi
Penanganan gangguan somatisasi sebaiknya dilakukan oleh seorang dokter saja. Hal
ini dipertimbangkan sebagai cara yang terbaik untuk menangani pasien dengan gangguan
somatisasi karena dengan demikian, pasien akan mendapatkan lebih sedikit kesempatan
untuk mengungkapkan keluhan somatiknya.

Pertemuan sebaiknya dilaksanakan dengan

reguler yaitu sekali sebulan dan dilakukan secara singkat. Pada saat pertemuan, walaupun
akan selalu ada kemungkinan bagi dokter untuk melakukan pemeriksaan fisik terhadap
keluhan somatik baru pasien, dokter disarankan untuk mendengarkan keluhan somatik
sebagai ekspresi emosional dan bukan sebagai keluhan medis.

Oleh karena itu, dokter

pemeriksa harus memiliki kemampuan untuk menilai antara keluhan yang harus ditanggapi
secara medis dengan keluhan yang tidak.
Pemeriksaan penunjang dan laboratorium sebaiknya dihindari pada pasien dengan
gangguan somatisasi. Psikoterapi individual dan psikoterapi kelompok adalah jenis terapi
yang

disarankan

agar

pasien

dapat

mengatasi

gejala-gejala

yang

dialaminya,

mengekspresikan emosi yang mendasari, dan mengembangkan strategi alternative untuk


mengungkapkan perasaannya.
Terapi psikofarmaka dapat diberikan apabila terdapat gangguan lain (komorbid)
seperti gangguan cemas dan depresi. Namun, pemberian psikofarmaka harus disertai dengan
pengawasan ketat terhadap pemberian obat sebab pasien dengan gangguan somatisasi
cenderung menggunakan obat-obatan secara irrasional dan berganti-ganti.

3.5.2. Gangguan Konversi


Gangguan konversi mencakup gejala-gejala yang menandakan adanya gangguan
ataupun defisit pada fungsi sensorik dan fungsi motorik voluntary yang dinilai telah
diakibatkan oleh faktor-faktor psikologis karena telah didahului dengan konflik ataupun
stressor-stresor kehidupan lainnya. Kumpulan gejala ini dikenal dengan sebutan hysteria,
reaksi konversi atau reaksi disosiatif.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rasio perempuan dibandingkan dengan lakilaki dapat bervariasi dari 2:1 hingga 10:1 pada gangguan konversi. Gangguan ini banyak
terjadi pada populasi pedesaan, individu dengan pendidikan rendah, kelompok sosioekonomi
rendah, dan anggota militer yang pernah terpapar dengan situasi peperangan. Gangguan ini
juga sering disertai dengan gangguan depresi, cemas, skizofrenia, dan frekuensi gangguannya
meningkat pada seseorang dengan anggota keluarga yang memiliki gangguan konversi juga.
3.5.2.1. Etiologi

Faktor Psikoanalitik
Menurut teori ini, gangguan konversi disebabkan oleh represi konflik-konflik
intrapsikik yang tidak disadari dan konversi dari kecemasan ke dalam gejala fisik.
Gejala-gejala pada gangguan konversi memiliki hubungan simbolik dengan konflik
yang tidak disadari oleh pasien. Berbagai gejala ini juga memberikan peluang bagi
pasien untuk menunjukkan bahwa mereka membutuhkan perhatian dan penanganan
yang khusus. Dengan begitu, gejala-gejala tersebut telah berfungsi sebagai
pemberitahuan secara nonverbal bahwa pasien memiliki control dan manipulasi

terhadap orang lain.


Teori Pembelajaran
Di dalam teori ini, gejala-gejala pada gangguan konversi diyakini berasal dari perilaku
yang dipelajari sejak kecil. Sebagai contoh, gejala fisik dari penyakit yang dialami
pasien sewaktu kecil dapat digunakan sebagai coping mechanism dalam situasi-situasi

sulit yang dihadapinya ketika sudah dewasa.


Faktor Biologis
Pemeriksaan pencitraan otak menunjukkan adanya hipometabolisme pada daerah
hemisfer otak yang dominan dan hipermetabolisme pada daerah hemisfer yang nondominan. Hal ini dapat mengganggu komunikasi antara kedua hemisfer otak dan
berujung pada gejala konversi. Rangsangan kortikal yang berlebih dapat
mengakibatkan timbulnya umpan balik negatif antara korteks dan formasi retikuler
batang otak sehingga menimbulkan gejala konversi. Sebaliknya, output kortikofugal
yang meningkat justru akan menghambat kesadaran pasien akan sensasi-sensasi yang
terjadi di tubuhnya. Tes neuropsikologis terkadang menunjukkan gangguan serebral
ringan pada daya ingat, kewaspadaan, afek, dan atensi di pasien dengan gangguan
konversi.

3.5.2.2. Gambaran Klinis


Pada gangguan konversi, gejala yang paling sering terlihat adalah paralisis, buta, dan
mutisme.

Gejala-gejala ini juga tidak jarang disertai dengan gejala depresi dan cemas,

dengan resiko tinggi pasien mengalami bunuh diri. Gangguan konversi umumnya berkaitan
dengan gangguan kepribadian pasif-agressif, dependen, antisocial, dan histrionik.
a. Gejala Sensorik
Contoh dari gejala ini adalah anastesi dan parestesi terutama bagian ekstrimitas.
Gejala-gejala ini tidak sesuai dengan penyakit saraf pusat maupun tepi. Gejala yang
melibatkan organ sensorik khusus dapat menimbulkan ketulian, kebutaan, dan tunnel
vision walaupun evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensorik yang intact ataupun
pupil yang bereaksi terhadap cahaya.
b. Gejala Motorik
Gejala ini terdiri dari gerakan abnormal, gangguan gaya berjalan (cth: astasia abasia),
kelemahan dan paralisis. Dapat juga ditemukan tremor ritmik kasar, gerak koreoform,
tik, dan menghentak-hentak yang memburuk bila pasien mendapat perhatian.
c. Gejala Bangkitan
Pseudo-seizures merupakan gejala yang dapat terlihat pada gangguan konversi.
Namun, hanya sekitar 1/3 pasien dengan gejala tersebut yang disertai dengan
gangguan epilepsy.
d. Gambaran klinis lainnya:
Keuntungan primer : pasien memperoleh keuntungan primer dengan

mempertahankan konflik internal di luar kesadarannya.


Keuntungan sekunder: keuntungan nyata yang diperoleh pasien dengan
menjadi sakit misalna dibebaskan dari kewajiban kehidupan yang sulit,

bimbingan yang tak akan didapatkannya dalam situasi normal, dsb.


La belle indifference: merupakan sikap angkuh yang tak sesuai terhadap gejala
serius yang dialaminya. Pasien tampak tak peduli dengan hendaya berat yang
dialaminya. Walaupun begitu, ada tidaknya la belle indifference bukan dasar

penilaian yang akurat untuk menegakkan gangguan konversi.


Identifikasi: pasien secara tidak sadar meniru gejalanya dari seseorang yang
bermakna bagi dirinya seperti orangtua atau seseorang yang menjadi model
bagi pasien.

3.5.2.3. Pedoman Diagnosis


Pedoman diagnosis gangguan konversi menurut DSM IV-TR adalah sebagai berikut:

A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik volunter atau
sensorik yang mengarahkan pada kondisi neurologis atau kondisi medis lain.
B. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau defisit karena
awal atau eksaserbasi gejala atau defisit adalah didahului oleh konflik atau stresor
lain.
C. Gejala atau defisit tidak ditimbulkkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau berpura-pura).
D. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan, dijelaskan
sepenuhnya oleh kondisi medis umum, atau oleh efek langsung suatu zat, atau sebagai
perilaku atau pengalaman yang diterima secara kultural.
E. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain atau memerlukan
pemeriksaan medis.
F. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi
semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan tidak dapat diterangkan
dengan lebih baik oleh gangguan mental lain.
Sebutkan tipe gejala atau defisit:

Dengan gejata atau defisit motorik

Dengan gejala atau defisit sensorik

Dengan kejang atau konvulsi

Dengan gambaran campuran

Sementara menurut PPDGJ III, pedoman diagnostik pasti dari gangguan konversi
adalah sebagai berikut:
A. Ciri-ciri klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang tercantum pada
F44.
B. Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut.

C. Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan waktu yang jelas dengan
masalah dan peristiwa yang stressful atau hubungan interpersonal yang terganggu
(meskipun hal tersebut disangkal oleh pasien).
3.5.2.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Lebih dari 90% gejala awal pada pasien dengan gangguan konversi membaik dalam
waktu beberapa hari hingga hampir satu bulan.

Sebanyak 75% pasien tidak pernah

mengalami gangguan ini lagi, namun 25% mengalami episode tambahan pada saat
mengalami tekanan. Semakin lama gejala gangguan konversi ini berjalan, maka semakin
buruk juga prognosisnya. Sebanyak 25-50% pasien akan mempunyai gangguan neurologis
ataupun kondisi non-psikiatrik lain yang akan mempengaruhi sistem persarafan di kemudian
harinya. Oleh karena itu, pasien dengan gangguan tersebut harus segera dievaluasi secara
neurologis pada saat diagnosis ditegakkan.
3.5.2.5. Terapi
Resolusi gejala gangguan konversi biasanya berlangsung spontan. Pasien dengan
gangguan ini dapat diberikan psikoterapi suportif berorientasi tilikan atau terapi perilaku.
Terapi hypnosis, anticemas, dan relaksasi sangat efektif dalam beberapa kasus. Pemberian
amobarbital atau lorazepam parenteral dapat membantu memperoleh riwayat penyakit,
terutama ketika pasien baru saja mengalami peristiwa yang traumatis.
Pendekatan psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi tilikan dapat menuntun pasien
menahami konflik intrapsikik dan symbol dari gejala-gejala yang dimilikinya. Semakin lama
pasien menghayati peran sakit, maka pasien semakin regresi, sehingga pengobatan akan
semakin sulit.

3.5.3. Hipokondriasis
Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang ter preokupasi dengan ketakutan
atau keyakinan menderita penyakit yang serius. Pasien memiliki interpretasi yang tidak
realistis ataupun akurat terhadap gejala atau sensasi fisik, meskipun tidak ditemukan
penyebab medis. Ketakutan dan keyakinannya menimbulkan penderitaan bagi dirinya sendiri
dan menganggu kemampuannya untuk berfungsi secara baik di bidan sosial, interpersonal
dan pekerjaan. Prevalensi pasien dengan hipokondriasis adalah 4-6% dari populasi pasien

medik umum. Gejala-gejala dapat timbul di usia berapapun, namun paling sering di antara
usia 20-30 tahun.
3.5.3.1. Etiologi
Pasien hipokondriasis memiliki skema kognitif yang salah yang menyebabkan mereka
salah menginterpretasikan sensasi fisik. Pasien menambah dan memperbesar sensasi somatik
yang dialaminya karena rasa tidak nyaman secara fisik dan memiliki ambang toleransi yang
rendah.
Selain itu, gejala-gejala hipokondriasis dapat dipandang sebagai permintaan untuk
mendapatkan peran sakit pada seseorang yang mengahadapi masalah berat yang tak dapat
diselesaikannya.

Teori lain juga memandang gangguan ini sebagai bentuk varian dari

gangguan mental lainnya seperti depresi dan cemas. Sedangkan menurut teori psikodinamik,
dorongan agresivitas dan permusuhan yang ditujukan kepada orang lain dipindahkan ke
dalam gangguan-gangguan somatik, seperti kemarahan, ketidakpuasan, atau penolakan dan
kehilangan di masa lalu. Hipokondriasis juga dipandang sebagai pertahanan terhadap rasa
bersalah, tanda dari kepedulian berlebihan terhadap diri sendiri, ataupun sebagai hukuman di
masa lalu dari perasaaan bahwa dirinya jahat serta berdosa.
3.5.3.2. Gambaran Klinis
Pasien dengan hipokondriasis yakin bahwa mereka menderita penyakit serius yang
belum dapat terdeteksi dan sangat sulit diyakinkan sebaliknya. Dengan berjalannya waktu,
keyakinannya pun akan beralih ke penyakit lain.
Meskipun DSM IV-TR menyatakan bahwa gangguan ini harus sudah berlangsung
selama 6 bulan, keadaan hipokondriakal sesaat dapat saja terjadi setelah sdanya tekanan yang
berat seperti kematian atau penyakit serius yang diderita oleh orang yang bermakna bagi
pasien. Keadaan ini harus didiagnosisi sebagai gangguan somatoform yang tak tergolongkan.
3.5.3.3. Pedoman Diagnostik
Berdasarkan DSM IV-TR kriteria hipokondriasis adalah sbb:
A. Preokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia menderita, suatu penyakit
serius didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejala-gejala tubuh.
B. Preokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat dan
penentraman.

C. Keyakinan dalam criteria A tidak memiliki intensitas waham (seperti gangguan


delusional, tipe somatic) dan tidak terbatas pada kekawatiran tentang penampilan
(seperti pada gangguan dismorfik tubuh).
D. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi social, pekerjaan atau fungsi penting lain.
E. Lama gangguan sekurangnya 6 bulan.
F. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan kecemasan umum,
gangguan obsesif kompulsif, gangguan panic, gangguan depresi berat, cemas
perpisahan, atau gangguan somatoform lain.
Sedangkan berdasarkan PPDGJ III, untuk menentukan diagnosis pasti kedua hal
dibawah ini harus ada :
A. Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius
yang melandasi keluhan-keluhan nya, meskipun pemeriksaan yang berulang-ulang
tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang
menetap kemungkinan deformitas atau perubahan penampakan fisik nya (tidak
sampai waham);
B. Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa
tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhan
nya.
3.5.3.4. Perjalanan Penyakit
Penyakit hipokondriasis memiliki perjalanan penyakit yang episodik, dimana setiap
episode dapat berlangsung berbulan-bulan hingga tahunan dan dipisahkan oleh periode
tenang yang sama lamanya.

Kurang lebih sepertiga hingga setengah dari pasien

hipokondriasis mengalami perbaikan yang bermakna.


3.5.3.5. Terapi
Pasien hipokondriasis biasanya menolak terapi psikiatrik. Psikoterapi kelompok
bermanfaat bagi pasien hipokondriasis karena menyediakan dukungan sosial dan interaksi
sosial sehingga menurunkan kecemasan. Psikoterapi individual berorientasi tilikan, terapi
perilaku, terapi kognitif, dan hypnosis juga dapat bermanfaat.

Pemeriksaan fisik yang

terjadwal juga akan membuat pasien merasa tenang dan tahu bahwa dokternya tak

meninggalkannya dan menangani keluhannyaa dengan serius.

Farmakoterapi diberikan

apabila pasien juga memiliki gangguan cemas atau depresi.

3.5.4. Gangguan Tubuh Dismorfik


Pasien dengan gangguan ini memiliki perasaan subyektif yang meliputi dirinya bahwa
beberapa aspek dari penampilannya buruk padahal pada kenyataannya normal atau nyaris
baik. Inti dari gangguan ini adalah pasien berkeyakinan kuat atau takt apabila dirinya tidak
menarik atau bahkan menjijikan. Pasien dengan gangguan tubuh dismorfik umumnya tidak
mengunjungi psikiater melainkan dermatologis atau dokter bedah plastik. Pasien biasanya
berumur 15-30 tahun dan tidak menikah.
3.5.4.1. Etiologi
Etiologi dari gangguan ini tidak dikterhui, tapi diyakini berasosiasi dengan gangguan
depresi. Selain itu, konsep stereotipik tentang kecantikan atau keindahan yang dianut dalam
keluarga atau budaya tertentu akan berpengaruh besar pada pasien dengan gangguan tubuh
dismorfik.
3.5.4.2. Gambaran Klinis
Biasanya, bagian tubuh yang menjadi keprihatinan adalah kekurangan pada wajah
khususnya pada bagian-bagian tertentu seperti hidung atau mata. Selain itu, rambut, buah
dada, dan genitalia juga merupakan bagian tubuh lain yang sering diprihatinkan. Pada pria
biasanya yang menjadi pusat pikirannya adalah otot-ototnya. Pasien dengan gangguan ini
sering merasa orang lain memperhatikan bagian cacat/kekurangan di tubuhnya, sering
bercermin, atau bahkan menghindari benda yang dapat memantulkan seperti cermin dan
adanya usaha untuk menyembunikan bagian tubuh yang dianggap mempunayi deformitas
dengan pakaian atau riasan. Gangguan ini berpengaruh apada kehidupan pasien, seperti
penghindaran kontak sosial dan pekerjaan. Pasien juga memiliki cirri kepribadian obsesifkompulsif, schizoid, dan narsisistik.

3.5.4.3. Pedoman Diagnostik


Berdasarkan DSM IV-TR, adalah sebagai berikut:

A. Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit


anomaly tubuh, kekhawatiran orang tersebut adalah berlebihan dengan nyata.
B. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
C. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya,
ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa)
Sementara, berdasarkan PPDGJ III, untuk diagnostik pasti harus dipenuhi kedua hal
berikut ini:
A. Keyakinan yang menetap perihal adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang
serius yang melandasi keluhan atau keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang
berulang tidak menujnang adanya alas an fisik yang memadai, ataupun adanya
preokupasi

yang

menetap

terhadap

adanya

deformitas

atau

perubahan

bentuk/penampakan.
B. Penolakan yang menetap dan tidak mau menerima nasihat atau dukungan penjelasan
dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang
melandasi keluhan-keluhannya.
3.5.4.4. Perjalanan Penyakit
Munculnya gejala dari gangguan ini biasanya bertahap.

Kepedulian penderita

gangguan tubuh dismorfik terhadap bagian tubuh tertentu akan semakin menjadi-jadi
sehingga berujung pada permintaan untuk operasi atau bantuan medis lainnya. Gangguan ini
bersifat kronik.
3.5.4.5. Terapi
Pada pasien dengan gangguan tubuh dismorfik, terapi dengan prosedur medic
pembedahan, dermatologis, kedokteran gigi, dan yang lainnya biasanya tidak berhasil
mengatasi keluhannya.

Obat-obat SSRI seperti fluoxetine dan klomipramin dapat

mengurangi gejala yang dikeluhkan minimal 50%. Bila terdapat gangguan mental lain yang
menyertai maka pemberian psikoterapi dan farmakoterapi yang adekuat sebaiknya diberikan.

3.5.5. Gangguan Nyeri


Pada gangguan ini, nyeri merupakan keluhan utama yang menjadi focus perhatian
klinis. Nyeri dapat terjadi pada lebih dari satu tempat dan tidak dapat dimasukkan secara
penuh sebagai kondisi medic nonpsikiatrik maupun neurologic. Gangguan ini berkaitan
dengan penderitaan emosional dan hambatan dalam fungsi kehidupan.

Gangguan nyeri

merupakan keluhan tersering dalam praktek kedokteran, lebih banyak pada perempuan
dibandingkan dengan laki-laki.
3.5.5.1. Etiologi
1. Faktor psikodinamik
Pasien mungkin mengekspresikan konflik intrapsikik secara simbolik lewat tubuh.
Pasien lain secara tak sadar menganggap luka emosional sebagai suatu kelemahan dan
tak diperbolehkan secara sosial sehingga memindahkan masalah pada tubuhnya.
Nyeri dapat berfungsi sebagai cara untuk memperoleh cinta, hukuman terhadap
kesalahan, dan menebus rasa bersalah atau perasaan bahwa dirinya jahat.
2. Faktor perilaku
Perilaku nyeri diperkuat apabila dihargai dan dihambat apabila diabaikan atau diberi
hukuman.
3. Faktor Interpersonal
Nyeri yang sulit diobati telah diketahui sebagai sarana untuk memanipulasi dan
memperoleh keuntungan dalam hubungan interpersonal, misalnya untuk memastikan
kesetiaan anggota keluarga, dsb.
4. Faktor biologis
Defisiensi endorphin berhubungan dengan peningkatan stimulus sensorik yang
datang.

3.5.5.2. Gambaran Klinis


Pasien biasanya sekumpulan orang yang bersifat heterogen dengan nyeri pinggang
bawah, sakit kepala, nyeri fasial atipikal, nyeri pelvic kronik, dan nyeri lainnya yang dapat
terjadi setelah trauma,, neuropatik, neurologik, iatrogenic atau muskulaoskeletal. Pasien
biasanya meimiliki riwayat prawatan medis dan pembedahan yang panjang. Gejala depresi
berat terjadi pada 25-50% dari pasien gangguan nyeri.
3.5.5.3. Pedoman Diagnostik
Berdasarkan DSM-IV-TR:

A. Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis merupakan pusat gambaran klinis dan
cukup parah untuk memerlukan perhatian klinis.
B. Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
C. Factor psikologis dianggap memiliki peranan penting dalam onset, kemarahan,
eksaserbasi atau bertahannya nyeri.
D. Gejala atau deficit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau berpura-pura).
E. Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau
gangguan psikotik dan tidak memenuhi criteria dipareunia.
Berdasarkan PPDGJ III, kriteria diagnosisnya adalah sebagai berikut:
A. Keluhan utama adalah nyeri berat menyiksa dan menetap, yang tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun gangguan fisik.
B. Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau masalah
psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadika alasan dalam mempengaruhi adanya
gangguan tersebut.
C. Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan baik personal maupun
medis untuk yang bersangkutan2.
3.5.5.4. Perjalanan Penyakit
Nyeri umumnya muncul secara tiba-tiba dengan derajat keparahan meningkat dalam
hitungan minggu atau bulan. Prognosis bervariasi, akan tetapi biasanya akan menjadi
gangguan kronik dan menimbulkan penderitaaan dan ketidak-berdayaan yang parah.
3.5.5.5. Terapi
Rehabilitasi harus disertakan ke dalam terapi pasien dengan gangguan ini.
Farmakoterapi yang digunakan antara lain SSRI, antidepresan trisiklik, dan amfetamin.
Sedangkan psikoterapi yang dipilih adalah terapi kognitif untuk mengubah pikiran negative
dan mengembangkan sikap positif.

3.5.6. Gangguan Somatoform yang tidak terdiferensiasi


Gangguan somatoform yang tidak terdiferensiasi diciri-cirikan dengan satu atau lebih
gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan yang berlangsung selama paling sedikit 6 bulan.
Terdapat dua pola gejala yang dapat terlihat pada pasien golongan ini yaitu gangguan yang
terkait dengan sistem saraf otonom dan gangguan yang terkait dengan sensasi rasa fatigue
ataupun kelemahan. Pada Autonomic arousal disorder, pasien terpengaruh dengan gejalagejala gangguan somatoform yang terbatas pada gangguan fungsi saraf otonom saja. Gejalagejala yang sering dikeluhkan oleh pasien-pasien tersebut antara lain keluhan sistem
kardiovaskular, respiratori, gastrointestinal, urogenital, dan dermatologikal. Beberapa pasien
lainnya mengeluh akan kelemahan dan ketidak berdayaan melakukan pekerjaan sehari-hari
oleh karenanya.
Keriteria Diagnosis untuk Gangguan Somatoform yang Tidak Digolongkan :
Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, hilangnya nafsu makan, keluhan
gastrointestinal atau saluran kemih)
A. Salah satu (1)atau (2)
a. Setelah pemeriksaan yang tepat, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh
kondisi medis umum yang diketahui atau oleh efek langsung dan suatu zat
(misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)
b. Jika terdapat kondisi medis umum yang berhubungan, keluhan fisik atau
gangguan sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa
yang diperkirakan menurut riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratonium.
B. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
C. Durasi gangguan sekurangnya enam bulan.
D. Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya
gangguan somatoform, disfungsi seksual, gangguan mood, gangguan kecemasan,
gangguan tidur, atau gangguan psikotik).
E. Gejala tidak ditimbulkan dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan
buatan atau berpura-pura)
3.5.7. Gangguan Somatoform yang tidak terperinci
Diagnosis ini digunakan apabila keluhan fisik bersifat multiple, bervariasi dan
menetap, tetapi tidak disertai dengan gambaran klinis yang khas dan lengkap dari gangguan
somatisasi. Sebagai contoh, pasien mengemukakan keluhan-keluhan tidak dramatis dan tidak

kuat, keluhan yang diutarakan tidak terlalu banyak, atau tidak ada gangguan pada fungsi
sosial dan keluarga. Pada diagnosa ini, belum dapat diketahui pasti ada tidaknya faktor
psikologis yang mendasari, namun tidak boleh ditemukan adanya faktor fisik yang mendasari
keluhan-keluhan pasien.
Pedoman diagnosis untuk gangguan somatoform yang tidak terperinci adalah sebagai
berikut:
A. Pseudokiesis : keyakinan palsu sedang hamil, yang disertai dengan tanda objektif
kehamilan, yang dapat berupa pembesaran perut (walaupun umbilicus tidak menjadi
menonjol), penurunan aliran menstruasi, amenorea, sensasi subjektif gerakan janin,
dan nyeri persalinan pada tanggal yang diperkirakan terjadinya persalinan.
Perubahan endokrin mungkin ditemukan tetapi sindroma tidak dapat dijelaskan oleh
suatu kondisi medis umum yang menyebabkan perubahan endokrin (misalnya, tumor
yang mensekresikan hormone).
B. Suatu gangguan yang melibatkan gejala hipokondriasis non psikiatrik dengan lama
kurang dari 6 bulan
C. Suatu gangguan yang melibatkan keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan
(misalnya. Kelelahan atau kelemahan tubuh) dengan lama kurang dari 6 bulan yang
tidak karena gangguan mental lain

GANGGUAN PANIK
PENDAHULUAN
4.1

Definisi
Di antara beberapa gangguan cemas yang dikenal, gangguan panik merupakan

gangguan yang lebih sering dijumpai akhir-akhir ini. Peneilitian di negara-negara barat
bahwa kurang lebih 1.7% dari populasi orang dewasa. Angka kejadian sepanjang hidup
gangguan panik sebanyak 3-5.6%.
Gangguan panik terjadi paling banyak pada perempuan dengan perbadningan 2 per 3
dari laki-laki. Pada umunya terjadi pada usia dewasa muda sekitar 25 tahun. Tetapi bisa
terjadi pada usia berapapun termasuk anak-anak dan remaja.
4.2

Etiologi
Faktor Biologik
Beberapa peneliti menemukan bahwa gangguan panik berhubungan dengan

abnormalitas struktur dan fungsi otak. Dari penelitian tersebut diperoleh data bahwa pada
otak pasien dengan gangguan panik beberapa neurotransmitter mengalami gangguan fungsi,
yaitu serotonin, GABA (Gamma Amino Butiric Acid), dsan norepinefrin. Hal ini didukung
fakta bahwa SSRI Serotonin Reuptake Inhibitors efektif pada terapi pasien-pasien dengan
gangguan cemas termasuk gangguan panik.
Berdasarkan hipotesis patofisiologi, terjadi disregulasi baik pada sistem perifer
maupun sistem saraf pusat. Pada beberapa kasus ditemukan peningkatan tonus
simpatomimetik dalam sistem otonom. Penelitian pada status neuroendokrin juga ditemukan
abnormalitas.
Serangan panik merupakan respon terhadap rasa takut yang terkondisi yang
ditampilkan oleh fear network yang terlalu sensitif, yaitu amigdala, korteks prefrontal dan
hipokampus yang berperan pada serangan panik.

Faktor Genetik
Pada keturunan pertama penderita gangguan panik dengan agoraphobia mempunyai
resiko 4 sampai 8 kali mendapat serangan yang sama.

Faktor Psikososial
Analisis penelitian mendapatkan bahwa terdapat pola ansietas akan sosialisasi maka
kanak, hubungan dengan orang tua tidak mendukung serta perasaan terperangkap. Pada
kebanyakan pasien, rasa marah dan agresifitas sulit dikendalikan. Pada kebanyakan pasien
dengan gangguan panik, terdapat kesulitan mengendalikan rasa marah dan fantasi-fantasi
nirsadar yang terkait. Misalnya, pasien mempunyai harapan dapat melakukan balas dendam
terhadap orang tertentu. Harapan ini merupaka suatu ancaman terhadap figur yang melekat.
Menurut teori kelekatan, pasien-pasien dengan gangguan panik memiliki gaya kelekatan yang
bermasalah, antara lain dalam bentuk preokupasi terhadap kelekatannya itu.
4.3

Patofisiologi
Gangguan ini dimulai pada akhir masa remaja, awal masa dewasa atau usia

pertengahan. Pada umumnya tidak ditemuka stressor saat awitan, walaupun sering pula
dihubungkan dengan adanya stressor psikososial. Gangguan panik biasanya berlangsung
kronik, sangat bervariasi pada setiap pasien. Dalam jangka panjang, 30-40% pasien tidak lagi
mengalami serangan panik, 50% mengalami gejala ringan dan tidak memengaruhi
kehidupannya. Sisanya masih mengalami gejala yang bermakna.
Pada saat serangan pertama atau kedua pasien sering mengabaikannta dan baru
menyadari setelah frekuensi dan intensitas bertambah. Hal ini juga dapat dipicu dari
mengonsumsi kafein berlebihan.
Depresi sering menyertai, yaiut pada 40-8-% kasus, walaupun jarang terungkap ide
bunuh diri, namun resiko tersebut meningkat, 20-40% diantara pasien juga mengonsumsi
alkohol atau zat lainnya. Sering terjadi perubahan perilaku, interaksi dalam keluarga dan hasil
akademis dan pekerjaan mungkin dapat memburuk. Agoraphobia yang terjadi pada gangguan
panik akan reda bila gangguan paniknya mendapat terapi.
4.4

Tanda dan Gejala

Gangguan panik terutama ditandai dengan serangan panik secara berulang, terjadi
secara spontam dam tidak terduga, disertai gejala otonomik yang kuat, terutama sistem
kardiovaskular dan respiratori. Serangan terjadi selama 10 menit, gejala meningkat secara
cepat. Kondisi cemas pada gangguan panik biasanya terjadi secara tiba-tiba dan dapat
,eningkat hingga sangat tinggi dan disertai dengan gangguan jantung, yaitu rasa nyeri di dada,
berdebar-debar, keringat dingin dan terasa seperti tercekik. Kondisi ini membuat pasien
merasa khawatir bahwa dirinya akan mengalami kembali haltersebut (anticipatory anxiety)
sehingga pasien akan mencari pertolongan ke rumah sakit terdekat.
Pada pemeriksaan status mental saat serangan terjadi ruminasi, kesulitan bicara
seperti gagap dan gangguan memori. Depresi, depersonalisasi dan derealisasi dapat dialami
saat serangan panik. Fokus perhatian pasien adalah takut mati karena masalah jantung atau
pernapasan, sering pasien merasa seperti akan menjadi gila.
Agorafobia yang dialami oleh pasien dengan gangguan panik menyebabkan oenderita
menolak untuk meninggalkan rumah ketempat yag sulit mendapatkan pertolongan. Gejala
penyerta lainnya adalah depresi, obsesif kompulsif, dan pemeriksa harus waspada dengan
tendensi bunuh diri.
4.5

Diagnosis dan Diagnosis Banding


Kriteria diagnosis berdasarkan DSM IIIR/PPDGJ III adalah :
a. Pada keadaan yang sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya
b. Tidak terbatas hanya pada situasi yang telah diketaui atau yang dapat diduga
sebelumnya.
c. Adanya keadaan relatif bebas gejala ansietas dalam periode antara serangan panik.
Diagnosis Banding
Serangan panik yang terjadi sebagai bagian dari gangguan fobik, serangan panik

sekunder dari gangguan depresi, terutama pada laki-laki. Bila pada saat yang sama kriteria
depresi dipenuhi maka gangguan panik bukan merupakan diagnosis utama
4.5

Penatalaksanaan

Farmakoterapi
- SSRI
:

Sertralin,

fluoxetin,

fluvoksamin, escitalopram dll


Obat-obat tersebut dipilih salah satu

Psikoterapi
- Terapi relaksasi
Dapat meredakan

secara

relatif

serangan panik dan menenangkan

dan diberikan selama 3-6 bulan atau

individu, anmun itu dapat dicapai

lebih tergantung kondisi pasien dan

bagi

agar kadarnya stabil dalam darah,


Alprazolam : awitan kerjanya cepat,

Prinsipnya

akhirnya

dihentikan

jadi

berlatih

setiap

adalah

hari.

melatih

pernapasan dan mengendurkan otot-

dikonsumsi antara 4-6minggu lalu


dosisnya diturunkan perlahan sampai

yang

hanya

otot pernapasan.
Terapi kognitif perilaku
Individu
diajak
restrukturisasi

mengonsumsi SSRI saja.

melakukan

kognitif

yaitu

membentuk kembali pola perilaku


dan pikiran yang irasional menjadi
rasional. Terapi selama30-45 menit.
Individu diberi pekerjaan rumah
yang harus dibuat setiap hari antara
lain membuat daftar pengalaman
harian dalam menyikapi berbagai
peristiwa yang dialami, misal yang
-

mengecewakan.
Psikoterapi dinamik
Individu diajak untuk memahami
diri

dan

kepribadiannya,

bukan

sekedar menghilangkan gejalanya


semata. Pada terapi ini individu
lebih banyak bicara dan dokter lebih
banyak mendengar.

4.6

Prognosis
Penderita dengan fungsi premorbid baik serta durasi serangan singkat bertendensi

untuk prognosis yang lebih baik.

FOBIA
PENDAHULUAN
5.1

Definisi
Fobia adalah suatu ketakutan irasional yang jelas, menetap dan berlebihan terhadap

suatu objek spesifik, keadaan atau situasi. Dibedakan dalam tiga jenis, agorafobia, fobia
spesifik, fobia sosial
5.2

Agorafobia
Adalah ketakutan terhadap ruang terbuka, orang banyak serta adanya kesulitan untuk

segera menyingkir ke tempat aman.


5.2.1

Etiologi
Faktor Biologis
Penggunaan antagonis reseptor b-adrenergik seperti propanolol misal
berbicara ditempat umum mungkin akan melepaskan banyak norepinefrin dan
epinefrin baik secara sentral atau perifer.
Faktor Genetik
Beberapa penelitian menemukan adanya peningkatan resiko gangguan panik
empat hingga delapan kali lipat pada sanak keluarga derajat pertama. Fobia spesifik
cenderung terdapat salam satu keluarga, terutama tipe darah-injeksi-luka. Ada
penelitian malaporkan bahwa duapertiga hingga tigaperempat pasien mempunyai
sekurangnya satu sanak keluarga derajat pertama dengan fobia spesifik dari tipe yang
sama.
Pada fobia sosial, sanak keluarga derajat pertama pasien adalah kira-kira tiga
kali lebih mungkin mederita fobia sosial dibandingkan sanak saudara derajat pertama
tanpa gangguan mental.
Faktor Psikososial
Penelitian menyimpulkan bahwa anak-anak tertentu yang ada predisposisi
kobnstitusional terhadap fobia, memiliki tempramen inhibisi perilaku terhadap yang

tidak dikenal (behavioral inhibition to the unfamiliar) dengan stress lingkungan yang
kronis akan mencetuskan timbulnya fobia.
5.2.2

Kriteria Diagnostik
Menurut DSM IV-TR
A. Kecemasan berada di dalam suatu tempat atau situasi darinya
kemungkinan meloloskan diri adalah sulit (atau merasa malu) atau dimana
mungkin tidak terdapat pertolongan jika mendapat serangan panik atau
gejala mirip panik yang tidak diharapkan secara situasional. Ketakutan
agorafobia biasanya mengenai kelompok karakteristik situasi seperti diluar
rumah sendirian; berada di tempat ramai atau berdiri sendiri di sebuah
barisan, berada di atas jembatan atau berpergian dengan bis, kereta atau
mobil.
B. Situasi dihindari (misalnya jarang berpergian) atau jika dilakukan dengan
penderitaan yang jelas atau dengan kecemasan mendapat serangan panik
atau gejala mirip panik atau perlu didampingi teman
C. Kecemasan atau penghindaran fobik tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain seperti fobia sosial (misalnya penghindaran terbatas
pada situasi sosial karena takut dipermalukan), fobia spesifik (misalnya
penghindaran situasi seperti lift), gangguan obsesif kompulsif (misalnya
menghindari kotoran pada seseorang dengan obsesi tentang kontaminasi),
gangguan stress pasca trauma (misalnya menghindari stimuli ynga
berhubungan dengan stresor berat) atau gangguan cemas perpisahan
(misalnya menghindari meninggalkan rumah atau sanak saudara).

5.3

Fobia Spesifik
A. Ketakutan yang jelas menetap yang berlebihan atau tanpa alasan, ditujukan
dengan keberadaan atau antisipasi objek yang spesifik atau situasi tertentu
(misalnya naik pesawat terbang, medapat injeksi, melihat darah).
B. Paparan terhadap stimulus fobik hampir selalu memprovokasi respons
kecemasan yang segera dalam bentuk serangan panik situasional atau
dipredisposisikan dengan situasi. Catatan: pada anak-anak, kecemasan
dapat diekspresikan dengan menangis, tantrum, membeku atau melekat
erat.

C. Individu dapat menyadari bahwa ketakutannya adalah berlebihan atau tak


beralasan.
D. Situasi fobik dihindari atau dijalani dengan kecemasan atau distress yang
kuat.
E. Penghindaran, antisipasi kecemasan atau distres pada situasi yang ditakuti
secara bermakna mengganggu kegiatan ruitn yang normal, fungsi
oekerjaan atau akademik, atau aktivitas sosial atau relasi dengan orang
lain, atau terdapat distress yang nyata ketika menghadapi fobia.
F. Pada individu dibawah 18 tahun, durasi berlangsung sekurangnya 6 bulan.
G. Ansietas, serangan panik, atau penghindaran fobia berhubungan dengan
objek atau situasi spesifik yang tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan
mental lain, seperti gangguan obsesif kompulsif, gangguan stress pasca
trauma, gangguan cemas perpisahan, fobia sosial, gangguan panik dengan
atau tanpa agorafobia.
Sebutkan tipe
-

Tipe hewan

: ketakutan terhadap hewan atau serangga. Awitan pada

masa kanak-kanak.
Tipe lingkungan : ketinggian, badai, air
Tipe darah-injeksi-luka
Tipe situasional : transportasi ummum, jembatan, elevator, pesawat

udara (awitan pada masa kanak-kanak dan dewasa muda)


Tipe lain
: fobia ruang, penghindaran suara keras, karakter
berkostum.

5.4

Fobia Sosial
A. Ketakutan irasional yang jelas mentap terhadap satu atau lebih situasi
sosial atau tampil didepan orang-orang yang belum dikenal atau dengan
kemungkinan dinilai oleh orang lain yang tak dikenal. Individu merasa
takut bahwa ia akan bertindak dengan cara yang akan memalukan atau
merendahkan.
B. Pemaparan dengan situasi sosial yang ditakuti hampir selalu mencetuskan
kecemasan, yang dapat berupa serangan panik yang berkaitan dengan
situasi atau dipredisposisikan oleh situasi.
C. Orang menyadari bahwa ketakutan adalah berlebihan atau tanpa alasan
D. Situasi sosial atau taukt tampil didepan umum yang ditakuti dihindari atau
dihadapi dengan distres yang berat.

E. Penghindaran, antisipasi kecemasan, atau distres dalam situasi sosial atau


tampil didepan umum secara bermakna mengganggu rutinitas normal,
fungsi pekerjaan, atau aktivitas sosial dan hubungan dengan orang lain
atau ada distres yang jelas mengalami fobia.
F. Pada individu dibawah 18 tahun, durasi sekurangnya adalah 6 bulan.
G. Ketakutan atau penghindaran tidak karena efek fisiologik suatu zat atau
kondisi medik umum, dan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan
mental lain.
H. Bila terdapat suatu kondisi medik umum atau gangguan mental lain,
ketakutan pada kriteria A tidak berhubungan dengan nya, misalnya gagap,
gemetaran, pada penyakit parkinson, atau gangguan prilaku makan
abnormal pada anoreksia nervosa atau bulimia nervosa.
5.4

Penatalaksanaan.
A. Terapi psikologik.
a. Terapi perilaku, seperti desensitasi sistematik yang sering dilakukan;
terapi pemaparan, imaginal exposure, participent remodelling,

guided

mastery, imaginal flooding.


b. Psikoterapi berorientasi tilikan
c. Terapi lain : hypnotherapy, psikoterapi suportif, terapi keluarga jika
diperlukan.
B. Farmakoterapi
a. Terapi agorafobia sama seperti gangguan panik, terdiri dari obat
ansietas, anti depresan dan psikoterapi khususnya kognitif perilaku
b. Terapi fobia spesifik yaitu dengan exposure therapy.
c. Terapi fobia sosial, dengan B-bloker propanolol untuk mengatasi efek
fisik ansietas.

GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF


PENDAHULUAN
6.1

Definisi
Obsesi adalah aktivitas mental seperti pikiran, perasaan, idea, impuls yang
berulang dan intrusif. Kompulsif adalah pola perilaku tertentu yang berulang dan
disadari seperti menghitung, memeriksa dan menghindar.
Gangguan obsesif kompulsif digambarkan sebagai pikiran dan tindakan yang
berulang dan menghabiskan waktu atau menyebabkan distress dan hendaya yang
bermakna.
Prevalensi gangguan obsesif-kompulsif sebesar 2-2.4% sebagian besar dialami
oleh remaja atau dewasa muda (18-24tahun) dengan perbandingan laki-laki dan
perempuan sama.

6.2

Etiologi
Penyebab obsesif kompulsif memiliki sifat multifaktorial, yaitu interaksi
antara faktor biologik, genetik dan psikososial.

6.3

Manifestasi Klinis
Pada umumnya obsesif kompulsif memiliki gambaran tertentu seperti ini :
1. Adanya ide atau impuls yang terus menerus menekan kedalam
kesadaran individu.
2. Perasaan cemas atau takut akan ide atau impuls yang aneh
3. Obsesi dan kompulsi yang egoalien.
4. Pasien mengenali obsesi dan kompulsi merupakan sesuatu yang
abstrak dan irrasional.
5. Individu yang menderita obsesi kompulsi merasa adanya keinginan
kuat untuk melawan.

Ada 4 pola gejala utama obsesi kompulsi, yaitu

1. Kontaminasi
Pola yang paling sering adalah onsesi tentang kontaminasi, yang
dikuti oleh perilaku mencuci dan membersihkan atau menghindari
objek yang dicurigai terkontaminasi.
2. Sikap ragu-ragu yang patologik.
Pola kedua yang sering terjadi adalah obsesi tentang ragu-ragu
yang diikuti dengan perilaku kompulsi mengecek / memeriksa.
Tema obsesi tentang situasi berbahaya atau kekerasan (seperti lupa
mematikan kompor atau tidak mengunci rumah)
3. Pikiran yang intrusif
Pola yang jarang adalah pikiran intrusif yang tidak didahului
dengan kompulsi, biasanya pikiran berulang-ulang seksual atau
tindakan dan agresif.
4. Simetri
Obsesi yang temanya kebutuhan untuk simetri, ketepatan sehingga
bertindak lamban, misalnya makan bisa memerlukan waktu
berjam-jam atau mencukur kumis atau janggut.
Pola yang lain

obsesi

trichotilomania,
6.5

bertemakan

keagamaan,

dan menggigit jari.

Kriteria Diagnosis Menurut DSM-IV


A.

Salah satu obsesif atau kompulsif


1. Pikiran, impuls atau bayangan yang pernah dialami yang berulang dan
menetap yang intrusive dan tidak serasi, yang menyebabkan ansietas dan
distres, yang ada selama proses gangguan.
2. Pikiran, impuls, atau bayangan bukan merupakan ketakutan terhadap
problem kehidupan yang nyata.
3. Individu berusaha untuk mengabaikan atau menekan pikiran, impuls atau
bayangan atau menetralisir dengan pikiran lain atau tindakan.
4. Individu menyadari bahwa pikiran,impuls dan bayangan berulang berasal
dari pikirannya sendiri (tidak disebabkan oleh faktor luat atau pikiran yang
disisipkan)

Kompulsi didefinikan oleh (1) dan (2)


1. Perilaku yang berulang (misal : mencuci tangan, mengecek) atau aktivitas
mental (berdoa, menghitung, mengulang kata dengan tanpa suara) yang
individu merasa terdorong untuk melakukan dalam respons dari obsesinya,
atau sesuatu aturan yang dilakukan secara kaku.
2. Perilaku atau aktifitas mental ditujukan untuk mencegah atau menurunkan
distress atau mencegah kejadian atau situasi; walaupun perilaku atau
aktivitas mental tidak berhubungan dengan cara yang realistik untuk
mencegah atau menetralisir.
B. Pada waktu tertentu selama perjalanan penyakit, individu menyadari bahwa obsesi
dan kompulsi berlebihan dan tidak beralasan. Catatan keadaan ini tidak berlaku
pada anak-anak.
C. Obsesi dan kompulsi menyebabkan distress, menghabiskan waktu (membutuhkan
waktu lebih dari 1 jam perhari) atau mengganggu kebiasaan normal, fungsi
pekerjaan atau akademik atau aktivitas sosial.
D. Bila ada gangguan lain pada aksis 1, isi dari obsesi dan kompulsi tidak terkait
dengan gangguan tersebut.
E. Gangguan tidak disebabkan efek langsung dari penggunaan zat (misalnya
penyalahgunaan zat,obat)atau kondisi medik umum.
Kondisi khusus jika :
Dengan tilikan buruk: jika untuk sepanjang episode individu tidak menyadari
bahwa obsesi dan kompulsi berar dan tidak beralasan.
6.6

Diagnosis Banding
- Kondisi medik tertentu
- Gangguan Tourette

6.7

Perjalanan Penyakit
Lebih dari 50% pasien dengan gangguan obsesif kompulsif gejala awalnya
muncul mendadak. Permulaan gangguan terjadi setelah adanya peristiwa yang
menimbulkan stress, misalnya kehamilan, masalah seksual, kematian keluarga.
Seringkali pasien merahasiakan gejala sehingga terlambat datang berobat. Perjalanan
penyakit bervariasi, sering berlangsung panjang, beberapa pasien mengalami
perjalanan penyakit yang berfluktuasi sementara sebagian lain menetap atau terus
menerus ada.

Kira-kira 20%-30% pasien mengalami perbaikan gejala yang bermakna,


sementara 40-50% perbaikan sedang, sedangkan sisanya 20-40% gejalanya menetap
atau memburuk. Sepertiga dari gangguan obsesif kompulsif disertai gangguan depresi,
dan semua pasien dengan gangguan obsesif kompulsif mrmiliki risiko bunuh diri.
Indikasi prognosis buruk adalah : kompulsi yang diikuti, awitan masa kanak,
kompulsi yang bizarre, memerlukan perawatan rumah sakit, ada komorbiditas dengan
gangguan depresi, adanya kepercayaan yang mengarah ke waham dan ada gangguan
kepribadian (terutama kepribadian skizotipal). Indikasi adanya penyesuaian sosial dan
pekerjaan yang baik, adanya peristiwa yang menjadi pencetus, gejala yang episodik.
6.8

Tata Laksana
Mengingat faktor utama penyebab obsesif kompulsif adalah faktor biologik,
maka pengobatan yang disarankan adalah pemberian farmakoterapi dan terapi
perilaku.

GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA


PENDAHULUAN

7.1

Definisi
Terjadinya gangguan stress pasca trauma didahului oleh adanya suatu stressor berat

yang melampaui kapasitas hidup seseorang, serta menimbulkan penderitaan bagi setiap
orang. Kondisi psikologis seseorang sebelum mengalami peristiwa traumatik tersebut akan
berdampak terhadap respons yang ditimbulkan sebagai akibat peristiwa tersebut.
7.2

Etiologi

Beberapa faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami gangguan stress
pasca trauma adalah :
1. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang bersangkutaan
2.
3.
4.
5.

maupun keluarganya.
Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual.
Kecendrungan untuk mudah menjadi khawatir.
Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial.
Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya problem

menyesuaikan diri.
6. Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna.
7. Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya baik
tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh suatu kondisi atau
peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya.
Tipe kejadian yang cendrung akan meningkatkan angka kejadian gangguan stress pasca
trauma dapat dikategorikan menjadi ;
1. Mereka yang mengalami tindakan kekerasan interpersonal
2. Mereka yang mengalami kecelakaan atau bencana alam yang mengancan nyawa, baik
berupa kejadian yang alamiah atau kejadian yang dibuat oleh manusia
3. Trauma berulang dan bersifat kronik
Berdasarkan DSM IV ada beberapa jenis kejadian yang potensial mungkin akan
meningkatkan gaangguan stress pasca traauma, yaitu ;
1. Kekerasan personaal (kekerasan seksual, penyerangan fisik dan perampokan)
2. Penculikan
3. Penyanderaan
4. Serangan mkiliter
5. Serangan teroris
6. Penyiksaan
7. Ditahan dalam penjara sebagai tahanan politik atau tahanan perang
8. Bencana alam baik yang alamiah maupun yang dibuat oleh manusia
9. Kecelakaan mobil yang berat
10. Didiagnosis mengalami penyakit berat yang mengancam kehidupan
Pada umumnya individu yang mempunyai karakter extrovert atau lebih berpikir
positif lebih jarang mengalami masalah psikologis seperti ini. Karakteristik dari
peristiwa traumtik yang dialami juga akan mempengaruhi jenis reaksi psikologis yang
bakan terjadi, seperti :
1. Durasi dan intensitas dari stressor yang dialami
2. Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap kehidupan seseorang
3. Berat ringannya kehilangan yang dialami (baik material maupun personal)

4. Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa traumatik


tersebut, misalnya apakah ia juga menyelamatkan orang lain pada saat
kejadiaan itu atau dia hanya menyelamatkan dirinya sendiri.
Setelah mengalami peristiwa traumatik, maka sistem keyakinan dan latar belakang
budaya yang dianut oleh individu yang bersangkutan, serta dukungan sosial dari
lingkungan sekelilingnya akan memegang peranan yang penting bagi individu untuk
menyesuaikan dirinya kembali.
Aspek biologik dari gangguan stress pasca trauma
Gejala-gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons
biologik dan juga psikologikseorang individu. Kondisi ini terjadi oleh karena
aktivitasi dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan
takut pada seseorang. Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang traumatik akan
menimbulkan respons takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi
keberbahayaan peristiwa yang dialami, serta mengorganisasi suatu respons perilaku
yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala merupakan bagian otak yang sangat berperan
besar. Amigdqala akan mengaktivasi beberapaq neurotransmitter serta bahan-bahan
neurokimiawi di otak jika seseorang menghadapi peristiwa traumatik yang
mengancam nyawa sebagai respons tubuh untuk mengahdapi peristiwa tersebut.
Dalamwaktu beberapa milidetik setelah mengalami peristiwa tersebut, amigdala
dengan segera akan bereaksi dengan memberikan stimulus berupa tanda darurat
kepada :
1. Sistem saraf simpatis (katekolamin)
2. Sistem saraf parasimpatis
3. Aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (aksis HPA)
Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah mengalami
peristiwa traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan darah.
Kondisi ini disebutflight or fight reaction. Reaksi ini juga akan meningkatkan aliran
darah dan jumlah glukosa pada otot-otot skletal sehingga membuat seseorang sanggup
untuk berhadapan dengan peristiwa tersebut atau jika mungkin memberikan reaksi
interaktif terhadap ancaman yang optimal. Reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa
jaringan tubuh, namun respons ini bekerja secara bebas dan tidak berkaitan dengan
respons yang berkaitan oleh sistem saraf simpatis. Aksis HPA juga akan terstimulasi

oleh beberapa neuropeptida otak pada waktu orang berhadapan dengan peristiwa
traumatik. Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico-Releasing Factor (CFR) dan
beberapa neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang
dan mensekresi pengeluaran

adenocorticotropic hormone (acth0

yang akhirnya

menstimulasi pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal.

Jika seseorang mengalami tekanan maka tubuh secara alamiah akan


meningkatkan pengeluaran katekolamin dan hormon kortisol; pengeluaran ke dua zat
ini tergantung pada derajat tekanan yang dialami oleh individu. Katekolamin berperan
dalam menyediakan energi yang cukup dari beberapa organ vital tubuh dalam
bereaksi terhadap tekanan tersebut. Hormon kortisol berperan dalam menghentikan
aktivasi sistem saraf simpatik dan beberapa sistem tubuh yang bersifat defensif tadi
yang timbul akibat dari peristiwa traumatik yang dialami oleh individu tersebut.
Dengan kata lain, hormon kortisol berperan dalam proses terminasi dari respons tubuh
dalam menghadapi tekanan. Peningkatan hormon kortisol akan menimbulkan efek
umpan balik negatif pada aksis HPA tersebut.
Pitman (1989) menghipotesiskan bahwa pada individu yang cenderung untuk
mengalami gangguan dalam regulasi neuropeptida dan juga katekolamin di otak pada
waktu menghadapi peristiwa traumatik. Katekolamin yang meningkat ini akan
membuat individu tetap berada dalam kondisi siaga terus menerus. Jika hormon
kortisol gagal menghentikan proses ini, maka aktivasi katekolamin akan tetap tinggi
dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya konsolidasi berlebihan dari ingataningatan peristiwa traumatik yang dialami.
Aspek psikodinamik dari gangguan stress pasca trauma
Model psikodinamik ini menjelaskan bahwa gangguan stress pasca trauma
terjadi oleh karena reaktivasi dari konflik-konflik psikologis yang belum terselesaikan
dari masa lampau. Dengan adanya peristiwa traumatik yang dialami maka konflikkonflik psikologis yang belum diselesaikan itu akan tereaktivasi kembali. Sistem ego
akan kembali tereaktivasai dan berusaha untuk mengatasi masalah dan meredakan
kecemasan yang terjadi.

Hal-hal yangf berkaitan dengan aspek psikodinamik dari gangguan stres pasca trauma
adalah :
1. Arti subjektif dari stresor yang dialami mungkin menentukan dampak dari
peristiwa traumatik yang dialami oleh seseorang.
2. Kejadian traumatik yang dialami mungkin mereaktivasi konflik-konflik
psikologis akibat peristiwa traumatik di masa kanak.
3. Peristiwa traumatik akan membuat seseorang gagal untuk meregulasi sistem
afeksinya.
4. Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan timbul dalam bentuk
somatisasi atau aleksitimia.
5. Beberapa sistem defensi yang sering digunakan pada individu dengan
gangguan stress pasca trauma adalah penyangkalan, splitting, projeksi,
disosiasi dan rasa bersalah.
6. Model relasi objek yang digunakan adalah projeksi dan introjeksi dari
berbagai peran seperti penyelamat yang omnipoten atau korban yang
omnipoten.
Gambaran klinis dan diagnosis
Gangguan ini selalu merupakan konsekuensi langsung dari suatu stress akut
yang berat atau trauma berkelanjutan. Stres yang terjadi ataau keadaan yang tidak
nyaman tersebut merupakan faktor pemicu utama, dan tanpa hal tersebut gangguan ini
akan terjadi.
Gambaran klinis dari gangguan stress pasca trauma seringkali berupa adanya
ingatan-ingatan kembali akan peristiwa-peristiwa traumatik yang pernah dialami serta
mendesak untuk timbul ke alam sadar dan disertai adanya mimpi-mimpi buruk.
Individu juga dengan sengaja tampak menghindari berbagai situasi atau kondisi yang
akan mengingatkannya akan peristiwa traumatik tersebut.
Umumnya individu dengan gangguan stress pasca trauma datang ke dokter
tidak dengan gejala-gejala tersebut , mereka umumnya datang dengan gejala depresi ,
ide-ide bunuh diri, penarikan diri dari lingkungan sosialnya, kesulitan tidur,
penyalahgunaan alkohol/zat adiktif lainnya, serta berbagai keluhan fisik lainnya
(misalnya nyeri kronik, irritable bowel syndrome). Penelitian mendapatkan bahwa
individu dengan gangguan stress pasca trauma 3 kali lebih banyak mengunjungi

praktek dokter umum atau pusat pelayanan kesehatan primer jika dibandingkan
dengan kunjungan ke professional kesehatan mental lainnya.
Kriteria diagnosis dari Gangguan Stress Pasca Trauma berdasarkan DSM IV
adalah sebagai berikut :
1. Individu peranah terpapar dengan peristiwatraumatik berupa ;
a. Individu mengalami, menjadi saksi mata atau berhadapan langsung dengan
suatu kejadian atau beberapa kejaadian yang mengerikan atau ancaman
terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain.
b. Respons individu yang terlibat dalam peristiwa yang sangat mengerikan,
keputusasaan atau ketakutan yang luar biasa. Pada anak, kondisi ini
mungkin ditunjukkan oleh adanya perilaku yang disorganisasi atau agitasi.
2. Pengalaman peristiwa traumatik selalu timbul berulang dalam salah satu
bentuk di bawah ini ;
a. Adanya bayangan, pikiran atau persepsi yang berkaitan dengan peristiwa
traumatik yang timbul secara berulang dan menyebabkan penderitaan bagi
individu yang bersangkutan. Bagi anak, kondisi ini diekspresikan melalui
pola mainan yang bertemakan peristiwa traumatik yang dialaminya.
b. Adanya mimpi-mimpi buruk berulang yang menimbulkan penderitaan bagi
individu. Pada anak, kondisi ini sering kali berupa timbulnya mimpi buruk
tanpa dapat dikenali isi dari mimpi-mimpinya itu.
c. Berprilaku atau berperasaan seolah-olah peristiwa traumatik yang dialami
itu terjadi kembali (termasuk ilusi, halusinasi dan episode disosiatif yang
bersifat flashback)
d. Adanya distress psikologis jika berhadapan dengan hal-hal atau simbolsimbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian
atau seluruhnya secaara internal maupun eksternal.
e. Adanya reaksi fisiologis jika berhadapan dengan hal-hal atau simbolsimbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatikbaik sebagian atau
seluruhnya secara internal maaupun eksternal.
3. Adanya perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus-stimulus yang
berkaitan dengan peristyiwqa traumatik yang dialami dan disertai dengan
respons emosi yang membeku secara keseluruhan (tidak dijumpai sebelum
trauma terjadi), yang ditunjukkan oleh 3 atau lebih gejala di bawah ini ;
a. Adanya usaha untuk menghindari pikiran-pikiran, perasaan, atau
pembicaraan yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialaminya

b. Adanya usaha untuk menghindari aktivitas, tempat-tempat atau orangorang yang bangkitkan ingatan-ingatan tentang peristiwa traumatik yang
dialaminya.
c. Kesulitan untuk mengingat kembali aspek-aspek penting yang berkaitan
dengan peristiwa traumatik yang dialaminya.
d. Penurunan yang jelas akan keterkaitan atau pastisipasi dalam aktivitasaktivitas.
e. Merasa asing atau merasa terpiasah dari lingkungan atau orang-orang
disekitarnya.
f. Adanya ekaspersi afektif yang terbatas, misalnya tidak mampu lagi
merasakan perasaan dicintai.
g. Kehilangan motivasi untuk membina masa depannya, misalnya tidak
mempunyai

keinginan

lagi

untuk mengembangkan

karier, hidup

perkawinan, mengasuh anak atau dalam aktivitas sehari-harinya.


4. Adanya gejala yang menetap dari peningkatan kewaspadaan (tidak dijumpai
sebelum mengalami peristiwa traumatik), yang ditandai oleh 2 atau lebih
gejala di bawah ini;
a. Kesulitan untuk tidur atau jatuh tertidur
b. Irritabilitas atau mudah mengalami ledakan amarah
c. Kesulitan berkonsentrasi
d. Hypervigilance
e. Respons yang kacau dan tidak terkendali
5. Durasi dari gejala-gejala dalam kriteria 2,3 dan 4 berlangsung lebih dari 1
(satu) bulan
6. Gejala-gejala di atas jelas menimbulkan penderitaan atau hendaya dalam
fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.
Spesifikasi :
Akut : jika durasi gejala-gejala kurang dari 3 bulan
Kronik : jika durasi gejala-gejala berlangsung 3 bulan atau lebih
Dengan awitan lambat : jika awitan dari gejala-gejala terjadi paling lambat
6 bulan setelah mengalami peristiwa traumatik.
7.3

Tatalaksana
Tatalaksana gangguan stress pasca trauma diharapkan dalam bentuk yang
komprehensif, meliputi :
-

Pemberian medikasi
Anti depresan golongan SSRI Fluoxetin 10-60mg/hari, Sertralin 50-200mg/hari,
atau Fluvoxamine 50-300mg/hari.

Antidepresan lain seperti Amitriptilin 50-300mg/hari dan Imipramin 50300mg/hari


-

Psikoterapi :
Psikoterapi yang diberikan umumnya, seperti psikoterapi kognitif-perilaku,

psikoterapi kelompok, dan hypnotherapy.


Edukasi
Dukungan psikososial
meredakan kecemasan , seperti dengan teknik-teknik mengatur pernafasan serta

mengontrol pikiran-pikiran.
modifikasi pola hidup, seperti diet yang sehat mengarut konsumsi kafein, alkohol,
rokok dan obat-obatan lainnya.

Berdasarkan rekomendasi dari

The Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana

gangguan stress pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan :


1. Gangguan stress pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik dan
berulang serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius
lainnya.
2. Anti depressan golongan SSRI merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini.
3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.
4. Exposure therapy merupakan terapi dengan pendekatan psikososial terbaik yang
dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.

Anda mungkin juga menyukai