2.1 IDENTIFIKASI
a. Nama : Ny. M
b. Usia : 64 Tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Agama : Islam
e. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
f. Alamat : Teluk Gong
g. Tanggal Kunjungan Puskes : 07-11-2019
2.2 ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Timbul gelembung berisi air yang bergerombol pada pinggang sejak 2 hari.
b. Keluhan Tambahan
Nyeri, panas, dan gatal pada daerah luka
c. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien mengeluh gelembung berisi air yang bergerombol pada pinggang sejak
2 hari. Pasien juga mengeluh nyeri, rasa panas dan gatal pada daerah luka. Gelembung
dirasakan semakin bertambah besar dan banyak, diatas kulit yang berwarna kemerahan.
2 hari.
Pasien mengatakan bahwa nyeri dan kelainan kulit hanya terjadi pada daerah
pinggang. Keluhan tidak dirasakan pada bagian tubuh lainnya.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat terkena cacar air waktu kecil
- Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
e. Riwayat pada Keluarga
- Riwayat keluhan yang sama dikeluarga disangkal
- Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalikus
a. Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
b. Kesadaran : Composmentis
c. Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 130/90 mmHg
- Nadi : 84 x/menit
- Suhu : 36 0C
- Respiratori Rate : 22 x/menit
d. Anemis : -/-
e. Edema : Ekstremitas atas -/-
Ekstremitas bawah -/-
f. Sianosis : -/-
g. Ikterus : -/-
Status Lokalis
- Ad Regio : Lumbal (setinggi L1-3)
- Efloresensi : Eritema, vesikel, krusta
- Sifat efloresensi : Herpetiformis
√ Vesikula
- UKK Sekunder :
- Skuama - Laserasi - Eksfoliasi
a. Pemeriksaan Laboratorik: -
2.5 RESUME
1. Herpes zoster
2. Herpes simplex
2.7 PENATALAKSANAAN
Umum
- Menjaga agar luka tetap bersih & kering
- Hindari iritasi untuk mencegah terjadinya radang
Khusus
- Medikamentosa oral : Acyclovir 5 x 800 mg
Metilprednisolon 4mg 3 x 1 tab
Asam Mefenamat 500mg 3x1 tab
- Aplikasi topikal : Acyclovir 5% krim
2.8 PROGNOSIS
- Quo ad vitam : Ad bonam
- Quo ad functionam : Ad bonam
- Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Herpes zoster adalah radang kulit akut yang bersifat khas berupa vesikel-vesikel yang
tersusun berkelompok, unilateral di sepanjang persarafan sensorik kulit sesuai dengan
dermatom .1 Herpes zoster merupakan hasil dari reaktivasi virus varisela zoster yang memasuki
saraf kutaneus selama episode awal chicken pox.Shingles adalah nama lain dari herpes zoster.
Virus ini tidak hilang tuntas dari tubuh setelah infeksi primernya dalam bentuk varisela
melainkan dorman pada sel ganglion dorsalis sistem saraf sensoris yang kemudian pada saat
tertentu mengalami reaktivasi dan bermanifestasi sebagai herpes zoster.1
B. ETIOLOGI
Herpes zoster disebabkan oleh infeksi virus varisela zoster (VVZ) yang tergolong virus
berinti DNA, virus ini berukuran 140-200 nm dan termasuk subfamili alfa herpes viridae.
Berdasarkan sifat biologisnya VVZ diklasifikasikan kedalam 3 subfamili yaitu alfa, beta dan
gamma. VVZ dalam subfamili alfa mempunyai sifat khas menyebabkan infeksi primer pada
sel epitel yang menimbulkan lesi vaskuler. Selanjutnya setelah infeksi primer, infeksi oleh virus
herpes alfa biasanya menetap dalam bentuk laten didalam neuron dari ganglion. Virus yang
laten ini pada saatnya akan menimbulkan kekambuhan secara periodik. Secara in vitro virus
herpes alfa mempunyai jajaran penjamu yang relatif luas dengan siklus pertumbuhan yang
pendek serta mempunyai enzim yang penting untuk replikasi meliputi virus spesifik DNA
polimerase dan virus spesifik deoxypiridine (thymidine) kinase yang disintesis di dalam sel
yang terinfeksi.2
C. EPIDEMIOLOGI
Herpes zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak dipengaruhi oleh musim dan
tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedaan angka kesakitan antara laki-laki dan
perempuan, angka kesakitan meningkat dengan peningkatan usia. Insidensi herpers zoster
terjadi pada 20 % populasi dunia dan 10 % diantaranya adalah herpes zoster oftalmikus. Di
negara maju seperti Amerika, penyakit ini dilaporkan sekitar 6% setahun, di Inggris 0,34%
setahun sedangkan di Indonesia kurang lebih 1% setahun.4
Salah satu faktor risiko yang kuat adalah usia lebih tua. Insiden terjadinya herpeszoster
1,5sampai 3, 0 per 1.000 orang per tahun dalam segala usia dan 7 sampai 11 per 1000 orang
per tahun pada usia lebih dari 60 tahun pada penelitian di Eropa dan Amerika Utara.
Diperkirakan bahwa ada lebih dari satu juta kasus baru herpes zoster di Amerika setiap tahun,
lebih dari setengahnya terjadi pada orang dengan usia 60 tahun atau lebih. Ada peningkatan
insidens dari zoster pada anak – anak normal yang terkena chicken pox ketika berusia kurang
dari 2 tahun.5
D. PATOFISIOLOGI
Transmisi virus Varicella-Zoster virus (VZV) paling mudah melalui traktus respiratorius,
dimana replikasi virus terjadi umumnya pada nasopharynx. Hal ini akan memicu proses migrasi
sistem retikuloendotelial menuju tempat tersebut hingga akhirnya terjadi suatu keadaan yang
disebut viremia. Pada mulanya, viremia ini akan bermanifestasi sebagai chicken pox (cacar air),
dimana terdapat lesi kulit yang difus dan dapat diverifikasi dengan kultur darah maupun
polymerase chain reaction (PCR). Vesikel yang timbul pada pasien terkait dengan lapisan
dermis pasien dengan adanya perubahan degeneratif yang dicirikan dengan adanya vesikel,
munculnya multinucleated giant cell,dan inklusi eosinofilik intranuklear.Infeksi VZV juga
dapat melibatkan pembuluh darah yang memberikan vaskularisasi pada kulit lokal, yang
berakibat pada munculnya nekrosis dan hemoragik epidermis.5
Gambar 2. Perjalanan virus VZV sejak muncul varicella hingga muncul herpes
zoster (akibat reaktivasi virus VZV). Sumber : Arvin, 2005.
Seiring dengan perjalanan penyakit, cairan vesikular menjadi keruh karena adanya
rekrutmen leukosit polimorfonuklear (PMN) dan adanya fibrin serta sel-sel yang telah
berdegenerasi. Akhirnya vesikel ini akan pecah dan menyebarkan cairan berisi virus yang dapat
direabsorpsi secara gradual maupun ditularkan. Pada cacar air, beberapa virus VZV akan
menginfeksi ganglion akar dorsalis dan mempertahankan keadaan laten hingga akhirnya
mengalami reaktivasi. Namun mekanisme reaktivasi ini masih belum diketahui.4
Virus VZV dapat membuat sebuah program genetis yang mengontrol interaksi virus dan
host sehingga keberlangsungan hidupnya di manusia terjamin.Lesi vesikuler mengandung
VZV dengan konsentrasi tinggi yang bersifat infeksius dan dibutuhkan untuk melakukan
transmisi. Saat reaktivasi VZV dibutuhkan pergerakan virion dari akson menuju kulit dimana
virus akanmenginvasi respon imun innate maupun adaptif, namun akhirnya tetap terjadi
persebaran virus antar sel dan membentuk lesi yang mempenetrasi epidermis. Reaktivasi VZV
ini merusak neuron dan sel satelit, salah satu neuroglia di jaringan saraf.
Sebenarnya, saat pasien pertama terinfeksi VZV dan muncul varicella, telah terbentuk
sel T spesifik VZV dan disimpan sebagai memori. Pada orang yang rentan, sel tersebut hilang
dan terdegradasi, atau justru fungsi dari sel T tersebut yang berkurang, dimana pada akhirnya
akan menyebabkan kurangnya respon imun dari pasien.6
Melalui pemeriksaan histopatologis pada pasien dengan herpes zoster dapat ditemukan
hemoragi, edema, dan infiltrasi limfosit.Virus VZV tidak hanya bereplikasi di kulit namun juga
di organ lainnya, seperti paru-paru dan otak. Hal ini akan mengakibatkan pneumonitis
interstisial, pembentukan multinucleated giant cell, inklusi intranuklear, dan hemoragik
pulmoner.
Pasien dengan infeksi SSP dapat memiliki pleositisis liquor cerebrospinal (LCS) dan
peningkatan protein LCS. Meningoencephalitis akhirnya dapat muncul dengan gejala nyeri
kepala, demam, Pasien dengan infeksi SSP dapat memiliki pleositisis liquor cerebrospinal
(LCS) dan peningkatan protein LCS.Meningoencephalitis akhirnya dapat muncul dengan
gejala nyeri kepala, demamfotofobia, meningitis, dan vomitus. Manifestasi SSP lain yang
cukup jarang adalah angiitis granulomatosa dengan hemiplegia kontralateral serta myelitis
transversal (dengan atau tanpa paralisis).
Sesuai dengan tempat infeksi virus VZV, akan muncul erupsi vaskular unilateral dengan
dermatom yang berkaitan, disertai rasa nyeri yang berat. Nyeri ini dapat mendahului
munculnya lesi, yaitu sekitar 48 hingga 72 jam. Makulopapular eritema akan muncul dan
akhirnya secara cepat berkembang menjadi lesi vesikuler. Lesi ini hanya akan muncul 3-5 hari,
dengan total durasi penyakit berkisar 7-10 hari. Namun, butuh sekitar 2-4 minggu untuk
mengembalikan kulit ke keadaan normal. Dermatom T3 hingga L3 merupakan dermatom yang
sering terlibat. Apabila infeksi melibatkan nervus trigeminal cabang ophtalmicus, akan muncul
zoster ophtalmicus. Apabila pasien zoster ophtalmicus tidak mendapatkan terapi antiviral yang
adekuat dapat berujung pada kebutaan.Jika infeksi melibatkan cabang trigeminal yang lain, lesi
dapat muncul pada mulut, lidah, dan lain-lain.4
Pada pasien herpes zoster dapat pula muncul sindroma Ramsay Hunt, yaitu nyeri dan
vesikel yang didapatkan pada canalis auditiva externus, disertai kehilangan kemampuan
mengecap pada dua pertiga lidah.Hal ini terkait dengan infeksi nervus facialis.Neuralgia
postherpetic, hypoesthesia, maupun hyperesthesia juga bisa ditemukan pada pasien.5
E. GEJALA KLINIS
Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada dermatom
yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari menjelang timbulnya erupsi. Gejala konstitusi,
seperti sakit kepala, malaise, dan demam, terjadi pada 5% penderita timbul 1 sampai 2 hari
sebelumerupsi.
Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata dan
unilateral. Jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umumnya lesi terbatas pada
daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf sensorik.Erupsi mulai dengan
eritema makulopapular. Dua belas hingga dua puluh empat jam kemudian terbentuk vesikula
yang dapat berubah menjadi pustula pada hari ketiga. Seminggu sampai sepuluh hari kemudian,
lesi mengering menjadi krusta. Krusta ini dapat menetap menjadi 2-3 minggu.Keluhan yang
berat biasanya terjadi pada penderita usia tua. Pada anak-anak hanya timbul keluhan ringan
dan erupsi cepat menyembuh. Rasa sakit segmental pada penderita lanjut usia dapat menetap,
walaupun krustanya sudah menghilang.Frekuensi herpes zoster menurut dermatom yang
terbanyak pada dermatom torakal (55%), kranial (20%), lumbal (15%), dan sakral (5%).
F. KLASIFIKASI
1. Herpes zoster oftalmikus
Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian
ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmicus saraf trigeminus (N.V),
ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi
kepala dan wajah disertai gejala konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal
berlangsug 1 sampai 4 hari sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak kelar air mata,
kelopak mata bengkak dan sukar dibuka.
Gambar 3. Herpes zoster oftalmikus sinistra.
Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian
ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai erupsi herpetik
unilateral pada kulit.
Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Gambar 5. Herpes zoster brakialis sinistra.
Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Gambar 7. Herpes zoster sakralis dekstra.
F. Pemeriksaan Penunjang
Apabila gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk menegakkan diagnosis. Akan tetapi pada
keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksaan penunjang antara lain:
1. Isolasi virus
Isolasi dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi dengan mikroskop elektron.
Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck membantu menegakkan
diagnosis dengan menemukan sel datia berinti banyak. Demikian pula pemeriksaan cairan
vesikula atau material biopsi dengan mikroskop elektron, serta tes serologik. Pada
pemeriksaan histopatologi ditemukan sebukan sel limfosit yang mencolok, nekrosis sel dan
serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh darah kecil, hemoragi fokal dan inflamasi
bungkus ganglion. Partikel virus dapat dilihat dengan mikroskop elektron dan antigen virus
herpes zoster dapat dilihat secara imunofluoresensi.6
2. Pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen
3. Test serologi dengan mengukur imunoglobulin spesifik.
G. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Diagnosis herpes zoster pada anamnesis didapatkan keluhan berupa neuralgia (nyeri)
beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya kelainan kulit. Seringkali
sebelum timbul kelainan kulit didahului gejala prodromal seperti demam, pusing dan lemas
b. Pemeriksaan kulit
Karakteristik dari erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas vesikel-vesikel
berkelompok, dengan dasar eritematosa, unilateral, dan mengenai satu dermatom.
H. PENATALAKSANAAN
Secara umum penatalaksaan herpes zoster bertujuan untuk:
1. Non Medikamentosa
Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat menularkan kepada orang
lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang dengan defisiensi imun. Usahakan agar
vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai baju yang longgar. Untuk mencegah
infeksi sekunder jaga kebersihan badan.5
2. Medikamentosa
a. Sistemik
1) Obat Antivirus
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya valasiklovir
dan famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase pada virus. Asiklovir
dapat diberikan peroral ataupun intravena. Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertama sejak
lesi muncul. Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah 5×800 mg/hari selama 7 hari,
sedangkan melalui intravena biasanya hanya digunakan pada pasien yang
imunokompromise atau penderita yang tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapat
digunakan sebagai terapi herpes zoster adalah valasiklovir. Valasiklovir diberikan 3×1000
mg/hari selama 7 hari, karena konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itu famsiklovir juga
dapat dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase. Famsiklovir
diberikan 3×200 mg/hari selama 7 hari (Saad and Christopher, 2010; Hodge, 2006).
2) Analgetik
Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan oleh virus herpes
zoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam mefenamat. Dosis asam mefenamat adalah
1500 mg/hari diberikan sebanyak 3 kali, atau dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri
muncul (Saad and Christopher, 2010; Hodge, 2006).
3) Kortikosteroid
Indikasi pemberian kortikostreroid ialah untuk Sindrom Ramsay Hunt. Pemberian
harus sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang biasa diberikan ialah
prednison dengan dosis 3×20 mg/hari, setelah seminggu dosis diturunkan secara bertahap.
Dengan dosis prednison setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung
dengan obat antivirus (Saad and Christopher, 2010; Hodge, 2006).
b. Pengobatan topical
Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel diberikan
bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi
sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka. Jika terjadi ulserasi dapat diberikan salap
antibiotic (Saad and Christopher, 2010; Hodge, 2006).
I. Komplikasi
1. Neuralgia paska herpetik
Neuralgia paska herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas penyembuhan.
Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan sampai beberapa tahun. Keadaan ini
cenderung timbul pada umur diatas 40 tahun, persentasenya 10 - 15 % dengan gradasi nyeri
yang bervariasi. Semakin tua umur penderita maka semakin tinggi persentasenya.
2. Infeksi sekunder
Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi. Sebaliknya
pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi H.I.V., keganasan, atau berusia lanjut dapat
disertai komplikasi. Vesikel sering manjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.
3. Kelainan pada mata
Pada herpes zoster oftatmikus, kelainan yang muncul dapat berupa: ptosis paralitik,
keratitis, skleritis, uveitis, korioratinitis dan neuritis optik.
4. Sindrom Ramsay Hunt
Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan otikus, sehingga
memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit yang sesuai dengan
tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus, nausea, dan gangguan
pengecapan.
5. Paralisis motorik
Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat perjalanan virus
secara kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang berdekatan. Paralisis ini
biasanya muncul dalam 2 minggu sejak munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi seperti:
di wajah, diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. Umumnya akan
sembuh spontan.
J. PROGNOSIS
Bonam bila ditatalaksana dengan adekuat.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
1. Herpes zoster merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian saraf yang
ditandai adanya erupsi herpetik unilateral pada kulit
3. Diagnosa herpes zoster dapat ditegakkan dengan mudah melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
4. Karakteristik dari erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas vesikel-vesikel berkelompok,
dengan dasar eritematosa, unilateral, dan mengenai satu dermatom.
5. Pada umumnya penyakit herpes zoster dapat sembuh sendiri (self limiting disease), tetapi
pada beberapa kasus dapat timbul komplikasi. Semakin lanjut usia, semakin tinggi
frekuensi timbulnya komplikasi.
B. Saran
1. Memberikan edukasi yang jelas kepada pasien tentang penyakitnya untuk mencegah
penularan dan mempercepat penyembuhan.
2. Penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada pasien untuk mendapatkan hasil yang
maksimal dan mencegah terjadinya komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Arvin, A. 2005.Aging, immunity, and the varicella-zoster virus. N Engl J Med, 352:2266-2267.
Gnann JW, Whitley RJ. Herpes Zoster. N. Engl. J. Med. 2002.
Habif, T.P. Viral Infection. In : Skin Disease Diagnosis and Treatment. 3rd ed. Philadelphia :
Elseiver Saunders. 2011 .p. 235 -239.
Handoko. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: edisi IV. Jakarta : Fakultas kedokteran
Universitas Indonesia.
Hartadi, Sumaryo S. 2006. Infeksi Virus dalam Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates; 92-
4
Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012. Jakarta;
2012.
Mandal BK, dkk. Lecture Notes :Penyakit Infeksi.6th ed. Jakarta : Erlangga Medical Series.
2008 : 115 – 119.
Roxas, M. 2009. Herpes zoster and Post Herpetic Nauralgia: Diagnosis and Therapeutic
Consideration Herpes Zoster Information. Diakses dari :
http://www.emedicinehealth.com/articles pada tanggal 28 Juni 2013
Siregar. 2006. Herpes Zoster. Dalam : Atlas Beerwarna Saripati Penyakit Kulit: edisi II.
Jakarta: EGC; 86
Sjamsoe E.S . 2005. Penyakit Kulit yang Umum Di Indonesia. Medical Multimedia Indonesia.
Pt-Mmi@Medical-E-Book.Com
Whitley, R. J. 2005. Varicella-Zoster Virus Infections.In D. Kasper et al., eds. Harrison's
Principles of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw and Hill Company.