Anda di halaman 1dari 30

1

BAB 1
PENDAHULUAN
Sisrem serebrovaskular memberi aliran darah ke otak yang banyak mengandung
zat makanan yang penting bagi fungsional otak. Terhentinya aliran darah cerebrum
selama beberepa detik saja dapat menimbulkan disfungsi cerebtum.
Empat arteri besar menyalurkan darah ke otak yaitu : 2 arteri karotis interna dan 2
arteri vertebralis.
Penyakit serebrovaskular termasuk di dalamnya beberapa kelaianan paling sering
terjdi dan paling fatal, yatu: stroke, aneurisma intracranial dan malfformasi arteriovenus.
Penyakit-penyakit tersebut menyebabkan sekitar 2.000 kematian setiap tahun di Amerika
serikat dan penyebab utama dari kecacatan.
Insidensi penyakit serebrovaskular meningkat seiring dengan bertambah tua usia
dan faktor risiko lain. Kebanyakan penyakit serebrovaskular bermanifestasi sebagai
deficit neurologi fokal dengan onset yang sangat cepat.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Pendarahan Intraserebral
Perdarahan dapat berasal dari rupturnya pembuluh darah dimanapun dalam

kranium.

Perdarahan intrakranial dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya yaitu

perdarahan intraserebral, subaraknoid, subdural atau epidural dan intraventrikular.1


2.1.1

Definisi
Perdarahan intraserebral atau intracerebral hemorrhage didefinisikan sebagai

perdarahan ke dalam parenkim otak biasanya berasal dari small penetrating artery.1
Perdarahan intraserebral pada umumnya disebabkan oleh hipertensi, arteriovenous
malformatios atau trauma kepala.2
2.1.2

Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya perdarahan intraserebral terdiri atas 2 faktor yaitu

modifiable dan non modifiable. Faktor modifiable meliputi hipertensi, terapi


antikoagulan, konsumsi alkohol berlebihan dan riwayat stroke sebelumnya. Hipertensi
merupakan penyebab tersering dimana hampir 60% kasus perdarahan intraserebral
berkaitan dengan hipertensi.3 Peningkatan tekanan darah dapat menyebabkan arteri yang
kecil di dalam otak pecah.2
Faktor non modifiable terdiri atas usia, koagulapati, vaskulitis, arteriovenous
malformations (AVMs) dan neoplasma intrakranial. Peningkatan vaskularisasi pada
tumor dapat menyebabkan perdarahan.2,3
2.1.3

Patogenesis
Perdarahan intraserebral terdiri atas 3 fase yaitu initial hemorrhage, hematoma

expansion, dan peri-hematoma edema. Initial hemorrhage disebabkan oleh rupturnya


arteri serebral yang dapat dipicu oleh faktor risiko. Hematoma expansion terjadi beberapa
jam setelah onset inisial yang melibatkan peningkatan intrakranial yang dapat merusak
integritas jaringan lokal dan sawar darah otak. Selain itu, obstruksi pembuluh darah vena

menginduksi pelepasan tromboplastin yang menyebabkan kaogulapi lokal. Pada dua


pertiga pasien, hematoma expansion berhubungan dengan hiperglikemia, hipertensi, dan
antikoagulan. Jumlah perdarahan dan hematoma sangat berhubungan dengan prognosis
pasien. Hematoma lebih dari 30ml sangat berisiko terhadap mortalitas. Edema serebral
terbentuk di sekitar hematoma karena inflamasi dan rusaknya sawar darah otak. Perihematoma edema adalah penyebab utama perburukan neurologis dan berkembang
beberapa hari setelah fase inisial. Pada 40% kasus perdarahan intraserebral, perdarahan
dapat meluas ke ventrikel yang menyebabkan perdarahan intraventrikel. Perdarahan
intraserebral dapat merusak jaringan otak yang berdekatan sehingga menimbulkan
disfungsi neurologis. Penambahan besar di parenkim otak dapat menyebabkan
peningkatan intrakranial yang berpotensi menngakibatkan herniasi.3
2.1.4

Manifestasi Klinis
Onset dari perdarahan serebral umumnya pada waktu aktivitas sehari-hari yang

bersifat progresif (dalam menit ke jam). Manifestasi klinis yang ditimbulkan biasanya
berkaitan dengan peningkatan tekanan intrakranial yaitu:
Penurunan kesadaran
Mual dan muntah
Nyeri kepala
Kejang
Defisit neurologis3,4
2.1.5

Diagnosis
Cara yang paling akurat untuk mendefinisikan stroke hemoragik dengan stroke

non hemoragik adalah dengan CT scan tetapi alat ini membutuhkan biaya yang besar
sehingga diagnosis ditegakkan atas dasar adanya suatu kelumpuhan gejala yang dapat
membedakan manifestasi klinis antara perdarahan infark.6
CT-scan adalah suatu pemeriksaan penunjang yang efektif bagi pasien dengan
kecurigaan perdarahan intraserebral untuk mengetahui lokasi,tempat, arah penyebaran
perdarahan. 6
2.1.6

Pemeriksaan Penunjang

Kimia darah
Lumbal punksi
EEG
CT scan
Volume darah pada perdarahan intraserebral bisa dihitung menggunakan

rumus Broderick :
(Panjang lesi x Lebar lesi x jumlah slice yang ada lesi) / 2
Arteriografi
2.1.7. Penanganan perdarahan intraserebral7
Semua penderita yang dirawat dengan intracerebral hemorrhage harus
mendapat
pengobatan untuk :
1. Normalisasi tekanan darah
2. Pengurangan tekanan intrakranial
3. Pengontrolan terhadap edema serebral
4. Pencegahan kejang
Hipertensi dapat dikontrol dengan obat, sebaiknya tidak berlebihan karena
adanya beberapa pasien yang tidak menderita hipertensi; hipertensi terjadi karena
cathecholaminergic discharge pada fase permulaan. Lebih lanjut autoregulasi dari
aliran darah otak akan terganggu baik karena hipertensi kronik maupun oleh tekanan
intrakranial yang meninggi. Kontrol yang berlebihan terhadap tekanan darah akan
menyebabkan iskemia pada miokard, ginjal dan otak.7
Dalam suatu studi retrospektif memeriksa dengan CT-Scan untuk
mengetahui hubungan tekanan darah dan pembesaran hematoma terhadap 79
penderita dengan PISH, mereka menemukan penambahan volume hematoma pada 16
penderita yang secara bermakna berhubungan dengan tekanan darah sistolik. Tekanan
darah sistolik 160 mmHg tampak berhubungan dengan penambahan volume
hematoma dibandingkan dengan tekanan darah sistolik 150 mmHg. Obat-obat anti
hipertensi yang dianjurkan adalah dari golongan :7

1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors


2. Angiotensin Receptor Blockers
3. Calcium Channel Blockers
Tindakan segera terhadap pasien dengan PIS ditujukan langsung
terhadap pengendalian TIK serta mencegah perburukan neurologis berikutnya.
Tindakan medis seperti hiperventilasi, diuretik osmotik dan steroid (bila perdarahan
tumoral) digunakan untuk mengurangi hipertensi intrakranial yang disebabkan oleh
efek massa perdarahan. Sudah dibuktikan bahwa evakuasi perdarahan yang luas
meninggikan survival pada pasien dengan koma, terutama yang bila dilakukan segera
setelah onset perdarahan.
Walau begitu pasien sering tetap dengan defisit neurologis yang jelas.
Pasien memperlihatkan tanda-tanda herniasi unkus memerlukan evakuasi yang sangat
segera dari hematoma. Angiogram memungkinkan untuk menemukan kelainan
vaskuler. Adalah sangat serius untuk memikirkan pengangkatan PIS yang besar
terutama bila ia bersamaan dengan hipertensi intrakranial yang menetap dan diikuti
atau telah terjadi defisit neurologis walau telah diberikan tindakan medis maksimal.
Adanya hematoma dalam jaringan otak bersamaan dengan adanya
kelainan neurologis memerlukan evakuasi bedah segera sebagai tindakan terpilih.
Beratnya perdarahan inisial menggolongkan pasien ke dalam tiga kelompok :7,8
1. Perdarahan progresif fatal.
Kebanyakan pasien berada pada keadaan medis buruk. Perubahan hebat
tekanan darah mempengaruhi kemampuan otak untuk mengatur darahnya,
gangguan elektrolit umum terjadi dan pasien sering dehidrasi. Hipoksia akibat
efek serebral dari perdarahan serta obstruksi jalan nafas memperburuk keadaan.
Perburukan dapat diikuti sejak saat perdarahan dengan bertambahnya tanda-tanda
peninggian TIK dan gangguan batang otak. Pengelolaan inisial pada kasus berat
ini adalah medikal dengan mengontrol tekanan darah ke tingkat yang tepat,
memulihkan kelainan metabolik, mencegah hipoksia dan menurunkan tekanan

intrakranial dengan manitol, steroid bila penyebabnya perdarahan tumoral serta


tindakan hiperventilasi. GCS biasanya kurang dari 6.
2. Kelompok sakit ringan (GCS 13-15).
3. Kelompok intermediet, dimana perdarahan cukup berat untuk menimbulkan
defisit neurologis parah namun tidak cukup untuk menyebabkan pasien tidak
dapat bertahan hidup (GCS 6-12). Tindakan medikal di atas diberikan hingga ia
keluar dari keadaan berbahaya, namun keadaan neurologis tidak menunjukkan
tanda-tanda perbaikan. Pada keadaan ini pengangkatan hematoma dilakukan
secara bedah.
PENGELOLAAN SECARA MEDIKAL
Penilaian dan Pengelolaan Inisial
Pengelolaan spontan terutama tergantung keadaan klinis pasien serta
etiologi, ukuran serta lokasi perdarahan. Tak peduli apakah tindakan konservatif atau
bedah yang akan dilakukan, penilaian dan tindakan medikal inisial terhadap pasien
adalah sama.
Saat pasien datang atau berkonsultasi, evaluasi dan pengelolaan awal
harus dilakukan bersama tanpa penundaan yang tidak perlu. Pemeriksaan neurologis
inisial dapat dilakukan dalam 10 menit, harus menyeluruh. Informasi ini untuk
memastikan prognosis, juga untuk membuat rencana tindakan selanjutnya.
Pemeriksaan neurologis serial harus dilakukan.
Tindakan standar adalah untuk mempertahankan jalan nafas, pernafasan,
dan sirkulasi. Hipoksia harus ditindak segera untuk mencegah cedera serebral
sekunder akibat iskemia. Pengamatan ketat dan pengaturan tekanan darah penting
baik pada pasien hipertensif maupun nonhipertensif. Jalur arterial dipasang untuk
pemantauan yang sinambung atas tekanan darah. Setelah PIS, kebanyakan pasien
adalah hipertensif. Penting untuk tidak menurunkan tekanan darah secara berlebihan
pada pasien dengan lesi massa intrakranial dan peninggian TIK, karena secara
bersamaan akan menurunkan tekanan perfusi serebral. Awalnya, usaha dilakukan

untuk mempertahankan tekanan darah sistolik sekitar 160 mmHg pada pasien yang
sadar dan sekitar 180 mmHg pada pasien koma, walau nilai ini tidak mutlak dan
akan bervariasi tergantung masing-masing pasien. Pasien dengan hipertensi berat dan
tak terkontrol mungkin diperkenankan untuk mempertahankan tekanan darah
sistoliknya di atas 180 mmHg, namun biasanya di bawah 210 mmHg, untuk
mencegah meluasnya perdarahan oleh perdarahan ulang. Pengelolaan awal
hipertensinya, lebih disukai labetalol, suatu antagonis alfa-1, beta-1 dan beta-2
kompetitif. Drip nitrogliserin mungkin perlu untuk kasus tertentu.
Gas darah arterial diperiksa untuk menilai oksigenasi dan status asambasa. Bila jalan nafas tidak dapat dijamin, atau diduga suatu lesi massa
intrakranial pada pasien koma atau obtundan, dilakukan intubasi endotrakheal.
Cegah pemakaian agen anestetik yang akan meninggikan TIK seperti oksida nitro.
Agen anestetik aksi pendek lebih disukai. Bila diduga ada peninggian TIK, dilakukan
hiperventilasi untuk mempertahankan PCO2 sekitar 25-30 mmHg, dan setelah kateter
Foley terpasang, diberikan mannitol 1,5 g/kg IV. Tindakan ini juga dilakukan pada
pasien dengan perburukan neurologis progresif seperti perburukan hemiparesis,
anisokoria

progresif,

atau

penurunan

tingkat

kesadaran.

Dilakukan

elektrokardiografi, dan denyut nadi dipantau.


Darah diambil saat jalur intravena dipasang. Hitung darah lengkap, hitung
platelet, elektrolit, nitrogen urea darah, creatinin serum, waktu protrombin, waktu
tromboplastin parsial, dan tes fungsi hati dinilai. Foto polos dilakukan bila perlu.
Setelah penilaian secara cepat dan stabilisasi pasien, dilakukan CT-scan
kepala tanpa kontras. Sekali diagnosis PIS ditegakkan, pasien dibawa untuk
mendapatkan pemeriksaan radiologis lain yang diperlukan, ke unit perawatan
intensif, kamar operasi atau ke bangsal, tergantung status klinis pasien, perluasan dan
lokasi perdarahan, serta etiologi perdarahan. Sasaran awal pengelolaan adalah
pencegahan perdarahan ulang dan mengurangi efek massa, sedang tindakan
berikutnya diarahkan pada perawatan medikal umum serta pencegahan komplikasi.7
Pencegahan atas Perdarahan Ulang

Perdarahan ulang jarang pada perdarahan hipertensif. Saat pasien sampai


di dokter, perdarahan aktif biasanya sudah berhenti. Risiko perdarahan ulang dari
AVM dan tumor juga jarang. Tindakan utama yang dilakukan adalah mengontrol
tekanan darah seperti dijelaskan di atas. Pada perdarahan karena aneurisma yang
ruptur, risiko perdarahan ulang lebih tinggi. Pertahankan tekanan darah 10-20 % di
atas tingkat normotensif untuk mencegah vasospasme, namun cukup rendah untuk
menekan risiko perdarahan. Beberapa menganjurkan asam aminokaproat, suatu agen
antifibrinolitik. Namun manfaat serta indikasinya tetap belum jelas.
Kasus dengan koagulasi abnormal, risiko perdarahan ulang atau
perdarahan yang berlanjut sangat nyata kecuali bila koagulopati dikoreksi. Pasien
dengan kelainan perdarahan lain dikoreksi sesuai dengan penyakitnya.
Mengurangi Efek Massa
Pengurangan efek massa dapat dilakukan secara medikal maupun bedah.
Pasien dengan peninggian TIK dan atau dengan area yang lebih fokal dari efek
massa, usaha nonbedah untuk mengurangi efek massa penting untuk mencegah
iskemia serebral sekunder dan kompresi batang otak yang mengancam jiwa.
Tindakan untuk mengurangi peninggian TIK antara lain: (9)
1. Elevasi kepala higga 30o untuk mengurangi volume vena intrakranial serta
memperbaiki drainase vena.
2. Manitol intravena (mula-mula 1,5 g/kg bolus, lalu 0,5 g/kg tiap 4-6 jam
untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L).
3. Restriksi cairan ringan (67-75% dari pemeliharaan) dengan penambahan bolus
cairan koloid bila perlu.
4. Ventrikulostomi

dengan

pemantauan

TIK

serta

drainase

CSS

untuk

mempertahankan TIK kurang dari 20 mmHg.


5. Intubasi endotrakheal dan hiperventilasi, mempertahankan PCO2 25-30 mmHg.

Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS, peninggian
kepala, restriksi cairan, dan manitol biasanya memadai. Tindakan ini dilakukan
untuk memperbaiki tekanan perfusi serebral dan mengurangi cedera iskemik
sekunder. Harus ingat bahwa tekanan perfusi serebral adalah sama dengan tekanan
darah arterial rata-rata dikurangi tekanan intrakranial, hingga tekanan darah sistemik
harus dipertahankan pada tingkat normal, atau lebih disukai sedikit lebih tinggi dari
tingkat normal. Diusahakan tekanan perfusi serebral setidaknya 70 mmHg, bila perlu
memakai vasopresor seperti dopamin intravena atau fenilefrin. 7
Pasien sadar dipantau dengan pemeriksaan neurologis serial, pemantauan
TIK jarang diperlukan. Pada pasien koma yang tidak sekarat (moribund), TIK
dipantau secara rutin. Disukai ventrikulostomi karena memungkinkan mengalirkan
CSS, karenanya lebih mudah mengontrol TIK. Perdarahan intraventrikuler menjadi
esensial karena sering terjadi hidrosefalus akibat hilangnya jalur keluar CSS. Lebih
disukai pengaliran CSS dengan ventrikulostomi dibanding hiperventilasi untuk
pengontrolan TIK jangka lama. Pemantauan TIK membantu menilai manfaat tindakan
medikal dan membantu memutuskan apakah intervensi bedah diperlukan. 7
Pemakaian kortikosteroid untuk mengurangi edema serebral akibat PIS
pernah dilaporkan bermanfaat pada banyak kasus anekdotal. Namun penelitian
menunjukkan bahwa deksametason tidak menunjukkan manfaat, di samping jelas
meningkatkan komplikasi (infeksi dan diabetes). Namun digunakan deksametason
pada perdarahan parenkhimal karena tumor yang berdarah dimana CT-scan
memperlihatkan edema serebral yang berat. 7
Perawatan Umum
Pasien dengan perdarahan intraventrikuler atau kombinasi dengan
perdarahan subarakhnoid atau parenkhimal akibat robeknya aneurisma nimodipin
diberikan 60 mg melalui mulut atau NGT setiap 4 jam. Belum ada bukti pemberian
intravena lebih baik. Namun penggunaan pada PIS non-aneurismal belum pasti. 8
Antikonvulsan diberikan begitu diagnosis PIS supratentorial ditegakkan,
kecuali bila perdarahan terbatas pada thalamus atau ganglia basal. Secara inisial

10

disukai fenitoin, karena kadar darah terapeutik dapat dicapai dalam 1 jam dengan
pemberian IV, mudah pemberiannya, dan efektif mencegah kejang umum. Pada
dewasa, pembebanan 1 g IV (50 mg/menit) diikuti 300-400 mg IV atau oral perhari.
Tekanan darah harus dipantau selama pembebanan IV karena infus yang terlalu cepat
dapat berakibat penurunan tekanan darah mendesak. Sebagai tambahan, EKG harus
dipantau karena fenitoin berkaitan dengan aritmia cardiac termasuk pelebaran interval
PR dan gelombang Q dengan diikuti kolaps vaskuler. Kadar fenitoin dipantau ketat
dan dosis disesuaikan hingga kadar fenitoin serum dalam jangkauan terapeutik (10-20
g/ml) dan pasien bebas kejang. 8
Antikonvulsan lain seperti fenobarbital (60 mg/IV atau oral, dua kali
sehari, kadar terapeutik darah 20-40 g/ml) dan Carbamazepin (200 mg oral, 3-4 kali
sehari, kadar terapeutik 4-12 g/ml). Kejang bisa bersamaan dengan peninggian
dramatik TIK dan tekanan darah sistemik, yang dapat menyebabkan perdarahan,
karenanya harus dicegah. Selain itu hipoksia dan asidosis sering tampak selama
aktifitas kejang, potensial untuk menambah cedera otak sekunder. 7
Pengelolaan metabolik yang baik diperlukan pada pasien dengan PIS.
Status cairan, elektrolit serum, dan fungsi renal harus ditaksir berulang, terutama pada
pasien dengan restriksi cairan, mendapat manitol atau diuretika lain, atau tidak
makan. Nutrisi memadai adalah esensial. 7
Penggunaan manitol
Pada gangguan neurologis, Diuretic Osmotik (Manitol) merupakan jenis diuretik
yang paling banyak digunakan. Manitol adalah suatu Hiperosmotik Agent yang
digunakan dengan segera meningkat. Volume plasma untuk meningkatkan aliran
darah otak dan menghantarkan oksigen (Norma D McNair dalam Black, Joyce M,
2005). Ini merupakan salah satu alasan manitol sampai saat ini masih digunakan
untuk mengobati klien menurunkan peningkatan tekanan intrakranial. Manitol selalu
dipakai untuk terapi edema otak, khususnya pada kasus dengan Hernisiasi. Manitol
masih merupakan obat untuk menurunkan tekanan intrakranial, tetapi jika hanya

11

digunakan sebagai mana mestinya. Bila tidak semestinya akan menimbulkan


toksisitas dari pemberian manitol, dan hal ini harus dicegah dan dimonitor. 7,8
Indikasi dan dosis pada terapi menurunkan tekanan intrakranial.
Terapi

penatalaksanaan

untuk

menurunkan

peningkatan

tekanan

intrakranial dimulai bilamana tekanan Intrakranial 20-25 mmHg. Management


penatalaksanaan peningkatan tekanan Intrakranial salah satunya adalah pemberian
obat diuretik osmotik (manitol), khususnya pada keadaan patologis edema otak.
Tidak direkomendasikan untuk penatalaksanaan tumor otak. Seperti yang telah
dijelaskan di atas, diuretik osmotik (manitol) menurunkan cairan total tubuh lebih
dari kation total tubuh sehingga menurunkan volume cairan intraseluler.
Dosis : Untuk menurunkan tekanan intrakranial, dosis manitol 0,25 1 gram/kgbb
diberikan bolus intravena, atau dosis tersebut diberikan intravena selama lebih
dari 10 15 menit. Manitol dapat jugadiberikan atau dicampur dalam larutan
Infus 1,5 2 gram/kgbb sebagai larutan 15-20% yang diberikan selama 30-60
menit. Manitol diberikan untuk menghasilkan nilai serum osmolalitas 310 320
mOsm/L. Osmolalitas serum sering kali dipertahankan antara 290 310 mOsm.
Tekanan Intrakranial harus dimonitor, harus turun dalam waktu 60 - 90 menit,
karena efek manitol dimulai setelah 0,5 - 1 jam pemberian. Fungsi ginjal,
elektrolit, osmolalitas serum juga dimonitor selama pasien mendapatkan manitol.
Perawat perlu memperhatikan secara serius, pemberian manitol bila osmolalitas
lebih dari 320 mOsm/L. Karena diureis, hipotensi dan dehidrasi dapat terjadi
dengan pemberian manitol dalam jumlah dosis yang banyak. Foley catheter harus
dipasang selama pasien mendapat terapi manitol. Dehidrasi adalah manisfestasi
dari peningkatan sodium serum dan nilai osmolalitas.
Obat Neuroprotektor :
1. Piracetam 1200 mg/kaplet

12

Indikasi : Kemunduran daya pikir, astenia, gangguan adaptasi, gangguan


reaksi psikomotor. Alkoholisme kronik dan adiksi. Disfungsi serebral
sehubungan dengan akibat pasca trauma.
Dosis : Oral sindroma psikoorganik yang berhubungan dengan penuaan, awal
6 kapsul atau 3 kaplet/hari dalam 2-3 dosis terbagi untuk 6 minggu.
Pemeliharaan : 1,2 g/hr. Sindroma pasca trauma, awal 2 kapsul atau 1 kaplet
3x/hari sampai mencapai efek yang diinginkan, lalu 1 kapsul atau
kaplet/hari. Inj IM atau IV 1 g 3x/hari.
Pemberian obat : sesudah makan.
Kontra indikasi : Kerusakan ginjal parah, hipersensitif.
Efek samping : Keguguran, mudah marah, sukar tidur, gelisah, gemetar,
agitasi, lelah, gangguan GI, mengantuk.
Mekanisme kerja : piracetam adalah suatu nontropic agent.
Rencana edukasi :

Oleh karena piracetam seluruhnya dieliminasi melalui ginjal, peringatan


harus diberikan pada penderita gangguan fungsi ginjal, oleh karena itu
dianjurkan melakukan pemeriksaan fungsi ginjal.

Oleh karena efek piracetam pada agregasi platelet, peringatan harus


diberikan pada penderita dengan gangguan hemostatis atau perdarahan
hebat.

2.

Injeksi Citicoline
Indikasi : Gangguan kesadaran yang menyertai kerusakan atau cedera
serebral, trauma serebral, operasi otak, dan infark serebral. Mempercepat
rehabilitasi tungkai atas dan bawah pada pasien hemiplegia apopleksi.
Dosis : Gangguan kesadaran karena cedera kepala atau operasi otak 100-500 mg
1-2x/hari secara IV drip atau injeksi. Gangguan kesadaran karena infark serebral

13

1000 mg 1x/hari secara injeksi IV. Hemiplegia apopleksi 1000 mg 1x/hari secara
oral atau injeksi IV.
Pemberian obat : berikan pada saat makan atau di antara waktu makan.
Efek samping : hipotensi, ruam, insomnia, sakit kepala, diplopia.
Mekanisme kerja :

Citicoline meningkatkan kerja formatio reticularis dari batang otak,


terutama sistem pengaktifan formatio reticularis ascendens yang
berhubungan dengan kesadaran.

Citicoline

mengaktifkan

sistem

pyramidal

dan

memperbaiki

kelumpuhan sistem motoris.

Citicoline menaikkan konsumsi O2 dari otak dan memperbaiki


metabolisme otak.

OPERASI 5
Untuk menentukan pasien mana yang harus di operasi adalah suatu
masalah yang sulit. Ada beberapa pandangan yang dapat dijadikan patokan /
pedoman :

Dari seluruh penderita PISH hanya sedikit kasus yang harus di operasi

Kriteria memilih pasien untuk operasi harus ketat dan sesuai dengan
norma-norma kemanusiaan. Harapan terhadap hasil tindakan operasi harus
terfokus terhadap quality of survival yang dapat diterima oleh pasien,
keluarganya dan masyarakat.

1. Continuous Ventricular Drainage


Continuous ventricular drainage sendiri bukanlah suatu tindakan pengobatan
terhadap PIS ; biasanya dilakukan untuk mengatasi hidrosefalus sekunder dan
menurunkan tekanan intrakranial. Drainase ditujukan pada ventrikel yang tida
mengandung gumpalan darah. Pada saat ini telah ada percobaan memasukkan tPA

14

atau urokinase kedalam ventrikel dan di aspirasi dalam interval waktu tertentu dan
menunjukkan hasil yang lebih baik daripada hanya drainase
2. Burr Hole Aspiration
Burr hole aspiration adalah suatu teknik dalam situasi gawat darurat. Tindakan ini
sudah lama ditinggalkan.
3. Kraniotomi
Jarak terdekat antara hematoma dan permukaan korteks biasanya
merupakan pedoman yang baik untuk menentukan tempat kraniotomi. Insisi
diatas korteks motoric hendaknya dicegah. Untuk suatu hematoma yang berada di
dekat korteks motorik hendaknya mempertimbangkan approach dari anterior
frontal , temporal atau parietal. Kaneko dan kawan-kawan 2 menggunakan teknik
bedah mikro untuk mengeluarkan hematoma didaerah insula. Mereka membuat
insisi kecil di girus temporalis anterior superior lalu menampakkan insula. Suzuki
dan Takaku1 menggunakan teknik bedah mikro melalui insisi transtemporal /
transsylvian untuk meng approach hematoma di daerah putamen. Dalam 459
kasus intracerebral hemorrhage ; 305 nonsurgikal , 154 surgikal , Kanno dan
kawan-kawan, tidak menemukan perbedaan yang bermakna dalam outcome antara
pasien yang di operasi dan pasien yang menerima medikamentosa . The
international surgical trial in intracerebral hemorrhage melakukan pilihan acak
terhadap 1033 pasien dalam kurun waktu 72 jam setelah terjadi onset. Rata-rata
operasi dilakukan dalam waktu 20 jam setelah onset.

Kriteria keberhasilan

didasarkan atas usia, volume hematoma dan skor Skala Koma Glasgow. Tidak ada
perbedaan yang bermakna antara kelompok operatif dan nonoperatif didalam
outcome dan mortalitas.
4. Stereotactic Or Endoscopic Aspiration Of Parenchymal Clot
Dalam suatu seri dari 56 pasien dengan perdarahan di daerah gangglia
basalis, aspirasi stereotaktik menunjukkan perbaikan yang jelas dari skor Skala

15

Koma Glasgow, komplikasi lebih sedikit dan mortalitas lebih rendah


dibandingkan

dengan

sekelompok

penderita

yang

mendapat

terapi

medikamentosa.
5. Stem Cell Therapy
Setelah hematoma di evakuasi, penelitipeneliti melakukan berbagai
percobaan untuk memperoleh perbaikan fungsional dengan menggunakan stem
cell untuk memperbaiki cerebral architecture yang telah rusak. Human neural
stem cell di injeksikan intravena satu hari setelah PIS eksperimental pada tikus.
Setelah dua bulan , stem cell telah bermigrasi di bagian pinggiran hematoma
dimana mereka berdifrensiasi dengan neuronneuron dan astrosit-astrosit. Hewan
hewan ini mempunyai fungsi motorik yang lebih baik dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Hal serupa ditemukan juga bila nestinpositive embryonic stem
cell ditransplantasikan kedalam ventrikel yang kontralateral. Tujuh hari setelah
PIS eksperimental pada tikus, PIS tampaknya merupakan suatu kondisi dimana
stem cell therapy dapa memegang peranan penting. Stem cell dapat di suntikkan
langsung kedalam rongga hematoma dimana kerusakan sel sangat banyak terjadi
dibatas antara hematoma dan jaringan otak. Stem cell di suntikkan pada saat
operasi mengevakuasi hematoma.

2.2

Aneurisme Serebral

2.2.1

Definisi
Aneurisma serebral (aneurisma otak) adalah kelemahan pada dinding pembuluh

darah otak, baik pembuluh darah nadi maupun pembuluh darah balik (tunika media dan
tunika intima dari arteri maupun vena) yang menyebabkan penggelembungan pembuluh
darah otak tersebut secara terlokalisir.9
2.2.2. Klasifikasi

16

Berdasarkan bentuknya, aneurisma dapat dibedakan menjadi aneurisma tipe


fusiformis dan aneurisma tipe sakular atau aneurisma kantung, dan aneurisma tipe
disekting.10
1. Tipe aneurisma tipe fusiformis (59%).
Penderita aneurisma ini mengalami kelemahan dinding melingkari pembuluh darah
setempat sehingga menyerupai badan botol. Paling sering disebabkan oleh aterosklerosis
(penumpukan lemak dalam pem-buluh darah).
2. Aneurisma tipe sakular atau aneurisma kantung (9095%). Pada aneurisma ini,
kelemahan hanya pada satu per-mukaan pembuluh darah sehingga dapat berbentuk
seperti kantung dan mempunyai tangkai atau leher. Dari seluruh aneurisma dasar
tengkorak, kurang lebih 90% merupakan aneurisma sakuler.
Berdasarkan diameternya aneurisma sakuler dapat dibedakan atas
(a) aneurisma sakuler kecil dengan diameter <15 mm;
(b) aneurisma sakuler sedang dengan diameter antara 1525 mm;
(c) aneurisma sakuler besar dengan diameter <2550 mm; dan
(d) aneurisma sakuler raksasa dengan diameter >50 mm. Aneurisma Berry adalah
aneurisma sakular yang leher dan batangnya menyerupai buah beri.
3.Aneurisma tipe disekting (<1%).

2.2.3

Patofisiologi
Aneurisma sakular berkembang dari defek lapisan otot (tunika muskularis) pada

arteri.Perubahan elastisitas membran dalam (lamina elastika interna) pada arteri otak,
dipercayai melemahkan dinding pembuluh darah dan mengurangi daya tahan arteri otak
terhadap perubahan dalam pembuluh darah. Perubahan ini banyak terjadi pada pertemuan
pembuluh darah yang aliran darahnya turbulen dan tahanan aliran darah pada dinding
arteri paling besar.2Aneurisma fusiformis berkembang dari arteri serebri yang berliku
yang biasanya berasal dari pembuluh darah vertebro-basiler dan diameternya bisa
mencapai beberapa sentimeter. Pasien aneurisma fusiformis khas mengalami gejala

17

kompresi saraf otak, tetapi tidak selalu disertai pendarahan subaraknoid.Sedangkan


aneurisma diseksi diakibatkan oleh nekrosis atau trauma pada arteri yang menyebabkan
darah masuk melalui tunika intima yang robek atau pendarahan interstisial (terutama di
aorta) sehingga memberi gambaran seperti gumpalan darah di sepanjang pembuluh
darah.Aneurisma serebral dapat timbul lebih dari satu (multipel) pada 1030 % kasus.
Kira-kira 75% dari kasus multipel aneurisma tersebut memiliki 2 aneurisma, 15%
memiliki 3 aneurisma, dan 10 % memiliki lebih dari 3 aneurisma. Aneurisma multipel
lebih banyak diidap oleh wanita daripada pria, yaitu sekitar 5:1, perbandingan ini akan
meningkat menjadi 11:1 pada pasien yang memiliki lebih dari 3 aneurisma. Aneurisma
multipel juga berhubungan dengan vaskulopati,seperti penyakit fibromuskuler dan
penyakit jaringan ikat yang lain. Aneurisma multipel dapat terjadi simetris bilateral
(disebut aneurisma cermin) atau terletak asimetris pada pembuluh darah yang
berbeda.Multipel aneurisma dapat terjadi pada satu arteri yang sama.10
2.2.4. Gejala
Aneurisma serebral hampir tidak pernah menimbulkan gejala, kecuali terjadi
pembesaran dan menekan salah satu saraf otak, sehingga memberikan gejala sebagai
kelainan saraf otak yang tertekan. Aneurisma yang kecil dan tidak progresif, hanya akan
menimbulkan sedikit bahkan tidak menimbulkan gejala. Pertanda awal bisa terjadi dalam
beberapa menit sampai beberapa minggu sebelum aneurisma pecah (ruptur). Sebelum
aneurisma berukuran besar mengalami ruptur, pasien akan mengalami gejala seperti,
yakni sakit kepala berdenyut yang mendadak dan berat, mual dan muntah, gangguan
penglihatan (pandangan kabur/ ganda, kelopak mata tidak membuka), kaku leher, nyeri
daerah wajah, kelumpuhan sebelah anggota ge-rak kaki dan tangan, denyut jantung dan
laju per-napasan naik turun, hilang kesadaran (kejang, koma, kematian), dan tidak
mengalami gejala apapun Rupturnya aneurisma serebral dapat menimbulkan pendarahan
di dalam selaput otak (meninges) dan otak sehingga mengakibatkan pendarahan subaraknoid (PSA) dan pendarahan intraserebral (PIS), yang keduanya dapat menimbulkan
gejala stroke. Juga dapat terjadi pendarahan ulang, hidrosefalus (akumulasi berlebihan
dari cairan otak), vasospasme (penyempitan pembuluh darah), dan aneurisma multipel.
Risiko ruptur aneurisma serebral tergantung pada besarnya ukuran aneurisma. Makin
besar ukurannya, makin tinggi risiko untuk ruptur. Angka ruptur aneurisma serebral kira-

18

kira 1,3% per tahun.3 Sebenarnya dapat dilakukan skrining pencitraan, tetapi tidak efektif
dari segi pembiayaan.4 Tingkat keparahan dari pendarahan subaraknoid (PSA) yang
terjadi pada ruptur aneurisma serebral, dapat menggunakan Skala Hunt-Hess11:
1. Derajat 1: asimtomatik (tidak bergejala) atau sakit kepala ringan dan kaku kuduk
ringan (angka harapan hidup sebesar 70%).
2. Derajat 2: sakit kepala ringan sampai sedang, kaku kuduk, tidak ada gangguan saraf
selain kelumpuhan saraf otak (angka harapan hidup sebesar 60%).
3. Derajat 3: somnolen (mengantuk) dengan gangguan saraf minimal (angka harapan
hidup 50%).
4. Derajat 4: stupor, hemiparesis (lumpuh separuh tubuh), awal dari kekakuan
deserebrasi, dan gangguan vegetatif (angka harapan hidup 20%).
5. Derajat 5: koma dalam, kekakuan deserebrasi (angka harapan hidup 10%).
6. Derajat 6: mati batang otak (sesuai dengan kriteria pendarahan subaraknoid derajat
Klasifikasi Fisher Grade mengelompokkan penampakan pendarahan subaraknoid
berdasarkan pemeriksaan CT scan11:
1. Derajat 1: tidak ada pendarahan.
2. Derajat 2: pendarahan subaraknoid dengan ketebalan 1 mm
3. Derajat 3: pendarahan subaraknoid dengan ketebalan 1 mm
4. Derajat 4: pendarahan subaraknoid tanpa memandang tebal pendarahan tetapi disertai
pendarahan intraventrikuler atau perluasan pendarahan ke jaringan otak (lapisan
parenkim otak)

Skala World Federation of Neurosurgical Society (WFNS) antara lain5:


Derajat 1: GCS 15, dengan tidak adanya defisit
Derajat 2: GCS 13V14, tanpa defisit motorik

19

Derajat 3: GCS 13V14, dengan defisit motorik


Derajat 4: GCS 7V12, dengan atau tanpa deficit motorik
Derajat 5: GCS 3V6, dengan atau tanpa deficit motoric

2.2.5

Diagnosis
Di negara maju, aneurisma pada stadium dini lebih banyak ditemukan. Hal ini

karena banyak orang yang menjalani pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI),
sehingga aneurisma pada tingkat awal dapat terlihat jelas.1 Kadang aneurisma tidak
sengaja ditemukan saat pemeriksaan kesehatan dengan menggunakan CT scan MRI atau
angiogram. Diagnosis pasti aneurisma pembuluh darah otak, beserta lokasi dan ukuran
aneurisma dapat ditetapkan dengan menggunakan pemeriksaan angiogram yang juga
dipakai sebagai panduan dalam pembedahan.1 iasanya pungsi lumbal tidak perlu
dilakukan, kecuali jika diduga terdapat meningitis atau infeksi lainnya. Jika diperlukan,
bisa dilakukan pungsi lumbal untuk

melihat keberadaan darah di dalam cairan

serebrospinal. Kemungkinan juga bisa terjadi leukositosis yang tidak terlalu berarti.12
2.2.6

Terapi
Untuk aneurisma yang belum ruptur, terapi ditujukan untuk mencegah agar

aneurisma tidak ruptur, dan juga agar tidak terjadi penggelembungan lebih lanjut dari
aneurisma tersebut. Sedangkan untuk aneurisma yang sudah ruptur, tujuan terapi adalah
untuk men-cegah pendarahan lebih lanjut dan mencegah atau membatasi terjadinya
vasospasme. Penderita harus segera dirawat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat.
Obat pereda nyeri diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat. Kadang dipasang selang
drainase di dalam otak untuk mengurangi tekanan.Terapi darurat untuk pasien yang
mengalami rupture aneurisma serebral mencakup pemulihan fungsi pernapasan dan
mengurangi tekanan dalam rongga tengkorak (tekanan intrakranial). Saat ini, ada dua
alternative terapi untuk tatalaksana aneurisma serebral, yaitu kliping operatif dan koiling
endovaskuler. Jika memungkinkan, kedua jenis terapi ini dilakukan pada 24 jam pertama
setelah pendarahan untuk mengatasi aneurisma yang ruptur, serta mengurangi risiko
pendarahan ulang.11,12

20

Kliping operatif
Kliping operatif diperkenalkan pada tahun 1937. Terapi ini mencakup kraniotomi
(pembukaan tengkorak), melihat aneurismanya, dan menutup dasar aneurisma dengan
klip yang dipilih khusus sesuai dengan area terjadinya aneurisma. Pemasangan klip
logam kecil di dasar aneurisma bertujuan supaya bagian dari pembuluh arah yang
menggelembung itu tertutup dan tidak bisa dilalui oleh darah.1 Teknik operasi ini telah
berkembang dan menurunkan angka kekambuhan aneurisma.
Koiling endovaskuler
Koiling endovaskuler diperkenalkan tahun 1991. Teknik ini dilakukan dengan
pemasangan

kateter

melalui

pembuluh

nadi

paha

(arteri

femoralis)

menuju

aorta,pembuluh nadi otak, dan akhirnya ke aneurismanya. Dengan bantuan sinar X,


dipasang koil logam di tempat aneurisma pembuluh darah otak tersebut. Ketika kateter
berada di dalam aneurisma, koil platina didorong masuk ke dalam aneurisma, lalu
dilepaskan. Setelah itu dialirkan arus listrik ke koil logam tersebut, dan diharapkan darah
di tempat aneurisma itu akan membeku dan menutupi seluruh aneurisma tersebut.1
Koil-koil ini akan merangsang reaksi pembekuan di dalam aneurisma sehingga dapat
menghilangkan aneurisma itu sendiri. Teknik ini hanya memerlukan insisi kecil sebagai
tempat masuknya kateter. Pada kasus aneurisma dengan leher yang lebar, sebuah sten
dipasang pada pembuluh darah nadi sebagai pemegang kumparan, namun studi
pemasangan sten jangka lama dalam pembuluh darah otak belum dilakukan.

2.2.7

Komplikasi Operasi
Komplikasi kliping operatif, antara lain12:

1. Komplikasi pendarahan
2. Komplikasi iskemik
3. Kerusakan pembuluh darah utama dan cabangcabangnya

21

4. Trauma iatrogenik yang mengakibatkan deficit neurologis akut atau tertunda


5. Meningitis
6. Selulitis dan infeksi luka
7. Sindroma posoperatif yang nonspesifik, mirip dengan sindroma poskonkusif

2.3.
CAROTID CAVERNOUS FISTULAS
2.3.1. Definisi
Carotid cavernous fistula (CCF) merupakan hubungan abnormal antara cavernous
sinus (CS) dengan internal Carotid Artery (ICA) atau dengan salah satu cabang External
Carotid Artery (ECA)13.

22

2.3.2. Anatomi
Cavernous sinus terletak pada fossa media yaitu di medial dari tulang sphenoid
atau di lateral kompatemen sellar yang merupakan ruang anatomis ekstradural yang
langsung berhubungan dengan klivus dan basio oksiput. CS memiliki 2 lapis dura yaitu
untuk bagian lateral dan atas sedangkan bagian inferior dan medial tulang sphenoid
terbentuk dari periosteum. Kedua sinus dihubungkan satu sama lain oleh sinus sirkular
yaitu sinus intrakavernosus yang terletak disebelah anterior dan posterior hipofisis. CS
menerima darah dari vena oftalmika superior dan inferior,vena serebral,sinus
sphenoparietal dan vena sentralis retina. CS melakukan drainase ke dalam vena jugularis
interna melalui sinus petrosal superior dan inferior serta pleksus basilaris. Beberapa
nervus kranialis berjalan di dalam CS antara lain nervus abducens (CN VI), nervus
okulomotorius(CN III), nervus trochlear (CN IV) dan cabang dari nervus trigeminus (CN
V) yaitu nervus oftalmikus (CN V1) dan nervus maksilaris (CN V2). CN VI berjalan di
dalam CS, sedangkan nervus kranialis lainnya berjalan di dinding lateral CS.
2.3.3. Gejala Klinis
Manifestasi klinis CCF dapat bervariasi tergantung dari ukuran, lokasi anatomis,
durasi atau kecepatan perkembanganya dan rute drainase vena pada fistula. Direct fistulas
lebih bermanifestasi dan mengikuti trias klasik yang juga dikenal dengan Dandys triad
antara lain
adanya eksoptalmus yang berdenyut, khemosis dan kehilangan visus.CS mendrainase ke
dalam bulbus jugularis melalui sinus petrosus inferior dan superior. Vena cerebral media
superfisialis melakukan drainase ke dalam sinus kavernosus melalui sinus sphenoparietal.
Vena oftalmika superior dan inferior melakukan drainase ke dalam CS. Adanya fistula
mengakibatkan terjadi jalur abnormal resistensi rendah antara sistem karotis yang
bertekanan kuat dengan sistem vena yang bertekanan rendah. Berdasarkan lokasi
anatomi,
fistula digolongkan :
1.
2.

Fistula di anterior melibatkan vena oftlalmik superior dengan gejala eksoptalmus.


Fistula di posterior terjadinya belakangan (beberapa minggu setelah trauma).

23

3. Intracerebral Hemorrhage (ICH) akibat direct dan indirect fistulas yang


berhubungan
dengan drainase vena retrograde kortikal. ICH akibat direct CCF sering memiliki
prognosis buruk dengan resiko perdarahan ulang yang tinggi dalam jangka waktu
pendek.
Apabila peningkatan aliran darah tidak dapat diakomodasi melalui vena basilaris
dan sistem petrosus, peningkatan tekanan di dalam CS akan dikurangi melalui vena
oftalmika superior dan vena oftalmika inferior. Hal ini menyebabkan kongesti vena
orbita, proptosis (72%), pembengkakan kelopak mata, ulserasi kornea, eksoptalmus yang
berdenyut, khemosis (55%), glaukoma sekunder, CN VI palsy (49%), komplit
oftalmoplegi (24%) dan gangguan visus (18%). Pada pemeriksaan juga didapatkan bising
orbita (80%) yang bisa didengarkan dengan stetoskop, hal ini terjadi akibat konduksi
tulang dari drainase posterior. Fistula dengan kaliber yang besar dapat menyebabkan
manifestasi klinis yang akut. Kompresi mekanik, keterbatasan gerakan sekunder vena
dalam orbita atau hipoperfusi retina dan optik serta neuropati iskemik CN III, IV, V dan
VI dapat terjadi akibat adanya pencurian arterial. Gejala lain yang dapat menyertai
antara lain nyeri retroorbita, nyeri pada
mata, nyeri kepala, peningkatan tekanan intraokuler dan juga dapat terjadi epistaksis
sebagai akibat dari perdarahan pada sinus sphenoid.
2.3.4. Klasifikasi
CCF dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, gambaran aliran angiografi,
anatomi
serta angiografi-anatomi menurut Barrow 13:
1. Menurut etiologi atau mekanisme terjadinya CCF dibagi menjadi traumatik,
spontan
atau iatrogenik. Iatrogenik dalam hal ini antara lain disebabkan oleh prosedur
operasi
antara lain pembedahan transsphenoidal.
2. Menurut gambaran aliran angiografi CCF dibagi menjadi aliran tinggi (high flow)
atau

24

aliran rendah (low flow).


3. Menurut anatomi atau morfologinya CCF dibagi menjadi langsung (direct fistula)
dan
tidak langsung (indirect fistula), sering dipakai oleh klinisi karena mudah
dikelompokan.
4. Klasifikasi yang umum digunakan adalah klasifikasi angiografi-anatomi menurut
Barrow et al. yang dibagi menjadi 4 tipe :
Tipe A : fistula langsung dengan aliran tinggi yang berasal dari robekan antara ICA dan
CS ; biasanya dikarenakan trauma (A1) atau karena ruptur aneurisma (A2).
Tipe B : pintas dura antara cabang meningeal ICA dan CS ; spontan.
Tipe C : pintas dura antara kedua cabang meningeal ECA dan ICA dan CS ; spontan.
Tipe D : pintas dura antara cabang meningeal ECA dan CS ; spontan.

Gambar 1. Klasifikasi menurut Barrow et al. secara skematis


Tingginya persentase trauma dalam menyebabkan CCF dapat dijelaskan karena
adanya hubungan anatomis antara ICA, CS dan dasar terngkorak. CS merupakan
satusatunya lokasi anatomis dimana arteri dikelilingi sepenuhnya oleh struktur vena. ICA
terfiksir pada dura di dasar tengkorak, sehingga bisa terkena robekan atau trauma tembus.
CCF traumatik merupakan akibat dari laserasi karotis-siphon atau salah satu cabang ICA
intrakavernosus sehingga terjadi hubungan langsung dengan CS. CCF traumatik pada
umumnya merupakan tipe yang memiliki aliran tinggi (high flow) dengan tekanan yang
tinggi.

25

False-aneurysm atau pseudoaneurisma dapat terbentuk apabila aliran darah arteri dari
ICA mengalir langsung ke dalam ruang perivena di dalam CS tanpa adanya pintasan
dengan salah satu vena. CCF dan pseudoaneurisma ini dapat muncul pada pasien yang
sama. CCF yang terjadi secara spontan relatif jarang. Walaupun terkadang kejadian ini
berkaitan dengan gangguan jaringan ikat sistemik seperti sindrom Ehlers-Danlos, namun
biasanya lebih sering dikarenakan ruptur aneurisma ICA intrakavernosus.
2.3.5. Pemeriksaan Penunjang
Pencitraan menggunakan CT scan kepala merupakan modalitas awal dalam
mengidentifikasi adanya trauma misalnya fraktur, dimana trauma merupakan penyebab
terbanyak CCF. Fraktur basis cranii sangat erat kaitannya dengan kejadian CCF. Baik CT
scan maupun MRI berguna dalam menilai derajat cedera parenkim otak dan menilai
direct fistula atau indirect fistula. Pada indirect fistula dapat dilihat perubahan-perubahan
pada orbita seperti proptosis, dilatasi vena oftalmik, pembesaran CS dan penebalan
intrinsik otot-otot ekstraokuler. Sedangkan direct fistula sulit ditentukan lokasi dan
ukuran tract dari fistulanya karena high flow. CCF dapat diduga apabila pada CT scan
didapatkan dilatasi CS,
dilatasi vena oftalmika superior atau tampak adanya pelebaran vena lainnya. MRI dapat
menunjukkan penyebab eksternal cedera pada nervus kranial dan sangat akurat dalam
menilai ICH dan iskemia.
Angiografi merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosis CCF. Manuver
Heuber dapat membantu mengidentifikasi perluasan fistula ke bagian atas dan dapat
menunjukkan fistula traumatik lubang ganda dan diseksi arteri komplit, yaitu dengan
melakukan injeksi arteri vertebralis ipsilateral dengan kompresi ICA ipsilateral lesi. Akan
tampak pengisian siphon retrograd pada CS sehingga lokasi fistula akan lebih tampak.
Manuver Mehringer-Hieshima juga dapat membantu evaluasi fistula yaitu dengan injeksi
kontras sebanyak 2-3 ml/s ke dalam ICA intrakavernosus disertai dengan kompresi
manual ICA ipsilateral yang lebih proksimal pada leher. Pada pasien dengan kolagenopati
yaitu sindrom Ehlers Danlos IV, angiografi invasif sebaiknya dihindari karena adanya
kerapuhan dari dinding vaskular. Prosedur ini justru akan mendatangkan bahaya pada

26

keadaan tersebut, sehingga pencitraan Dopler dan MRA merupakan pemeriksaan pilihan
pada keadaan tersebut.
Direct Fistula
Direct fistula dapat diakibatkan oleh trauma, iatrogenik dan spontan. 80-90%
disebabkan oleh trauma. Pada umumnya fistula traumatik bersifat langsung dan beraliran
tinggi. Beberapa penyebab terjadinya CCF traumatik antara lain kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh, kecelakaan olahraga, luka tembak pada kepala, trauma tusuk pada
kepala. Penelitian Bhatti menunjukkan CCF traumatik paling banyak didapatkan pada
kaum pria dengan rerata umur 35,6 tahun dan onset gejala muncul setelah 23 minggu
setelah trauma. Iatrogenik disebabkan oleh prosedur transsphenoid atau operasi lainnya,
sedangkan spontan disebabkan oleh pecahnya aneurisma intracavernous atau defek
jaringan penunjang yang congenital seperti Ehler Danlos Syndrom tipe IV.
Indirect Fistula
Fistula ini terjadi akibat hubungan abnormal antara cabang ICA atau ECA (atau
keduanya) dengan CS, yang termasuk fistula ini adalah dural CCF atau dural
arteriovenous fistulas. Sering mengenai wanita usia dekade 6-7. Fistula yang tidak
langsung dan beraliran rendah biasanya berhubungan dengan aterosklerosis, hipertensi
arterial, diabetes melitus dan penyakit kolagen. Pada fistula yang bertekanan rendah dan
beraliran rendah, penyebabnya jarang dihubungkan dengan trauma. Cenderung bersifat
spontan dikarenakan hipertensi atau faktor hormonal yang berhubungan dengan
kehamilan dan menopause. Gejala yang timbul berupa kemosis (94%), proptosis (87%),
trigeminal nerve neurpati (54%), peningkatan tekanan intraokular (60%) dan penuruna
visus (28%). Diagnosisnya berdasarkan angiografi pada ICA dan ECA, akan tampak
aliran lambat pada saat suntikan angiografi. Penekanan intermiten karotis ipsilateral
direkomendasikan pada pasien dengan gejala yang minor dan tanpa gambaran
angioarsitektur yang berbahaya.13
2.3.6. Penatalaksanaan

27

Penatalaksanaan CCF bertujuan untuk memperbaiki gejala-gejala okuler serta


mencegah perkembangan hipertensi vena intrakranial dengan mempertahankan patensi
ICA dan obliterasi fistula dan hal ini bisa tercapai dengan pendekatan endovaskular.
Fistula yang bersifat langsung dan high flow jarang mengalami resolusi sempurna dan
tanpa penanganan, 80-90% kasus akan mengalami kebutaan dikarenakan oklusi vena
retina sentralis atau karena glaukoma. Pada low flow fistula, dapat terjadi trombosis
spontan. Penanganan secara konservatif mungkin dapat efektif pada fistula yang bersifat
tidak langsung. Salah satunya adalah kompresi manual pada ICA ipsilateral sekitar 30
hingga 40 detik sebanyak 4 kali tiap jam menggunakan tangan kontralateral karena
tangan tersebut akan mengalami kelemahan apabila iskemia serebral terjadi. Hal tersebut
diharapkan dapat
menyebabkan trombosis pada fistula. Pada kejadian kehilangan penglihatan atau paralisis
nervus kranialis secara akut, glukokortikoid (misalnya dexametason) dapat digunakan
sambil menunggu diagnosis dan penanganan definitif.
Ada beberapa kondisi yang menandakan embolisasi endovaskular harus segera
dilakukan antara lain : kehilangan penglihatan yang progresif, epistaksis, aneurisma sinus
sphenoid, pasien koma dimana lesi intrakranial sudah disingkirkan, proptosis progresif
sehingga terjadi paparan terhadap kornea, bruit oftalmik, nyeri retroorbita. Pilihan terapi
terhadap CCF yang langsung adalah embolisasi transarterial dengan menggunakan balon
(detachable balloon), yang memiliki angka keberhasilan 75-80%. Resiko iskemia pasca
operasi dilaporkan 7% dengan defisit permanen sekitar 15%, teknik ini telah dilakukan
sejak 2003 di Amerika. Tehnik lain dapat dilakukan dengan pendekatan pada sistem vena
apabila pendekatan transarterial tidak berhasil atau sulit karena anatomi vaskular lokal.
Namun balon lebih sulit dan berbahaya untuk dilakukan manuver melalui jalur vena yang
berkelok, sehingga coil lebih sering digunakan untuk pendekatan transvenosus.
Keuntungan penanganan endovaskular antara lain merupakan tindakan yang invasif
minimal, kemungkinan dilakukan tanpa anestesi umum, waktu pemulihan setelah
prosedur lebih cepat.13
Pada umumnya CCF dapat dioklusi dengan detachable balloon yang dimasukkan
melalui rute arterial sehingga mempertahankan patensi ICA. Balon yang berbahan lateks

28

atau silikon dimasukkan melalui mikrokateter menuju CS melalui pendekatan


perkutaneus pada arteri femoralis. Pintas yang bersifat high flow akan membawa balon
ke lokasi fistula dimana balon akan dikembangkan kemudian dilepaskan sehingga terjadi
oklusi fistula. Komplikasi yang jarang terjadi pada tindakan embolisasi menggunakan
detachable balloon antara lain : peningkatan stasis vena, kongesti orbita, iskemia serebral,
infark serebral dan kerusakan neurologis permanen. Apabila pendekatan transarterial
tidak berhasil, dapat dilakukan pendekatan transvenosus dengan menggunakan coil. Jalur
vena dicapai melalui vena femoralis dimana mikrokateter dimasukkan kemudian
diarahkan ke CS, kemudian coil dimasukkan untuk mencapai oklusi vena. Hal ini harus
dilakukan dengan hati-hati karena coil tidak boleh masuk kedalam lumen ICA. Apabila
drainase vena terutama melalui sistem vena oftalmika, terkadang memungkinkan untuk
melakukan pembedahan langsung dengan pendekatan melalui vena oftalmika superior
dalam kateterisasi CS untuk penempatan coil secara transvenosus. Namun teknik ini
sangat berbahaya pada vena oftalmika yang berdilatasi dan cenderung rapuh sehingga
risiko perdarahan orbita lebih besar. Teknik ini digunakan untuk fistula yang bersifat
kronis. Pada penyakit kolagenopati, karena kerapuhan dinding pembuluh darah,
embolisasi endovaskular tidak dianjurkan karena tingginya risiko terjadi diseksi atau
ruptur ICA dan risiko perdarahan pasca prosedur. Intervensi dapat berupa ligasi sederhana
pada pembuluh darah.13
Radiosurgery
Radiosurgery merupakan pengobatan yang efektif pada indirect CCF yang low
flow.
Hal yang tidak diinginkan dari radiosurgery ini adalah waktu yang lama untuk
mengurangi gejala dan berpotensi untuk ICH. Pollock dkk merekomendasikan pemakaian
Gamma Knife radiosurgery diikuti dengan embolisasi, hal ini akan memperkuat
penutupan nidus fistula. Dosis yang digunakan terbatas, yaitu < 10 Gy. Dengan
kombinasi teknik ini dilaporkan kemosis dan proptosis membaik sekitar 94%, resolusi
gangguan visus 88% dan perbaikan diplopia 77%. Berdasarkan follow up dengan
angiografi, sekitar 80-91% pasien indirect CCF dengan kombinasi radiosurgeryembolisasi mengalami obliterasi komplit.13

29

Daftar Pustaka
1. Rowland L.P. Merritts Neurology 10th Ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins
Publishers. 2000.

30

2. Mayfield Clinic & Spine Institute. Intracerebelar hemorrhage. Available at


http://www.mayfieldclinic.com
3. Magistris F, et al. Intracerebral hemorrhage: pathophysiology, diagnosis and
management. Mc master University Medical J. 2013
4. Liebeskind

DS,

et

al.

Intracranial

Hemorrhage.

2015.

Available

at

http://www.medscape.com/article/116397
5. Perdarahan Intraserebral Hipertensif Abdul Gofar Sastrodiningrat Divisi Ilmu
Bedah Saraf Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, Medan Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y
September 2006.
6. Michael J. Aminoff, David A. Greenberg, Roger P. Simon :Clinical Neurology 6 th
edition Lange medical book.2005.p.285-316.
7.

Fred Rincon, Stephan A Mayer : Critical care management of spontaneous


intracerebral hemorrhage. Vol 12, December 2008, 1-15.

8. Ramandeep Sahni, Jesse Weinberger : Management of intracerebral hemorrhage.


Vol 3, 2007, 701-709
9. Ropper AH, Brown RH. The cerebrovascular diseases.Adams and Victor's
Principles of Neurology.
8th ed. New York: McGraw Hill; 2005. pp. 718-22.
10. Frosch MP, Anthony DC, Girolami UD. The central nervous system. In: Kumar V,
Abbas A, Fausto N, eds. Robbins and Cotran's Pathologic Basis of Disease. 7th ed.
Philadeplhia: Saunders; 2005. pp.1411-2.
11. Cloft HJ, Kallmes DF. Aneurysm packing with HydroCoil Embolic System
versus platinum coils: initial clinical experience. AJNR Am JNeuroradiol.2004;25
(1):60-2.
12. Solomon RA, Fink ME, Pile-Spellman J. Surgical management of unruptured
intracranial aneurysms. JNeurosurg.1994;80 (3):440-6.
13. Lanzino, G. Meyer, FB. Youmans Neurological Surgery, H. Richard Winn, 6 th Ed.
Elsevier Saunders : 4101-4113.

Anda mungkin juga menyukai

  • Jurnal THT
    Jurnal THT
    Dokumen10 halaman
    Jurnal THT
    Mageswari Selvarajoo
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Keratopati
    Lapkas Keratopati
    Dokumen5 halaman
    Lapkas Keratopati
    Mageswari Selvarajoo
    Belum ada peringkat
  • PCO
    PCO
    Dokumen2 halaman
    PCO
    Mageswari Selvarajoo
    Belum ada peringkat
  • Fobia Sosial
    Fobia Sosial
    Dokumen17 halaman
    Fobia Sosial
    Mageswari Selvarajoo
    100% (2)
  • Status Orang Sakit
    Status Orang Sakit
    Dokumen12 halaman
    Status Orang Sakit
    Mageswari Selvarajoo
    Belum ada peringkat
  • CHF
    CHF
    Dokumen30 halaman
    CHF
    Mageswari Selvarajoo
    100% (1)
  • CHF
    CHF
    Dokumen30 halaman
    CHF
    Mageswari Selvarajoo
    100% (1)