Paper Bedah Saraf 2
Paper Bedah Saraf 2
BAB 1
PENDAHULUAN
Sisrem serebrovaskular memberi aliran darah ke otak yang banyak mengandung
zat makanan yang penting bagi fungsional otak. Terhentinya aliran darah cerebrum
selama beberepa detik saja dapat menimbulkan disfungsi cerebtum.
Empat arteri besar menyalurkan darah ke otak yaitu : 2 arteri karotis interna dan 2
arteri vertebralis.
Penyakit serebrovaskular termasuk di dalamnya beberapa kelaianan paling sering
terjdi dan paling fatal, yatu: stroke, aneurisma intracranial dan malfformasi arteriovenus.
Penyakit-penyakit tersebut menyebabkan sekitar 2.000 kematian setiap tahun di Amerika
serikat dan penyebab utama dari kecacatan.
Insidensi penyakit serebrovaskular meningkat seiring dengan bertambah tua usia
dan faktor risiko lain. Kebanyakan penyakit serebrovaskular bermanifestasi sebagai
deficit neurologi fokal dengan onset yang sangat cepat.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pendarahan Intraserebral
Perdarahan dapat berasal dari rupturnya pembuluh darah dimanapun dalam
kranium.
Definisi
Perdarahan intraserebral atau intracerebral hemorrhage didefinisikan sebagai
perdarahan ke dalam parenkim otak biasanya berasal dari small penetrating artery.1
Perdarahan intraserebral pada umumnya disebabkan oleh hipertensi, arteriovenous
malformatios atau trauma kepala.2
2.1.2
Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya perdarahan intraserebral terdiri atas 2 faktor yaitu
Patogenesis
Perdarahan intraserebral terdiri atas 3 fase yaitu initial hemorrhage, hematoma
Manifestasi Klinis
Onset dari perdarahan serebral umumnya pada waktu aktivitas sehari-hari yang
bersifat progresif (dalam menit ke jam). Manifestasi klinis yang ditimbulkan biasanya
berkaitan dengan peningkatan tekanan intrakranial yaitu:
Penurunan kesadaran
Mual dan muntah
Nyeri kepala
Kejang
Defisit neurologis3,4
2.1.5
Diagnosis
Cara yang paling akurat untuk mendefinisikan stroke hemoragik dengan stroke
non hemoragik adalah dengan CT scan tetapi alat ini membutuhkan biaya yang besar
sehingga diagnosis ditegakkan atas dasar adanya suatu kelumpuhan gejala yang dapat
membedakan manifestasi klinis antara perdarahan infark.6
CT-scan adalah suatu pemeriksaan penunjang yang efektif bagi pasien dengan
kecurigaan perdarahan intraserebral untuk mengetahui lokasi,tempat, arah penyebaran
perdarahan. 6
2.1.6
Pemeriksaan Penunjang
Kimia darah
Lumbal punksi
EEG
CT scan
Volume darah pada perdarahan intraserebral bisa dihitung menggunakan
rumus Broderick :
(Panjang lesi x Lebar lesi x jumlah slice yang ada lesi) / 2
Arteriografi
2.1.7. Penanganan perdarahan intraserebral7
Semua penderita yang dirawat dengan intracerebral hemorrhage harus
mendapat
pengobatan untuk :
1. Normalisasi tekanan darah
2. Pengurangan tekanan intrakranial
3. Pengontrolan terhadap edema serebral
4. Pencegahan kejang
Hipertensi dapat dikontrol dengan obat, sebaiknya tidak berlebihan karena
adanya beberapa pasien yang tidak menderita hipertensi; hipertensi terjadi karena
cathecholaminergic discharge pada fase permulaan. Lebih lanjut autoregulasi dari
aliran darah otak akan terganggu baik karena hipertensi kronik maupun oleh tekanan
intrakranial yang meninggi. Kontrol yang berlebihan terhadap tekanan darah akan
menyebabkan iskemia pada miokard, ginjal dan otak.7
Dalam suatu studi retrospektif memeriksa dengan CT-Scan untuk
mengetahui hubungan tekanan darah dan pembesaran hematoma terhadap 79
penderita dengan PISH, mereka menemukan penambahan volume hematoma pada 16
penderita yang secara bermakna berhubungan dengan tekanan darah sistolik. Tekanan
darah sistolik 160 mmHg tampak berhubungan dengan penambahan volume
hematoma dibandingkan dengan tekanan darah sistolik 150 mmHg. Obat-obat anti
hipertensi yang dianjurkan adalah dari golongan :7
untuk mempertahankan tekanan darah sistolik sekitar 160 mmHg pada pasien yang
sadar dan sekitar 180 mmHg pada pasien koma, walau nilai ini tidak mutlak dan
akan bervariasi tergantung masing-masing pasien. Pasien dengan hipertensi berat dan
tak terkontrol mungkin diperkenankan untuk mempertahankan tekanan darah
sistoliknya di atas 180 mmHg, namun biasanya di bawah 210 mmHg, untuk
mencegah meluasnya perdarahan oleh perdarahan ulang. Pengelolaan awal
hipertensinya, lebih disukai labetalol, suatu antagonis alfa-1, beta-1 dan beta-2
kompetitif. Drip nitrogliserin mungkin perlu untuk kasus tertentu.
Gas darah arterial diperiksa untuk menilai oksigenasi dan status asambasa. Bila jalan nafas tidak dapat dijamin, atau diduga suatu lesi massa
intrakranial pada pasien koma atau obtundan, dilakukan intubasi endotrakheal.
Cegah pemakaian agen anestetik yang akan meninggikan TIK seperti oksida nitro.
Agen anestetik aksi pendek lebih disukai. Bila diduga ada peninggian TIK, dilakukan
hiperventilasi untuk mempertahankan PCO2 sekitar 25-30 mmHg, dan setelah kateter
Foley terpasang, diberikan mannitol 1,5 g/kg IV. Tindakan ini juga dilakukan pada
pasien dengan perburukan neurologis progresif seperti perburukan hemiparesis,
anisokoria
progresif,
atau
penurunan
tingkat
kesadaran.
Dilakukan
dengan
pemantauan
TIK
serta
drainase
CSS
untuk
Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS, peninggian
kepala, restriksi cairan, dan manitol biasanya memadai. Tindakan ini dilakukan
untuk memperbaiki tekanan perfusi serebral dan mengurangi cedera iskemik
sekunder. Harus ingat bahwa tekanan perfusi serebral adalah sama dengan tekanan
darah arterial rata-rata dikurangi tekanan intrakranial, hingga tekanan darah sistemik
harus dipertahankan pada tingkat normal, atau lebih disukai sedikit lebih tinggi dari
tingkat normal. Diusahakan tekanan perfusi serebral setidaknya 70 mmHg, bila perlu
memakai vasopresor seperti dopamin intravena atau fenilefrin. 7
Pasien sadar dipantau dengan pemeriksaan neurologis serial, pemantauan
TIK jarang diperlukan. Pada pasien koma yang tidak sekarat (moribund), TIK
dipantau secara rutin. Disukai ventrikulostomi karena memungkinkan mengalirkan
CSS, karenanya lebih mudah mengontrol TIK. Perdarahan intraventrikuler menjadi
esensial karena sering terjadi hidrosefalus akibat hilangnya jalur keluar CSS. Lebih
disukai pengaliran CSS dengan ventrikulostomi dibanding hiperventilasi untuk
pengontrolan TIK jangka lama. Pemantauan TIK membantu menilai manfaat tindakan
medikal dan membantu memutuskan apakah intervensi bedah diperlukan. 7
Pemakaian kortikosteroid untuk mengurangi edema serebral akibat PIS
pernah dilaporkan bermanfaat pada banyak kasus anekdotal. Namun penelitian
menunjukkan bahwa deksametason tidak menunjukkan manfaat, di samping jelas
meningkatkan komplikasi (infeksi dan diabetes). Namun digunakan deksametason
pada perdarahan parenkhimal karena tumor yang berdarah dimana CT-scan
memperlihatkan edema serebral yang berat. 7
Perawatan Umum
Pasien dengan perdarahan intraventrikuler atau kombinasi dengan
perdarahan subarakhnoid atau parenkhimal akibat robeknya aneurisma nimodipin
diberikan 60 mg melalui mulut atau NGT setiap 4 jam. Belum ada bukti pemberian
intravena lebih baik. Namun penggunaan pada PIS non-aneurismal belum pasti. 8
Antikonvulsan diberikan begitu diagnosis PIS supratentorial ditegakkan,
kecuali bila perdarahan terbatas pada thalamus atau ganglia basal. Secara inisial
10
disukai fenitoin, karena kadar darah terapeutik dapat dicapai dalam 1 jam dengan
pemberian IV, mudah pemberiannya, dan efektif mencegah kejang umum. Pada
dewasa, pembebanan 1 g IV (50 mg/menit) diikuti 300-400 mg IV atau oral perhari.
Tekanan darah harus dipantau selama pembebanan IV karena infus yang terlalu cepat
dapat berakibat penurunan tekanan darah mendesak. Sebagai tambahan, EKG harus
dipantau karena fenitoin berkaitan dengan aritmia cardiac termasuk pelebaran interval
PR dan gelombang Q dengan diikuti kolaps vaskuler. Kadar fenitoin dipantau ketat
dan dosis disesuaikan hingga kadar fenitoin serum dalam jangkauan terapeutik (10-20
g/ml) dan pasien bebas kejang. 8
Antikonvulsan lain seperti fenobarbital (60 mg/IV atau oral, dua kali
sehari, kadar terapeutik darah 20-40 g/ml) dan Carbamazepin (200 mg oral, 3-4 kali
sehari, kadar terapeutik 4-12 g/ml). Kejang bisa bersamaan dengan peninggian
dramatik TIK dan tekanan darah sistemik, yang dapat menyebabkan perdarahan,
karenanya harus dicegah. Selain itu hipoksia dan asidosis sering tampak selama
aktifitas kejang, potensial untuk menambah cedera otak sekunder. 7
Pengelolaan metabolik yang baik diperlukan pada pasien dengan PIS.
Status cairan, elektrolit serum, dan fungsi renal harus ditaksir berulang, terutama pada
pasien dengan restriksi cairan, mendapat manitol atau diuretika lain, atau tidak
makan. Nutrisi memadai adalah esensial. 7
Penggunaan manitol
Pada gangguan neurologis, Diuretic Osmotik (Manitol) merupakan jenis diuretik
yang paling banyak digunakan. Manitol adalah suatu Hiperosmotik Agent yang
digunakan dengan segera meningkat. Volume plasma untuk meningkatkan aliran
darah otak dan menghantarkan oksigen (Norma D McNair dalam Black, Joyce M,
2005). Ini merupakan salah satu alasan manitol sampai saat ini masih digunakan
untuk mengobati klien menurunkan peningkatan tekanan intrakranial. Manitol selalu
dipakai untuk terapi edema otak, khususnya pada kasus dengan Hernisiasi. Manitol
masih merupakan obat untuk menurunkan tekanan intrakranial, tetapi jika hanya
11
penatalaksanaan
untuk
menurunkan
peningkatan
tekanan
12
2.
Injeksi Citicoline
Indikasi : Gangguan kesadaran yang menyertai kerusakan atau cedera
serebral, trauma serebral, operasi otak, dan infark serebral. Mempercepat
rehabilitasi tungkai atas dan bawah pada pasien hemiplegia apopleksi.
Dosis : Gangguan kesadaran karena cedera kepala atau operasi otak 100-500 mg
1-2x/hari secara IV drip atau injeksi. Gangguan kesadaran karena infark serebral
13
1000 mg 1x/hari secara injeksi IV. Hemiplegia apopleksi 1000 mg 1x/hari secara
oral atau injeksi IV.
Pemberian obat : berikan pada saat makan atau di antara waktu makan.
Efek samping : hipotensi, ruam, insomnia, sakit kepala, diplopia.
Mekanisme kerja :
Citicoline
mengaktifkan
sistem
pyramidal
dan
memperbaiki
OPERASI 5
Untuk menentukan pasien mana yang harus di operasi adalah suatu
masalah yang sulit. Ada beberapa pandangan yang dapat dijadikan patokan /
pedoman :
Dari seluruh penderita PISH hanya sedikit kasus yang harus di operasi
Kriteria memilih pasien untuk operasi harus ketat dan sesuai dengan
norma-norma kemanusiaan. Harapan terhadap hasil tindakan operasi harus
terfokus terhadap quality of survival yang dapat diterima oleh pasien,
keluarganya dan masyarakat.
14
atau urokinase kedalam ventrikel dan di aspirasi dalam interval waktu tertentu dan
menunjukkan hasil yang lebih baik daripada hanya drainase
2. Burr Hole Aspiration
Burr hole aspiration adalah suatu teknik dalam situasi gawat darurat. Tindakan ini
sudah lama ditinggalkan.
3. Kraniotomi
Jarak terdekat antara hematoma dan permukaan korteks biasanya
merupakan pedoman yang baik untuk menentukan tempat kraniotomi. Insisi
diatas korteks motoric hendaknya dicegah. Untuk suatu hematoma yang berada di
dekat korteks motorik hendaknya mempertimbangkan approach dari anterior
frontal , temporal atau parietal. Kaneko dan kawan-kawan 2 menggunakan teknik
bedah mikro untuk mengeluarkan hematoma didaerah insula. Mereka membuat
insisi kecil di girus temporalis anterior superior lalu menampakkan insula. Suzuki
dan Takaku1 menggunakan teknik bedah mikro melalui insisi transtemporal /
transsylvian untuk meng approach hematoma di daerah putamen. Dalam 459
kasus intracerebral hemorrhage ; 305 nonsurgikal , 154 surgikal , Kanno dan
kawan-kawan, tidak menemukan perbedaan yang bermakna dalam outcome antara
pasien yang di operasi dan pasien yang menerima medikamentosa . The
international surgical trial in intracerebral hemorrhage melakukan pilihan acak
terhadap 1033 pasien dalam kurun waktu 72 jam setelah terjadi onset. Rata-rata
operasi dilakukan dalam waktu 20 jam setelah onset.
Kriteria keberhasilan
didasarkan atas usia, volume hematoma dan skor Skala Koma Glasgow. Tidak ada
perbedaan yang bermakna antara kelompok operatif dan nonoperatif didalam
outcome dan mortalitas.
4. Stereotactic Or Endoscopic Aspiration Of Parenchymal Clot
Dalam suatu seri dari 56 pasien dengan perdarahan di daerah gangglia
basalis, aspirasi stereotaktik menunjukkan perbaikan yang jelas dari skor Skala
15
dengan
sekelompok
penderita
yang
mendapat
terapi
medikamentosa.
5. Stem Cell Therapy
Setelah hematoma di evakuasi, penelitipeneliti melakukan berbagai
percobaan untuk memperoleh perbaikan fungsional dengan menggunakan stem
cell untuk memperbaiki cerebral architecture yang telah rusak. Human neural
stem cell di injeksikan intravena satu hari setelah PIS eksperimental pada tikus.
Setelah dua bulan , stem cell telah bermigrasi di bagian pinggiran hematoma
dimana mereka berdifrensiasi dengan neuronneuron dan astrosit-astrosit. Hewan
hewan ini mempunyai fungsi motorik yang lebih baik dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Hal serupa ditemukan juga bila nestinpositive embryonic stem
cell ditransplantasikan kedalam ventrikel yang kontralateral. Tujuh hari setelah
PIS eksperimental pada tikus, PIS tampaknya merupakan suatu kondisi dimana
stem cell therapy dapa memegang peranan penting. Stem cell dapat di suntikkan
langsung kedalam rongga hematoma dimana kerusakan sel sangat banyak terjadi
dibatas antara hematoma dan jaringan otak. Stem cell di suntikkan pada saat
operasi mengevakuasi hematoma.
2.2
Aneurisme Serebral
2.2.1
Definisi
Aneurisma serebral (aneurisma otak) adalah kelemahan pada dinding pembuluh
darah otak, baik pembuluh darah nadi maupun pembuluh darah balik (tunika media dan
tunika intima dari arteri maupun vena) yang menyebabkan penggelembungan pembuluh
darah otak tersebut secara terlokalisir.9
2.2.2. Klasifikasi
16
2.2.3
Patofisiologi
Aneurisma sakular berkembang dari defek lapisan otot (tunika muskularis) pada
arteri.Perubahan elastisitas membran dalam (lamina elastika interna) pada arteri otak,
dipercayai melemahkan dinding pembuluh darah dan mengurangi daya tahan arteri otak
terhadap perubahan dalam pembuluh darah. Perubahan ini banyak terjadi pada pertemuan
pembuluh darah yang aliran darahnya turbulen dan tahanan aliran darah pada dinding
arteri paling besar.2Aneurisma fusiformis berkembang dari arteri serebri yang berliku
yang biasanya berasal dari pembuluh darah vertebro-basiler dan diameternya bisa
mencapai beberapa sentimeter. Pasien aneurisma fusiformis khas mengalami gejala
17
18
kira 1,3% per tahun.3 Sebenarnya dapat dilakukan skrining pencitraan, tetapi tidak efektif
dari segi pembiayaan.4 Tingkat keparahan dari pendarahan subaraknoid (PSA) yang
terjadi pada ruptur aneurisma serebral, dapat menggunakan Skala Hunt-Hess11:
1. Derajat 1: asimtomatik (tidak bergejala) atau sakit kepala ringan dan kaku kuduk
ringan (angka harapan hidup sebesar 70%).
2. Derajat 2: sakit kepala ringan sampai sedang, kaku kuduk, tidak ada gangguan saraf
selain kelumpuhan saraf otak (angka harapan hidup sebesar 60%).
3. Derajat 3: somnolen (mengantuk) dengan gangguan saraf minimal (angka harapan
hidup 50%).
4. Derajat 4: stupor, hemiparesis (lumpuh separuh tubuh), awal dari kekakuan
deserebrasi, dan gangguan vegetatif (angka harapan hidup 20%).
5. Derajat 5: koma dalam, kekakuan deserebrasi (angka harapan hidup 10%).
6. Derajat 6: mati batang otak (sesuai dengan kriteria pendarahan subaraknoid derajat
Klasifikasi Fisher Grade mengelompokkan penampakan pendarahan subaraknoid
berdasarkan pemeriksaan CT scan11:
1. Derajat 1: tidak ada pendarahan.
2. Derajat 2: pendarahan subaraknoid dengan ketebalan 1 mm
3. Derajat 3: pendarahan subaraknoid dengan ketebalan 1 mm
4. Derajat 4: pendarahan subaraknoid tanpa memandang tebal pendarahan tetapi disertai
pendarahan intraventrikuler atau perluasan pendarahan ke jaringan otak (lapisan
parenkim otak)
19
2.2.5
Diagnosis
Di negara maju, aneurisma pada stadium dini lebih banyak ditemukan. Hal ini
karena banyak orang yang menjalani pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI),
sehingga aneurisma pada tingkat awal dapat terlihat jelas.1 Kadang aneurisma tidak
sengaja ditemukan saat pemeriksaan kesehatan dengan menggunakan CT scan MRI atau
angiogram. Diagnosis pasti aneurisma pembuluh darah otak, beserta lokasi dan ukuran
aneurisma dapat ditetapkan dengan menggunakan pemeriksaan angiogram yang juga
dipakai sebagai panduan dalam pembedahan.1 iasanya pungsi lumbal tidak perlu
dilakukan, kecuali jika diduga terdapat meningitis atau infeksi lainnya. Jika diperlukan,
bisa dilakukan pungsi lumbal untuk
serebrospinal. Kemungkinan juga bisa terjadi leukositosis yang tidak terlalu berarti.12
2.2.6
Terapi
Untuk aneurisma yang belum ruptur, terapi ditujukan untuk mencegah agar
aneurisma tidak ruptur, dan juga agar tidak terjadi penggelembungan lebih lanjut dari
aneurisma tersebut. Sedangkan untuk aneurisma yang sudah ruptur, tujuan terapi adalah
untuk men-cegah pendarahan lebih lanjut dan mencegah atau membatasi terjadinya
vasospasme. Penderita harus segera dirawat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat.
Obat pereda nyeri diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat. Kadang dipasang selang
drainase di dalam otak untuk mengurangi tekanan.Terapi darurat untuk pasien yang
mengalami rupture aneurisma serebral mencakup pemulihan fungsi pernapasan dan
mengurangi tekanan dalam rongga tengkorak (tekanan intrakranial). Saat ini, ada dua
alternative terapi untuk tatalaksana aneurisma serebral, yaitu kliping operatif dan koiling
endovaskuler. Jika memungkinkan, kedua jenis terapi ini dilakukan pada 24 jam pertama
setelah pendarahan untuk mengatasi aneurisma yang ruptur, serta mengurangi risiko
pendarahan ulang.11,12
20
Kliping operatif
Kliping operatif diperkenalkan pada tahun 1937. Terapi ini mencakup kraniotomi
(pembukaan tengkorak), melihat aneurismanya, dan menutup dasar aneurisma dengan
klip yang dipilih khusus sesuai dengan area terjadinya aneurisma. Pemasangan klip
logam kecil di dasar aneurisma bertujuan supaya bagian dari pembuluh arah yang
menggelembung itu tertutup dan tidak bisa dilalui oleh darah.1 Teknik operasi ini telah
berkembang dan menurunkan angka kekambuhan aneurisma.
Koiling endovaskuler
Koiling endovaskuler diperkenalkan tahun 1991. Teknik ini dilakukan dengan
pemasangan
kateter
melalui
pembuluh
nadi
paha
(arteri
femoralis)
menuju
2.2.7
Komplikasi Operasi
Komplikasi kliping operatif, antara lain12:
1. Komplikasi pendarahan
2. Komplikasi iskemik
3. Kerusakan pembuluh darah utama dan cabangcabangnya
21
2.3.
CAROTID CAVERNOUS FISTULAS
2.3.1. Definisi
Carotid cavernous fistula (CCF) merupakan hubungan abnormal antara cavernous
sinus (CS) dengan internal Carotid Artery (ICA) atau dengan salah satu cabang External
Carotid Artery (ECA)13.
22
2.3.2. Anatomi
Cavernous sinus terletak pada fossa media yaitu di medial dari tulang sphenoid
atau di lateral kompatemen sellar yang merupakan ruang anatomis ekstradural yang
langsung berhubungan dengan klivus dan basio oksiput. CS memiliki 2 lapis dura yaitu
untuk bagian lateral dan atas sedangkan bagian inferior dan medial tulang sphenoid
terbentuk dari periosteum. Kedua sinus dihubungkan satu sama lain oleh sinus sirkular
yaitu sinus intrakavernosus yang terletak disebelah anterior dan posterior hipofisis. CS
menerima darah dari vena oftalmika superior dan inferior,vena serebral,sinus
sphenoparietal dan vena sentralis retina. CS melakukan drainase ke dalam vena jugularis
interna melalui sinus petrosal superior dan inferior serta pleksus basilaris. Beberapa
nervus kranialis berjalan di dalam CS antara lain nervus abducens (CN VI), nervus
okulomotorius(CN III), nervus trochlear (CN IV) dan cabang dari nervus trigeminus (CN
V) yaitu nervus oftalmikus (CN V1) dan nervus maksilaris (CN V2). CN VI berjalan di
dalam CS, sedangkan nervus kranialis lainnya berjalan di dinding lateral CS.
2.3.3. Gejala Klinis
Manifestasi klinis CCF dapat bervariasi tergantung dari ukuran, lokasi anatomis,
durasi atau kecepatan perkembanganya dan rute drainase vena pada fistula. Direct fistulas
lebih bermanifestasi dan mengikuti trias klasik yang juga dikenal dengan Dandys triad
antara lain
adanya eksoptalmus yang berdenyut, khemosis dan kehilangan visus.CS mendrainase ke
dalam bulbus jugularis melalui sinus petrosus inferior dan superior. Vena cerebral media
superfisialis melakukan drainase ke dalam sinus kavernosus melalui sinus sphenoparietal.
Vena oftalmika superior dan inferior melakukan drainase ke dalam CS. Adanya fistula
mengakibatkan terjadi jalur abnormal resistensi rendah antara sistem karotis yang
bertekanan kuat dengan sistem vena yang bertekanan rendah. Berdasarkan lokasi
anatomi,
fistula digolongkan :
1.
2.
23
24
25
False-aneurysm atau pseudoaneurisma dapat terbentuk apabila aliran darah arteri dari
ICA mengalir langsung ke dalam ruang perivena di dalam CS tanpa adanya pintasan
dengan salah satu vena. CCF dan pseudoaneurisma ini dapat muncul pada pasien yang
sama. CCF yang terjadi secara spontan relatif jarang. Walaupun terkadang kejadian ini
berkaitan dengan gangguan jaringan ikat sistemik seperti sindrom Ehlers-Danlos, namun
biasanya lebih sering dikarenakan ruptur aneurisma ICA intrakavernosus.
2.3.5. Pemeriksaan Penunjang
Pencitraan menggunakan CT scan kepala merupakan modalitas awal dalam
mengidentifikasi adanya trauma misalnya fraktur, dimana trauma merupakan penyebab
terbanyak CCF. Fraktur basis cranii sangat erat kaitannya dengan kejadian CCF. Baik CT
scan maupun MRI berguna dalam menilai derajat cedera parenkim otak dan menilai
direct fistula atau indirect fistula. Pada indirect fistula dapat dilihat perubahan-perubahan
pada orbita seperti proptosis, dilatasi vena oftalmik, pembesaran CS dan penebalan
intrinsik otot-otot ekstraokuler. Sedangkan direct fistula sulit ditentukan lokasi dan
ukuran tract dari fistulanya karena high flow. CCF dapat diduga apabila pada CT scan
didapatkan dilatasi CS,
dilatasi vena oftalmika superior atau tampak adanya pelebaran vena lainnya. MRI dapat
menunjukkan penyebab eksternal cedera pada nervus kranial dan sangat akurat dalam
menilai ICH dan iskemia.
Angiografi merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosis CCF. Manuver
Heuber dapat membantu mengidentifikasi perluasan fistula ke bagian atas dan dapat
menunjukkan fistula traumatik lubang ganda dan diseksi arteri komplit, yaitu dengan
melakukan injeksi arteri vertebralis ipsilateral dengan kompresi ICA ipsilateral lesi. Akan
tampak pengisian siphon retrograd pada CS sehingga lokasi fistula akan lebih tampak.
Manuver Mehringer-Hieshima juga dapat membantu evaluasi fistula yaitu dengan injeksi
kontras sebanyak 2-3 ml/s ke dalam ICA intrakavernosus disertai dengan kompresi
manual ICA ipsilateral yang lebih proksimal pada leher. Pada pasien dengan kolagenopati
yaitu sindrom Ehlers Danlos IV, angiografi invasif sebaiknya dihindari karena adanya
kerapuhan dari dinding vaskular. Prosedur ini justru akan mendatangkan bahaya pada
26
keadaan tersebut, sehingga pencitraan Dopler dan MRA merupakan pemeriksaan pilihan
pada keadaan tersebut.
Direct Fistula
Direct fistula dapat diakibatkan oleh trauma, iatrogenik dan spontan. 80-90%
disebabkan oleh trauma. Pada umumnya fistula traumatik bersifat langsung dan beraliran
tinggi. Beberapa penyebab terjadinya CCF traumatik antara lain kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh, kecelakaan olahraga, luka tembak pada kepala, trauma tusuk pada
kepala. Penelitian Bhatti menunjukkan CCF traumatik paling banyak didapatkan pada
kaum pria dengan rerata umur 35,6 tahun dan onset gejala muncul setelah 23 minggu
setelah trauma. Iatrogenik disebabkan oleh prosedur transsphenoid atau operasi lainnya,
sedangkan spontan disebabkan oleh pecahnya aneurisma intracavernous atau defek
jaringan penunjang yang congenital seperti Ehler Danlos Syndrom tipe IV.
Indirect Fistula
Fistula ini terjadi akibat hubungan abnormal antara cabang ICA atau ECA (atau
keduanya) dengan CS, yang termasuk fistula ini adalah dural CCF atau dural
arteriovenous fistulas. Sering mengenai wanita usia dekade 6-7. Fistula yang tidak
langsung dan beraliran rendah biasanya berhubungan dengan aterosklerosis, hipertensi
arterial, diabetes melitus dan penyakit kolagen. Pada fistula yang bertekanan rendah dan
beraliran rendah, penyebabnya jarang dihubungkan dengan trauma. Cenderung bersifat
spontan dikarenakan hipertensi atau faktor hormonal yang berhubungan dengan
kehamilan dan menopause. Gejala yang timbul berupa kemosis (94%), proptosis (87%),
trigeminal nerve neurpati (54%), peningkatan tekanan intraokular (60%) dan penuruna
visus (28%). Diagnosisnya berdasarkan angiografi pada ICA dan ECA, akan tampak
aliran lambat pada saat suntikan angiografi. Penekanan intermiten karotis ipsilateral
direkomendasikan pada pasien dengan gejala yang minor dan tanpa gambaran
angioarsitektur yang berbahaya.13
2.3.6. Penatalaksanaan
27
28
29
Daftar Pustaka
1. Rowland L.P. Merritts Neurology 10th Ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins
Publishers. 2000.
30
DS,
et
al.
Intracranial
Hemorrhage.
2015.
Available
at
http://www.medscape.com/article/116397
5. Perdarahan Intraserebral Hipertensif Abdul Gofar Sastrodiningrat Divisi Ilmu
Bedah Saraf Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, Medan Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y
September 2006.
6. Michael J. Aminoff, David A. Greenberg, Roger P. Simon :Clinical Neurology 6 th
edition Lange medical book.2005.p.285-316.
7.