Anda di halaman 1dari 3

Jangan Pergi, Di Luar Hujan Deras

Di luar hujan deras, kemana kau akan pergi? Begitu pertanyaaan


yang aku lontarkan bersamaan dengan langkahmu menuju pintu
gerbang. Di depan pintu gerbang aku berhasil meraih tanganmu.
Kau sedikit berontak sebelum akhirnya terdiam, membiarkanku
menahanmu.
Tinggallah disini dulu, jika tak bisa selamanya setidaknya sampai
hujan reda Begitu pintaku yang kau sambut dengan palingan
wajahmu.
Aku mengkhawatirkanmu nona, hujan begitu deras di luar sana,
walau kau bisa bertahan dari dinginnya, dari terpaan angin yang
kencang itu? Tapi aku tak bisa pungkiri untuk tetap
mengkhawatirkanmu. Hujan menjadi lebih deras, membuat nada
gaduh yang mengharuskanku sedikit berteriak.
Dlarr!! Tiba-tiba petir menyambar, kau berteriak kaget lalu
berangsur menuju pelukanku. Kau tahu, petir barusan adalah
suruhanku, agar kau mau tinggal disini, menemaniku.
Aku memelukmu erat, mencoba membawamu kembali masuk lewat
pintu kau keluar tadi. Namun kau menolak, melepaskan diri dari
pelukanku. Mengapa? Kau sudah tak suka dengan semua milikku?
Coba katakan, apa yang paling kau suka selama ini disini, kopi
panas? Teh? Biskuit? Atau apapun, coba katakan, duduklah yang
nyaman di dalam, aku akan menyiapkannya untukmu. Ku mohon,
tetaplah tinggal disini. Semua terasa kosong tanpa kau disini
Kau masih diam sejuta bahasa, menatapku dengan tatapan marah
yang menakutkan.
Aku takut, terdiam dan melepas tanganmu. Baiklah, mungkin
semua kefakiranku ini tak cocok untuk dirimu yang mendamba
kemewahan Aku masuk ke dalam, mengambil sebuah payung lalu
ku berikan padamu. Ini ambillah, aku tak bisa memaksamu berada
disini, mungkin keadaan disini menjemukanmu, terimakasih sudah
bersedia mampir di tempat kumuhku ini, jika suatu hari kau butuh
naungan lagi, aku siap menyambutmu kapanpun Kau menerima
payungku, membukanya, bersiap untuk menerobos hujan. Aku
hanya mampu melihatmu, berjalan menjauhiku. Aku harus
bertarung dengan rasa khawatir, sesal dan sedih yang menghantam
hatiku.
Dlarr!! Petir kembali menggelegar, menahan langkahmu. Kau
kembali masuk, menutup payungmu dan duduk dengan penuh
kekesalan diatas sofaku. Kopi begitu pintamu tanpa
mempedulikanku sedikitpun. Aku ke belakang, membuatkanmu kopi
kesukaanmu, kesukaanku. Siapa bilang petir selalu membawa sial?

Lihatlah, dua kali aku bisa menahanmu karena petir itu datang,
begitu batinku.
Setelah kopi seduhanku selesai, aku hidangkan di hadapanmu. Kau
menyesapnya perlahan, aku yakin kau menikmatinya seperti biasa.
Mungkin aku akan tinggal disini sampai hujan reda, seperti
pintamu kau mulai membuka pembicaraan. Aku bahagia bukan
kepalang, aku ambil kudapan di kulkas dan ku taruh diatas meja.
Aku bingung kata apa yang akan kuucap, akhirnya aku hanya
membiarkan hujan memenuhi obrolan kuts dengan harapan ia tak
akan pernah reda.
Ingat, jangan berharap lebih.. aku hanya disini sampai hujan reda
kau menegaskan lagi. Aku tersenyum.
Iyya, silahkan..
Beberapa saat kemudian, kita terlibat obrolan seru seputar
kebahagiaan kita di masa lalu. Hingga tak terasa hujan sudah reda.
Aku ingin mengingatkanmu, namun kuurungkan. Aku ingin kau lebih
lama lagi disini.
Ah sudah reda tiba-tiba kau sadar akan hujan yang sudah reda.
Habiskan dulu kopimu cegahku, menahanmu.
Baiklah.. akhirnya kita terlibat obrolan lagi. Hingga gerimis tibatiba turun. Kau sadar dan bergegas keluar.
Ah, kau.. menahanku terlalu lama sampai hujan turun lagi! Kali ini
kau kesal dan marah padaku. Aku selalu takut jika menghadapi
situasi seperti ini. Aku ambilkan payung yang kau tinggal di dalam,
lalu kuberikan lagi padamu.
Silahkan pergi, mumpung hujannya belum terlalu deras Kau
mengambil payung itu dariku, begitu kasar seakan merebutnya. Kau
membukanya dan pergi meninggalkan aku yang mulai meneteskan
hujan di mataku sendiri.
Di seberang jalan, tiba-tiba sebuah mobil terparkir. Sepertinya
seorang di dalam mobil itu menawarimu tumpangan. Kau masuk,
membuang payung pemberianku keluar jendela.
Dlarr!! Senyum lelaki pemilik mobil yang seakan memamerkan
kemewahannya itu beriringan dengan petir yang tepat menyambar
rumahku hingga rubuh dan terbakar. Aku hanya berdiri diatas puingpuing rumahku, menatapmu dengan tatapan nanar penuh sesal,
sedih, cemburu, dan pilu. Aku bingung, jika suatu saat kau kembali
untuk berteduh lagi, apa yang bisa kutawarkan? Rumah yang penuh
ketulusan dan kesetiaanku, yang kubangun dan kudesain senyaman
mungkin untukmu telah rubuh. Aku terdiam mematung,
membiarkan tangisku hanyut bersama rintik hujan yang mulai deras.
Kau tahu, rumah ini adalah hatiku.

Anda mungkin juga menyukai