Anda di halaman 1dari 3

Peningkatan Nilai Tambah Di Sektor Pertambangan Dan Peran Batubara

Peningkatan Nilai Tambah di Sektor Pertambangan dan Peran Batubara Sebagai


Komponen Strategis Ketahanan Energi Nasional
Sehubungan dengan adanya rencana Pemerintah didalam menerbitkan peraturan menteri
ESDM tentang peningkatan nilai tambah di sektor pertambangan serta untuk membantu
memberikan penyelarasan pemahaman secara bersama, maka kami ingin menyampaikan
beberapa

hal

yang

terkait

dengan

rencana

tersebut

diatas

sebagai

berikut:

Peningkatan nilai tambah batubara memiliki makna yang berbeda dengan peningkatan nilai
tambah mineral. Peningkatan nilai tambah batubara dilakukan dengan cara peningkatan nilai
kalori batubara (coal upgradding) dan pengubahan batubara dengan cara pencairan batubara
(coal liquefaction) dan gasifikasi batubara (coal gasification). Kegiatan pengolahan yang
dilakukan tersebut tentunya tidak mengubah fungsi batubara sebagai sumber energi.
Peningkatan nilai tambah batubara ini lebih ditujuan untuk meningkatkan kualitas batubara,
kemudahan

transportasi

dan

kemudahan

pemanfaatannya.

Di sisi yang lain, peningkatan nilai tambah mineral dilakukan melalui kegiatan pengolahan,
peleburan dan pemurnian mineral, dari bahan baku yang berbentuk bijih (ore) menjadi suatu
produk akhir yang berbentuk logam (metal). Kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan suatu
produk atau komoditi selanjutnya sehingga nilai ekonomi dan daya gunanya meningkat lebih
tinggi dari sebelumnya, serta aktivitas yang ditimbulkan akan memberikan dampak positif
terhadap perokonomian dan sosial baik bagi pusat maupun daerah. Peningkatan nilai tambah
mineral dilakukan untuk mendukung ketersediaan bahan baku industri selanjutnya.
Dalam kaitannya untuk menjamin ketersediaan pasokan batubara (security of supply) didalam
negeri dengan cara melakukan pembatasan ekspor batubara hingga mencapai nilai kalori
tertentu dengan dalih peningkatan nilai tambah, maka kami berpendapat bahwa hal yang

demikian tersebut perlu dipertimbangkan untuk ditinjau ulang secara lebih seksama.
Permasalahan security of supply batubara bukanlah merupakan permasalahan seberapa besar
nilai kalori yang boleh diekspor, karena memang bukan itu persoalannya. Hal yang lebih
utama yaitu seberapa besar pasar domestik mampu menyerap produksi batubara yang
ditetapkan

tidak

boleh

di

ekspor.

Kami memandang bahwa usulan atau rencana semula terkait penetapan pembatasan ekspor
hingga nilai kalori 5100 kcal/kg adb sudah cukup baik dan sesuai dengan situasi dan kondisi
yang ada. Hal ini mengingat batubara jenis tersebut memang merupakan batubara yang
dibutuhkan

oleh

pembangkit

listrik

didalam

negeri.

Keputusan untuk melakukan ekspor batubara seyogyanya dilakukan jika memberikan


keuntungan dan manfaat yang optimal bagi negara, setelah mempertimbangkan terpenuhinya
kebutuhan domestik, dengan kondisi bahwa harga batubara domestik lebih rendah dari harga
ekspor tanpa merugikan pihak produsen batubara dan pembeli batubara. Sehingga dengan
demikian, bukan tidak mungkin adanya pengenaan pola baru berupa pajak ekspor atau
pungutan ekspor dalam tata niaga ekspor batubara yang keluar dari kawasan RI.
Terkait dengan rencana kebijakan pembatasan ekspor batubara hingga kalori 5700 kcal/kg
adb yang akan mulai diterapkan pada tahun 2014, maka kami ingin menyampaikan hasil studi
yang

dilakukan

oleh

sebuah

lembaga

kajian

independen

sebagai

berikut:

Dari aspek teknologi, hingga saat ini belum ada teknologi upgradding batubara yang telah
terbukti (proven) secara teknis maupun komersial untuk meningkatkan kualitas batubara.
Proses coal upgradding yang telah dilakukan baru sebatas pilot project dan belum sampai
kepada industrial commercial plant. Kemudian, dengan adanya pembatasan ekspor batubara
hingga kalori 5700 kcal/kg adb tersebut, dampaknya diestimasi akan terdapat lebih dari 40%
produksi batubara nasional akan dilarang untuk diekspor dan diperkiraan produksi batubara
yang tidak dapat terserap didalam negeri akan mencapai lebih dari 120 juta ton. Hal ini
berpotensi kepada berkurangnya penerimaan negara di sektor pertambangan lebih dari 30%,
berkurangnya jumlah tenaga kerja hingga 52%, serta berkurangnya dana pemberdayaan
masyarakat (community development) hingga 59%. Dampak tersebut belum termasuk
berkurangnya dampak tidak langsung (multiplier effect) dari kegiatan pertambangan.
Kemudian jika ditelaah lebih lanjut dari aspek regulasinya, klausul didalam UU Minerba No.
4 Tahun 2009 tidak menyebutkan bahwa dalam 5 tahun ekspor batubara harus dibatasi
dengan dasar kewajiban peningkatan nilai tambah. Pasal 170 secara spesifik hanya
mewajibkan pemegang Kontrak Karya (KK) untuk melakukan pemurnian produk
pertambangannya paling lambat 5 tahun setelah UU tersebut diterbitkan. Ketentuan Pasal 170

ini dapat dikatakan untuk mendukung dan melengkapi ketentuan di Pasal 103 dan bagian
penjelasannya bahwa pemegang IUP wajib untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di
dalam negeri dan dimaksudkan untuk meningkatkan nilai dari produk, tersedianya bahan
baku

industri,

penyerapan

tenaga

kerja

dan

peningkatan

penerimaan

negara.

Sebagaimana telah kita ketahui barsama bahwa batubara merupakan sumber energi primer
yang menjadi tumpuan dalam memenuhi kebutuhan energi. Sebagai sumber energi primer,
batubara merupakan komponen strategis dalam memberikan kontribusi bagi ketahanan energi
nasional, dan hendaknya mendapat perhatian yang serius dalam pelaksanaan dan
penanganannya. Namun realitasnya, Indonesia merupakan negara pengekspor batubara
terbesar dunia. Ironis memang, disaat kebutuhan energi yang cenderung meningkat, Indonesia
menjual potensi energi yang ada, untuk dikonsumsi negara lain. De-ngan kondisi saat ini
dimana eksploitasi batubara semakin tidak terkendali yang didukung dengan menariknya
harga batubara di pasar internasional, maka perusahaan menjadi economic oriented dan
mendorong dibaikannya good mining practice yang seharusnya dijalankan. Tanpa
perencanaan strategi yang komprehensif dan kaidah good mining practice, ekploitasi yang
dilakukan secara masif dengan hanya berorientasi keuntungan semata, pada gilirannya akan
berdampak

negatif

pada

aspek

lingkungan

dan

sosial.

Menurut pendapat kami, pengembalian peran batubara sebagai bahan galian strategis sangat
diperlukan sebagai upaya menjaga ketersediaan pasokan energi nasional (security of supply).
Diantaranya dengan melakukan penataan ulang dalam hal regulasi baik dari tingkat Undangundang sampai aturan teknisnya. Pemerintah harus lebih serius untuk menetapkan secara
pasti bahwa batubara merupakan kekayaan sumber daya alam strategis tak terbarukan
(unrenewable resources) yang harus dikuasai negara dan mempunyai peranan penting dalam
perekonomian nasional, yang selanjutnya digerakkan sebagai penggerak ekonomi (economic
booster) dalam mengangkat pertumbuhan ekonomi nasional. Batubara sebagai bahan galian
tak terbarukan harus dikelola dengan baik dengan menerapkan prinsip-prinsip konservasi,
good mining practice, dan memperhatikan aspek lingkungan sehingga pada akhirnya akan
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Sumber: http://www.tambang.co.id

Anda mungkin juga menyukai