Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Antibiotik adalah obat atau zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang
dapat menghambat/membasmi mikroba lain (jasad renik/bakteri), khususnya mikroba yang
merugikan manusia yaitu mikroba penyebab infeksi pada manusia (Munaf S, 1994).
Antibiotik tidak efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya,
dan setiap antibiotik sangat beragam keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri.
Keberhasilan penemuan penisilin oleh Alexander Flemming pada tahun 1928, telah membuka
lembaran baru dimulainya penemuan bermacam-macam antibiotik yang baru dan lebih baru lagi
antara lain gentamicin. Hal inilah yang menimbulkan kepercayaan dan harapan yang besar
terhadap antibiotik untuk selalu berhasil dalam membunuh kuman dan menyembuhkan penyakit
infeksi (Munaf S, 1994).
Rumah sakit merupakan tempat penggunaan antibiotik paling banyak ditemukan. Di
negara yang sudah maju 13 37 % dari seluruh penderita yang dirawat di rumah sakit
mendapatkan antibiotik baik secara tunggal ataupun kombinasi, sedangkan di negara
berkembang 30 80 % penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan antibiotik (Munaf S,
1994).
Penggunaan antibiotik tentu diharapkan mempunyai dampak positif, akan tetapi
penggunaan antibiotik yang tidak rasional akan menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif
dari penggunaan antibiotik yang tidak rasional antara lain muncul dan berkembangnya bakteri

yang resisten terhadap antibiotik, munculnya penyakit akibat superinfeksi bakteri resisten,
terjadinya toksisitas/efek samping obat, sehingga perawatan penderita menjadi lebih lama, biaya
pengobatan menjadi lebih mahal, dan akhirnya menurunnya kualitas pelayanan kesehatan,
Antibiotik merupakan kelompok obat yang digunakan untuk mengurangi infeksi. Penggunaan
antibiotik secara luas tanpa dosis regimen yang benar akan menimbulkan resistensi kuman
terhadap antibiotika atau bahkan terjadi superinfeksi, meningkatnya toksisitas dan efek samping
obat, menurunnya efektivitas dan biaya pelayanan kesehatan menjadi tinggi, hal ini tentu
merugikan penderita khususnya dan masyarakat pada umumnya (Katzung, 1998).
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi bakteri yang terjadi pada saluran kemih
(mencakup organ-organ saluran kemih, yaitu ginjal, Ureter, kandung kemih, dan uretra). Infeksi
saluran kemih di Indonesia insiden dan prevalensinya masih cukup tinggi. Keadaan ini tidak
terlepas dari tingkat dan taraf kesehatan masyarakat Indonesia yang masih jauh dari standart dan
tidak meratanya tingkat kehidupan sosial ekonomi, yang mau tidak mau berdampak langsung
pada kasus infeksi saluran kemih diIndonesia (Munaf S, 1994).
Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan penyakit yang sering dijumpai di masyarakat,
menyerang anak-anak maupun dewasa dan merupakan masalah kesehatan yang serius. Pada
umumnya ISK lebih banyak dijumpai pada wanita dibanding pada pria kemungkinan karena
uretra wanita lebih pendek sehingga mikroorganisme dari luar lebih mudah mencapai kandung
kemih dan juga letaknya dekat dengan daerah perianal dan vagina. Pada usia dewasa kasus ISK
ini lebih sering timbul pada wanita dewasa muda (usia subur), salah satu kemungkinan adalah
karena proses dari kehamilan (obsetri history). Tetapi pada usia tua, insidens ISK cenderung
meningkat pada orang laki-laki, kemungkinannya adalah akibat penggunaan instrumen, misal:
urethral catheter. Insiden terjadinya ISK di setiap negara mempunyai data stastistik yang

berbeda, hal ini dipengaruhi oleh taraf kesehatan dan pelayanan medis di Negara tersebut (Munaf
S, 1994).
Sasaran terapi pada Infeksi Saluran Kemih adalah mikroorganisme penyebab infeksi.
Oleh karena itu, pengobatan ISK sebagian besar menggunakan antibiotik. Pemilihan antibiotik
untuk pengobatan didasarkan pada tingkat keparahan, tempat terjadinya infeksi dan jenis
mikroorganisme yang menginfeksi (Munaf S, 1994).
Dan yang termasuk antibiotik diantaranya adalah gentamicin. Gentamisin adalah
antibiotika

golongan

aminoglikosida

yang

mempunyai

potensi

tinggi

dan

berspektrum luas terhadap bakteri gram positif dan gram negative dengan sifat
bakterisid. Gentamicin mempunyai rentang terapi sempit, yang bersifat nefrotoksik
dan ototoksik serta mempunyai variabelitas farmakokinetik interindividu cukup
lebar, maka pemantauan kadar obat dalam darah pada penderita dengan gangguan
fungsi ginjal adalah suatu kebutuhan agar keamanan dan efikasi terapi tercapai. Hal
ini juga penting karena profil dosis dan kadar gentamicin dalam darah sukar
diprediksi, terutama kadar puncak obat dan waktu paruh eliminasi (Neal, 2006).
Gentamisina merupakan suatu antibiotika golongan aminoglikosida yang efektif
untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram negatif yang sensitif
antara

lain

Proteus,

Pseudomonas

aeruginosa,

Klebsiella,

Serratia,

E.Coli,

Enterobacter dan lain-lain. Bakteri ini antara lain menyebabkan bakteremia,


meningitis, osteomielitis, pneumonia, infeksi luka bakar, infeksi saluran kemih, dan
tularemia, dalam keadaan tertentu gentamisin digunakan pula terhadap gonore dan
infeksi S. aureus. Sedapat mungkin gentamisin sistemik hanya diterapkan pada
infeksi berat saja. Penggunaan gentamisin secara topical khususnya dalam

lingkungan rumah sakit perlu dibatasi untuk menghambat perkembangan resistensi


pada bakteri sensitif (Neal, 2006).

Efektivitas optimal gentamicin diperoleh apabila kadar puncak dalm serup (peak serum
levels) berada dalam rentang 5-10 g/ml. kadar puncak yang tinggi secara terus menerus (lebih
besar atau sama 10 g/ml) menyebabkan nefrotoksisitas dan ototoksisitas (Neal, 2006).

B. Tujuan
Penulis mengharap dengan membaca makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pemahaman serta bisa menjadi referensi bagi teman-teman mahasiswa mengenai obat
gentamicin.
C.
1.
D.
1.
2.

Rumusan Masalah
Apakah perbedaan gentamicin dengan obat antibiotik lainya misalalnya penisilin
Manfaat
Menambah pengetahuan dalam berbagai bidang kedokteran
Member informasi ilmiah kepada masyarakat tentang gentamicin.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Antibiotik
Antimikroba atau antibiotik adalah obat atau zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba,
terutama fungi, yang dapat menghambat/membasmi mikroba lain (jasad renik / bakteri),
khususnya mikroba yang merugikan manusia (penyebab infeksi pada manusia). Antibiotika
adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau
menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh
bakteri (Munaf S, 1994).
Penggunaan antibiotika khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi.
Antibiotika bekerja seperti pestisida dengan menekan atau memutus satu mata rantai
metabolisme, hanya saja targetnya adalah bakteri. Antibiotik tidak efektif menangani infeksi
akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya, dan setiap antibiotik sangat beragam ke efektifannya
dalam melawan berbagai jenis bakteri. Ada antibiotika yang membidik bakteri gram negatif atau
gram positif, ada pula yang spektrumnya lebih luas. Ke efektifannya juga bergantung pada lokasi
infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut. Antibiotika oral (yang dimakan)
mudah digunakan bila efektif, dan antibiotika intravena (melalui infus) digunakan untuk kasus
yang lebih serius. Antibiotika kadangkala dapat digunakan setempat, seperti tetes mata dan salep
(Munaf S, 1994).
Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan mekanisme kerja senyawa tersebut. Ada lima
kelompok antibiotika berdasarkan mekanisme kerjanya :
1. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri, mencakup golongan Penisilin,
Sefalosporin, Basitrasin,Vankomisin, Sikloserin.
2.
Antibiotik yang menghambat/mengganggu fungsi selaput/membran sel bakteri,
mencakup Polimiksin.

3.

Antibiotik yang menghambat sintesis protein sel bakteri, mencakup banyak jenis
antibiotik, terutama dari golongan Makrolid, Aminoglikosid, Tetrasiklin, Kloramfenikol,

Linkomisin.
4. Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat sel bakteri, mencakup golongan
Quinolone, Rifampisin.
5. Antibiotik yang menghambat metabolisme sel bakteri, mencakup golongan Sulfonamide,
Trimetoprim, Asam p-Amino Salisilat (PAS), Sulfon (Munaf S, 1994).
Kuman dapat menjadi resisten/kebal terhadap antibiotik melalui mekanisme-mekanisme
tertentu. Sementara itu terdapat faktor-faktor yang memudahkan berkembangnya resistensi di
klinik antara lain Karena penggunaan antibiotik yang sering, penggunaan antibiotik yang
irasional, penggunaan antibiotik baru yang berlebihan, penggunaan antibiotik untuk jangka
waktu lama, penggunaan antibiotik untuk ternak, dan beberapa faktor lain seperti kemudahan
transportasi modern, perilaku seksual, sanitasi buruk, dan kondisi perumahan yang tidak
memenuhi syarat (Munaf S, 1994).
B. Rasionalitas penggunaan antibiotik
Pemakaian obat secara rasional berarti hanya menggunakan obat-obatan yang telah terbukti
keamanan dan efektifitasnya dengan uji klinik. Suatu pengobatan dikatakan rasional bila
memenuhi beberapa criteria tertentu. Kriteria pemakaian obat secara rasional meliputi tepat
indikasi, tepat obat, tepat penderita, tepat dosis dan cara pemakaian, serta waspada efek samping
(Munaf S, 1994). .
1. Tepat indikasi
Indikasi pemakaian obat secara khusus adalah indikasi medik bahwa intervensi dengan obat
(antibiotik) memang diperlukan dan telah diketahui memberikan manfaat terapetik. Pada banyak
keadaan, ketidak rasionalan pemakaian obat terjadi oleh karena keperluan intervensi

farmakoterapi dan kemanfaatannya tidak jelas. Pertanyaan yang harus dijawab dalam kriteria
indikasi ini adalah "Apakah obat (antibiotik) diperlukan. Kalau ya, efek klinik apa yang paling
berperan terhadap manfaat terapetik. Hal ini akan menentukan evaluasi terhadap hasil terapi
(Munaf S, 1994).
2. Tepat obat
Pemilihan jenis obat harus memenuhi beberapa segi pertimbangan,yakni :
a. Kemanfaatan dan keamanan obat sudah terbukti secara pasti.
b. Obat (antibiotik) memiliki efektifitas yang telah terbukti.
c. Jenis antibiotik sesuai dengan sensitivitas dari dugaan kuman penyebab berdasarkan
terapi empirik (educated guess) atau sesuai dengan hasil uji sensitifitas terhadap kuman
penyebab jika uji sensitifitas dilakukan.
d. Derajat penyakit pasien pasien dengan penyakit berat butuh obat yang bisa cepat
mencapai kadar obat dalam plasma dancepat mengeradikasi kuman penyebab infeksi
sehingga cepat meredakan penderitaan pasien.
e. Risiko dari pengobatan dipilih yang paling kecil untuk pasien dan imbang dengan
manfaat yang akan diperoleh. Risiko pengobatan mencakup toksisitas obat, efek samping,
dan interaksi dengan obat lain.
f. Biaya obat paling sesuai untuk alternatif-alternatif obat dengan manfaat dan keamanan
yang sama dan paling terjangkau oleh pasien (affordable).
g. Jenis obat yang paling mudah didapat (available).
h. Cara pemakaian paling cocok dan paling mudah diikuti pasien.
i. Sedikit mungkin kombinasi obat atau jumlah jenis obat (Munaf S, 1994).
Banyak ketidak rasionalan terjadi oleh karena pemilihan obat-obat dengan manfaat dan
keamanan yang tidak jelas atau pemilihan obat obat yang mahal padahal alternatif yang sama
dengan harga lebih murah juga tersedia (Munaf S, 1994).
1. Tepat penderita

Ketepatan pasien serta penilaiannya mencakup pertimbangan apakah ada kontraindikasi atau
adakah kondisi-kondisi khusus yang memerlukan penyesuaian dosis secara individual.
2. Tepat cara pemakaian dan dosis obat
C. Cara Pemberian Obat
Cara pemakaian obat memerlukan pertimbangan farmakokinetika, yakni: cara pemberian,
besar dosis, frekuensi pemberian dan lama pemberian, sampai ke pemilihan cara pemakaian yang
paling mudah diikuti oleh pasien dan paling aman serta efektif untuk pasien. Apakah pasien
benar-benar memerlukan suntikan Oleh karena sebagian besar pemberian suntikan yang terjadi
umumnya tidak ada indikasi secara jelas, dan sering tidak memberikan kelebihan manfaat
dibandingkan alternatif pemberian lain. Juga perlu dipertimbangkan di sini adalah kemungkinan
terjadinya interaksi bila diberikan obat lebih dari satu (Munaf S, 1994).
a.

besar dosis : tergantung usia, fungsi organ hepar, ginjal, jantung, jenis infeksi dan

penetrasi obat ke tempat infeksi.


b. frekuensi/interval pemberian : tergantung waktu paruh obat, kadar obat dalam plasma
c.

(KOP).
cara/rute pemberian : tergantung derajat berat gejala klinik penyakit berat butuh waktu
cepat untuk mencapai kadar obatdalam plasma sehingga cepat meredakan penderitaan
pasien; tergantung kemampuan pasien meminum obat lewat mulut (kesadaran pasien,

keadaan fisik pasien, kemampuan absorpsisaluran cerna).


d. lama pemberian : tergantung pada respon/perbaikan gejalaklinik, mikrobiologik, ataupun
radiologik.
3. Waspada efek samping obat (Munaf S, 1994).
Waspada terhadap efek samping obat mencakup penilaian apakah adakeadaan yang
merupakan faktor konsitusi terjadinya efek samping obatpada penderita. Jika kemudian terjadi
efek samping tertentu,agaimana menentukan dan menanganinya (Munaf S, 1994).
D. Pengertian aminoglikosida

Aminoglikosida adalah golongan antibioti bakterisid yang aktif melawan bakteri aerobic,
gram negative seperti Pseudomonas, Acinetobacter, Enterobakter dan gram positif.
Penggunaanya tidak efektif melawan bakteri anaerobik, jamur dan virus. Antibiotik golongan ini
antara lain amikasin, gentamicin, kanamisin, neomisisin, paromomisin, streptomisin (Katzung,
2004).
Pada strukturnya, aminoglikosida mempunyai cincin heksosa, di mana berbagai gula amino
dihubungkan oleh ikatan glikosidik. Senyawa ini larut dalam air, stabil dalam larutan, dan lebih
aktif pada Ph alkali dibandingkan pH asam (Katzung, 2004).
Mekanisme kerja aminoglikosida adalah dengan cara mengikat protein ribosom bakteri
subunit 30s. penghambatan sintesis protein terjadi dengan 3 cara antara lain:
1. Mengganggu kompleks awal pembentukan peptide
2. Menginduksi salah baca mRNA yang mengakibatkan penggabungan asam amino yang
salah ke dalam peptide sehingga menyebabkan terbentuknya protein toksik
3. Menyebabkan terjadinya pemecahan polisom menjadi monosom nonfungsional sehingga
mengakibatkan kematian sel (Katzung, 2004).
Aminoglikosida diabsorpsi sangat sedikit pada saluran pencernaan dan terikat pada protein
plasma sebesar 10%. Setelah suntikan intramuscular, aminoglikosida diabsorpsi dengan baik dan
mencapai konsentrasi puncak dalam darah 30-90 menit (Stockley, 1994).
Aminoglikosida merupakan obat polar, umumnya terdistribusi secara merata pada cairan
ekstraseluler, cairan synovial, peritoneal dan pleural. Konsentrasi tinggi aminoglikosida
ditemukan di ginjal terutama pada bagian korteks. Penetrasi golongan ini jelek pada mata dan
system saraf pusat. Konsentrasi aminoglikosida pada sekresi air liur dan bronchial sangat
bervariasi (Stockley, 1994).

Aktivitas

aminoglikosida

akan

diinaktivasi

bila

diberikan

bersama

penesilin

antipseudomonas seperti karbenisilin, tikarsilin, mezlosislin, azlosilin, dan piperazilin yang


umum diberikan dalam dosis besar. Oleh karena itu, harus dihindari mencampur aminoglikosida
dan penisilin dalam larutan infuse dan sebaiknya diberikan melalui intravena kateter yang
terpisah (Stockley, 1994).
Antibiotik aminoglikosida digunakan untuk pengobatan pneumonia, infeksi saluran kemih,
skeletal, dan infeksi pada jaringan lunak Efek samping yang disebabkan oleh golongan
aminoglikosida adalah berupa ototoksisitas dan nefrotoksisitas. Nefrotoksisitas aminoglikosida
meningkat jika diberikan bersama diuretik seperti furosemid, atau antimikroba nefrotoksik lain
(vankomisisn dan samfoterisin). Manifestasi ototoksisitas berupa kerusakan pendengaran,
tinnitus dan kerusakan vestibular seperti vertigo, ataksia dan kehilangan keseimbangan.
Nefrotoksisitas menyebabkan peningkatan serum kreatinin klirens. Blockade neuromuscular
terjadi pada penggunaan aminoglikosida dosis tinggi (Stockley, 1994).
E. Pengertian Gentamicin
Gentamicyn adalah jenis obat yang termasuk kelompok aminoglykosida yang mempunyai
potensi tinggi dan berspektrum luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif . Gentamicin
ini merupakan antibiotik, yang bekerja dengan cara memperlambat pertumbuhan atau membunuh
mikroba bakteria sensitive dalam tubuh serta mempunyai rentang terapi sempit, bersifat
nefrotoksik dan ototoksik sreta mempunyai variabilitas farmakokinetik interindividu cukup lebar,
maka pemantauan obat dalam darah pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal adalah suatu
kebutuhan agar keamanan dan efikasi terapi tercapai. Hal ini juga penting karena profil dosis dan
kadar gentamicin dalam darah sukar diprediksi terutama kadar puncak dalam waktu paruh

eliminasi yang diisolasi dari micromonospora purpurea, berbentuk serbuk putih kekuningan,
mudah larut dalam air, dan tidak larut dalam etanol Penggunaannya terutama pada terapi empiris
infeksi berat misalnya sepsis dan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri gram negative
khususnya pseudomonas aeruginosa, enterobakter, proteus, dan klebsiella (Neal, 2006).

Efektivitas gentamisin diperoleh apabila kadar puncak dalam serum berada


dalam rentang 5-10 g/ml. kadar puncak yang tinggi secara terus menerus
menyebabkan nefrotoksistas dan otoktoksistas. Pemberian gentamisin dosis lazim
dalam bentuk dosis berganda bolus intravena akan menghasilkan kadar puncak dan
kadar lembah. Efek terapi dihasilkan jika kadar tersebut berada diantara kadar
aman maksimum dan kadar efektif minimum. Dosis empirik 80 mg bagi setiap
penderita dengan berat badan bervariasi akan menghasilkan dosis mg/kg BB/ hari
yang juga bervariasi.

Biasanya pada orang deangan penyakit ginjal merupakan

faktor yang paling menentukan dalam pencapaian kadar tersebut (Neal, 2006).
F. Farmakokinetik Gentamicin Intravenus
1. Farmakokinetik gentamicin intravenus dosis tungggal
Jika suatu obat diberikan dalam bentuk bolus intravenous, seluruh dosis obat
masuk dalam tubuh dengan segera dan kinetika obat diasumsikan berdasarkan

kompartemen satu terbuka. Obat akan didistribusi ke semua jaringan tubuh melalui
system sirkulasi dan secara mencapai kesetimbangan (Shargel, 1985).
Model kompartemen satu terbuka menganggap bahwa berbagai perubahan
kadar obat dalam plasma menggambarkan perubahan yang sebanding dengan
kadar obat dalam jaringan tetapi konsentrasi obat dalam jaringan tidak sama pada
berbagai waktu (Shargel, 1985).
2. Farmakokinetik gentamicin intravenus dosis ganda (Multiple dose)
Tujuan pemberian obat dosis berganda adalah untuk memperpanjang aktivitas
terapetik, karena kadar obat dalam plasma harus dipertahankan untuk mencapai
efektivitas klinis yang optimal. Kadar efektif minimum antibiotik yang diinginkan
dapat ditentukan agar berbeda dalam batasan kadar plasma terapetik minimum
dan kadar plasma non-toksik minimum (shargel, 1985).
Jika suatu obat diberikan dengan dosis dan jarak waktu pemberian dosis yang
tetap, maka jumlah obat dalam tubuh akan naik. Jika dosis kedua diberikan dalam
jarak waktu yang lebih panjang dari waktu yang diperlukan untuk mengeleminasi
dosis sebelumnya, maka obat tidak kan terakumulasi. Jika dosis yang sam diberikan
berulang pada frekuensi konstan, maka akan diperoleh krva kadar plasma-waktu
plateu atau keadaan tunak. Pada keadaan tunak tercapai, cmax dan cmix adalah
konstan dan tetap tidak berubah dari dosis ke dosis. Konsentrasi maksimum harus
selalu berada di bawah kadar toksis minimum sebab cmax merupakan suatu
petunjuk yang baik akumulasi obat. Jika pada keadaan dosis menghasilkan Cmax
yang sama dengan Cmax setelah pemberian dosis pertama, maka berarti tidak ada
akumulasi obat. Jika Cmas lebih besar dari Cmax dosis pertama maka berarti ada
akumulasi yang bermakna (Shargel, 1985).

Khusus untuk gentamicin, ada tidaknya akumulasi obat lebih jelasnya terlihat
pada Cmin, sebab Cmin mencerminkan keadaan obat dalam jaringan yang
sebenarnya (Shargel, 1985).

Gentamisin merupakan concentration-dependent dan termasuk dalam obat dengan ambang


terapi sempit sehingga peningkatan kadar obat sedikit saja di dalam darah akan berdampak besar
pada pasien karena kadar obat dalam darah dapat melewati ambang terapi obat dan dapat
menimbulkan efek toksik atau dapat pula lebih rendah dari ambang terapi obat sehingga obat
tidak efektif lagi untuk terapi infeksi. Hal ini dapat memicu terjadiya resistensi antibiotik lebih
cepat terjadi pada pasien. Oleh karena itu pengukuran kadar serum obat selama terapi perlu
dilakukan untuk menghindari efek toksik atau tidak adanya efek terapi dari gentamisin (Light,
2001).
G. Cara Kerja Gentamicin
Gentamicin mempunyai mekanisme kerja menghambat pembentukan dinding sel, membran
sel maupun menghambat pembentukan DNA/nucleus. Selain itu bekerja dalam menghambat
sintesis protein dan bersifat bakterisada (Light, 2001 ).
H. Efek Samping Gentamicin
Gentamycin menyebabkan efek samping paling penting dan berat pada pemakaian
gentamicin adalah

berupa reaksi hipersensitivitas, dan blockade neuromuscular, reaksi

hipersensitivitas, alergi berupa demam dapat terjadi namun jarang pada penderita yang tidak
pernah menggunakan gentamycin sebelumnya. Resistensi silang dapat terjadi di antara
aminoglikosida. Syok anafilaksis ( Stockley, 1994).

Sedangkan Efek toksik yang dimiliki gentamisin ada dua macam, yaitu nefrotoksik yang
reversible dan ototoksik yang menyebabkan kerusakan pada vestibular dan auditory yang bersifat
permanent (Bauer, 2006).
Mekanisme terjadinya nefrotoksisitas adalah gentamisin dimetabolisme secara utuh di
hati dan dieliminasi melalui glomerulus. 5% hasil eliminasi diabsorbsi kembali oleh tubulus
proximal sehingga konsentrasi dalam tubulus meningkat dan menimbulkan nekrosis tubulus.
Penggunaan gentamisin selama lebih dari 5 hari dapat menyebabkan peningkatan 30% serum
kreatinin. Dengan memonitoring fungsi ginjal pasien, peningkatan serum kreatinin 0,5-2 mg/dl
menunjukkan terjadinya nefrotoksik oleh antibiotik golongan aminoglikosida (Bauer, 2008).
Nefrotoksisitas membutuhkan penyesuaian regimen pemberian dosis dan harus mempercepat
pertimbangan ulang mengenai perlunya penggunaan obat. Sedangkan Faktor-faktor yang
mempengaruhi nefrotoksisitas adalah umur, renal insufficiency, kadar puncak yang tinggi, total
dosis perhari, dosis kumulatif adanya obat-obat nefrotoksisk yang diberikan secara bersamaan,
jenis kelamin pengobatan dan sepsis (Katzung, 2004).
Mekanisme terjadinya ototoksisitas dengan cara gentamisin mempengaruhi auditori dan
vestibular yang bersifat permanen. Ototoksisitas auditori pertama kali muncul pada frekuensi
tinggi (> 4000 hz) dan sangat sulit mendeteksinya secara klinis. Jika pengobatan gentamisin
tidak dilanjutkan secara individual, penurunan pendengaran akan berlanjut pada frekuensi yang
lebih rendah, hasilnya penurunan frekuensi pendengaran akan terdeteksi pada daerah frekuensi
conversational (< 4000 hz). Ototoksisitas terutama tampak dalam bentuk disfungsi vestibuler,
kemungkinan disebabkan oleh kerusakan sel-sel rambut karena peningkatan kadar obat.
Hilangnya pendengaran juga dapat timbul. Kemungkinan timbulnya ototoksisitas adalah 1-5 %
pada pasien-pasien yang menerima obat ini selama lebih dari 5 hari (Katzung, 2004)

Umumnya ototokisisitas terjadi akibat pengaruh gentamycin dan akan mempengaruhi


kokhlea, manifestasinya adalah hilangnya pendengaran dan tinnitus yang mungkin permanen,
dan kadang-kadang erupasi sakit pada telinga. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas cenderung
ditemukan saat terapi dilanjutkan hingga lebih dari lima hari, pada dosis yang lebih tinggi, pada
orang-orang lanjut usia, dan dalam keadaan insufisiensi fungsi ginjal (Katzung, 2004).
gentamicin diabsobsi sangat lamabat jika digunakan dalam bentuk salep, tapi absorpsinya
dapat lebih cepat, jika krim digunakan secara topical, maka antibiotik digunakan pada daerah
permukaan tubuh luas, miasalnya pada kasus luka bakar, konsentrasi plasma dapat mencapai
g/ml dan 2% sampai 5% obat tersebut dapat dideteksi oleh urin (Katzung, 2004).
I. Pemberian Dosis Gentamicin
Pemberian gentamicin ini dapat diberikan secara intravena atau intramuscular,
topical terdapat salep atau krim dengankadar dari 0,1-0,3% gentamicin. Dosis
gentamicin 5-6 mg/kg/bb/hari diberikan secara intravena (IV) dapat dibagi menjadi
3 dosis pemberian atau dosis tunggal per hari. Batas konsentrasi gentamicin dalam
plasma adalah 2 g/ml agar tidak timbul efek toksisk (Katzung BG,2006).
1.
2.
3.
4.
5.

Dewasa : 3-5 mg/kg/bb/hari


Infeksi bearat : dosis dinaikkan menjadi 5mg/kg/bb/hari
Anak-anak : 6-7,5 mg/kg/bb/hari
Bayi : 7,5 mg/kg/nn/hari
Bayi premature dan bayi berusia kurang dari 1 minggu : 5mg/kg/bb/hari.
Diberikan dalam 3 dosis terbagi secara intramuscular atau intravena toksisk

(Katzung, 2004).
J. Lama Penggunaan dan Pemakaian Gentamicin

Gentamisin digunakan 1-13 hari. Sedangkan pasien yang menggunakan gentamisin dalam
rentang waktu pemakaian yang disarankan (3-5 hari) Pemakaian gentamisin melebihi waktu

yang disarankan akan meningkatkan terjadinya resiko toksik, toksisitas yang terjadi pada
pemakaian gentamisin adalah nefrotoksisk dan ototoksik. namun pemakaian lama (lebih dari 5
hari) untuk terapi penyakit dapat digunakan, tapi harus dengan pertimbangan besar dosis yang
diberikan berdasarkan konsentrasi obat dalam serum darah dan monitoring fungsi ginjal serta
pendengaran pasien (Katzung, 2004).
Sedangkan Penggunaan gentamycin dan deuretik seperti asam etakrinat dan furosemid,
klindamisin, vankomisin, dan sisplatin meningkatkan ototoksisitas dan nefrotoksisitas. (stocley,
1994). Secara farmakologis gentamycin mempunyai aktivitas antimikroba yang sinergis dengan
penisilin dan vankomisin (Neal, 2005). Gentamycin menyebebkan nefrotoksik dengan cara
menghambat sintesis protein.
K. Mekanisme Terjadinya Interaksi Obat
Mekanisme interaksi obat dapat melalui beberapa cara, yaitu:
1. interaksi secara farmasetik (inkompatibilitas)
2. interaksi secara farmakokinetik dan
3. interaksi secara farmakodinamik
a. Interaksi farmasetik
Interaksi farmasetik atau disebut juga inkompatibilitas farmasetik bersifat langsung dandapat
secara fisik atau kimiawi, misalnya terjadinya presipitasi, perubahan warna, tidak terdeteksi
(invisible), yang selanjutnya menyebabkan obat menjadi tidak aktif. Contoh: interaksi
karbcnisilin dengan gentamisin terjadi inaktivasi; fenitoin dengan larutan dextrosa 5% terjadi
presipitasi; amfoterisin B dengan larutan NaCl fisiologik, terjadi presipitasi (Gitawati, 2008).

b. Interaksi farmakokinetik

Interaksi dalam proses farmakokinetik, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi
(ADME) dapat meningkatkan ataupun menurunkan kadar plasma obat.6 Interaksi obat secara
farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat tidak dapat diekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk
obat lainnya meskipun masih dalam satu kelas terapi, disebabkan karena adanya perbedaan sifat
fisikokimia, yang menghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda. Contohnya, interaksi
farmakokinetik oleh simetidin tidak dimiliki oleh H2-bloker lainnya; interaksi oleh terfenadin,
aztemizole tidak dimiliki oleh antihistamin non-sedatif lainnya (Gitawati, 2008).
1. Interaksi yang terjadi pada proses absorpsi
lintas pertama dari propranolol, metoprolol, dan hidralazine sehingga bioavailabilitas obatobat tersebut meningkat, dan makanan berlemak meningkatkan absorpsi obat-obat yang sukar
larut dalam air seperti griseovulvin dan danazol (Gitawati, 2008).
2. Interaksi yang terjadipada proses distribusi.
Mekanisme interaksi yang melibatkan proses distribusi terjadi karena pergeseran ikatan
protein plasma. Interaksi obat yang melibatkan proses distribusi akan bermakna klinik jika:
(1)obat indeks memiliki ikatan protein sebesar >85%, volume distribusi (Vd) obat < 0,15 I/kg
dan memiliki batas keamanan sempit, obat presipitan berikatan dengan albumin pada tempat
ikatan (finding site) yang sama dengan obat indeks, serta kadarnya cukup tinggi untu
kmenempati dan menjenuhkan binding-site nya .Contohnya, fenilbutazon dapat menggeser
warfarin (ikatan protein 99%; Vd = 0,14 I/kg) dan tolbutamid (ikatan protein 96%, Vd = 0,12
I/kg) sehingga kadar plasma warfarin dan tolbutamidbebas meningkat. Selain itu, fenilbutazon
jug amenghambat metabolisme warfarin dan tolbutamid (Gitawati, 2008).

3. Interaksi yang terjadi pada proses metabolismeobat.

Mekanisme interaksi dapat berupa: penghambatan (inhibisi) metabolisme, induksi


metabolisme, dan perubahan aliran darahhepatik.
Hambatan ataupun induksi enzim padaproses metabolisme obat terutama berlakuterhadap
obat-obat atau zat-zat yang merupakansubstrat enzim mikrosom hati sitokrom P450(CYP).10
Beberapa isoenzim CYP yang pentingdalam metabolisme obat, antara lain: CYP2D6yang
dikenal juga sebagai debrisoquinhidroksilase dan merupakan isoenzim CYPpertama yang
diketahui, aktivitasnya dihambatoleh obat-obat seperti kuinidin, paroxetine,terbinafine; CYP3A
yang memetabolisme lebihdari 50% obat-obat yang banyak digunakan danterdapat selain di hati
juga di usus halus danginjal, antara lain dihambat oleh ketokonazol,itrakonazol, eritromisin,
klaritromisin, diltiazem,nefazodon; CYP1A2 merupakan ezimpemetabolis penting di hati untuk
teofilin, kofein,klozapin dan R-warfarin, dihambat oleh obat-obatseperti siprofloksasin,
fluvoksamin. Menunjukkan contoh isoenzim CYP serta beberapa contoh substrat, inhibitor
daninduktorny (Gitawati, 2008).
4. Interaksiyang terjadi pada proses ekskresi obat.
Mekanisme interaksi obat dapat terjadipada proses ekskresi melalui empedu dan
padasirkulasi enterohepatik, sekresi tubuli ginjal, dankarena terjadinya perubahan pH urin.
Gangguandalam ekskresi melalui empedu terjadi akibatkompetisi antara obat dan metabolit obat
untuksistem

transport

yang

sama,

contohnya

kuinidimenurunkan

ekskresi

empedu

digoksin,probenesid menu
runkan ekskresi empedurifampisin. Obat-obat tersebut memiliki sistemtransporter protein
yang sama, yaitu Pglikoprotein.17 Obat-obat yang mengham-bat Pglikoproteindi intestin akan
meningkatkanbioavailabilitas substrat P-glikoprotein, sedangkanhambatan P-glikoprotein di
ginjal dapatmenurunkan ekskresi ginjal substrat. Contoh,itrakonazol, suatu inhibitor P-

glikoprotein diginjal, akan menurunkan klirens ginjal digoksin(substrat P-glikoprotein) jika


diberikan bersamasama,sehingga kadar plasma digoksin akan meningkat (Gitawati, 2008).
E. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor,
tempat kerja atau sistem fisiologik yang samasehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik,
atauantagonistik, tanpa ada perubahan kadar plasmaataupun profil farmakokinetik lainnya.
Interaksifarmakodinamik umumnya dapat diekstrapolasikanke obat lain yang segolongan dengan
obatyang berinteraksi, karena klasifikasi obat adalahberdasarkan efek farmakodinamiknya.
Selain itu,umumnya kejadian interaksi farmakodinamikdapat diramalkan sehingga dapat
dihindarisebelumnya jika diketahui mekanisme kerja obat (Gitawati, 2008).

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN
Gentamicyn adalah jenis obat yang termasuk kelompok aminoglykosida yang mempunyai
potensi tinggi dan berspektrum luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif . Gentamicin
ini merupakan antibiotik, yang bekerja dengan cara memperlambat pertumbuhan atau membunuh
mikroba bakteria sensitive dalam tubuh serta mempunyai rentang terapi sempit, bersifat
nefrotoksik dan ototoksik sreta mempunyai variabilitas farmakokinetik interindividu cukup lebar,
maka pemantauan obat dalam darah pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal adalah suatu
kebutuhan agar keamanan dan efikasi terapi tercapai. Penggunaannya terutama pada terapi
empiris infeksi berat misalnya sepsis dan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri gram negative
khususnya pseudomonas aeruginosa, enterobakter, proteus, dan klebsiella.
B. SARAN
Bagi yang menggunakan gentamicin ini dapat digunakan siapa saja, untuk itu perlunya saling
kepedulian terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar, sehingga dapat mengetahu dosis dan
cara pemakaian obat gentamicin, cara kerja, dan efek samping dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Bauer, L.A. 2006. Clinical Pharmacokinetics Handbook. Washington: McGram Hill


Bauer, L.A. 2008. Applied Clinical Pharmacokinetics. Washington: Mc Gram Hill
Bertram Katzung.G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerjemah dan Editor : Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. United Stated : The McGrawHill Companies.
Chaidir J, Munaf S. Obat antimikroba In eds Farmakologi Unsri. Jakarta : EGC, 1994 ; 9-58
Katzung, G.B. (1998). Basic dan Clinical Pharmacology. Edisi 9. Singapore: mc graw hill. Hal
635-640-686-693.
th
Katzung BG. 2006. Basic and clinical pharmacology. 10

ed. New York: The Mcgraw-Hill.

Kiang G, dkk. (1990). Farmakologi Am. Penerbit. Jakarta : EGC


Light RW. Infectious disease, noscomial infection. Harrisons Principle of Internal Medicine 15
Edition.-CD Room; 2001
Neal, Michael J. 2006. Medical Pharmacology At a Glance. Edisi 5. Penerbit Erlangga. Hal 81
Neal, M.J. (2005). At a Glance Farmakologi Medik and Clinical Pharmacokinetics. USA.
Appleton-Cuntury Crofts. Ha: 266-268.
Stochley, I.H. (1994). Drug interactions a source book of adverse interaction, their
mechanisms, clinical importance and management adverse interaction. edisi 3 england. Hal
131-135

Shargel L. (1985). Biofarmasetik dan Farmakokinetik. edisi 2, Now York. Surabaya


Universitas Airlangga. Hal: 45-78, 293

Anda mungkin juga menyukai