Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
RDS (Respiratory Distress Syndrome) atau disebut juga Hyaline membrane disease
merupakan hasil dari ketidak maturan dari paru-paru dimana terjadi gangguan pertukaran
gas. Berdasarkan perkiraan 30 % dari kematian neonatus diakibatkan oleh RDS atau
komplikasi yang dihasilkannya (Behrman, 2004 didalam Leifer 2007).
Secara tinjauan kasus, di negara-negara Eropa sebelum pemberian rutin antenatal
steroid dan postnatal surfaktan, terdapat angka kejadian RDS 2-3%, di USA 1,72% dari
kelahiran bayi hidup periode 1986-1987. Sedangkan jaman modern sekarang ini dari
pelayanan NICU turun menjadi 1%. Di Negara berkembang termasuk Indonesia belum ada
laporan tentang kejadian RDS.
Sedangkan angka kematian kematian bayi (infant mortality rate), yakni angka kematian
bayi sampai umur satu tahun, di Negara-negara maju telah turun dengan cepat dan
sekarang mencapai angka di bawah 20 pada 1000 kelahiran. Penurunan angka kematian
prenatal berlangsung lebih lambat, sebabnya ialah karena kesehatan serta keselamatan
janin dalam uterussangat tegantung dari keadaan dan kesempurnaan bekerjanya system
dalam tubuh ibu yang mempunyai fungsi untuk menumbuhkan hasil konsepsi dari
mudhigah menjadi janin cukup bulan.
Di Negara-negara maju kematian prenatal ini mencapai angka dibawah 25 per 1000
seperti telah dijelaskan, prematuritas memegang peran penting dalam hal ini. Selanjutny
tidak jarang bersama-sama dengan prematuritas terjadi factor-faktor lain seperti, kelainan
congenital, asfiksia neonatorum, insufisiensi plasenta, pelukaan kelahiran, dan lain-lain.
Dua hal yang banyak menentukan penurunan kematian prenatal ialah tingkat kesehatan
serta gizi wanita dan mutu pelayanan kebidanan yang tinggi di seluruh Negara.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar pada RDS ?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien dengan RDS?
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui, memahami dan
mempelajari serta dapat menjelaskan pengertian RDS, etiologi, tanda gejala RDS, dan
pentalaksanaan RDS.
D. Manfaat
1. Dapat mengetahui konsep dasar pada RDS.
2. Dapat mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasien dengan RDS.

BAB II
KONSEP DASAR PENYAKIT
A. DEFINISI
Adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan tandatanda takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau
2

memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-tanda
klinik sesuai dengan besarnya bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya
shunting darah melalui PDA (Stark 1986).
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak
nafas berat (dyspnea ), frekuensi nafas meningkat (tachypnea ), sianosis yang menetap
dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru,adanya gambaran infiltrat
alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular,
perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi.
Sindrom gawat napas (RDS) (juga dikenal sebagai idiopathic respiratory distress
syndrome) adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan histologis yang terjadi
terutama akibat ketidakmaturan paru dengan unit pernapasan yang kecil dan sulit
mengembang dan tidak menyisakan udara diantara usaha napas. Istilah-istilah Hyaline
Membrane Disease (HMD) sering kali digunakan saling bertukar dengan RDS (Bobak,
2005).
Respiratory Distress Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidakmaturan
dari sel tipe II dan ketidakmampuan sel tersebut untuk menghasilkan surfaktan yang
memadai. (Dot Stables, 2005).
B. ETIOLOGI
Penyebab kelainan ini secara garis besar adalah kekurangan surfaktan, suatu zat aktif
pada alveoli yang mencegah kolaps paru.RDS seringkali terjadi pada bayi prematur, karena
produksi surfaktan, yang dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, baru mencapai jumlah
cukup menjelang cukup bulan. Makin muda usia kehamilan, makin besar pula
kemungkinan terjadinya RDS. Kelainan merupakan penyebab utama kematian bayi
prematur. Adapun penyebab-penyebab lain yaitu:
1. Kelainan bawaan/kongenital jantung atau paru-paru.
Bila bayi mengalami sesak napas begitu lahir atau 1-2 hari kemudian, biasanya
disebabkan adanya kelainan jantung atau paru-paru. Hal ini bisa terjadi pada bayi
dengan riwayat kelahiran normal atau bermasalah, semisal karena ketuban pecah dini
atau lahir prematur. Pada bayi prematur, sesak napas bisa terjadi karena adanya
kekurangmatangan dari organ paru-paru. Paru-paru harusnya berfungsi saat bayi
pertama kali menangis, sebab saat ia menangis, saat itu pulalah bayi mulai bernapas.
Tapi pada bayi lahir prematur, karena saat itu organnya tidak siap, misalnya gelembung
paru-paru tak bisa mekar atau membuka, sehingga udara tidak masuk. Itu sebabnya ia
tak bisa menangis. Ini yang namanya penyakit respiratory distress syndrome (RDS).
Tidak membukanya gelembung paru-paru tersebut karena ada suatu zat, surfactan, yang
tak cukup sehingga gelembung paru-paru atau unit paru-paru yang terkecil yang seperti
3

balon tidak membuka. Ibaratnya, seperti balon kempis. Gejala pada kelainan jantung
bawaan adalah napas sesak. Ada juga yang misalnya sedang menyusui atau beraktivitas
lainnya, mukanya jadi biru dan ia jadi pasif. Jadi, penyakitnya itu utamanya karena
kelainan jantung dan secondary-nya karena masalah pernapasan. Jadi, biasanya sesak
napas yang terjadi ini tidak bersifat mendadak. Walaupun demikian, tetap harus segera
dibawa ke dokter.
2. Kelainan pada jalan napas/trakea.
Kelainan bawaan/kongenital ini pun paling banyak ditemui pada bayi.
Gejalanya, napas sesak dan napas berbunyi grok-grok. Kelainan ini terjadi karena
adanya hubungan antara jalan napas dengan jalan makanan/esophagus. Kelainan ini
dinamakan dengan trackeo esophageal fistula. Akibat kelainan itu,ada cairan lambung
yang bisa masuk ke paru-paru. Tentunya ini berbahaya sekali. Sehingga pada usia
berapa pun diketahuinya, harus segera dilakukan tindakan operasi. Tak mungkin bisa
menunggu lama karena banyak cairan lambung bisa masuk ke paru-paru. Sebelum
operasi pun dilakukan tindakan yang bisa menolong jiwanya, misal dengan dimasukkan
selang ke jalan napas sehingga cairan dari lambung tak bisa masuk. Biasanya sesak
napasnya tampak begitu waktu berjalan 1-3 jam setelah bayi lahir. Nah, bila ada sesak
napas seperti ini, prosedur yang harus dilakukan adalah dilakukan foto rontgen segera
untuk menganalisanya
3. Tersedak air ketuban.
Ada juga penyakit-penyakit kelainan perinatologi yang didapat saat kelahiran.
Karena suatu hal, misalnya stres pada janin, ketuban jadi keruh dan air ketuban ini
masuk ke paru-paru bayi. Hal ini akan mengakibatkan kala lahir ia langsung tersedak.
Bayi tersedak air ketuban akan ketahuan dari foto rontgen, yaitu ada bayangan kotor.
Biasanya ini diketahui pada bayi baru lahir yang ada riwayat tersedak, batuk, kemudian
sesak napasnya makin lama makin berat. Itulah mengapa, pada bayi baru lahir kita harus
intensif sekali menyedot lendir dari mulut, hidung atau tenggorokannya. Bahkan jika
tersedak air ketubannya banyak atau massive, harus disedot dari paru-paru atau paruparunya dicuci dengan alat bronchowash. Lain halnya kalau air ketubannya jernih dan
tak banyak, tak jadi masalah. Namun kalau air ketubannya hijau dan berbau, harus
disedot dan dicuci paru-parunya. Sebab, karena tersedak ini, ada sebagian paruparunya yang tak bisa diisi udara/atelektasis atau tersumbat, sehingga menyebabkan
udara

tak bisa

masuk. Akibatnya,

jadi sesak napas. Biasanya

kalau

di-

rontgen,bayangannya akan terlihat putih. Selain itu, karena tersumbat dan begitu hebat
sesak napasnya,ada bagian paru-paru yang pecah/kempes/pneumotoraks. Ini tentu amat
berbahaya. Apalagi kejadiannya bisa mendadak dan menimbulkan kematian. Karena itu
4

bila sesak napas seperti ini, harus lekas dibawa ke dokter untuk mendapatkan alat bantu
napas/ventilator.
4. Pembesaran kelenjar thymus.
Ada lagi napas sesak karena beberapa penyakit yang cukup merisaukan yang
termasuk kelainan bawaan juga. Gejalanya tidak begitu kuat. Biasanya bayi-bayi ini pun
lahir normal, tak ada kelainan, menangisnya pun kuat. Hanya saja napasnya seperti
orang menggorok dan semakin lama makin keras, sampai suatu saat batuk dan berlendir.
Kejadian ini lebih sering dianggap karena susu tertinggal di tenggorokan. Namun ibu
yang sensitif biasanya akan membawa kembali bayinya ke dokter. Biasanya kemudian
diperiksa dan diberi obat. Bila dalam waktu seminggu tak sembuh juga, baru dilakukan
rontgen. Penyebabnya biasanya karena ada kelainan pada jalan napas, yaitu
penyempitan trakea. Ini dikarenakan adanya pembesaran kelenjar thymus. Sebetulnya
setiap orang punya kelenjar thymus. Kelenjar ini semasa dalam kandungan berfungsi
untuk sistem kekebalan. Letaknya di rongga mediastinum (diantara dua paru-paru).
Setelah lahir karena tidak berfungsi, maka kelenjar thymus akan menghilang dengan
sendirinya. Namun adakalanya masih tersisa: ada yang kecil, ada juga yang besar; baik
hanya satu atau bahkan keduanya. Nah, kelenjar thymus yang membesar ini akan
menekan trakea. Akibatnya, trakea menyempit dan mengeluarkan lendir. Itu sebabnya
napasnya berbunyi grok-grok dan keluar lendir, sehingga jadi batuk. Pengobatannya
biasanya dilakukan dengan obat-obatan khusus untuk mengecilkan kelenjar thymus agar
tidak menekan trakea. Pemberian obat dalam waktu 2 minggu. Kalau tak menghilang,
diberikan lagi pengobatan selama seminggu. Sebab, jika tidak diobati, akan menganggu
pertumbuhan si bayi. Berat badan tak naik-naik, pertumbuhannya kurang, dan harus
banyak minum obat.
5. Kelainan pembuluh darah.
Ada lagi kelainan yang gejalanya seperti mendengkur atau napasnya bunyi
(stridor), yang dinamakan dengan vascular ring. Yaitu,adanya pembuluh darah jantung
yang berbentuk seperti cincin (double aortic arch) yang menekan jalan napas dan jalan
makan. Jadi, begitu bayi lahir napasnya berbunyi stridor. Terlebih kalau ia menangis,
bunyinya semakin keras dan jelas. Bahkan seringkali dibarengi dengan kelainan
menelan, karena jalan makanan juga terganggu. Pemberian makanan yang agak keras
pun akan menyebabkannya muntah, sehingga anak lebih sering menghindari makanan
padat dan maunya susu saja. Pengobatannya, bila setelah dirontgen tidak ditemui
kelenjar thymus yang membesar, akan diminta meminum barium untuk melihat apakah
5

ada bagian jalan makan yang menyempit. Setelah diketahui, dilakukan tindakan operasi,
yaitu memutuskan salah satu aortanya yang kecil.
6. Tersedak makanan.
Tersedak atau aspirasi ini pun bisa menyebabkan sesak napas. Bisa karena
tersedak susu atau makanan lain, semisal kacang. Umumnya karena gigi mereka belum
lengkap, sehingga kacang yang dikunyahnya tidak sampai halus. Kadang juga
disebabkan mereka menangis kala mulutnya sedang penuh makanan. Atau ibu yang
tidak berhati-hati kala menyusui, sehingga tiba-tiba bayinya muntah. Mungkin saja sisa
muntahnya ada yang masih tertinggal di hidung atau tenggorokan. Bukankah setelah
muntah, anak akan menangis? Saat menarik napas itulah, sisa makanan masuk ke paruparu. Akibatnya, setelah tersedak anak batuk-batuk. Mungkin setelah batuk ia akan
tenang, tapi setelah 1-2 hari napasnya mulai bunyi. Bahkan bisa juga kemudian terjadi
peradangan dalam paru-paru. Anak bisa panas karena terjadi infeksi. Yang sering adalah
napas berbunyi seperti asma dan banyak lendir. Biasanya setelah dilakukan rontgen
akan diketahui adanya penyumbatan/atelektasis. Pengobatan dapat dilakukan dengan
bronkoskopi, dengan mengambil cairan atau makanan yang menyumbatnya. Selain
makanan, akan lebih berbahaya bila aspirasi terjadi karena minyak tanah atau bensin,
meski hanya satu teguk. Ini bisa terjadi karena kecerobohan orang tua yang menyimpan
minyak tanah/bensin di dalam botol bekas minuman dan menaruhnya sembarangan.
Bahayanya bila tersedak minyak ini, gas yang dihasilkan minyak ini akan masuk ke
lambung dan menguap, kemudian masuk ke paru-paru, sehingga bisa merusak paruparu. Akan sangat berbahaya pula kalau dimuntahkan, karena akan langsung masuk ke
paru-paru. Jadi, kalau ada anak yang minum minyak tanah/bensin jangan berusaha
dimuntahkan, tapi segera ke dokter. Oleh dokter, paru-parunya akan dicuci dengan
alat bronkoskop.
7. Infeksi.
Selain itu sesak napas pada bayi bisa terjadi karena penyakit infeksi. Bila anak
mengalami ISPA (Infeksi saluran Pernapasan Akut) bagian atas, semisal flu harus
ditangani dengan baik. Kalau tidak sembuh juga, misalnya dalam seminggu dan daya
tahan anak sedang jelek, maka ISPA atas ini akan merembet ke ISPA bagian bawah,
sehingga anak mengalami bronkitis, radang paru-paru, ataupun asmatik bronkitis.
Gejalanya, anak gelisah, rewel, tak mau makan-minum, napas akan cepat, dan makin
lama melemah. Biasanya juga disertai tubuh panas, sampai sekeliling bibir biru/sianosis,
berarti pernapasannya terganggu. Penyebabnya ini akan diketahui dengan pemeriksaan
dokter dan lebih jelasnya lagi dengan foto rontgen. Pengobatan dilakukan dengan
pemberian antibiotika. Biasanya kalau bayi sudah terkena ISPA bawah harus dilakukan
6

perawatan di rumah sakit. Setelah diobati,umumnya sesak napas akan hilang dan anak
sembuh total tanpa meninggalkan sisa, kecuali bagi yang alergi.
C. MANIFESTASI KLINIS
Ciri khas RDS adalah hipoksemia yang tidak dapat diatasi selama bernapas spontan.
Frekuensi pernapasan sering kali meningkat secara bermakna dengan ventilasi menit
tinggi. Sianosis dapat atau tidak terjadi. Hal ini harus diingat bahwa sianosis adalah tanda
dini dari hipoksemia.
Gejala klinis utama pada kasus RDS adalah:
1. Distres pernafasan akut: takipnea, dispnea , pernafasan menggunakan otot aksesoris
2.
3.
4.
5.

pernafasan dan sianosis sentral.


Batuk kering dan demam yang terjadi lebih dari beberapa jam sampai seharian.
Auskultasi paru: ronkhi basah, krekels halus di seluruh bidang paru, stridor, wheezing
Perubahan sensorium yang berkisar dari kelam pikir dan agitasi sampai koma.
Auskultasi jantung: bunyi jantung normal tanpa murmur atau gallop

(YasminAsih Hal 128)


D. PATOFISIOLOGI
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk berfungsi
sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor kritis dalam terjadinya
RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut terutama disebabkan oleh
kekurangan atau tidak adanya surfaktan.
Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga
tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu memohon sisa udara fungsional
(kapasitas residu fungsional ) (Ilmu Kesehatan Anak, 1985). Surfaktan juga menyebabkan
ekspansi yang merata dan jarang ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang rendah.
Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi sufaktan menimbulkan ketidakseimbangan
inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi tanpa surfaktan, janin tidak dapat
menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena itu, perlu usaha yang keras untuk
mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi), sehingga untuk
bernapas berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar dengan
disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Akibatnya, setiap kali perapasan menjadi sukar
seperti saat pertama kali pernapasan (saat kelahiran). Sebagai akibatnya, janin lebih banyak
menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini daripada ia terima dan ini
menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya kekelahan, bayi akan semakin sedikit
membuka alveolinya, ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat
menyebabkan atelektasis.
Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary vaskular
resistem (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal. Akibatnya, terjadi
7

hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di samping
itu, peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial sirkulasi, darah janin dengan
arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus arteriosus dan foramen ovale.
Kolaps paru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan vektilisasi pulmonal yang
menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah kontraksi vaskularisasi pulmonal yang
menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan selanjutnya menyebabkan metabolisme
anaerobik. Metabolisme anaerobik menghasilkan timbunan asam laktat sehingga terjadi
asidosis metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung yang menurunkan perfusi ke
organ vital. Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolus yang
menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin. Fibrin
bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut
membran hialin. Membran hialin ini melapisi alveoli dan menghambat pertukaran gas.
Atelektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbon dioksida dari sisa
pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan pH menyebabkan
vasokonstriksi yang semakin berat. Dengan penurunan sirkulasi paru dan perfusi alveolar,
PaO2 akan menurun tajam, pH juga akan menurun tajam, serta materi yang diperlukan
untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli.
Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu dan perfusi normal, asfiksia,
hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan hipovolemia, hipotensi
dan stress dingin dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru dapat juga terkena
trauma akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh penatalaksanaan pernapasan yang
mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut (Asrining Surasmi, dkk, 2003).
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran setan yang
terdiri dari : atelektasis hipoksia asidosis transudasi penurunan aliran darah paru
hambatan pembentukan substansi surfaktan atelektasis. Hal ini akan berlangsung terus
sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi (Staf Pengajar IKA, FKUI, 1985).

E. KOMPLIKASI
1. Pneumotoraks / pneumomediastinum
2. Pulmonary interstitial dysplasia
3. Patent ductus arteriosus (PDA)
4. Hipotensi
5. Asidosis
6. Hiponatermi / hipernatremi
7. Hipokalemi
8. Hipoglikemi
9. Intraventricular hemorrhage
10. Retinopathy pada prematur
11. Infeksi sekunder
(Suriadi dan Yuliani, 2006).
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Gambaran radiologis
Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto rontgen toraks.
Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain
yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membran hialin, misalnya
pneumotoraks, hernia diafragmatika dan lain-lain. Gambaran klasik yang ditemukan
pada foto rontgen paru ialah adanya bercak difus berupa infiltrate retikulogranuler ini,
makin buruk prognosis bayi. Beberapa sarjana berpendapat bahwa pemeriksaan
radiologis ini dapat dipakai untuk mendiagnosis dini penyakit membran hialin,
walaupun manifestasi klinis belum jelas.
2. Gambaran laboratorium
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium diantaranya adalah :
9

a. Pemeriksaan darah
Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45 mg%,
prognosis lebih buruk, kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi
normal dengan berat badan yang sama. Kadar PaO2 menurun disebabkan kurangnya
oksigenasi di dalam paru dan karena adanya pirau arteri-vena. Kadar PaO 2 meninggi,
karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO 2 sebagai akibat atelektasis paru. pH
darah menurun dan defisit biasa meningkat akibat adanya asidosis respiratorik dan
metabolik dalam tubuh.
b. Pemeriksaan fungsi paru
Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan pelik, frekuensi
pernapasan yang meninggi pada penyakit ini akan memperhatikan pula perubahan
pada fungsi paru lainnya seperti tidal volume menurun, lung compliance
berkurang, functional residual capacity merendah disertai vital capacity yang
terbatas. Demikian pula fungsi ventilasi dan perfusi paru akan terganggu.
c. Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler
Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperhatikan beberapa perubahan
dalam fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten, pirau dari kiri ke kanan
atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan
arteri paru dan sistemik.
3. Gambaran patologi/histopatologi
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan membran
hialin di dalam alveolus dan duktus alveolaris. Di samping itu terdapat pula bagian paru
yang mengalami enfisema. Membran hialin yang ditemukan yang terdiri dari fibrin dan
sel eosinofilik yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel ductus yang nekrotik.
G. PENATALAKSANAAN
1. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar
tetap dalam batas normal (36,5o-37oC) dengan cara meletakkan bayi dalam incubator.
Kelembapan ruangan juga harus adekuat.
2. Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati karena
berpengaruh kompleks pada bayi premature. pemberian oksigen yang terlalu banyak
dapat menimbulkan komplikasi seperti fobrosis paru,dan kerusakan retina. Untuk
mencegah timbulnya komplikasi pemberian oksigen sebaiknya diikuti dengan
pemeriksaan analisa gas darah arteri. Bila fasilitas untuk pemeriksaan analisis gas darah
arteri tidak ada, maka oksigen diberikan dengan konsentrasi tidak lebih dari 40%
sampai gejala sianosis menghilang.

10

3. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan homeostasis dan
menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan glukosa 5-10% dengan jumlah
yang disesuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125 ml/kgBB/hari. Asidosis
metabolic yang selalu dijumpai harus segera dikoreksi dengan memberikan NaHCO3
secara intravena yang berguna untuk mempertahankan agar pH darah 7,35-7,45. Bila
tidak ada fasilitas untuk pemeriksaan analisis gas darah, NaHCO3 dapat diberi langsung
melalui tetesan dengan menggunakan campuran larutan glukosa 5-10% dan NaHCO3
1,5% dalam perbandinagn 4:1
4. Pemberian antibiotic. bayi dengan PMH perlu mendapat antibiotic untuk mencegah
infeksi sekunder. dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-100.000 U/kgBB/hari
atau ampisilin 100 mg/kgBB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari.
5. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan eksogen
(surfaktan dari luar). Obat ini sangat efektif tapi biayanya sangat mahal.

11

BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, tanggal
pengkajian.
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat maternal
b. Menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti perdarahan plasenta,
tipe dan lamanya persalinan, stress fetal atau intrapartus.
c. Status infant saat lahir
Prematur, umur kehamilan, apgar score (apakah terjadi asfiksia), bayi lahir melalui
operasi caesar.
3. Data dasar pengkajian
a. Cardiovaskuler
Bradikardia (< 100 x/i) dengan hipoksemia berat
Murmur sistolik
Denyut jantung DBN
b. Integumen
Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
Pitting edema pada tangan dan kaki
Mottling
c. Neurologis
Immobilitas, kelemahan
Penurunan suhu tubuh
d. Pulmonary
Takipnea (> 60 x/i, mungkin 30-100 x/i)
Nafas grunting
Pernapasan cuping hidung
Pernapasan dangkal
Retraksi suprasternal dan substernal
Sianosis
Penurunan suara napas, crakles, episode apnea
e. Status behavioral
Letargi
4. Pemeriksaan Doagnostik
a. Sert rontgen dada : untuk melihat densitas atelektasi dan elevasi diafragma dengan
over distensi duktus alveolar
12

b. Bronchogram udara : untuk menentukan ventilasi jalan napas


c. Data laboratorium :
Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan amnion (untuk

janin yang mempunyai predisposisi RDS)


Lesitin/spingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan maturitas paru
Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu
Tingkat phospatydylinositol
AGD : PaO2 < 50 mmHg, PaCO2 > 50 mmHg, saturasi oksigen 92%-94%, pH 7,3-

7,45.
Level potassium : meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel alveolar
yang rusak.

B. ANALISA DATA
N
o
1
-

Data

Etiologi

Masalah

DO :

Surfaktan

Kerusakan pertukaran gas

Hiperkapnea
Hipoksia
Takipnea
Sianosis
Letargi
Dispnea
GDA abnormal
Pucat

Tegangan permukaan alveolus

Ketidakseimbangan infasi saat


inspirasi

Kolaps alveoli

Gangguan ventilasi pulmonal

13

DO :

Surfaktan menurun

Pola napas tidak efektif

Dispnea;

takipnea
Janin tidak dapat menjaga
- Periode apnea
rongga paru tetap
Pernapasan
Mengembang
cuping hidung
- Retraksi dinding
-

dada
Sianosis
Mendengkur
Napas grunting
Kelelahan

DO :
-

Hipotermia
Letargi
Menangis buruk
Aterosianosis
Takipnea; apnea
Turgor kulit

buruk
- Hipoglikemia

Usaha inspirasi lebih kuat

Sukar bernapas
Dispnea
Retraksi dinding dada
Kelelahan
Pernapasan cuping hidung

Metabolisme anaerob

Termoregulasi tidak efektif

Timbunan asam laktat


Asidosis metabolik

Kurangnya cadangan glikogen


dan lemak coklat

Respons menggigil pada bayi


kurang/tidak ada

Bayi

kehilangan

tubuh/tidak

panas
dapat

meningkatkan panas tubuh

14

DO :
-

Bradikardia
Sianosis umum
Pucat
Hipotensi
Dispnea
Edema perifer
Lelah
Murmur sistolik

Kolaps paru

Risiko tinggi penurunan curah

jantung

Gangguan ventilasi pulmonal

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakadekuatan kadar surfaktan,
ketidakseimbangan perfusi ventilasi.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan energi/kelelahan, keterbatasan
pengembangan otot.
3. Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan penurunan lemak subkutan,
peningkatan upaya pernapasan sekunder akibat RDS.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan
metabolisme akibat stress.
5. Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan prosedur invasif.
6. Risiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan ventilasi
pulmonal.
7. Risiko tinggi cidera berhubungan dengan gangguan perfusi ke otak, gangguan fungsi
serebral.
8. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan metabolisme yang meningkat.
9. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi
bayinya.
D. INTERVENSI
15

1. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidak seimbangan perfusi ventilasi,


ketidakadekuatan kadar surfaktan dan stress dingin
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi selama 3 x 24 jam diharapkan pertukaran gas
adekuat
Kriteria hasil :
1. Sianosis (-)
2. Bayi tampak tenang
3. Sesak (-)
4. Ronchi (-)
5. RR 30-60 x/i
6. GDA DBN
7. PaCO2 : 35-45 mmHg
8. PaO2 : 50-70 mmHg
9. pH : 7,35-7,45
10. Nadi : 120-140 x/i
Intervensi :
Mandiri :
1. Perhatikan usia gestasi, berat badan dan jenis kelamin
R : Neonatus lahir sebelum gestasi minggu ke 30 dan/atau berat badan kurang dari
1500 g berisiko tinggi terhadap terjadinya RDS. (catatan : mayoritas kematian
berhubungan dengan RDS terjadi pada bayi dengan berat badan kurang dari 1500 g).
2. Kaji status pernapasan, perhatikan tanda-tanda distress pernapasan (misal takipnea,
pernapasan cuping hidung, mengorok, retraksi, ronki atau krekels)
R : Takipnea menandakan distress pernapasan, khususnya bila pernapasan lebih besar
dari 60 x/menit setelah 5 jam pertama kehidupan. Pernapasan mengorok
menunjukkan upaya untuk mempertahankan ekspansi alveolar, pernapasan cuping
hidung adalah mekanisme kompensasi untuk menambah diameter hidung dan
meningkatkan masukan oksigen. Krekels/ronki dapat menandakan vasokontriksi
pulmonary yang berhubungan dengan PDA, hipoksemia, asidemia, atau imaturitas
otot ateriol, yang gagal untuk konstruksi sebagai respon terhadap peningkatan kadar
oksigen.
3. Gunakan pemantau oksigen transkutan atau oksimeter nadi. Catat kadar setiap jam,
ubah sisi alat setiap 3-4 jam.
R : Memberikan pemantauan non invansif konstan terhadap kadar oksigen (catatan :
insufisiensi pulmonary biasanya memburuk selama 24-48 jam pertama, kemudian
mencapai plateu).
4. Hisap hidung dan orofaring dengan hati-hati, sesuai kebutuhan.
R : Mungkin perlu untuk mempertahankan kepatenan jalan napas, khususnya pada
bayi yang menerima ventilasi terkontrol.
16

5. Pantau masukan dan saluran cairan : timbang berat badan sesuai indikasi berdasarkan
protokol.
R : Penurunan berat badan dan peningkatan saluran urin dapat menandakan fase
diuretic dari RDS biasanya mulai pada 72-96 jam dan mendahului resolusi kondisi.
6. Tingkatkan istirahat : minimalkan rangsangan dan penggunaan energi.
R : .Menurunkan laju metaoblik dan konsumsi oksigen.
7. Observasi terhadap tanda dan lokasi sianosis.
R : .Sianosis adalah tanda lanjut dari PaO2 rendah dan tidak tampak sampai ada
sedikit lebih dari 3 g/dl penurunan Hb pada darah arteri sentral atau 4-6 g/dl pada
darah kapiler atau sampai saturasi oksigen hanya 75%-85% dengan kadar PO 2 42
sampai 41 mmHg.
Kolaborasi :
1. Pantau pemeriksaan laboratorium, dengan tepat : Grafik seri GDA : Hb/Ht
R : Hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis menurunkan produksi surfaktan, kadar
PaO2 harus 50 sampai 70 mmHg atau lebih tinggi kadar PaCO2 harus sampai 35-45
mmHg dan oksigen harus sampai 92% sampai 94%.
2. Berikan oksigen, sesuai kebutuhan dengan masker, kap selang endotrakeal atau
ventilasi mekanik dengan menggunakan tekanan jalan napas positif konstan (CPAP)
dan ventilasi mendatar intermiten (imv) atau pernapasan tekanan positif intermitten
(IPPB) dan tekanan ekspirasi aktif positif (PEEP).
R : Hipoksemia dan asidemia dapat berlanjut menurunkan produksi surfaktan,
meningkatkan tahanan vaskular pulmonal dan vasokontriksi dan menyebabkan
duktus arteriosus tetap terbuka. Imaturitas hipotalamus dapat memerlukan bantuan
ventilasi untuk mempertahankan pernapasan. Penggunaan PEEP dapat menurunkan
kolaps jalan napas, meningkatkan pertukaran gas dan menurunkan kebutuhan
oksigen tingkat tinggi.
3. Berikan makanan dengan selang nasogastrik atau orogastrik sebagai pengganti
pemberian makan dengan ASI bila tepat.
R : Menurunkan kebutuhan oksigen, meningkatkan istirahat menghemat energi dan
4.

menurunkan risiko aspirasi karena perkembangan refleks yang buruk.


Berikan obat-obatan sesuai indikasi : Natrium bikarbonat,Surfaktan (artificial atau
eksogen)
R : Bila tindakan meningkatkan frekuensi pernapasan atau memperbaiki ventilasi
tidak cukup untuk memperbaiki asidosis, penggunaan natrium bikarbonat yang hatihati dapat membantu mengembalikan pH ke dalam rentang normal.

2. Tidak efektif pola pernafasan berhubungan dengan keterbatasan perkembangan otot


penurunan energi/kelelahan
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi selama 3 x 24 jam diharapkan pola napas efektif
Kriteria hasil :
1. Sianosis (-)
17

2. Bayi tampak tenang


3. Apnea (-)
4. Pernapasan efektif
5. Tidak pucat

Intervensi :
Mandiri :
1. Kaji frekuensi pernapasan dan pola pernapasan, perhatikan adanya apnea dan
perubahan frekuensi jantung, tonus otot dan warna kulit berkenaan dengan prosedur
atau perawatan, lakukan pemantauan jantung pernapasan atau/dan pernapasan yang
kontinu.
R : Membantu dalam membedakan periode perputaran pernapasan normal dari
serangan apneik sejati, yang terutama sering terjadi sebelum gestasi minggu ke 30.
2. Hisap jalan napas sesuai kebutuhan
R : Menghilangkan mukus yang menyumbat jalan napas
3. Tinjau ulang riwayat ibu terhadap obat-obatan yang dapat memperberat depresi
pernapasan pada bayi.
R : Magnesium sulfat dan narkotik menekan pusat pernapasan dan aktivitas ssp.
4. Posisikan bayi pada abdomen atau posisi telentang dengan gulungan popok di bawah
baku untuk menghasilkan sedikit hiperekstensi
R : Posisi ini dapat memudahkan pernapasan dan menurunkan episode apneik,
khususnya pada adanya hipoksia, asidosis metabolik atau hiperkapnia.
5. Berikan rangsang taktil yang segera (misal : gosokan punggung bayi) bila terjadi
apnea, perhatikan adanya sianosis, bradikardia atau hipotania, anjurkan kontak orang
tua
R : Merangsang ssp untuk meningkatkan gerakan tubuh dan kembali pernapasan
spontan. Kadang-kadang bayi mengalami kejadian apnea lebih sedikit atau tidak ada
atau bradikardia bila orang tua menyentuh dan bicara pada mereka.
Kolaborasi :
1. Pantau pemeriksaan laboratorium (misal GDA, glukosa serum, elektrolit, kultur dan
kadar obat), sesuai indikasi
R : Hipoksia, asidosis metaoblik, hiperkapnia, hipoglikemia, hipokalsemia dan sepsis
dapat memperberat serangan apneik, toksisitas obat yang menekan fungsi pernapasan
dapat terjadi karena keterbatasan ekskresi dan waktu paruh obat yang lama.
2. Berikan oksigen sesuai indikasi
R : Perbaikan kadar oksigen dan karbondioksida dapat meningkatkan fungsi
pernapasan.
3. Berikan obat-obatan sesuai indikasi :
Natrium bikarbonat
18

Antibiotik
Kalsium glukonat
Aminofilin

R:

Memperbaiki asidosis
Mengatasi infeksi pernapasan atau sepsis
Hipokalsemi mempredisposisikan bayi pada apnea.
Dapat meningkatkan aktivitas pusat pernapasan dan menurunkan sensitivitas
terhadap karbondioksida, menurunkan frekuensi apnea.

3. Tidak efektif termoregulasi berhubungan dengan penurunan lemak subkutan,


peningkatan upaya pernapasan sekunder akibat RDS
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi selama 3 x 24 jam diharapkan termoregulasi
efektif.
Kriteria hasil :
1. Suhu tubuh stabil (36,5-37oC)
2. Sianosis (-)
3. Bradikardia (-)
4. Hipoglikemia (-)
5. Apnea (-)
6. TTV DBN :
TD : 50 mmHg (sekreta)
RR : 30-60 x/mnt
N : 120-140 x/mnt
Intervensi :
Mandiri :
1. Kaji suhu dengan sering, periksa suhu rectal pada awalnya, selanjutnya periksa suhu
aksila atau gunakan alat thermostat dengan dasar terbuka dengan penyebar hangat.
Ulangi setiap 15 menit selama penghangatan ulang.
R : Hipotermia cenderung membuat bayi pada stress dingin penggunaan simpanan
lemak coklat yang tidak dapat diperbaharui bila ada dan penurunan. Sensitivitas
untuk meningkatkan kadar karbondioksida (hiperkapnia) atau penurunan kadar
oksigen (hipoksia)
2. Tempatkan bayi pada penghangat, isolette, inkubator, tempat tidur terbuka dengan
penyebar hangat atau tempat tidur bayi terbuka dengan pakaian tempat untuk bayi
yang lebih besar.
R : Menurunkan kehilangan panas pada lingkungan yang lebih dingin dari ruangan
3. Gunakan lampu pemanas selama prosedur, tutup penyebar hangat atau bayi dengan
penutup plastik atau kertas alumunium bila tepat.
R : Menurunkan kehilangan panas karena konveksi/konduksi membatasi kehilangan
panas melalui radiasi

19

4. Kurangi pemajanan pada aliran udara, hindari pembukaan pagar isolette yang tidak
semestinya.
R : Menurunkan kehilangan melalui evaporasi.
5. Ganti pakaian atau linen tempat tidur bila basah
R : Hipertermia dengan akibat peningkatan pada laju metabolisme kebutuhan
oksigen, dan glukosa dan kehilangan air tidak kasat mata dapat terjadi bila suhu
lingkungan yang dapat dikontrol, terlalu tinggi.
6. Pertahankan kepala bayi tetap tertutup
R : Mencegah evaporasi berlebihan, menurunkan kehilangan cairan tidak kasat mata.
7. Perhatikan adanya takipnea atau apnea, sianosis umum, akrosianosis atau kulit
belang, bradikardia, menangis buruk atau letargi, evaluasi derajat dan lokasi ikterik.
R : Tanda-tanda ini menandakan stress dingin, yang meningkatkan konsumsi oksigen
dan kalori serta membuat bayi cenderung pada asidosis berkenaan dengan
metabolisme anaerobik.
8. Berikan penghangatan bertahap untuk bayi dengan stress dingin
R : Peningkatan suhu tubuh yang cepat dan dapat menyebabkan konsumsi oksigen
berlebihan dan apnea.
9. Kaji saluran dan berat jenis urin
R : Penurunan haluaran dan peningkatan berat jenis urine dihubungkan dengan
penurunan persuasi ginjal selama periode stress dingin.
Kolaborasi :
1. Pantau pemeriksaan laboratorium, sesuai indikasi (misal : GDA, glukosa serum,
elektrolit dan kadar bilirubin)
R : Stress dingin meningkatkan kebutuhan terhadap glukosa dan oksigen serta dapat
mengakibatkan masalah asam basa bila bayi mengalami metabolisme anaerobik, bila
kadar oksigen yang cukup tidak tersedia peningkatan kadar bilirubin indirek dapat
terjadi karena pelepasan asam lemak dari metabolisme lemak coklat, dengan asam
lemak bersaing dengan bilirubin pada bagian ikatan di albumin, asidosis metabolik
dapat juga terjadi pada hipertermia.
2. Berikan obat sesuai indikasi : Natrium bikarbonat.
R : Memperbaiki asidosis yang dapat terjadi pada hipotermia dan hipertermia

20

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sindrom distress pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem
pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai
hyaline membrane disease (HMD) (Suriadi dan Rita Yuliani, 2006).
RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding terbalik dengan usia
kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan ibu semakin tinggi
kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua usia kehamilan semakin rendah
kejadian RDS (Asrining Surasmi, dkk, 2003).
Asuhan keperawatan pada IRDS ini meliputi : pengkajian, analisa data diagnosa
keperawatan, intervensi dan implementasi, adapun diagnosa yang muncul antara lain :
kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakadekuatan kadar surfaktan,
ketidakseimbangan perfusi ventilasi, pola napas tidak efektif berhubungan dengan
21

penurunan energi/kelelahan, keterbatasan pengembangan otot. Termoregulasi tidak efektif


berhubungan dengan penurunan lemak subkutan, peningkatan upaya pernapasan sekunder
akibat RDS. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan metabolisme akibat stress.
B. SARAN
1. Pencegahan prematuritas, termasuk menghindarkan seksio sesaria yang tidak perlu atau
kurang sesuai waktu perlu dilakukan untuk mengurangi terjadinya RDS pada bayi.
2. Bayi yang mengalami RDS perlu mendapatkan tindakan yang cepat dan tepat guna
menghindari terjadinya mortalitas pada bayi.
3. Peningkatan pengetahuan terhadap perawat dan orang tua perlu dilakukan untuk
membantu penanganan pada bayi dengan RDS.

DAFTAR PUSTAKA
Doenges dan Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi : Pedoman untuk
Perencanaan dan Dokumentasi Perawatan Klien. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Volume I. Edisi 15. Jakarta : EGC.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Buku Kuliah 3. Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI.
Surasmi, A, dkk. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta : EGC.
Suriadi & Yuliani. 2006. Buku Pegangan Praktik Klinik. Asuhan keperawatan pada Anak
Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto.
Wong L. Donna. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.

22

23

Anda mungkin juga menyukai