Infeksi merupakan suatu keadaan sakit yang disebabkan masuk, berkembang biak, dan berprosesnya
mikroorganisme pathogen ke dalam tubuh penderita. Dalam proses diagnosis, pengumpulan informasi kita
peroleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Hal yang perlu diperhatikan saat awal adalah membangun hubungan baik dengan pasien. Gunakan
questioning technique yang baik,sambil menaksir status mental dan emosional pasien. Catat status
demografis pasien seperti usia, jenis kelamin, etnis, dan pekerjaan. Pada anamnesis kita perlu
mengetahui riwayat:
-
belum jelas
- Penyakin imun kongenital/bawaan
c. Terapi imunosupresor
- Terapi steroid: steroid sering digunakan dengan iatrogenik untuk mengobati asma, kondisi
kulit, kanker, dan kondisi inflamasi lain. Steroid akan menstabilisasi membran sel
imunokompeten sehingga respon imunnya menurun.
1
Transplantasi organ: biasanya dirawat dengan kortikosteroid dan imunosupresor lain untuk
Riwayat dental
Riwayat sosial dan keluarga ada penyakit dan kelainan yang bersifat herediter
Setelah anamnesis selesai, jangan lupa membuat informed consent yang minimal
mencakup:
2. Pemeriksaan fisik
Ekstra oral
-
Palpasi: TMJ (cek clicking, crepitus, dan deviasi), nodus limfa servikal dan sublmandibular,
kelenjar tiroid (cek tempat, bentuk, ukuran, tekstur permukaan, konsistensi). Jika curiga ada
sinusitis, tekan tulang maksila dan frontal di depan sinus.
o cek daerah pembengkakkan nyeri tekan dan suhu sekitarnya
o konsistensi (lunak, padat, keras, fluktuasi)
o
o
o
o
o
o
Biru keabuan: benda asing yang dideposit pada jaringan ikat di bawah epitel
Warna dan suhu jaringan sekitar
Morfologi permukaan: halus / ireguler / tidak jelas / sangat jelas
Konsistensi saat dipalpasi
Massa lunak: kista / tumor jinak
Kenyal namun keras: kelainan jinak/neoplastis
Lebih keras: penyakit mmetastatis pada nodus limfa
Keras/bony: lesi termineralisasi/kalsifikasi
Gejala lokal
Distribusinya jika lesi >1
Cek struktur jaringan normal atau abnormal (distorsi mukobukal fold, soft palate symmetric
with uvula in midline, erythema, gingival swelling, draining sinus tract)
Ultrasonography
Indikasi: evaluasi massa yang berada di dalam; membedakan massa solid dengan cystic.Teknik
bergantung pada fakta bahwa perbedaan densitas jaringan menghasilkan perbedaan refleksi pada beam
gelombang frekuensi tinggi. Untuk membedakan lesi solid/cystic.Kelebihan: tidak memaparkan radiasi
kepada pasien. Kekurangan: resolusi jaringan < CT Scan/MRI, tergantung keahlian operator.
B. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kimia serum
Pada pasien demam dan dehidrasi :
8
- Swabbing : teknik dengan menggosokkan sikat oral ke mulut untuk mendapatkan sel-sel
epitel, lalu dievaluasi secara histopatologis.
Pemeriksaan kultur dan antibiotik
Indikasi :
- infeksi menyebar atau infeksi berlebihan
- infeksi pada pasien yang compromised
- infeksi tidak berespon dengan terapi antibiotik
- infeksi rekuren
- osteomyelitis
- infeksi paska operasi
- infeksi dengan gambaran tidak umum seperti nekrosis jaringan, produksi udara, kronik/multiple
fistulae/sinus track, hospital-acquired infection (nosocomial)
Mekanisme infeksi
permukaan
jaringan lunak dan bersifat difus (Neville, 2004). Selulitis dapat terjadi pada semua tempat dimana
terdapat jaringan lunak dan jaringan ikat longgar, terutama pada muka dan leher, karena biasanya
pertahanan terhadap infeksi pada daerah tersebut kurang sempurna. Selulitis mengenai jaringan
subkutan bersifat difus, konsistensinya bisa sangat lunak maupun keras seperti papan, ukurannya besar,
spongius dan tanpa disertai adanya pus, serta didahului adanya infeksi bakteri. Tidak terdapat
fluktuasi yang nyata seperti pada abses, walaupun infeksi membentuk suatu lokalisasi cairan
(Peterson, 2002). Penyebaran infeksi selulitis progressif mengenai daerah sekitar, bisa melewati
median line, kadang-kadang turun mengenai leher (Pedlar, 2001).
10
Abses
Adalah suatu kumpulan pus yang terlokalisir di dalam jaringan atau organ atau ruang terbatas
yang terjadi akibat jaringan dan sisa leukosit yang hancur. Pnyebab abses adalah staphylococcus.
12
pyrexia
rapid, weak, thready pulse
chills and sewats
delirium - meningitis supervenes terminally
septic emboli to various parts of body
- venous obstruction
o
o
o
o
o
o
13
first CN involved is VI
ptosis - paralysis of oculomotor nerve
dilatation of pupil- third nerve and stimulation of sympathetic plexus
decreased abduction (paralysis of abducens nerve)
complete opthalmoplegia
loss of vision
retro-orbital pain and supraorbital headache -> V
Etiologi :
14
kemosis,
hambatan pergerakan bola mata dan nyeri pergerakan bola mata. Keterlambatan pengobatan akan
mengakibatkan progresifitas dari infeksi dan timbulnya sindroma apeks orbita atau trombosis sinus
kavernosus.
Orbital infections karena infeksi gigi (odontogen) merupakan kasus yang sedikit, hanya 25% dari
semua
kasus. Sedangkan sinusitis y ang disebabkan oleh faktor odontogen diperkirakan 1012% dari semua
kasus sinusitis. Sumber infeksi dapat timbul dari semua gigi, terutama premolar dan molar superior. 3,4
Komplikasi yang terjadi antara lain kebutaan, kelumpuhan saraf kranial, abses otak, dan bahkan dapat
terjadi
kematian.
15
sinusitis
18
19
Tabel 2. Tabel skor untuk tingkat keparahan infeksi dari fascial space
2. Kecepatan perkembangan infeksi
- onset pembengkakkan
- nyeri
- trismus
3. Airway compromise
Penyebab kematian yang tersering adalah airway compromise
Complete obstruksi memerlukan intubasi, trakeostomi dan cricothirotomy
Partial airway intubation : stridor, coarse breath sounds, drooling, accessory muscle use
Suspected infection
Hypotension
Increased SvO2
Dalam kurun waktu 23 tahun yang lalu bakterimia karena infeksi bakteri gram negatif di AS yaitu antara
100.000-300.000 kasus pertahun, tetapi sekarang insiden ini meningkat menjadi sekitar 300.000-500.000 kasus
pertahun. Syok akibat sepsis terjadi karena adanya respon sistemik pada infeksi yang serius. Walaupun insiden
syok sepsis ini tak diketahui pasti namun dalam beberapa tahun terakhir ini cukup tinggi Hal ini disebabkan
cukup banyak faktor predisposisi untuk terjadinya sepsis antara lain diabetes melitus, sirrhosis hati,
alkoholisme, leukemia, limfoma, keganasan, obat sitotoksis dan imunosupresan, nutrisi parenteral dan sonde,
infeksi traktus urinarius dan gastrointestinal. Di AS syok sepsis adalah penyebab kematian yang sering di ruang
ICU.
Sebuah studi oleh selama 16 melaporkan angka kejadian 2 kasus per 100 penerimaan rumah sakit di AS,
dengan distribusi 55% terjadi di ICU,12% di bagian gawat darurat dan 33% pada non-ICU 3. Data yang lebih
baru menunjukkan bahwa insiden tahunan sepsis terjadi sekitar 50-95 per 100.000 kasus. Selain itu, insiden
sepsis tersebut telah tumbuh sebesar 9% setiap tahunnya4.Bakteri Gram-negatif biasanya menjadi salah satu
etiologi terbanyak dengan proporsi 35 hingga 40% pada kasus sepsis akan tetapi telah menurun menjadi 2530% pada 2000.6Bakteri Gram-positif menyebabkan 30-50% kasus, dan infeksi polimikrobial menyumbang
sekitar 25% 6.
Sekitar 50% dari pasien sepsis berkembang menjadi syok sepsis, dengan angka kematian 45%. 7 Tempat
yang paling sering mengalami infeksi adalah paru-paru, abdomen, dan saluran kemih. Komplikasi dari syok
sepsis meliputi Acute Respiratory Distress Syndrome / ARDS (18%), Disseminated Intravascular Coagulation /
DIC (38%) dan gagal ginjal(50%).8 Pria maupun orang dewasa yang lebih tua menjadi faktor predisposisi
berkembangnya syok sepsis bila dibandingkan dengan perempuan9
23
Gambar 5. Grafik perbandingan insidens dan mortalitas pada sepsis berat di USA7
24
imunosupresif,
terapi
kortikosteroid,
IV
25
Infeksi traktur repiratorius bawah yang menyebabkan syok sepsis pada sekitar 25% pasien, patogen
yang umum :
o Streptococcus pneumoniae
o Klebsiella pneumoniae
o Staphylococcus aureus
o Escherichia coli
o Legionella species
o Haemophilus species
o Anaerobes
o Gram-negative bacteria
26
o Fungi
Infeksi traktus urinarius yang menyebabkan syok sepsis pada sekitar 25% pasien, patogen yang umum :
o E coli
o Proteus species
o Klebsiella species
o Pseudomonas species
o Enterobacter species
o Serratia species
Infeksi jaringan lunak yang menyebabkan syok sepsis pada sekitar 15% pasien, patogen yang umum :
o S aureus
o Staphylococcus epidermidis
o Streptococci
o Clostridia
o Gram-negative bacteria
o Anaerobes
Infeksi traktus gastro-intestinal yang menyebabkan syok sepsis pada 15% pasien, patogen yang umum :
o E coli
o Streptococcus faecalis
o Bacteroides fragilis
o Acinetobacter species
o Pseudomonas species
o Enterobacter species
o Salmonella species
Infeksi saluran reproduktif laki-laki dan perempuan yang menyebabkan syok sepsis pada sekitar 10%
pasien, patogen yang umum :
o Neisseria gonorrhoeae
o Gram-negative bacteria
o Streptococci
o Anaerobes
Benda asing yang mengakibatkan infeksi berkontribusi 5% pada syok sepsis : S aureus, S
epidermidis, adan fungi/yeasts (eg, Candida species) merupakan patogen yang umum.
27
28
Patofisiologi
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis. Pada bakteri gram negatif yang
berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu protein di dalam plasma, dikenal dengan LBP
(Lipopolysacharide binding protein) yang disintesis oleh hepatosit, diketahui berperan penting dalam
metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor inhibitor dalam serum
seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP
sehingga mempercepat ikatan dengan CD14.1,2 Kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal
intraseluler melalui nuklear factor kappaB (NFkB), tyrosin kinase(TK), protein kinase C (PKC), suatu faktor
transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan
menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like receptor-2 (TLR2) (Widodo, 2004).
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic acid (LTA) dan peptidoglikan
(PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram positif menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin
sebagai superantigen dan komponen dinding sel yang menstimulasi imun. Superantigen berikatan dengan
molekul MHC kelas II dari antigen presenting cells dan V-chains dari reseptor sel T, kemudian akan
mengaktivasi sel T dalam jumlah besar untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang berlebih (Calandra,
2003).
Peran Sitokin pada Sepsis
Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan pejamu terhadap infeksi dan invasi mikroorganisme.
Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator inflamasi yang berlebih, yang mencakup sitokin yang
bekerja lokal maupun sistemik, aktivasi netrofil, monosit, makrofag, sel endotel, trombosit dan sel lainnya,
aktivasi kaskade protein plasma seperti komplemen, pelepasan proteinase dan mediator lipid, oksigen dan
nitrogen radikal. Selain mediator proinflamasi, dilepaskan juga mediator antiinflamasi seperti sitokin
antiinflamasi, reseptor sitokin terlarut, protein fase akut, inhibitor proteinase dan berbagai hormon (Widodo,
2004).
Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang terpenting adalah TNF-, IL-1, IL6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin proinflamasi dan IL-10 sebagai antiinflamasi. Pengaruh TNF- dan IL-1 pada
endotel menyebabkan permeabilitas endotel meningkat, ekspresi TF, penurunan regulasi trombomodulin
sehingga meningkatkan efek prokoagulan, ekspresi molekul adhesi (ICAM-1, ELAM, V-CAM1, PDGF,
hematopoetic growth factor, uPA, PAI-1, PGE2 dan PGI2, pembentukan NO, endothelin-1.1 TNF-, IL-1, IL-6,
IL-8 yang merupakan mediator primer akan merangsang pelepasan mediator sekunder seperti prostaglandin E 2
(PGE2), tromboxan A2 (TXA2), Platelet Activating Factor (PAF), peptida vasoaktif seperti bradikinin dan
angiotensin, intestinal vasoaktif peptida seperti histamin dan serotonin di samping zat-zat lain yang dilepaskan
yang berasal dari sistem komplemen (Nelwan, 2004).
Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator inflamasi, tetapi pada sepsis berat pergeseran
ke keadaan immunosupresi antiinflamasi (Hotckin, 2003).
29
humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance), malnutrisi kalori-protein, translokasi toksin
bakteri, gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan (Khei Chen, 2006).
2. Post resusitasi cairan: gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardia, nadi keras dengan tekanan
nadi melebar, precordium hiperdinamik pada palpasi, dan ekstremitas hangat.
3. Disertai tanda-tanda sepsis.
4. Tanda hipoperfusi: takipnea, oliguria, sianosis, mottling, iskemia jari, perubahan status mental.
Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak toksik, takikardia, takipneu,
kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai terjadinya sepsis. Pada keadaan sepsis gejala yang nampak
adalah gambaran klinis keadaan yang dicurigai sepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa
leukositosis atau leukopenia, trombositopenia, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP (+),
LED meningkat dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).
Keadaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-tanda syok (nadi cepat dan
lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan produksi urin, dan penurunan tekanan darah). Gejala syok
sepsis yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi
perifer, produksi urin < 0,5 cc/kgBB/jam, tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi).
Pasien sepsis dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala takikardia, kulit
hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang melebar.
Perubahan hemodinamik
Tanda karakteristik sepsis berat dan syok sepsis pada awal adalah hipovolemia, baik relatif (oleh karena
venus pooling) maupun absolut (oleh karena transudasi cairan). Kejadian ini mengakibatkan status
hipodinamik, yaitu curah jantung rendah, sehingga apabila volume intravaskuler adekuat, curah jantung akan
meningkat. Pada sepsis berat kemampuan kontraksi otot jantung melemah, mengakibatkan fungsi jantung
intrinsik (sistolik dan diastolik) terganggu.
Meskipun curah jantung meningkat (terlebih karena takikardia daripada peningkatan volume sekuncup),
tetapi aliran darah perifer tetap berkurang. Status hemodinamika pada sepsis berat dan syok sepsis yang dulu
dikira hiperdinamik (vasodilatasi dan meningkatnya aliran darah), pada stadium lanjut kenyataannya lebih
mirip status hipodinamik (vasokonstriksi dan aliran darah berkurang).
Tanda karakterisik lain pada sepsis berat dan syok sepsis adalah gangguan ekstraksi oksigen perifer. Hal
ini disebabkan karena menurunnya aliran darah perifer, sehingga kemampuan untuk meningkatkan ekstraksi
oksigen perifer terganggu, akibatnya VO2 (pengambilan oksigen dari mikrosirkulasi) berkurang. Kerusakan
ini pada syok sepsis sebagai penyebab utama terjadinya gangguan oksigenasi jaringan.
Karakteristik lain sepsis berat dan syok sepsis adalah terjadinya hiperlaktataemia, mungkin hal ini
karena terganggunya metabolisme piruvat, bukan karena dys-oxia jaringan (produksi energi dalam
keterbatasan oksigen) (Guntur, 2008).
Mikrobiologi
32
Darah, sputum, urin, cairan serebrospinal, jaringan kultur penting untuk identifikasi organisme.
Urinalisis menunjukkan leukositosis -> UTI. CSF leukositosis menunjukkan meningitis.
Radiologi
Pada roentgen thorax akan terlihat gambaran infeksi :
CT Scan
Diverticulitis, appendicitis, necrotizing pancreatitis, micro perforation of stomach or bowel, intra
abdominal abscess dapat terdiagnosa dengan baik dengan CT Scan. MRI scan digunakan untuk infeksi jaringan
lunak, necrotizing fasciitis atau epidural abscess. USG digunakan untuk cholecystitis, tubo ovarian abscess.
Komplikasi
33
Intestinal bleeding
Liver failure
Heart failure
Death
Penatalaksanaan
Pasien sepsis wajib dinilai dan dievaluasi dengan menggunakan metode ABCDE (Airway,
Breathing,Circulation,Disability, Exposure). Metode ABCDE :5
A = Airway assessment, maintenance and oxygen
B = Breathing and ventilation assessment
C = Circulation assessment, intravenous (IV) access and fluids
D = Disability: assess the neurological status and check the blood glucose
E = Exposure and environmental control
Penatalaksaan awal pasien-pasien yang dicurigai dengan sepsis ialah resusitasi cairan yang mencakup 3
proses, yaitu:
organ multipel / multi organ dysfunction syndrome. Saat sepsis sudah dikonfirmasi, beberapa langkah berikut
sebaiknya sudah dilakukan seperti oksigen aliran tinggi, cannule, terapi cairan, monitoring jumlah urin.
Berikut adalah langkah-langkah yang seharusnya dilakukan :5
1. Penilaian ABCDE, dapat mencakup :
Penilaian klinis
Airway support
Oksigen aliran tinggi
Cannule
Terapi cairan
Monitoring jumlah urine
Penilaian kadar gula darah
Regulasi temperatur
2. Pengecekan ulang untuk memastikan hal berikut telah dilakukan :
Terapi oksigen aliran tinggi
34
Cannule
Terapi cairan bila ada gangguan sirkulasi
Monitor jumlah urin
3. Melakukan penegakkan diagnostik sepsis yang spesifik dapat mencakup :
Kultur (darah dll)
Pengukuran kadar laktat
Pengukuran Hemoglobin dan tes lain
Pencitraan untuk mengidentifikasi sumber infeksi
4. Terapi lengkap untuk sepsis:
Antibiotik spektrum luas secara intravena
Drainase atau bedah bila memungkinkan
Penatalaksanaan awal ini dapat disingkat menjadi Sepsis Six yakni :5
dalam fase resusitasi akut untuk memaksimalkan jumlah oksigen yang masuk.
Kultur darah
Kultur darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik intravena. Kultur darah diambil secara
percutaneous dan sebelum meletakkan akses IV yang baru. Kultur darah tidak mempengaruhi pilihan
terapi antibiotik speksturm luas pada fase awal tetapi berpengaruh pada pemilihan antibiotik ketika
Urinary kateter dapat mengukur jumlah produksi urin dari ginjal, sehingga membantu mengestimasi
aliran darah ginjal. Hal ini membantu dalam menilai perfusi ginjal dan sebagai prediktor dari gagal
ginjal. Pasien harus ditargetkan mencapai produksi urin normal. Dikatakan oliguria bila produksi urin
<0.5ml/kg/jam selama 2 jam berturut-turut. Oliguria persisten menjadi tanda awal dari gagal ginjal.
Anuria mengindikasikan bahwa ginjal telah sepenuhnya mengalamai kegagalan, namun seringkali
akibat terbloknya aliran urin di kateter
Target yang ingin dicapai pada resusitasi awal :
36
Perbaikan hemodinamik
Banyak pasien syok sepsis yang mengalami penurunan volume intravaskuler, sebagai respon pertama
harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan darah. Cairan koloid dan kristaloid tak diberikan. Jika
disertai anemia berat perlu transfusi darah dan CVP dipelihara antara 10-12 mmHg.
Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam waktu 1-2 jam. Tujuan resusitasi
pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg,
MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi
oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC
untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (dosis 5-10g/kg/menit sampai maksimal 20
g/kg/menit). 14
Dopamin diberikan bila sudah tercapai target terapi cairan, yaitu MAP 60mmHg atau tekanan sistolik 90110 mmHg. Dosis awal adalah 2-5 mg/Kg BB/menit. Bila dosis ini gagal meningkatkan MAP sesuai target,
maka dosis dapat di tingkatkan sampai 20 g/ KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis dopamine dikembalikan
pada 2-5 mg/Kg BB/menit, tetapi di kombinasi dengan levarterenol (norepinefrin). Bila kombinasi kedua
vasokonstriktor masih gagal, berarti prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti dengan vasokonstriktor lain
(fenilefrin atau epinefrin).14
37
Pemakaian Antibiotik
Setelah diagnosa sepsis ditegakkan, antibiotik harus segera diberikan, dimana sebelumnya harus
dilakukan kultur darah, cairan tubuh, dan eksudat. Pemberian antibiotik tak perlu menunggu hasil kultur. Untuk
pemilihan antibiotik diperhatikan dari mana kuman masuk dan dimana lokasi infeksi, dan diberikan terapi
kombinasi untuk gram positif dan gram negatif.
Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis berat, setelah
kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau
jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis. 14 Oleh karena pada sepsis umumnya
disebabkan oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin seperti
karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat
pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ.1 Pemberian antibiotik kombinasi juga
dapat dilakukan dengan indikasi :
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data mikrobiologi dan klinis.
Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada
monoterapi.14
38
Terapi Suportif
Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan kesadaran atau
kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.
Terapi cairan
o Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9% atau ringer laktat)
maupun koloid.1,14
o Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik melebihi tekanan
onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
39
o Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar Hb rendah pada
kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan
Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi dan DIC (konsumsi
faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di sirkulasi). Pada sepsis berat dan renjatan,
terjadi penurunan aktivitas antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus
menumpuk di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ. Terapi antikoagulan, berupa heparin,
antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan dapat diberikan, tetapi tidak
terbukti menurunkan mortalitas.
40
Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan dosis 50 mg bolus
IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan syok sepsis menunjukkan penurunan mortalitas
dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok, kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam
terapi sepsis.14
bradikinin,
antioksidan
(N-asetilsistein,
selenium),
inhibitor
sintesis
NO
(L-NMMA);
Fascial space yang terlibat dalam penyebaran infeksi dari gigi disebut fascial space primer, infeksi yang meluas
dari fascial space primer menuju fascial space sekunder yang letaknya lebih posterior dari fascial space primer.
Fascial space primer pada RA : canine space, buccal space dan infratempotal space
Fascial space primer pada RB : buccal space, submandibular space, submental space, sublingual space
Fascial space sekunder : superficial and deep temporal space, sibmasseteric space, pterygomandibular space,
lateral pharyngeal space, retropharyngeal space, dan prevertebral space.
42
medialis dari mata. Terdapat fluktuasi pada lateral nares dan bisa terjadi obliterasi sulkus nasolabialis. IO
pembengkakan pada sulcus labialis.
43
44
Figure 5. Gambaran klinis dari buccal space abscess adalah pembengkakan pada pipi, batas tidak jelas,
warna kemerahan, palpasi sakit.
Pada buccal space terdapat bantalan lemak buccal, duktus stensens dan arteri fasialis. Infeksi pada
space ini mudah didiagnosa karena terdapatnya tanda pembengkakan pada pipi yang menyertainya sakit gigi M
atau P. Fluktuasi terjadi biasanya di kutan. Usaha untuk membuat fluktuasi secara langsung secara intra oral
dengan kumur air hangat adalh sia sia, dan drainase intraoral melalui mukosa, submukosa dan m. Buccinator
akan mengalami kesulitan.
Drainase kutan seharusnya dilakukan pada inferior dari titik fluktuasi, disertaidiseksi tumpul dalam
kedalam dan batas-batas ekstrim space. Kandungan nanah dapat memenuhi space sehingga tampak sangat
besar. Untuk itu perlu hati-hati adanya percabangan saraf pada n. facialis. Lazimnya insisi dan drainase terletak
tepat pada inferior dari duktus sensens.
Infratemporal space infection
Infratemporal space terletak disebelah posterior dari maksila,dibatasi oleh sisi lateral prosesus
pterygoideus di sebelah medial, basis cranii di sebelah superior, dan infra temporal space berhubungan dengan
deep temporal space di sebelah lateral.
46
47
48
Ludwigs Angina
Ludwigs angina adalah selulitis yang melibatkan submandibular space dan sublingual space secara
bilateral dan submental space. Infeksi ini disebut juga dengan phlegmon dasar mulut. Selulitis yang terjadi
sangat cepat dan bisa menyebar ke fascial space sekunder. Penyebab utamanya adalah infeksi dari gigi-gigi
rahang bawah, tetapi bisa juga disebabkan oleh faktor lain seperti sialedinitis kelenjar submandibularis, fraktur
mandibula, laserasi jaringan lunak, luka tusuk pada mukosa dasar mulut, atau infeksi sekunder dari lesi ganas di
RM.
Pada Ludwigs angina kondisi fisik penderita pada umumnya jelek. Gambaran klinis ludwigs angina
cukup spesifik yaitu : mulut penderita tampak selalu terbuka, pembengkakan EO pada regio submandibularis
bilateral dan regio submentalis, konsistensinya keras, IO terdapat pembengkakan pada dasar mulut dan lidah
terangkat sehingga penderita mengalami kesulitan bernapas dan menelan.
Ludwigs angina merupakan infeksi yang serius karena : infeksi dapat menyebar ke fascial spaces yang
lebih dalam (masticator spaces/parapharyngeal space), dapat menyebabkan sepsis, dan bisa menyebabkan
49
obstruksi saluran pernapasan bagian atas. Kematian dalam waktu cepat biasanya diakibatkan oleh karena
obstruksi saluran pernapasan bagian atas tersebut.
Perawatan meliputi : antibiotik dosis tinggi, multiple incision pada submandibular space dan submental
space, dan pemberian terapi suportif. Bila terjadi penyumbatan pada saluran pernapasan bagian atas perlu
dilakukan tracheostomy. Bila kondisi akut telah reda gigi penyebab harus segera dicabut.
Subcutan Abscess
Infeksi pada beberapa fascial space seperti canine space, buccal space, submental space atau
submandibular space pada umumnya akan menjadi subcutan abscess, yakni suatu tahap dari perjalanan abses
dimana pus telah terkumpul dibawah ermukaan kulit. Pada subcuttan abses biasanya keradangan yang ada
sudah menjadi kronis sehingga gejala subjektif tidak separah seperti kondisi sebelumnya.
Gambaran klinisnya adalah : pembengkakan EO disertai terbentuknya inti abses yang berwarna
kemerahan, batas jelas dan terdapat fluktuasi.
Seperti halnya pada vestibular abses, pus pada subcutan abses ini letaknya sangat superfisial sehingga abses
bisa pecah dengan sendirinya, yang disebut dengan drainase spontan. Drainase spotan dapat mengakibatkan
jaringan parut yang tentu akan menimbulkan masalah kosmetik di kemudian harinya. Untuk mencegah drainase
spontan dibuat insisi pada inti abses kemudian dilakukan rainase dengan hemostat untuk mengeluarkan
nanahnya. Agar luka insisi tidak menutup kembali perlu dipasang draine dan dipertahankan selama beberapa
hari.
Yang perlu diingat adalah setelah insisi operator tidak boleh melakukan penekanan pada abses dengan
tujuan untuk mengeluarkan nanah sebanyak mungkin. Tindakan ini sangat berbahaya karena justru bisa
menyebabkan penyebaran infeksi.
INFEKSI PADA FASCIAL SPACE SEKUNDER
Infeksi pada fascial spaces primer bila tidak mendapatkan perawatan yang memadai akan dapat menyebar
ke arah posterior yakni ke fascial space sekunder. Infeksi pada fascial space sekunder sifatnya lebih serius,
dapat menimbulkan komplikasi dan morbiditas yang lebih tinggi, dan perawatannya lebih sulit.
50
aktivitas fisik dan kimia. Aktivitas mukosilia, gerakan peristaltic, dan flushing menyebabkan drainase dan
pengangkatan secara mekanis dari bakteri. Kemudian ada faktor dari flora mikroba lainnya yang dapat
mengganggu pertumbuhan dan proliferasi mikroba yang menginvasi. Subsistem lain adalah sistem imun
mukosa dimana sel-sel mukosa dari usus kecil dapat menghasilkan antibiotik peptida. Sistem humoral terdiri
dari immunoglobulin yang dihasilkan sel limfosit-B yang tersensitisasi, serta sistem kompemen. Terdapat lima
kelompok immunoglobulin, yaitu IgG, IgA, IgM, IgD, dan igE. Sistem komplemen terdiri dari kelompok
protein serum yang menghasilkan dan melepaskan zat-zat yang berfungsi untuk inisiasi proses inflamasi seperti
faktor kemotaktik bagi sel fagosit, dan opsonin yang berperan dalam fagositosis. Sistem seluler berupa sel-sel
limfosit dan sel-sel fagosit. Sel limfosit mencakup sel limfosit T dah sel limfosit B.
jaringan, sehingga menghilangkan pus terinfeksi dan mengurangi tekanan jaringan. Pada kasus selulitis tanpa
pus, insisi juga dilakukan untuk mengurangi tekanan pada jaringan sehingga meningkatkan aliran vaskular.
PRINSIP PEMILIHAN ANTIBIOTIK
Apabila diputuskan untuk menggunakan antibiotik dalam perawatan infeksi, maka terdapat beberapa
tahap dalam pemilihan antibiotik, yaitu:
Sebelumnya perlu dipahami pathobiologi sebuah infeksi odontogenik. Awalnya terjadi infeksi maka
akan terbentuk selulitis. Apabila selulitis tersebut tidak terobati maka akan timbul kondisi hipoksik-asidotik di
dalam jaringan. Lingkungan tersebut akan memicu proliferasi dan pertumbuhan bakteri anaerob. Bakteri
anaerob melepas enzim proteolitik, endotoksin dan eksotoksin yang akan menyebabkan kerusakan jaringan.
Dengan adanya sel fagosit akan terbentuk kavitas jaringan dan pus. Lama-lama dengan meningkatnya sistem
imun tubuh, infeksi dibatasi oleh daya tahan tubuh sehingga bakteri aerob hilang dan dipenuhi oleh bakteri
anaerob.
Bakteri aerob yang menjadi penyebab infeksi odontogenik dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel 1).
Tabel 1. Bakteri aerob penyebab infeksi odontogenik
Organisme
Frekuensi
Very common
Unusual
Streptococcus group D
Rare
53
Staphylococcus
Rare
Rare
Euscherichia coli
Rare
Klebsiella
Rare
Eikenella corrodens
unusual
Sedangkan bakteri anaerob yang menjadi penyebab infeksi odontogenik dapat dilihat di bawah ini (Tabel 2).
Tabel 2. Bakteri aerob penyebab infeksi odontogenik
Organisme
Frekuensi
Common
Peptostreptococcus
Common
Very Common
Very Common
Very Common
Bacteroides fragilis
Rare
Penentuan organisme penyebab infeksi dapat diketahui dengan pembuatan kultur. Terdapat beberapa indikasi
untuk pengambilan kultur bakteri, yaitu:
Pasien dengan daya tahan tubuh yang comprimised dan akan menerima tindakan agresif
Adanya osteomyelitis.
Pemilihan antibiotik berdasarkan sensitivitas antibiotik dapat dilihat berdasasrkan tabel spectrum kemampuan
antimikroba antibiotik di bawah ini (Tabel 3).
Tabel 3. Spektrum Antimikrobial Antibiotik
Antibiotik
Spektrum
Penicillin G & V
Streptococcus
(kec.
Group D)
Antibiotik
Spektrum
Amoxicillin/Clavulanic
= amoxicillin
Acid
Staphylococcus
Staph. aerus
Treponema
Staph. epidermidis
Neisseria
Enterococci
Actinomyces
Anaerob
Anaerob oral
Gonococci
= penicillin
Gentamicin
Staphylococcus
Escherichia coli
Proteus
H. influenzae
Pseudomonas
Proteus Mirabilis
E. coli
Klebsiella
Enterobacter
Tetracyclines
Clindamycin
Vancomycin
Streptococcus
Erythromycin
Staphylococcus
chalrithromycin
Streptococcus
Staphyloccocus
Bacteroides
Mycoplasma
Mycoplasma
H. Influenzae
E. Coli
Legionella
H. Influenzae
Anaerob oral
Shigella
Metronidazole
Streptococcus
Chloramphenicol
Anaerob oral
Staphylococcus
B. Fragilis
Actinomyces
Streptococcus
Anaerobs
Staphylococcus
Bacteroides fragilis
H. influenzae, E. coli
Streptococcus (termasuk
Carbenicillin
Pseudomonas
group D)
aeruginosa
Staphylococcus
Proteus
(indole
55
positive)
Clostridia
B. Fragilis
Trimethoprim-
Streptococcus
(kec.
Cephalexin
sulfamethoxazole
Enterococcus)
Group D)
Staphylococcus
Staphylococcus
E. Coli
E. Coli
H. Influenzae
Proteus mirabilis
Klebsiella
Streptococcus
Cefaclor
(kec.
= cephalexin
Enterobacter
H. Influenzae
Proteus
Serratia
Prinsip lain adalah pemilihan antiobiotik yang paling kecil efek toksik (Tabel 4).
Tabel 4. Potensi Toksisitas Antibiotik
Antibiotik
Toksisitas
Chloramphenicol
Apalstic
anemia,
Reversible
anemia,
Leukopenia
Sulfonamide
Hemolytic anemia
Aminoglycosides
Mycoclonic seizures
Vancomycin
Vertigo
Tetracycline
Hepatitis
56
Clindamycin
Erythromycin
Hepatitis
Amphotericin B / Cephaloridin /
Aminoglycosides
Pemilihan antiobiotik sebaiknya yang bersifat bakterisidal, dibandingkan dengan yang bakteriostatik. Antibiotik
yang bakterisidal bekerja dengan mematikan bakteri, melalui gangguan sintesis dinding sel dan sintesis asam
nukleat. Contohnya adalah penicillin(s), cephalosporin(s), aminoglycosides, vancomycin, metronidazole,
imipenem dan ciprofloxacin. Sedangkan antibiotik bakteriostatik menghambat pertumbuhan bakteri melalui
inhibisi sintesis protein. Contohnya adalah tetracyclines, erythromycin, clarithromycin, azithromycin,
clindamycin, dan golongan sulfa. Keuntungan dari penggunaan antibiotik bakterisidal adalah:
Prinsip-prinsip lain dalam pemilihan antibiotik adalah riwayat pengunaan obat oleh pasien, penggunaan
antibiotik dengan riwayat sukses dan berdasarkan harga obat yang cocok bagi pasien. Sebelum memilih
antibiotik perlu ditanyakan riwayat penggunaan antibiotik oleh pasien, terutama riawyat reaksi alergi dan
riwayat reaksi toksik. Pasien yang memiliki alergi terhadap penicillin biasanya juga memiliki alergi yang lain
seperti terhadap cephalosporin, dibanding pasien yang tidak alergi terhadap penicillin. Antibiotik yang memiliki
tingkat kesuksesan tinggi terhadap infeksi odontogenik adalah penicillin. Golongan tetracycline, erthromycin,
lincomycin, dan clindamycin juga dianggap memiliki kemampuan yang balik.
Berikut ini adalah dosis dan frekuensi pemberian antibiotik secara oral (Tabel 5) dan parenteral (Tabel 6).
Tabel 5. Dosis dan Frekuensi Pemberian Antibiotik secara Oral.
Antibiotik
Dosis/Frekuensi
Antibiotik
Dosis/Frekuensi
Penicillin V
500 mg q6h
Dicloxacillin
250 mg q6h
Amoxicillin
250 mg q8h
Amoxicillin/clavulanic
250 mg q8h
acid
Cephalexin
500 mg q6h
Cefadroxil
500 mg q12h
Cefaclor
250 mg q6h
Cefurozime
250 mg q12h
Cefixime
400 mg q24h
Eruthromycin
250 mg q6h
Clarithromyci
250 mg q12h
Azithromycin
250 mg q24h
Metronidazole
250 mg q8h
Tetracycline
250 mg q6h
Doxycyclin
100 mg q24h
Minocycline
100 mg q24h
Ciprofloxacin
250 mg q12h
Ofloxacin
200 mg q12h
Nystatin
1 pastille q6h
Ketoconazole
200 mg q24h
pastilles
(10 hari)
Fluconazole
100 mg q24h
(10 hari)
(10 hari)
Dosis/Frekuensi
Antibiotik
Dosis/Frekuensi
Penicillin G
2m U q4h
Cefonicid
1 g q 24h
Oxacilin
500 mg q4h
Cefotazime
1 g q12h
Ampicillin
250 mg q6h
Ceftriaxone
1 g q24h
58
Ampicillin-sulbactin
1.5 g q6h
Cefoperazone
1 g q12h
Ticarcillin
3 g q6h
Imipenem
250 mg q6h
Cephalotin
500 mg q4h
Aztreonam
500 mg q8h
Cefazolin
500 mg q8h
Gentamicin
80 mg q8h
Cepharadine
500 mg q6h
Tobramycin
80 mg q8h
Cefoxitin
1 g q6h
Vancomycin
500 mg q6h
Cefamandole
1 g q6h
Cefuroxime
750 mg q8h
Pemberian antibiotik secara parenteral saja mampu menghasilkan tingkat yang memadai dalam serum. Dalam
pemberian antibiotik secara parenteral, apabila hasil awal telah dicapai seringkali klinisi tergoda untuk
mengganti metode administrasi menjadi secara oral. Hal ini meningkatkan resiko terjadinya infeksi rekuren.
Bakteri baru hilang setelah pemberian antibiotik secara parenteral selama minimal 5-6 hari. Maka apabila
administrasi antibiotik dari secara parenteral menjadi secara oral setelah 2-3 hari, kemungkinan infeksi rekuren
lebih besar. Setelah pemberian antibiotik secara parenteral selama 5 hari maka tingkat di dalam darah cukup
memadai apabila dilanjutkan dengan pemberian secara oral.
Pericoronitis
Pericoronitis akut yang parah kadangkala membutuhkan terapi antibiotik. Bakteir penyebabkan pericoronitis
semuanya bersifat anaerob, diantaranya gram-positif kokus seperti peptostreptococcus, dan gram-negatif batang
seperti Porphyromonas gingivalis, Prevotella intermedia, dan Fusobacterium nucleatum. Antibiotik pilihan
adalah penicillin, disamping perawatan dengan debridement dan ekstraksi gigi penyebab.
Osteomyelitis
Terapi antibiotik dibutuhkan untuk membantu intervensi secara pembedahan namun sebelumnya dibutuhkan
identifikasi bakteri penyebab. Durasi terapi antiobiotik untuk kasus osteomyelitis lebih lama dibandingkan
untuk infeksi jaringan lunak.
59
Fraktur
Terapi antibiotik dibutuhkan untuk semua compound fracture, termasuk fraktur yang melibatkan tulang
dentoalveolar dengan gigi karena socket gigi dapat menjadi jalur komunikasi dengan rongga mulut. Pemberian
antibiotik untuk kasus fraktur dilakukan selama 10-14 hari. Dan obat pilihat adalah penicillin.
Luka jaringan lunak
Terapi antibiotik tidak terlalu dibutuhkan dalam perawatan luka jaringan lunak, terutama apabila luka tersebut
telah dibersihkan dan dilakukan debridement serta telah ditutup secara adekuat. Terapi antibiotik dibutuhkan
apabila luka tersebut terbuka selama 6 jam atau lebih, atau luka tersebut merupakan luka gigitan dari binatang
atau manusia. Luka bekas gigitan dalam menyebabkan infeksi staphylococcus, streptococcus, bacteroides,
fusobacterium dan Pasteurella multocida (khusus gigitan binatang) yang ditransfer dari mulut penyerang.
Antibiotik pilihan untuk kasus luka jaringan lunak adalah amoxicillin + clavulanic acid.
Lain-Lain
Pada infeksi odontogenic lainnya, bakteri anaerob merupakan penyebab utama. Khususnya Bacteroides
melaninogenicas yang bersifat resisten terhadap penicillin. Oleh karena itu antibtioik pilihan adalah
clindamycin.
PROFILAKSIS ANTIBIOTIK
Keuntungan dari profilaksis antibiotik adalah :
Pencegahan infeksi
Terdapat lima prinsip dalam penggunaan profilaksis antibiotik. Prinsip pertama diperlukannya profilaksis
antibiotik adalah apabila prosedur pembedahan memiliki resiko yang singifikan terhadap terjadinya
kontaminasi bakteri dan insidens infeksi yang tinggi. Prinsip kedua adalah organisme penyebab infeksi harus
diketahui. Prinsip ketiga adalah kerentanan organisma terhadap antibiotik harus diketahui. Prinsip keempat
adalah agar profilaksis antibiotik efektif, maka antibiotik harus berada di dalam jaringan pada saat terjadi
kontaminasi (pembedahan) dan harus terus diberikan tidak lebih dari 4 jam setelah kontaminasi. Prinsip kelima
adalah antibiotik harus diberikan dalam dosisi yang cukup sehingga mencapai 4x MIC organisme penyebab.
Untuk menentukan potensi resiko suatu luka operasi, dibuatkan empat klasifikasi luka, yaitu:
Class I : Clean
Luka non-traumatis, tidak ada inflamasi, tidak ada gangguan pada teknik bedah, dan tidak ada gangguan
pada saluran respirasi, alimentary dan genital.
Class II : Clean-contaminated
Luka non-traumatis, terjadi gangguan kecil pada teknik, dan saluran gastrointestinal atau genitourin atau
respirasi dimasuki tanpa spillage yang berarti.
Class IV : Dirty
Luka traumatis dari sumber yang kotor atau telat menerima perawatan. Termasuk luka operatif dengan
inflamasi bakterial akut, atau jaringan lunak bersih dilewati untuk mencapai pus.
Luka kelas III dan kelas IV membutuhkan profilaksis antibiotik. Sedangkan Luka operasi kelas I tidak
membutuhkan profilaksis antibiotik. Luka operasi kelas II membutuhkan profilaksis antibiotik apabila pasien
memiliki sistem imun yang tertekan, atau alat prostetis akan diinsersi, atau sequela dari infeksi merupakan
masalah serius, atau bagian dari tindakan operasi meningkatkan resiko infeksi seperti durasi yang lama atau
penurunan suplai darah lokal.
61
Penggunaan profilaksis dalam tindakan bedah oral dan maksilofasial harus mempertimbangkan dua faktor
terlebih dahulu, yaitu evaluasi kemampuan sistem imun host dan prosedur operasi itu sendiri. Faktor-faktor
dalam prosedur operasi seperti derajat kontaminasi, durasi kontaminasi lebih dari 3 jam dan penggunaan implan
dapat meningkatkan resiko infeksi. Tindakan oeprasi lebih dari 3 jam dengan derajat kontaminasi ringan
membutuhkan antibiotik, sedangkan operasi sederhana kurang dari 2 jam tidak membutuhkan antibiotik. Pasien
dengan keadaan yang menekan sistem imun seringkali membutuhkan bantuan profilaksis antibiotik meskipun
hanya untuk tindakan yang sederhana. Pasien dengan sistem imun yang tertekan dapat berupa kelainan
metabolis atau pasien yang sedang pengobatan untuk kanker. Pasien dengan sistem imun yang normal dapat
memerlukan antibiotik untuk prosedur transoral yang lebih dari 3 jam. Selain itu antibiotik diindikasikan untuk
tindakan graft tulang. Pasien dengan sistem imun yang tertekan
Profilaksis antibiotik dalam tindakan bedah oral dan maksilofasial juga dibutuhkan untuk mencegah infeksi
metastasis. Infeksi metastasis terjadi saat infeksi primer (atau pada port dentre bakteri) di suatu lokasi
menyebabkan infeksi sekunder di lokasi yang jauh. Penyebaran bakteri penyebab biasanya secara hematogen.
Terdapat tiga faktor terjadinya infeksi metastasis, yaitu adanya infeksi primer atau port dentre bakteri ke
dalam pembuluh darah, bakteremia, dan adanya lokasi jauh yang rentan. Dalam bidang bedah mulut dan
maksilofasial, terdapat tiga kondisi yang perlu diperhatikan untuk terjadinya infeksi metastasis, yaitu
endokarditis bacterial subakut, graft vascular, dan total joint replacement.
Regimen profilaksis antibiotik standar untuk kasus endokarditis bacterial subakut adalah sebagai berikut:
Amoxicillin
o Pre-op: 3 g 1 jam sblm operasi
o Post-op: 1.5 g 6 jam stlh dosis awal
o Clindamycin
62
Sedangkan dosis untuk kasus pediatri adalah sebagai berikut, dengan catatan dosis total pediatri tidak boleh
melebihi dosis total dewasa:
Amoxicillin
o Pre-op: 15 mg/kg 1 jam sblm operasi
o Post-op: dosis awal 6 jam stlh dosis awal
Erythromycin
o Pre-op: 2o mg/kg 2 jam sblm operasi
o Post-op: dosis awal 6 jam stlh dosis awal
Clindamycin
o Pre-op: 10 mg/kg 1 jam sblm operasi
o Post-op: dosis awal 6 jam stlh dosis awal
63
Cephalosporin(s) memiliki spectrum luas dan toksisitas yang rendah, serta bersifat bakterisidal. Jenis
cephalexin dan cefaclor berguna untuk infeksi odontogenik namun penggunaannya harus hati-hati pada pasien
yang memiliki alergi terhadap penicillin.
Tetracyclin memiliki spektrum luas namun banyak mikroba yang resisten terhadap tetracycline.
Tetracyclin sangat efektif terhadap flora anaerob dan digunakan sebagai terapi medis sampingan untuk penyakit
periodontal.
Metronidazole bersifat bakterisidal terhadap anaerob, tetapi tidak ada pengaruh terhadap bakteri anerob.
Metronidazole tidak boleh digunakan pada infeksi pada tahap selulitis. Metronidazole dapat digunakan bersama
penicillin dalam infeksi odontogenik yang serius terutama pada host yang comprimsed.
64
Referensi
1. Widodo D, Pohan HT (editor). Bunga rampai penyakit infeksi. Jakarta: 2004; h.54-88.
2. Guyton AC, Hall JE. 2006. Syok Sirkulasi dan Fisiologi Pengobatan in: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 11. EGC. Jakarta. pp. 359-372.
3. British Journal of Anesthesia.Anesthesic Management in Patients With Severe Sepsis. [online]. Cited
May 2013. Available from : http://bja.oxfordjournals.org/content/105/6/ 734/T1. expansion.html
4. Nelwan RHH. Patofisiologi dan deteksi dini sepsis. Dalam: Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit
Dalam 2003. Jakarta: 2003; h. S15-18
5. Ron Daniels. Tim Nutbeam. ABC of Sepsis.2010. UK : Wiley Blackwell BMJ books.
65
6. Sands KE, Bates DW, Lanken PN, Graman PS, Hibberd PL, Kahn KL, et al. Epidemiology of sepsis
syndrome in 8 academic medical centers. JAMA. Jul 16 1997;278(3):234-40.
7. Kumar A, Roberts D, Wood KE, Light B, Parrillo JE, Sharma S, et al. Duration of hypotension before
initiation of effective antimicrobial therapy is the critical determinant of survival in human septic
shock. Crit Care Med. Jun 2006;34(6):1589-96.
8. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, LaRosa SP, Dhainaut JF, Lopez-Rodriguez A, et al. Efficacy and
safety of recombinant human activated protein C for severe sepsis. N Engl J Med. Mar 8
2001;344(10):699-709.
9. Bernard GR, Artigas A, Brigham KL, Carlet J, Falke K, Hudson L, et al. The American-European
Consensus Conference on ARDS. Definitions, mechanisms, relevant outcomes, and clinical trial
coordination. Am J Respir Crit Care Med. Mar 1994;149(3 Pt 1):818-24.
10. Michael
R.
Pinsky.
Septic
Shock.
[online]
cited
May
2013.
Available
from
http://emedicine.medscape.com/article/168402
11. Bochud PY, Calandra T. Pathogenesis of sepsis: new concepts and implication for future treatment. BMJ
2003;325:262-266. Available at: http://www.bmj.com
12. Nelwan RHH. Patofisiologi dan deteksi dini sepsis. Dalam: Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit
Dalam 2003. Jakarta: 2003; h. S15-18.
13. Hotckins RS, Karl I. The pathophysiology and treatment of sepsis. N Engl J Med 2003;348 (2): 138150. Available at: http://www.nejm.com
14. Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, Gerlach H, Calandra T, Cohen J, et.al. Surviving sepsis campaign
guidelines for mangement of severe sespis and septic shock. Crit Care Med 2004;32(3):858-72.
15. Wheeler AP, Bernard G. Treating patient with severe sepsis.[online]. Cited May 2013. Available at:
http://www.nejm.com
66
67