Anda di halaman 1dari 67

Diagnostik Infeksi

Infeksi merupakan suatu keadaan sakit yang disebabkan masuk, berkembang biak, dan berprosesnya
mikroorganisme pathogen ke dalam tubuh penderita. Dalam proses diagnosis, pengumpulan informasi kita
peroleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Hal yang perlu diperhatikan saat awal adalah membangun hubungan baik dengan pasien. Gunakan
questioning technique yang baik,sambil menaksir status mental dan emosional pasien. Catat status
demografis pasien seperti usia, jenis kelamin, etnis, dan pekerjaan. Pada anamnesis kita perlu
mengetahui riwayat:
-

Riwayat keluhan utama


o Lama sakit
o Gejala
Jika ada sakit dan nyeri tanda inflamasi/infeksi atau karena keganasan tahap lanjut
Jika kebal/tidak dapat merasakan apapun adanya saraf yang tertekan karena lesi atau massa
tumor
o Perubahan pada lesi
Jika membesar dapat berupa neoplasia
Jika membesar dan mengecil merupakan proses reaktif
Jika nyerinya berkurang proses inflamasi/infeksi sedang healing
Jika nyeri timbul dari yang tadinya asimtomatis lesi bertransformasi menjadi keganasan
- Riwayat medis
Kita menanyakan penyakit apa saja yang pernah diderita pasien, sedang diderita, riwayat operasi,
obat yang sedang diminum, dan kondisi medis lainnya yang dapat mempengaruhi rencana
perawatan. Terdapat kondisi yang mengganggu fungsi sistem imun yang dapat mengganggu
pertahanan host terhadap infeksi.
a.
b.
-

Penyakit Metabolisme yang Tidak Terkontrol


Diabetes: lebih rentan infeksi periodontal dan secara umum membahayakan sistem imun
Malnutrisi
Mengkonsumsi alkohol
Gagal ginjal kronis
Penyakit penekan sistem imun
HIV/AIDS
Limfoma dan leukimia
Keganasan: biasanya memiliki kecacatan pada sistem imun dengan mekanisme yang masih

belum jelas
- Penyakin imun kongenital/bawaan
c. Terapi imunosupresor
- Terapi steroid: steroid sering digunakan dengan iatrogenik untuk mengobati asma, kondisi
kulit, kanker, dan kondisi inflamasi lain. Steroid akan menstabilisasi membran sel
imunokompeten sehingga respon imunnya menurun.
1

Transplantasi organ: biasanya dirawat dengan kortikosteroid dan imunosupresor lain untuk

mengurangi reaksi penolakan


Kemoterapi: akan secara langsung menekan sistem imun
Respon host terhadap infeksi yang parah dapat menimbulkan beban fisiologis yang parah
pada tubuh. Contohnya demam akan menimbulkan hilangnya cairan tubuh sehingga demam
yang lama akan menyebabkan dehidrasi. Demam pada usia tua selain merupakan tanda
infeksi, juga merupakan tanda penurunan kardiovaskuler dan metablisme. Evaluasi
leukositosis penting untuk dilakukan. Infeksi juga menimbulkan gangguan pada penyakit
sitemik yang sebelumnya terkontrol.

Riwayat dental
Riwayat sosial dan keluarga ada penyakit dan kelainan yang bersifat herediter
Setelah anamnesis selesai, jangan lupa membuat informed consent yang minimal
mencakup:

Jenis perawatan / perlakuan


Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
Pernyataan dokter gigi bahwa telah menjelaskan dengan dapat dimengerti oleh pasien
Pernyataan pasien/orang tua/wali bahwa benar pernyataan dari dokter dimengerti
Pasien/orang tua/wali legal menandatangani
Prosedur disetujui

2. Pemeriksaan fisik
Ekstra oral
-

Cek tanda-tanda vital pasien :


o suhu (infeksi berat > 38,3C
o tekanan darah (meningkat hanya jika cemas)
o nadi (> 100x/menit)
o pernafasan (infeksi mild-moderate 18-20x/menit)
Inspeksi :
o lihat terlebih dshulu wajah pasien secara keseluruhan, apakah ada asimetri perubahan wajah
o pasien dengan keadaan umum toxic (fatique, feverishness dan malaise) menunjukkan reaksi
sistemik
-Head and neck : swelling, asymmetry, abscess vs cellulitis, lymphadenopati, pus discharge,
erythema, fistula
-Neurological : altered mental status, neck rigidity, nausea, seizures
-Ophtalmologic : proptosis, ophtalmoplegia, photophobia
-Mediastinal : dyspnea, chest pain, distended neck veins, widened mediastinum

Gambar 1. Gambaran pemeriksaan fisik ekstra oral


-

Palpasi: TMJ (cek clicking, crepitus, dan deviasi), nodus limfa servikal dan sublmandibular,
kelenjar tiroid (cek tempat, bentuk, ukuran, tekstur permukaan, konsistensi). Jika curiga ada
sinusitis, tekan tulang maksila dan frontal di depan sinus.
o cek daerah pembengkakkan nyeri tekan dan suhu sekitarnya
o konsistensi (lunak, padat, keras, fluktuasi)

Gambar 2. Cara mengecek konsistensi jaringan fluktuasi


Intra Oral
-

Dilakukan dengan cahaya yang baik, kaca, dan keringkan gigi.


Cek penyebab infeksi
Jaringan lunak:
o Palpasi daerah yang terlihat abnormal
o Jika di dekat poket/gingival crevice probe
o Cek apakah ada sibus/fistula pada nodulus mukosa
o Cek aliran saliva dan warna
Gigi:
o Seluruh gigi yang ada cek kesehatan periodontal, karies, dan status restoratifnya
o Jika nyeri, lakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti kegoyangan dan perkusi
Khusus pada lesi:
o Tempat
o Ukuran
Bersama dengan durasi, kita akan mengetahui laju pertumbuhan pembesaran lesi tersebut. Jika
lesi besar dan cepat bertumbuh, dapat berupa neoplasma yang agresif dan ganas.
o Ciri khas: ulser / bengkak / vesikel / macular
Ulser: pada kondisi traumatis, infeksi, neoplastis
Bengkak: neoplasma, proliferasi reaktif, kista, nodus limfa yang membesar
Vesikel/bula: virus, kelainan imunobulosa, penyakit, mukokutan keturunan
Macular atau sangat datar, interpretasi bergantung warnanya.
Hitam/coklat: karena pigmen melanin
Merah/ungu: hemoglobin
Putih buram: keratin
Putih translusen: peningkatan edema epitel
Putih-kuning creamy mengkilap: tanda ulser pseudomembran
3

o
o
o

o
o
o

Biru keabuan: benda asing yang dideposit pada jaringan ikat di bawah epitel
Warna dan suhu jaringan sekitar
Morfologi permukaan: halus / ireguler / tidak jelas / sangat jelas
Konsistensi saat dipalpasi
Massa lunak: kista / tumor jinak
Kenyal namun keras: kelainan jinak/neoplastis
Lebih keras: penyakit mmetastatis pada nodus limfa
Keras/bony: lesi termineralisasi/kalsifikasi
Gejala lokal
Distribusinya jika lesi >1
Cek struktur jaringan normal atau abnormal (distorsi mukobukal fold, soft palate symmetric
with uvula in midline, erythema, gingival swelling, draining sinus tract)

Gambar 3. Gambaran intra oral infeksi


3. Pemeriksaan penunjang
A. Pemeriksaan Imaging
Pemeriksaan radiografi dilakukan untuk menegakkan diagnosis, sebagai penunjuk guidance
prosedur drainase, mengetahui perluasan infeksi dan mendeteksi komplikasi yang dapat terjadi. Yang
paling umum adalah pemeriksaan radiograf plain film, panoramik, CT Scan, MRI, dan ultrasonography.
Plain Film AP/Lat view
Pemeriksaan plain film AP/Lateral ini untuk mengetahui pharyngeal/cervical airway.

Gambar 4. Gambaran normal plain film AP/Lat view

Gambar 5. Plain film chronic retropharyngeal abscess


Panoramik
Roentgen panoramik untuk mengetahui informasi tulang dan hubungannya dengan kanalis
mandibularis, sinus maksilaris, fossa nasalis; menampilkan secara keseluruhan sistem dentoalveolar;
mempelajari gigi yang ada, lesi tulang, sisa akar, dan gigi impaksi; untuk mendeteksi kelainan skeletal
-

yang sebelumnya belum teridentifikasi seperti:


Lokalisasi: tunggal, multifokal, generalis
Batas: jelas (biasanya jinak), tidak jelas (biasanya keganasan)
Struktur internal: radiolusen, radiopak, campuran
Efek dari struktur di sekitarnya:gigi, kanalis alveolaris inferior, tulang kortikal
Adakah gejala lain yang berhubungan, contohnya lesi radiolusen tunggal pada apeks gigi nonvital
biasanya memperlihatkan kista periapikal/granuloma

Computed Tomography (CT Scan)


Merupakan teknik radiologis cross-sectional yang umumnya digunakan untuk evaluasi lesi tulang
seperti densitas, batas perluasan kortikal, detil internal dalam kualitas lebih baik dibanding radiograf biasa.
Juga baik digunakan untuk patologi jaringan lunak. Teknik ini lebih cepat dengan teknologi multidetektor,
dapat merekonstruksi dari bidang coronal dan sagital. Kekurangannya adalah adanya paparan radiasi dan
penggunaan iodine, sehinggal perlu diwaspadai untuk pasien yang alergi dengan iodine.

Gambar 6. Gambaran normal CT scan pada maxillofacial


5

Gambar 7. CT Scan abses parotis

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Indikasi: evaluasi lesi jaringan lunak, lesi ulang. Jenis: T1 (sinyal lebih baik di jaringan adiposa; untuk
mengidentifikasi struktur anatomis), T2 (lebih baik di jaringan yang banyak mengandung air; untuk
inflamasi dan neoplasma). Kelebihannya tidak ada paparan radiasi. Kekurangannya harganya mahal dan
tidak bisa digunakan pada pasien yang menggunakan artefak.

Gambar 8. Gambaran normal MRI pada maxillofacial

Gambar 9. Gambaran MRI abses parotis


6

Ultrasonography
Indikasi: evaluasi massa yang berada di dalam; membedakan massa solid dengan cystic.Teknik
bergantung pada fakta bahwa perbedaan densitas jaringan menghasilkan perbedaan refleksi pada beam
gelombang frekuensi tinggi. Untuk membedakan lesi solid/cystic.Kelebihan: tidak memaparkan radiasi
kepada pasien. Kekurangan: resolusi jaringan < CT Scan/MRI, tergantung keahlian operator.

Gambar 10. Gambaran normal ultrasonography

Gambar 11. Gambaran Ultrasonography cellulitis dan abses

B. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kimia serum
Pada pasien demam dan dehidrasi :
8

- menurunnya ion Na dan Cl jika pasien meningkat berkeringat


- meningkatnya ion Na dan Cl jika volume berkurang
- ion K dan HCO3 tidak berubah
Pada pasien syok sepsis semuanya akan meningkat. Albumin akan menurun pada pasien osteomyelitis
dan necrotizing fasciitis.
Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan menunjukkan kadar leukositosis > 12000/mm3, normocytic, normochromic
anemia, thrombositosis > 500000/mm3, meningkatnya laju endap darah pada infeksi bakteri dan jamur
tetapi tidak meningkat pada infeksi virus.
Pemeriksaan urinalisis
Proteinuria pada infeksi yang berlebihan. Oliguria dan anemia pada syok sepsis.
Teknik sampling
1. Aspirasi :
o
o
o
o
o

pus berwarna gelap -> infeksi anaerob


pus berwarna putih kuning -> aerob gram positif
pus berwarna gelap berwarna -> aerob gram negatif enterik bakteria
sulphur -> actinomyces
gas with or without pus -> clostridial atau infeksi anaerob

- Swabbing : teknik dengan menggosokkan sikat oral ke mulut untuk mendapatkan sel-sel
epitel, lalu dievaluasi secara histopatologis.
Pemeriksaan kultur dan antibiotik
Indikasi :
- infeksi menyebar atau infeksi berlebihan
- infeksi pada pasien yang compromised
- infeksi tidak berespon dengan terapi antibiotik
- infeksi rekuren
- osteomyelitis
- infeksi paska operasi
- infeksi dengan gambaran tidak umum seperti nekrosis jaringan, produksi udara, kronik/multiple
fistulae/sinus track, hospital-acquired infection (nosocomial)
Mekanisme infeksi

inokulasi permulaan ke jaringan yang lebih dalam


infeksi dimulai dengan streptococcus anerob (virulensi tinggi)
cellulitis (fase akut)
bakteri anaerob bertumbuh
abses (fase kronik)
Untuk mengetahui karakteristik pus maka kita harus mengingat akan 3 tahap inokulasi, cellulitis dan
abses; lihat durasinya 5 hari; palpasi dengan adanya fluktuasi dan terlihat berwarna lebih merah
daripada jaringan sekitarnya; cek dengan aspirasi dan USG serta CT scan.
Cellulitis
Istilah selulitis digunakan suatu penyebaran oedematus dari inflamasi akut pada

permukaan

jaringan lunak dan bersifat difus (Neville, 2004). Selulitis dapat terjadi pada semua tempat dimana
terdapat jaringan lunak dan jaringan ikat longgar, terutama pada muka dan leher, karena biasanya
pertahanan terhadap infeksi pada daerah tersebut kurang sempurna. Selulitis mengenai jaringan
subkutan bersifat difus, konsistensinya bisa sangat lunak maupun keras seperti papan, ukurannya besar,
spongius dan tanpa disertai adanya pus, serta didahului adanya infeksi bakteri. Tidak terdapat
fluktuasi yang nyata seperti pada abses, walaupun infeksi membentuk suatu lokalisasi cairan
(Peterson, 2002). Penyebaran infeksi selulitis progressif mengenai daerah sekitar, bisa melewati
median line, kadang-kadang turun mengenai leher (Pedlar, 2001).

10

Gambar 12. Gambaran ekstra oral cellulitis

Abses
Adalah suatu kumpulan pus yang terlokalisir di dalam jaringan atau organ atau ruang terbatas
yang terjadi akibat jaringan dan sisa leukosit yang hancur. Pnyebab abses adalah staphylococcus.

Gambar 13. Gambaran abses

Tabel 1. Perbedaan cellulitis dan abses


Komplikasi yang serius dari infeksi odontogenik
1.Ludwig's Angina
Penjalaran infeksi mengenai 3 space yaitu submental space, sublingual space dan submandibular
space.
Klinis :
- lemah
- EO : pembengkakkan di bawah dagu warna kecoklatan, keras seperti papan
- IO : lidah terangkat dan terdorong ke belakang
Gejala sistemik : temperatur meningkat, intake kurang
Emergency -> fatal
11

Kematian -> karena sepsis dan asphyxia


Dapat menyebar melalui parapharyngeal space ke mediastinum -> mediastinitis

Gambar 14. Gambaran ekstra oral Ludwig's Angina


2. Cavernous Sinus Thrombosis
Penjalaran pus ke daerah sinus cavernosus
Karakteristik adanya multiple cranial neuropathies (III,IV,VI)
Patogen yang sering terdapat pada cavernosus sinus thrombosis adalah
- Staphylococcus aureus -> sinusitis
- Beta-hemolytic streptococci, anaerob -> oral infection
Dapat meluas menjadi meningitis

12

Gambar 15. Anatomi sinus cavernosus


Gejala klinis :
- sepsis
o
o
o
o
o

pyrexia
rapid, weak, thready pulse
chills and sewats
delirium - meningitis supervenes terminally
septic emboli to various parts of body

- venous obstruction
o
o
o
o
o
o

proptosis (first oedema and chemosis)


oedema of eyelids and bridge of nose
dilatation and tortuosity of retinal veins
retinal hemorrhages
involvement of the contralateral eye (48 hours)
when pterygoid plexus is occluded along the sinus, oedema of the pharynx or tonsil

13

Gambar 16. Proptosis


- involvement of cranial nerves
o
o
o
o
o
o
o

first CN involved is VI
ptosis - paralysis of oculomotor nerve
dilatation of pupil- third nerve and stimulation of sympathetic plexus
decreased abduction (paralysis of abducens nerve)
complete opthalmoplegia
loss of vision
retro-orbital pain and supraorbital headache -> V

Gambar 17. Ptosis

Gambar 18. Opthalmoplegia

Etiologi :
14

- sepstic CST : infeksi (sinusitis, otitis, odontogenic infection, facial cellulitis)


- aseptic CST : trauma, post surgery, hematologic, malignancy

Gambar 19. CT Scan cavernosus sinus thrombosis


3. Orbital Infections
Orbital infection adalah infeksi aktif jaringan lunak orbita yang terletak posterior dari septum orbita.
Lebih
dari 90% kasus selulitis orbita terjadi akibat kasus sekunder karena sinusitis bakterial akut atau
kronis.
Gambaran klinisnya antara lain demam

(lebih dari 75% kasus disertai lekositosis), proptosis,

kemosis,
hambatan pergerakan bola mata dan nyeri pergerakan bola mata. Keterlambatan pengobatan akan
mengakibatkan progresifitas dari infeksi dan timbulnya sindroma apeks orbita atau trombosis sinus
kavernosus.
Orbital infections karena infeksi gigi (odontogen) merupakan kasus yang sedikit, hanya 25% dari
semua
kasus. Sedangkan sinusitis y ang disebabkan oleh faktor odontogen diperkirakan 1012% dari semua
kasus sinusitis. Sumber infeksi dapat timbul dari semua gigi, terutama premolar dan molar superior. 3,4
Komplikasi yang terjadi antara lain kebutaan, kelumpuhan saraf kranial, abses otak, dan bahkan dapat
terjadi
kematian.

15

Gambar 20. Orbital infections


4. Necrotizing Fasciitis
Necrotizing fasciitis adalah infeksi bakteri yang menyebar secara cepat ke permukaan fasscial yang
dalam, salah satu karakteristik yang khas adanya udara pada subcutaneus.
Necrotizing fasciitis berhubungan dengan toksisitas sistemik dan mortalitas yang tinggi jika tidak
dirawat secara cepat. Berhubungan dengan mikroorganisme Streptococcal grup A/Stahpylococcal
Gejalanya demam tinggi, pembengkakkan terlokalisir, erythema, indurasi, hipotensi, takikardi,
terlihat toxic atau letargi.

Gambar 21. Gambaran ekstra oral necrotizing fasciitis


5. Brain abscess
Brain abscess merupakan suatu proses infeksi dengan pernanahan terlokalisir di antara jaringan otak
yang disebabkan oleh berbagai macam bakteri, fungus, dan protozoa, dimana kasusnya jarang
dijumpai tetapi angka kematiannya tinggi (rata-rata 40%), sehingga tergolong kelompok penyakit life
threatening infection
Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi telinga tengah,

sinusitis

(paranasal, ehtmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries) 3,4


Gejala klinis : sakit kepala, muntah, kejang, pusing, vertigo, ataxia, gangguan bicara
Penderita lebih banyak pria daripada wanita dengan perbandingan 3 : 1 yang umumnya masih usia
produktif 20-50 tahun3
16

Gambar 22. Brain abscess


6. Mediastinitis
Descending necrotizing mediastinitis merupakan perluasan infeksi dari deep neck spaces ke
mediastinum, berasal dari kondisi inflamasi dar kavitas mulut dan gigi
Biasa dijumpai pada pasien berumur 30-50 tahun dengan perbandingan pria : wanita = 6 :1
Klinis : nyeri retrosternal yang hebat, nafas cepat, takikardi, suhu tubuh meningkat, infiltrasi
inflamasi dari leher dan dada
Penyebab descending nectrotizing : odontogenic infection (40-60%), retropharingeal abscess,
peritonsilar abscess, cervical lymphadenitis, clavicular osteomyelitis, traumatic endotracheal
17

intubation, external trauma.

Gambar 23. CT scan descending nectotizing mediastinitis

Prinsip manajemen infeksi odontogenik


A. Menentukan tingkat keparahan infeksi
ada 3 faktor yang menentukan :
1. Anatomi
Kita harus mengetahui spasia yang terlibat dalam infeksi odontogenik yaitu :
- primary maxillary spaces (canine, buccal, infratemporal), primary maxilaary spaces (submental,
buccal, submandibular, sublingual)
- secondary facial spaces (masseteric, pterygomandibular, superficial and deep temporal, lateral
pharyngeal, retropharingeal, prevertebral)

Gambar 24. primary spaces

Gambar 25. secondary spaces

18

Tabel 1. Tabel penyebaran infeksi

19

Tabel 2. Tabel skor untuk tingkat keparahan infeksi dari fascial space
2. Kecepatan perkembangan infeksi
- onset pembengkakkan
- nyeri
- trismus
3. Airway compromise
Penyebab kematian yang tersering adalah airway compromise
Complete obstruksi memerlukan intubasi, trakeostomi dan cricothirotomy
Partial airway intubation : stridor, coarse breath sounds, drooling, accessory muscle use

Kriteria pasien abses yang memerlukan perawatan di rumah sakit


- pasien imunocompromised : diabetic, alcoholic, malnourishnent
- systemic involvement : demam > 39C
20

- penyebaran infeksi yang cepat : trismus, paresthesia


- perlu antibiotik parenteral, iv
- resistant organisms, osteomyelitis, actinomycosis
- airway compromised
Sepsis dan Syok Sepsis
Berbagai definisi sepsis telah diajukan, namun definisi yang saat ini digunakan di klinik adalah definisi
yang ditetapkan dalam consensus American College of Chest Physician dan Society of Critical Care Medicine
pada tahun 1992 yang mendefinisikan sepsis, sindroma respon inflamasi sistemik (systemic inflammatory
response syndrome / SIRS), sepsis berat, dan syok sepsis (Chen et.al,2009).
Derajat Sepsis
1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan 2 gejala sebagai berikut:
a) Hyperthermia/hypothermia (>38,3C; <35,6C)
b) Takipnea (respiratory rate >20/menit)
c) Tachycardia (nadi >100/menit)
d) Leukositosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
e) >10% cell imature
2. Sepsis adalah infeksi disertai SIRS
3. Sepsis berat adalah sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oliguria bahkan anuria.
4. Syok sepsis adalah hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan
dan disertai hipoperfusi jaringan (Guntur, 2008).
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh yang berlebihan terhadap
rangsangan produk mikroorganisme. Ditandai dengan panas, takikardia, takipnea, hipotensi dan disfungsi organ
berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah.
Sepsis sindroma klinik yang ditandai dengan:
-

Hyperthermia/hypothermia (>38C; <35,6C)

Tachypneu (respiratory rate >20/menit)

Tachycardia (pulse >100/menit)

10% >cell imature

Suspected infection

Altered mental status

Edema or increased fluid balance

Hyperglycemia (absent diabetes)

Increased CRP or procalcitonin

Hypotension

Increased SvO2

CI > 3.5 L/min/m2


21

Arterial hypoxemia (PaO2/FiO2 < 300)

Acute oliguria (> 2 hours)

Increased serum Cr (> 0.5 mg/dL)

Coagulopathy (INR > 1.5)

Ileus (absent bowel sounds)

Thrombocytopenia (< 100,000/uL)

Hyperbilirubinemia (> 40 mg/dL or 70 mmol/L)

Hyperlactatemia (> 1 mmol/L)

Decreased capillary refill or mottling


Biomarker sepsis (CCM 2003) adalah prokalsitonin (PcT); Creactive Protein (CrP).

Gambar 1. Diagram hubungan SIRS, sepsis dengan infeksi5

Gambar 2. Kriteria Bones untuk Pengenalan Sepsis Berat5.


Epidemiologi
22

Dalam kurun waktu 23 tahun yang lalu bakterimia karena infeksi bakteri gram negatif di AS yaitu antara
100.000-300.000 kasus pertahun, tetapi sekarang insiden ini meningkat menjadi sekitar 300.000-500.000 kasus
pertahun. Syok akibat sepsis terjadi karena adanya respon sistemik pada infeksi yang serius. Walaupun insiden
syok sepsis ini tak diketahui pasti namun dalam beberapa tahun terakhir ini cukup tinggi Hal ini disebabkan
cukup banyak faktor predisposisi untuk terjadinya sepsis antara lain diabetes melitus, sirrhosis hati,
alkoholisme, leukemia, limfoma, keganasan, obat sitotoksis dan imunosupresan, nutrisi parenteral dan sonde,
infeksi traktus urinarius dan gastrointestinal. Di AS syok sepsis adalah penyebab kematian yang sering di ruang
ICU.
Sebuah studi oleh selama 16 melaporkan angka kejadian 2 kasus per 100 penerimaan rumah sakit di AS,
dengan distribusi 55% terjadi di ICU,12% di bagian gawat darurat dan 33% pada non-ICU 3. Data yang lebih
baru menunjukkan bahwa insiden tahunan sepsis terjadi sekitar 50-95 per 100.000 kasus. Selain itu, insiden
sepsis tersebut telah tumbuh sebesar 9% setiap tahunnya4.Bakteri Gram-negatif biasanya menjadi salah satu
etiologi terbanyak dengan proporsi 35 hingga 40% pada kasus sepsis akan tetapi telah menurun menjadi 2530% pada 2000.6Bakteri Gram-positif menyebabkan 30-50% kasus, dan infeksi polimikrobial menyumbang
sekitar 25% 6.
Sekitar 50% dari pasien sepsis berkembang menjadi syok sepsis, dengan angka kematian 45%. 7 Tempat
yang paling sering mengalami infeksi adalah paru-paru, abdomen, dan saluran kemih. Komplikasi dari syok
sepsis meliputi Acute Respiratory Distress Syndrome / ARDS (18%), Disseminated Intravascular Coagulation /
DIC (38%) dan gagal ginjal(50%).8 Pria maupun orang dewasa yang lebih tua menjadi faktor predisposisi
berkembangnya syok sepsis bila dibandingkan dengan perempuan9

Gambar 3. Grafik infeksi nosocomial dan sepsis berat di USA6

23

Gambar 4. Grafik insidens sepsis berat/syok sepsis di USA7

Gambar 5. Grafik perbandingan insidens dan mortalitas pada sepsis berat di USA7

24

Gambar 6. Grafik mortalitas pada sepsis berat berdasarkan usia di USA9

Gambar 7. Grafik kultur darah pada sepsis berat6


Faktor Resiko
Faktor risiko pada sepsis berat dan syok sepsis adalah sebagai berikut:10

Usia ekstrem (<10 tahun dan > 70 tahun)


Penyakit primer (misalnya, sirosis hati, alkoholisme, diabetes mellitus, penyakit cardiopulmonary,

keganasan tumor padat, keganasan hematologi)


Imunosupresi (misalnya, neutropenia, terapi

penyalahgunaan narkoba, complement deficiencies, asplenia)


Operasi besar, trauma, luka bakar
Prosedur invasif (misalnya, kateter, alat intravaskular, prosthetic device, hemodialisis dan kateter

dialisis peritoneal, tabung endotrakeal)


Pengobatan antibiotik sebelumnya
Perawatan di rumah sakit yang berkepanjangan
Faktor-faktor lain, seperti melahirkan, aborsi, dan malnutrisi

imunosupresif,

terapi

kortikosteroid,

IV

25

Gambar 8. Faktor yang berpotensi menyebabkan sepsis10


Etiologi
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon sistemik dapat disebabkan oleh
mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau hanya disebabkan produk toksik dari
mikroorganisme atau produk reaksi radang yang berasal dari infeksi lokal.
Umumnya disebabkan kuman gram negatif. Insidensnya meningkat antara lain karena pemberian
antibiotik yang berlebihan, meningkatnya penggunaan obat sitotoksik dan imunosupresif, meningkatnya
frekuensi penggunaan alat-alat invasive seperti kateter intravaskuler, meningkatnya jumlah penyakit rentan
infeksi yang dapat hidup lama, serta meningkatnya infeksi yang disebabkan organisme yang resisten terhadap
antibiotik.
Infeksi traktus repiratorius merupakan penyebab sepsis yang tersering diikuti infeksi abdomen dan
jaringan lunak. Setiap sistem organ memiliki patogen yang berbeda seperti di antaranya :10

Infeksi traktur repiratorius bawah yang menyebabkan syok sepsis pada sekitar 25% pasien, patogen
yang umum :
o Streptococcus pneumoniae
o Klebsiella pneumoniae
o Staphylococcus aureus
o Escherichia coli
o Legionella species
o Haemophilus species
o Anaerobes
o Gram-negative bacteria
26

o Fungi

Infeksi traktus urinarius yang menyebabkan syok sepsis pada sekitar 25% pasien, patogen yang umum :
o E coli
o Proteus species
o Klebsiella species
o Pseudomonas species
o Enterobacter species
o Serratia species

Infeksi jaringan lunak yang menyebabkan syok sepsis pada sekitar 15% pasien, patogen yang umum :
o S aureus
o Staphylococcus epidermidis
o Streptococci
o Clostridia
o Gram-negative bacteria
o Anaerobes

Infeksi traktus gastro-intestinal yang menyebabkan syok sepsis pada 15% pasien, patogen yang umum :
o E coli
o Streptococcus faecalis
o Bacteroides fragilis
o Acinetobacter species
o Pseudomonas species
o Enterobacter species
o Salmonella species

Infeksi saluran reproduktif laki-laki dan perempuan yang menyebabkan syok sepsis pada sekitar 10%
pasien, patogen yang umum :
o Neisseria gonorrhoeae
o Gram-negative bacteria
o Streptococci
o Anaerobes

Benda asing yang mengakibatkan infeksi berkontribusi 5% pada syok sepsis : S aureus, S
epidermidis, adan fungi/yeasts (eg, Candida species) merupakan patogen yang umum.
27

Infeksi lain-lain menyebabkan 5% syok sepsis Neiserriameningitidis merupakan penyebab tersering


pada golongan ini.

Tabel 1. Penyebab umum sepsis pada orang sehat 4

Tabel 2. Penyebab umum sepsis pada pasien yang dirawat 4

Tabel 3. Penyebab umum sepsis pada pasien setelah dioperasi4

28

Patofisiologi
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis. Pada bakteri gram negatif yang
berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu protein di dalam plasma, dikenal dengan LBP
(Lipopolysacharide binding protein) yang disintesis oleh hepatosit, diketahui berperan penting dalam
metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor inhibitor dalam serum
seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP
sehingga mempercepat ikatan dengan CD14.1,2 Kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal
intraseluler melalui nuklear factor kappaB (NFkB), tyrosin kinase(TK), protein kinase C (PKC), suatu faktor
transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan
menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like receptor-2 (TLR2) (Widodo, 2004).
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic acid (LTA) dan peptidoglikan
(PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram positif menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin
sebagai superantigen dan komponen dinding sel yang menstimulasi imun. Superantigen berikatan dengan
molekul MHC kelas II dari antigen presenting cells dan V-chains dari reseptor sel T, kemudian akan
mengaktivasi sel T dalam jumlah besar untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang berlebih (Calandra,
2003).
Peran Sitokin pada Sepsis
Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan pejamu terhadap infeksi dan invasi mikroorganisme.
Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator inflamasi yang berlebih, yang mencakup sitokin yang
bekerja lokal maupun sistemik, aktivasi netrofil, monosit, makrofag, sel endotel, trombosit dan sel lainnya,
aktivasi kaskade protein plasma seperti komplemen, pelepasan proteinase dan mediator lipid, oksigen dan
nitrogen radikal. Selain mediator proinflamasi, dilepaskan juga mediator antiinflamasi seperti sitokin
antiinflamasi, reseptor sitokin terlarut, protein fase akut, inhibitor proteinase dan berbagai hormon (Widodo,
2004).
Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang terpenting adalah TNF-, IL-1, IL6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin proinflamasi dan IL-10 sebagai antiinflamasi. Pengaruh TNF- dan IL-1 pada
endotel menyebabkan permeabilitas endotel meningkat, ekspresi TF, penurunan regulasi trombomodulin
sehingga meningkatkan efek prokoagulan, ekspresi molekul adhesi (ICAM-1, ELAM, V-CAM1, PDGF,
hematopoetic growth factor, uPA, PAI-1, PGE2 dan PGI2, pembentukan NO, endothelin-1.1 TNF-, IL-1, IL-6,
IL-8 yang merupakan mediator primer akan merangsang pelepasan mediator sekunder seperti prostaglandin E 2
(PGE2), tromboxan A2 (TXA2), Platelet Activating Factor (PAF), peptida vasoaktif seperti bradikinin dan
angiotensin, intestinal vasoaktif peptida seperti histamin dan serotonin di samping zat-zat lain yang dilepaskan
yang berasal dari sistem komplemen (Nelwan, 2004).
Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator inflamasi, tetapi pada sepsis berat pergeseran
ke keadaan immunosupresi antiinflamasi (Hotckin, 2003).
29

Peran Komplemen pada Sepsis


Fungsi sistem komplemen: melisiskan sel, bakteri dan virus, opsonisasi, aktivasi respons imun dan
inflamasi dan pembersihan kompleks imun dan produk inflamasi dari sirkulasi. Pada sepsis, aktivasi
komplemen terjadi terutama melalui jalur alternatif, selain jalur klasik. Potongan fragmen pendek dari
komplemen yaitu C3a, C4a dan C5a (anafilatoksin) akan berikatan pada reseptor di sel menimbulkan respons
inflamasi berupa: kemotaksis dan adhesi netrofil, stimulasi pembentukan radikal oksigen, ekosanoid, PAF,
sitokin, peningkatan permeabilitas kapiler dan ekspresi faktor jaringan (Widodo, 2004).
Peran NO pada Sepsis
NO diproduksi terutama oleh sel endotel berperan dalam mengatur tonus vaskular. Pada sepsis, produksi
NO oleh sel endotel meningkat, menyebabkan gangguan hemodinamik berupa hipotensi. NO diketahui juga
berkaitan dengan reaksi inflamasi karena dapat meningkatkan produksi sitokin proinflamasi, ekspresi molekul
adhesi dan menghambat agregasi trombosit. Peningkatan sintesis NO pada sepsis berkaitan dengan syok sepsis
yang tidak responsif dengan vasopresor (Widodo, 2004).
Peran Netrofil pada Sepsis
Pada keadaan infeksi terjadi aktivasi, migrasi dan ekstravasasi netrofil dengan pengaruh mediator
kemotaktik. Pada keadaan sepsis, jumlah netrofil dalam sirkulasi umumnya meningkat, walaupun pada sepsis
berat jumlahnya dapat menurun. (Widodo, 2004). Netrofil seperti pedang bermata dua pada sepsis. Walaupun
netrofil penting dalam mengeradikasi kuman, namun pelepasan berlebihan oksidan dan protease oleh netrofil
dipercaya bertanggungjawab terhadap kerusakan organ. (Hotckin, 2003). Terdapat 2 studi klinis yang
menyatakan bahwa menghambat fungsi netrofil untuk mencegah komplikasi sepsis tidak efektif, dan terapi
untuk meningkatkan jumlah dan fungsi netrofil pada pasien dengan sepsis juga tidak efektif (Hotckin, 2003).
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang menyebabkan kolaps
kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan
pintas arteriovena perifer.
Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi
perifer meyebabkan terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan
kehilangan cairan intravaskular ke interstisial yang terlihat sebagai edema.
Pada syok sepsis hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan melainkan
karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman (anonim, 2008).
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptive akan menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang
dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multiple (MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan (injury) pada
tingkat seluler (termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi ke organ/jaringan sebagai akibat hipoperfusi,
iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang ikut berperan adalah terdapatnya faktor
30

humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance), malnutrisi kalori-protein, translokasi toksin
bakteri, gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan (Khei Chen, 2006).

Gambar 9. Diagram patofisiologi sepsis5

Gambar10. Ketidakseimbangan sepsis5


Gejala Klinik
1. Fase dini: terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit lembab dan kering.
31

2. Post resusitasi cairan: gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardia, nadi keras dengan tekanan
nadi melebar, precordium hiperdinamik pada palpasi, dan ekstremitas hangat.
3. Disertai tanda-tanda sepsis.
4. Tanda hipoperfusi: takipnea, oliguria, sianosis, mottling, iskemia jari, perubahan status mental.
Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak toksik, takikardia, takipneu,
kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai terjadinya sepsis. Pada keadaan sepsis gejala yang nampak
adalah gambaran klinis keadaan yang dicurigai sepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa
leukositosis atau leukopenia, trombositopenia, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP (+),
LED meningkat dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).
Keadaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-tanda syok (nadi cepat dan
lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan produksi urin, dan penurunan tekanan darah). Gejala syok
sepsis yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi
perifer, produksi urin < 0,5 cc/kgBB/jam, tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi).
Pasien sepsis dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala takikardia, kulit
hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang melebar.

Perubahan hemodinamik
Tanda karakteristik sepsis berat dan syok sepsis pada awal adalah hipovolemia, baik relatif (oleh karena
venus pooling) maupun absolut (oleh karena transudasi cairan). Kejadian ini mengakibatkan status
hipodinamik, yaitu curah jantung rendah, sehingga apabila volume intravaskuler adekuat, curah jantung akan
meningkat. Pada sepsis berat kemampuan kontraksi otot jantung melemah, mengakibatkan fungsi jantung
intrinsik (sistolik dan diastolik) terganggu.
Meskipun curah jantung meningkat (terlebih karena takikardia daripada peningkatan volume sekuncup),
tetapi aliran darah perifer tetap berkurang. Status hemodinamika pada sepsis berat dan syok sepsis yang dulu
dikira hiperdinamik (vasodilatasi dan meningkatnya aliran darah), pada stadium lanjut kenyataannya lebih
mirip status hipodinamik (vasokonstriksi dan aliran darah berkurang).
Tanda karakterisik lain pada sepsis berat dan syok sepsis adalah gangguan ekstraksi oksigen perifer. Hal
ini disebabkan karena menurunnya aliran darah perifer, sehingga kemampuan untuk meningkatkan ekstraksi
oksigen perifer terganggu, akibatnya VO2 (pengambilan oksigen dari mikrosirkulasi) berkurang. Kerusakan
ini pada syok sepsis sebagai penyebab utama terjadinya gangguan oksigenasi jaringan.
Karakteristik lain sepsis berat dan syok sepsis adalah terjadinya hiperlaktataemia, mungkin hal ini
karena terganggunya metabolisme piruvat, bukan karena dys-oxia jaringan (produksi energi dalam
keterbatasan oksigen) (Guntur, 2008).
Mikrobiologi
32

Darah, sputum, urin, cairan serebrospinal, jaringan kultur penting untuk identifikasi organisme.
Urinalisis menunjukkan leukositosis -> UTI. CSF leukositosis menunjukkan meningitis.
Radiologi
Pada roentgen thorax akan terlihat gambaran infeksi :

CT Scan
Diverticulitis, appendicitis, necrotizing pancreatitis, micro perforation of stomach or bowel, intra
abdominal abscess dapat terdiagnosa dengan baik dengan CT Scan. MRI scan digunakan untuk infeksi jaringan
lunak, necrotizing fasciitis atau epidural abscess. USG digunakan untuk cholecystitis, tubo ovarian abscess.

Komplikasi
33

Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

Acute Renal Failure (ARF)

Intestinal bleeding

Liver failure

Central nervous system dysfunction

Heart failure

Death

Penatalaksanaan
Pasien sepsis wajib dinilai dan dievaluasi dengan menggunakan metode ABCDE (Airway,
Breathing,Circulation,Disability, Exposure). Metode ABCDE :5
A = Airway assessment, maintenance and oxygen
B = Breathing and ventilation assessment
C = Circulation assessment, intravenous (IV) access and fluids
D = Disability: assess the neurological status and check the blood glucose
E = Exposure and environmental control
Penatalaksaan awal pasien-pasien yang dicurigai dengan sepsis ialah resusitasi cairan yang mencakup 3
proses, yaitu:

Memaksimalkan penyebaran oksigen dan perfusi jaringan


Monitoring seksama dari tanda-tanda vital dan fungsi organ sebagai pedoman resusitasi lanjutan
Menyiapkan strategi untuk menyingkirkan sumber infeksi
Proses ini ditujukan untuk menghentikan (atau setidaknya memperlambat) onset dari sindrom disfungsi

organ multipel / multi organ dysfunction syndrome. Saat sepsis sudah dikonfirmasi, beberapa langkah berikut
sebaiknya sudah dilakukan seperti oksigen aliran tinggi, cannule, terapi cairan, monitoring jumlah urin.
Berikut adalah langkah-langkah yang seharusnya dilakukan :5
1. Penilaian ABCDE, dapat mencakup :
Penilaian klinis
Airway support
Oksigen aliran tinggi
Cannule
Terapi cairan
Monitoring jumlah urine
Penilaian kadar gula darah
Regulasi temperatur
2. Pengecekan ulang untuk memastikan hal berikut telah dilakukan :
Terapi oksigen aliran tinggi
34

Cannule
Terapi cairan bila ada gangguan sirkulasi
Monitor jumlah urin
3. Melakukan penegakkan diagnostik sepsis yang spesifik dapat mencakup :
Kultur (darah dll)
Pengukuran kadar laktat
Pengukuran Hemoglobin dan tes lain
Pencitraan untuk mengidentifikasi sumber infeksi
4. Terapi lengkap untuk sepsis:
Antibiotik spektrum luas secara intravena
Drainase atau bedah bila memungkinkan
Penatalaksanaan awal ini dapat disingkat menjadi Sepsis Six yakni :5

Oksigen aliran tinggi


Sepsis secara dramatis akan meningkatkan kecepatan metabolik tubuhsehingga kebutuhan akan oksigen
akan meningkat. Untuk itu digunakan non-rebreathe face mask dengan aliran oksigen tinggi. Saturasi
oksigen ditargetkan di sekitar >= 94% kecuali jika pasien memiliki riwayat hipoksemia kronis. Nonrebreathe face mask biasanya tidak cocok untuk pemakaian jangka panjang, namun sangat penting

dalam fase resusitasi akut untuk memaksimalkan jumlah oksigen yang masuk.
Kultur darah
Kultur darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik intravena. Kultur darah diambil secara
percutaneous dan sebelum meletakkan akses IV yang baru. Kultur darah tidak mempengaruhi pilihan
terapi antibiotik speksturm luas pada fase awal tetapi berpengaruh pada pemilihan antibiotik ketika

patogen telah diidentifikasi.


Antibiotik spektrum luas secara intravena
Pemilihan antibiotik spektrum luas yang tepat akan mengikuti langkah-langkah berikut :
o Riwayat alergi yang dimiliki oleh pasien.
o Kondisi klinis pasien dan kemungkinan sumber infeksi
o Peraturan mengenai administrasi antibiotik.
Uji terapi cairan intravena.
Bila pasien sepsis mengalami hipotensi atau bila pasien menunjukkan tanda-tanda insufisiensi sirkulasi,
uji terapi cairan dengan 10ml/kg koloid ataupun 20ml/kg kristaloid sebaiknya dilakukan dalam bolus
yang telah dibagi. Dapat diulang dua kali, hingga bolus total tiga kali. Bila pasien masih mengalami
hipotensi, sebaiknya dipasang Central Venous Catheter yang sekaligus dapat memonitor administrasi

vasopressor dan inotropik bila dibutuhkan.


Pengukuran hemoglobin dan laktat
Laktat dapat diukur dari sampel vena menggunakan jarum Arterial Blood Gas. Akumulasi laktat
menandakan respirasi anaerob yang sedang berlangsung. Penelitian terbaru menyebutkan Procalcitonin

sebagai alternatif penanda kaskade hipoperfusi lanjut.


Monitor jumlah urin
Pada kondisi normal, sistem autoregulasi tubuh akan menjamin aliran cukup ke ginjal dalam jumlah
normal meski adanya perubahan tekanan darah. Pada sepsis, fungsi ini terganggu sehingga ketika
tekanan darah menurun, aliran darah ke ginjal juga menurun sehingga jumlah urin juga akan menurun.
35

Urinary kateter dapat mengukur jumlah produksi urin dari ginjal, sehingga membantu mengestimasi
aliran darah ginjal. Hal ini membantu dalam menilai perfusi ginjal dan sebagai prediktor dari gagal
ginjal. Pasien harus ditargetkan mencapai produksi urin normal. Dikatakan oliguria bila produksi urin
<0.5ml/kg/jam selama 2 jam berturut-turut. Oliguria persisten menjadi tanda awal dari gagal ginjal.
Anuria mengindikasikan bahwa ginjal telah sepenuhnya mengalamai kegagalan, namun seringkali
akibat terbloknya aliran urin di kateter
Target yang ingin dicapai pada resusitasi awal :

MAP > 65mmHg


Capillary Refill Time membaik
Akral menjadi lebih hangat
Produksi urin >0.5ml/kg/jam
Status mental yang membaik.
Menurunnya kadar laktat

Early Goal Directed Therapy


Merupakan langkah awal dalam 6 jam pertama yang dilakukan untuk meningkatkan survival pada pasien sepsis

36

Gambar11. Protokol Early Goal Directed Therapy8

Perbaikan hemodinamik
Banyak pasien syok sepsis yang mengalami penurunan volume intravaskuler, sebagai respon pertama
harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan darah. Cairan koloid dan kristaloid tak diberikan. Jika
disertai anemia berat perlu transfusi darah dan CVP dipelihara antara 10-12 mmHg.
Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam waktu 1-2 jam. Tujuan resusitasi
pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg,
MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi
oksigen tidak mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC
untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (dosis 5-10g/kg/menit sampai maksimal 20
g/kg/menit). 14
Dopamin diberikan bila sudah tercapai target terapi cairan, yaitu MAP 60mmHg atau tekanan sistolik 90110 mmHg. Dosis awal adalah 2-5 mg/Kg BB/menit. Bila dosis ini gagal meningkatkan MAP sesuai target,
maka dosis dapat di tingkatkan sampai 20 g/ KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis dopamine dikembalikan
pada 2-5 mg/Kg BB/menit, tetapi di kombinasi dengan levarterenol (norepinefrin). Bila kombinasi kedua
vasokonstriktor masih gagal, berarti prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti dengan vasokonstriktor lain
(fenilefrin atau epinefrin).14

37

Pemakaian Antibiotik
Setelah diagnosa sepsis ditegakkan, antibiotik harus segera diberikan, dimana sebelumnya harus
dilakukan kultur darah, cairan tubuh, dan eksudat. Pemberian antibiotik tak perlu menunggu hasil kultur. Untuk
pemilihan antibiotik diperhatikan dari mana kuman masuk dan dimana lokasi infeksi, dan diberikan terapi
kombinasi untuk gram positif dan gram negatif.
Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis berat, setelah
kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau
jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis. 14 Oleh karena pada sepsis umumnya
disebabkan oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin seperti
karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat
pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ.1 Pemberian antibiotik kombinasi juga
dapat dilakukan dengan indikasi :

Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui


Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen (pseudomonas aureginosa,
enterokokus)

Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data mikrobiologi dan klinis.
Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada
monoterapi.14

38

Tabel 4. Pemilihan Antibiotik pada Beberapa Kasus Infeksi5

Terapi Suportif

Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan kesadaran atau
kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.
Terapi cairan
o Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9% atau ringer laktat)
maupun koloid.1,14
o Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik melebihi tekanan
onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
39

o Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar Hb rendah pada
kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan

dicapai pada sepsis masih kontroversi antara 8-10 g/dL.


Vasopresor dan inotropik
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian cairan adekuat,
akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan mulai dosis rendah dan dinaikkan
(titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai
dopamin >8g/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5g/kg.menit, phenylepherine 0.5-8g/kg/menit
atau epinefrin 0.1-0.5g/kg/menit. Inotropik dapat digunakan: dobutamine 2-28 g/kg/menit,
dopamine 3-8 g/kg/menit, epinefrin 0.1-0.5 g/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor

(amrinone dan milrinone).1,5,15


Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat <9 mEq/L dengan

disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.1,15


Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera diperbaiki dengan
pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3
g/kg/menit) seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun
secara evidence based belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan

hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.1,5,15


Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis, glukoneogenesis), ambilan
dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan penumpukan laktat dan kecenderungan
hiperglikemia akibat resistensi insulin. Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses
katabolisme protein. Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak, vitamin

dan mineral perlu diberikan sedini mungkin.1,5


Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan mortalitas sebesar 10.620.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin untuk mencapai kadar gula darah antara 80110 mg/dL dibandingkan pada kelompok dimana insulin baru diberikan bila kadar gula darah
>115 mg/dL. Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam praktek
ICU, masih perlu dievaluasi, karena ada risiko hipoglikemia.1,5

Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi dan DIC (konsumsi
faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di sirkulasi). Pada sepsis berat dan renjatan,
terjadi penurunan aktivitas antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus
menumpuk di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ. Terapi antikoagulan, berupa heparin,
antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan dapat diberikan, tetapi tidak
terbukti menurunkan mortalitas.
40

Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan dosis 50 mg bolus
IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan syok sepsis menunjukkan penurunan mortalitas
dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok, kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam
terapi sepsis.14

Modifikasi Respons Inflamasi


Anti endotoksin (imunoglobulin poliklonal dan monoklonal, analog lipopolisakarida); antimediator
spesifik (anti-TNF, antikoagulan-antitrombin, APC, TFPI; antagonis PAF; metabolit asam arakidonat (PGE1),
antagonis

bradikinin,

antioksidan

(N-asetilsistein,

selenium),

inhibitor

sintesis

NO

(L-NMMA);

imunostimulator (imunoglobulin, IFN-, G-CSF, imunonutrisi); nonspesifik (kortikosteroid, pentoksifilin, dan


hemofiltrasi). Endogenous activated protein C memainkan peranan penting dalam sepsis: inflamasi, koagulasi
dan fibrinolisis. Drotrecogin alfa (activated) adalah nama generik dari bentuk rekombinan dari human activated
protein C yang diindikasikan untuk menurunkan mortalitas pada pasien dengan sepsis berat dengan risiko
kematian yang tinggi.15
Prognosis
Keseluruhan angka kematian pada pasien dengan syok sepsis menurun dan sekarang rata-rata 40% (kisaran
10-90%, tergantung pada karakteristik pasien). Hasil yang buruk sering mengikuti kegagalan dalam terapi
agresif awal (misalnya dalam waktu 6 jam dari diagnosa dicurigai). Setelah laktat asidosis berat dengan asidosis
metabolik decompensated menjadi mapan, terutama dalam hubungannya dengan kegagalan multiorgan, syok
sepsis cenderung ireversibel dan fatal.

FASCIA PADA WAJAH


Fascia adalah jaringan ikat fibrous yang membungkus otot dan memisahkan suatu otot dengan otot yang lain.
Fascia tersususn atas lapisan-lapisan jaringan ikat tipis, disebut dengan fascial planes. Ruang antara fascia dan
fascial planes ini merupakan potensial spaces yang sebenarnya tidak ada pada keadaan normal, tetapi bila
perlekatan jaringan ikat ini rusak oleh karena proses penyebaran infeksi, maka ruang ini bisa terisi dan
membesar oleh karena adanya produk radang. Potensial space ini disebut dengan fascial spaces.
41

Fascial space yang terlibat dalam penyebaran infeksi dari gigi disebut fascial space primer, infeksi yang meluas
dari fascial space primer menuju fascial space sekunder yang letaknya lebih posterior dari fascial space primer.
Fascial space primer pada RA : canine space, buccal space dan infratempotal space
Fascial space primer pada RB : buccal space, submandibular space, submental space, sublingual space
Fascial space sekunder : superficial and deep temporal space, sibmasseteric space, pterygomandibular space,
lateral pharyngeal space, retropharyngeal space, dan prevertebral space.

Figure 1. Spasium fascia pada wajah

INFEKSI PADA FASCIAL SPACES PRIMER


Canine space infection
Canine space adalah ruang yang terletak diatas perlekatan m. levator anguli oris dan dibawah perlekatan
m. levator labii superior. Gejala klinis adalah pembengkakan wajah bagian anterior sampai mendekati canthus

42

medialis dari mata. Terdapat fluktuasi pada lateral nares dan bisa terjadi obliterasi sulkus nasolabialis. IO
pembengkakan pada sulcus labialis.

Figure 2. Anatomi canine space


Canine space jarang terjadi dalam perjalanan infeksi odontogen dan lebih jarang terjadi dalam infeksi
nasal. Drainase adalah cara penanggulangan terbaik melalui pendekatan IO, jauh didalam vestibulum labialis
RA menggunakan hemostat tajam maupun tumpul. Pendekatan ini adalah perluasan dari cara yang digunakan
umtuk apicoectomy dari apex gigi kaninus. Drainage per cutan dapat dilakukan lateral dari hidung tetapi hal ini
tidak dapat memberikan dependent drainage.

43

Figure 3. Gambaran klinis canine space

Buccal space infection


Buccal space adalah ruang potensial yang dibatasi olah kulit wajah pada bagian lateral dadi m.
Buccinator di sebelah medial. Space ini terlibat dalam penyebaran infeksi gigi RA (terutama M) apabila pus
menembus tulang alveolar di atas perlekatan m. Buccinator. Meskipun agak jarang infeksi dari gigi M RB juga
isa menyebabkan buccal space infection jika merusak tulang diatas perlekatan m. Buccinator.

Figure 4. Penyebaran buccal space

44

Figure 5. Gambaran klinis dari buccal space abscess adalah pembengkakan pada pipi, batas tidak jelas,
warna kemerahan, palpasi sakit.
Pada buccal space terdapat bantalan lemak buccal, duktus stensens dan arteri fasialis. Infeksi pada
space ini mudah didiagnosa karena terdapatnya tanda pembengkakan pada pipi yang menyertainya sakit gigi M
atau P. Fluktuasi terjadi biasanya di kutan. Usaha untuk membuat fluktuasi secara langsung secara intra oral
dengan kumur air hangat adalh sia sia, dan drainase intraoral melalui mukosa, submukosa dan m. Buccinator
akan mengalami kesulitan.
Drainase kutan seharusnya dilakukan pada inferior dari titik fluktuasi, disertaidiseksi tumpul dalam
kedalam dan batas-batas ekstrim space. Kandungan nanah dapat memenuhi space sehingga tampak sangat
besar. Untuk itu perlu hati-hati adanya percabangan saraf pada n. facialis. Lazimnya insisi dan drainase terletak
tepat pada inferior dari duktus sensens.
Infratemporal space infection
Infratemporal space terletak disebelah posterior dari maksila,dibatasi oleh sisi lateral prosesus
pterygoideus di sebelah medial, basis cranii di sebelah superior, dan infra temporal space berhubungan dengan
deep temporal space di sebelah lateral.

Figure 6. Infratemporal space


Infeksi dari infratemporal space dapat menyebar ke :

Superior dari deep temporal space

Inferior dari pterygomandibular space

Sinous cavernous dan menyebabkan septic thrombosisi dari sinus cavernous


45

Figure 7. Penyebaran infratemporal space


Odontogenisc source berasal dari M3 RA. Tanda klinis berupa rasa sakit dan trismus, pembengkakan di
sebelah anterior dari telinga, dan dapat menunjukkan gejala cavernuos sinus thrombosis dan abses otak.
Trombosis Sinus Cavernous
Infeksi odontogen RA dapat juga menyebar melalui aliran darah (hematogen) menyebabkan thrombosis
sinus cavernous. Bakteri bisa menyebar ke arah posterio melalui plexus pterygoideus dan vena emmisariae, atau
ke arah anterior melalui vena angularis dan vena pohtalmicus inferior atau superior menuju sinus cavernous.
Vena pada daerah wajah dan orbita tidak memiliki katup sehingga memungkinkan aliran darah mengalir bolak
balik. Akibatnya bakteri dapat mengikuti sistem drainase vena dan mengkontaminasi sinus cavernous dan dapat
menyebabkan kematian, sehingga diperlukan perawatan medis ataupun bedah yang intensif.
Submental space
Sebuah facial space potensial pada dagu dan sering terjadi infeksi, baik secara langsung dari incisive RB
ataupun secara tidak langsung dari submandibular space. Submental space terletak dibawah dagu dan dibatasi
oleh kulit serta otot, bagian lateral oleh otot digastricus venter anterior, bagian dalam oleh otot mylohyoid,
bagian superior oleh fascia servicalis dalam, otot platysma, fascia superficialis dan kulit.
Jika infeksi dari I keluar melalui bagian labial dari tulang mandibula, inferior dari perlekatan otot akan
melibatkan submental space. Dagu akan tampak membesar, tamoak jelas dan bersifat erytena. Drainase adalah
penyelesaian terbaik di daerah cutan. Secara horizontal di bagian paling inferior dari dagu dibuat berdasarkan
drainase dan estetika terhadap bekas luka tersebut.

46

Figure 8. Gambaran klinis submental abses


Pola penyebaran dari submental space :

Menyebar ke submandibular space kemudian berlanjut pada parapharyngeal space

Ke arah inferior menuju fascial plane dari leher

Ke arah superior menuju sublingual space

Figure 9. Pola penyebaran abses submental


Sublingual space infection
Sublingual space dibatasi oleh mukosa dasar mulut disebelah superior, sisi medial mandibula disebelah lateral,
dan m. Mylohyoid di sebelah inferior. Infeksi ini paling sering disebabkan oleh gigi M1 RB dan bisa juga M2
RB yang akarnya relatif pendek.

47

Figure 10. Pola penyebaran sublingual abses


Gambaran klinis :pembengkakan pada mukosa dasar mulut, kemerahan, palpasi sakit. Bila abses cukup besar
maka pembengkakan bisa menjadi bilateral dan lidah terangkat. Tidak ada pembengkakan EO
Infeksi dari sublingual space pola penyebarannya :

Postero-inferior menuju submandibular space

Postero-lateral menuju parapharyngeal space

Postero-lateral menuju pterygomandibular space

Figure 11. Pola penyebaran sublingual space


Submandibular Space Infection
Submandibular space adalah ruang yang dibatasi oleh m. Mylohyoid di sebelah suprior, sisi medial
mandibula disebelah lateral, m. Platysma dan kulit di sebelah inferior, batas postrior berhubungan dengan
fascial space sekunder. Penyebab utamanya adalah gigi M3 RB karena penyebaran infeksi ini hampir selalu ke
lingual dan pus masuk ke dalam submandibular space. Gambaran klinis meliputi pembengkakan EO di daerah
submandibula pada satu sisi, kemerahan, palpasi (+) dan terdapat fluktuasi.

48

Figure 12. Gambar klinis abses submandibula


Infeksi submandibular space dapat menyebar ke arah :

Perluasan infeksi ke sublingual space

Ke arah medial berlawanan dengan submandibular space

Ke inferior menuju fascial plane dari leher

Posterior menuju parapharyngeal spaces dan pterygomandibular spaces

Supero-posterior menuju deep temporal space

Ludwigs Angina
Ludwigs angina adalah selulitis yang melibatkan submandibular space dan sublingual space secara
bilateral dan submental space. Infeksi ini disebut juga dengan phlegmon dasar mulut. Selulitis yang terjadi
sangat cepat dan bisa menyebar ke fascial space sekunder. Penyebab utamanya adalah infeksi dari gigi-gigi
rahang bawah, tetapi bisa juga disebabkan oleh faktor lain seperti sialedinitis kelenjar submandibularis, fraktur
mandibula, laserasi jaringan lunak, luka tusuk pada mukosa dasar mulut, atau infeksi sekunder dari lesi ganas di
RM.
Pada Ludwigs angina kondisi fisik penderita pada umumnya jelek. Gambaran klinis ludwigs angina
cukup spesifik yaitu : mulut penderita tampak selalu terbuka, pembengkakan EO pada regio submandibularis
bilateral dan regio submentalis, konsistensinya keras, IO terdapat pembengkakan pada dasar mulut dan lidah
terangkat sehingga penderita mengalami kesulitan bernapas dan menelan.
Ludwigs angina merupakan infeksi yang serius karena : infeksi dapat menyebar ke fascial spaces yang
lebih dalam (masticator spaces/parapharyngeal space), dapat menyebabkan sepsis, dan bisa menyebabkan
49

obstruksi saluran pernapasan bagian atas. Kematian dalam waktu cepat biasanya diakibatkan oleh karena
obstruksi saluran pernapasan bagian atas tersebut.
Perawatan meliputi : antibiotik dosis tinggi, multiple incision pada submandibular space dan submental
space, dan pemberian terapi suportif. Bila terjadi penyumbatan pada saluran pernapasan bagian atas perlu
dilakukan tracheostomy. Bila kondisi akut telah reda gigi penyebab harus segera dicabut.
Subcutan Abscess
Infeksi pada beberapa fascial space seperti canine space, buccal space, submental space atau
submandibular space pada umumnya akan menjadi subcutan abscess, yakni suatu tahap dari perjalanan abses
dimana pus telah terkumpul dibawah ermukaan kulit. Pada subcuttan abses biasanya keradangan yang ada
sudah menjadi kronis sehingga gejala subjektif tidak separah seperti kondisi sebelumnya.
Gambaran klinisnya adalah : pembengkakan EO disertai terbentuknya inti abses yang berwarna
kemerahan, batas jelas dan terdapat fluktuasi.
Seperti halnya pada vestibular abses, pus pada subcutan abses ini letaknya sangat superfisial sehingga abses
bisa pecah dengan sendirinya, yang disebut dengan drainase spontan. Drainase spotan dapat mengakibatkan
jaringan parut yang tentu akan menimbulkan masalah kosmetik di kemudian harinya. Untuk mencegah drainase
spontan dibuat insisi pada inti abses kemudian dilakukan rainase dengan hemostat untuk mengeluarkan
nanahnya. Agar luka insisi tidak menutup kembali perlu dipasang draine dan dipertahankan selama beberapa
hari.
Yang perlu diingat adalah setelah insisi operator tidak boleh melakukan penekanan pada abses dengan
tujuan untuk mengeluarkan nanah sebanyak mungkin. Tindakan ini sangat berbahaya karena justru bisa
menyebabkan penyebaran infeksi.
INFEKSI PADA FASCIAL SPACE SEKUNDER
Infeksi pada fascial spaces primer bila tidak mendapatkan perawatan yang memadai akan dapat menyebar
ke arah posterior yakni ke fascial space sekunder. Infeksi pada fascial space sekunder sifatnya lebih serius,
dapat menimbulkan komplikasi dan morbiditas yang lebih tinggi, dan perawatannya lebih sulit.

50

TATA LAKSANA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK

HUBUNGAN HOST & MIKROBA


Manusia selalu menjadi incaran sumber infeksi. Dalam terjadinya infeksi, terjadi interasi antara tiga
faktor, yaitu host, lingkungan dan organisme. Dalam kondisi homeostasis, terjadi keseimbangan antara ketiga
faktor tersebut. Penyakit terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara ketiga faktor. Sistem kekebalan atau
imun tubuh host menjadi faktor utama dalam menentukan progonosis infeksi, sedangkan faktor lingkungan dan
faktor mikroba memiliki peran sekunder. Kemampuan patogenik suatu mikroba dilihat dari faktor virulensi dan
kuantitas. Virulensi menyangkut semua sifat dari mikroba yang berbahaya bagi host. Dalam bedah oral dan
maksilofasial, klinisi mencoba unuk mengurangi kuantitas mikroba lokal dengan disinfeksi rongga mulut.
Sistem kekebalan atau imun host terjadi dari beberapa subsistem, yaitu faktor lokal, sistem humoral dan
sistem selular. Faktor lokal mencakup kulit dan membran mukosa. Lapisan sel-sel epitel secara fisik mencegah
penetrasi bakteri ke jaringan yang lebih dalam. Sistem sekresi dan drainase membantu sistem imun melalui
51

aktivitas fisik dan kimia. Aktivitas mukosilia, gerakan peristaltic, dan flushing menyebabkan drainase dan
pengangkatan secara mekanis dari bakteri. Kemudian ada faktor dari flora mikroba lainnya yang dapat
mengganggu pertumbuhan dan proliferasi mikroba yang menginvasi. Subsistem lain adalah sistem imun
mukosa dimana sel-sel mukosa dari usus kecil dapat menghasilkan antibiotik peptida. Sistem humoral terdiri
dari immunoglobulin yang dihasilkan sel limfosit-B yang tersensitisasi, serta sistem kompemen. Terdapat lima
kelompok immunoglobulin, yaitu IgG, IgA, IgM, IgD, dan igE. Sistem komplemen terdiri dari kelompok
protein serum yang menghasilkan dan melepaskan zat-zat yang berfungsi untuk inisiasi proses inflamasi seperti
faktor kemotaktik bagi sel fagosit, dan opsonin yang berperan dalam fagositosis. Sistem seluler berupa sel-sel
limfosit dan sel-sel fagosit. Sel limfosit mencakup sel limfosit T dah sel limfosit B.

PERTIMBANGAN PENGGUNAKAN ANTIBIOTIK


Keputusan untuk merawat pasien dengan antibiotik adalah atas dasar pemberian antibiotik untuk
menyembuhkan infeksi. Dengan demikin salah satu pertimbangan awal untuk memberi antibiotik adalah
adanya infeksi. Infeksi ditandai oleh beberapa gejala lokal seperti nyeri dan pembengkakan, eritema
permukaan, pembentukan pus, dan terbatasnya gerakan pada lokasi infeksi. Secara sistemik tanda-tanda infeksi
adalah demam, limfadenopati, malase, gambaran toksik, dan hitung leukosit yang meningkat.
Pertimbangan lain adalah status sistem kekebalan tubuh host yang merupakan faktor paling penting.
Respons inflamasi dengan migrasi sel leukosit dan produksi antibody menyediakan perlindungan paling utama.
Apabila mekanisme ini atau sistem imun lainnya terganggu maka infeksi dapat terjadi meskipun dari paparan
minor bakteri. Antibiotik dapat membantu dalam kondisi dimana sistem imun host dikalahkan oleh invasi
bakteri atau terjadi infeksi bakteri dengan virulensi tinggi. Dan juga antibiotik dibutuhkan apabila kondisi daya
tahan tubuh pasien terganggu. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh empat kondisi, yaitu faktor fisiologis,
sebab yang berhubungan dengan penyakit, sebab yang berhubungan dengan sistem imun yang bermasalah, dan
disebabkan oleh obat. Depresi fisiologis dari sistem imun host dapat berupa syok, gangguan sirkulasi dan
ketidakseimbangan cairan. Penyakit yang dapat menyebabkan penurunan sistem imun host adlaah malnutrisi
yang seringkali bersifat sekunder akibat kecanduan alcohol, kanker, leukemia dan diabetes. Sistem imun yang
defektif dapat disebabkan oleh kelainan congenital seperti agammaglobulinemia, multiple myeloma dan terapi
radiasi seluruh tubuh. Pasien anak-anak yang telah mengalami spelenktomi lebih rentan terhadap pneumonia.
Beberapa obat-obatan dapat menekan sistem imun host, yaitu kelompok obat sitotoksik untuk mengobati
kelainan malignan dan kelompok immunosupresif yang diberikan pada pasien yang akan menerima transplan
organ, seperti glukokortikoid, azathrioprine, dan cyclosporine.
Selain pertimbangan di atas, terdapat satu prinsip utama dalam perawatan infeksi jaringan, yaitu
perawatan infeksi memerlukan insisi dan drainase. Tujuan drainase adalah untuk mengeluarkan pus dari ruang
52

jaringan, sehingga menghilangkan pus terinfeksi dan mengurangi tekanan jaringan. Pada kasus selulitis tanpa
pus, insisi juga dilakukan untuk mengurangi tekanan pada jaringan sehingga meningkatkan aliran vaskular.
PRINSIP PEMILIHAN ANTIBIOTIK
Apabila diputuskan untuk menggunakan antibiotik dalam perawatan infeksi, maka terdapat beberapa
tahap dalam pemilihan antibiotik, yaitu:

Identifikasi organisme penyebab infeksi

Penentuan sensitivitas antibiotik

Penggunaan antibiotik spektrum sempit

Penggunaan antibiotik dengan toksisitas paling rendah

Pertimbangan riwayat penggunaan obat pasien

Penggunaan antibiotik bakterisidal dibanding bakteristatik

Penggunaan antibiotik dengan tingkat kesuksesan tinggi

Pertimbangan harga obat

Sebelumnya perlu dipahami pathobiologi sebuah infeksi odontogenik. Awalnya terjadi infeksi maka
akan terbentuk selulitis. Apabila selulitis tersebut tidak terobati maka akan timbul kondisi hipoksik-asidotik di
dalam jaringan. Lingkungan tersebut akan memicu proliferasi dan pertumbuhan bakteri anaerob. Bakteri
anaerob melepas enzim proteolitik, endotoksin dan eksotoksin yang akan menyebabkan kerusakan jaringan.
Dengan adanya sel fagosit akan terbentuk kavitas jaringan dan pus. Lama-lama dengan meningkatnya sistem
imun tubuh, infeksi dibatasi oleh daya tahan tubuh sehingga bakteri aerob hilang dan dipenuhi oleh bakteri
anaerob.
Bakteri aerob yang menjadi penyebab infeksi odontogenik dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel 1).
Tabel 1. Bakteri aerob penyebab infeksi odontogenik
Organisme

Frekuensi

Gram (+) Cocci


Streptococcus viridans-type

Very common

S. milleri; S. sanguis; S. salivaius; S. mutans ; S. pyrogens


Streptococus -hemolytic

Unusual

Streptococcus group D

Rare
53

Staphylococcus

Rare

Gram (-) bacilli


Haemophilus influenzai

Rare

Euscherichia coli

Rare

Klebsiella

Rare

Eikenella corrodens

unusual

Sedangkan bakteri anaerob yang menjadi penyebab infeksi odontogenik dapat dilihat di bawah ini (Tabel 2).
Tabel 2. Bakteri aerob penyebab infeksi odontogenik
Organisme

Frekuensi

Gram (+) Cocci


Streptococcus

Common

Peptostreptococcus

Common

Gram (-) bacilli


Prophyromonas (Bacteroides)

Very Common

P. asacchroliticus; P. gingivalis; P. endodontalis


Prevotella (Bacteroides)

Very Common

P. melaninogenicus; P. buccae; P. intermedius; P. oralis; P. loeschii; P.


ruminocola; P. denticoli
Fusobacterium

Very Common

Bacteroides fragilis

Rare

Penentuan organisme penyebab infeksi dapat diketahui dengan pembuatan kultur. Terdapat beberapa indikasi
untuk pengambilan kultur bakteri, yaitu:

Pasien dengan daya tahan tubuh yang comprimised dan akan menerima tindakan agresif

Pasien telah menerima pengobatan selama 3 hari tanpa ada perbaikan

Merupakan infeksi luka post-operasi

Merupakan infeksi rekuren

Dicurigai adanya actinomycosis


54

Adanya osteomyelitis.

Pemilihan antibiotik berdasarkan sensitivitas antibiotik dapat dilihat berdasasrkan tabel spectrum kemampuan
antimikroba antibiotik di bawah ini (Tabel 3).
Tabel 3. Spektrum Antimikrobial Antibiotik
Antibiotik

Spektrum

Penicillin G & V

Streptococcus

(kec.

Group D)

Ampicillin & Amoxillin

Antibiotik

Spektrum

Amoxicillin/Clavulanic

= amoxicillin

Acid

Staphylococcus

Staph. aerus

Treponema

Staph. epidermidis

Neisseria

Enterococci

Actinomyces

Anaerob

Anaerob oral

Gonococci

= penicillin

Gentamicin

Staphylococcus

Escherichia coli

Proteus

H. influenzae

Pseudomonas

Proteus Mirabilis

E. coli
Klebsiella
Enterobacter

Tetracyclines

Clindamycin

Vancomycin

Streptococcus

Erythromycin

Staphylococcus

chalrithromycin

Streptococcus
Staphyloccocus

Bacteroides

Mycoplasma

Mycoplasma

H. Influenzae

E. Coli

Legionella

H. Influenzae

Anaerob oral

Shigella

Metronidazole

Hanya bakteri anaerob

Streptococcus

Chloramphenicol

Anaerob oral

Staphylococcus

B. Fragilis

Actinomyces

Streptococcus

Anaerobs

Staphylococcus

Bacteroides fragilis

H. influenzae, E. coli

Streptococcus (termasuk

Carbenicillin

Pseudomonas

group D)

aeruginosa

Staphylococcus

Proteus

(indole
55

positive)
Clostridia

B. Fragilis

Trimethoprim-

Streptococcus

(kec.

Cephalexin

sulfamethoxazole

Enterococcus)

Group D)

Staphylococcus

Staphylococcus

E. Coli

E. Coli

H. Influenzae

Proteus mirabilis

Klebsiella

Streptococcus

Cefaclor

(kec.

= cephalexin

Enterobacter

H. Influenzae

Proteus
Serratia

Prinsip lain adalah pemilihan antiobiotik yang paling kecil efek toksik (Tabel 4).
Tabel 4. Potensi Toksisitas Antibiotik
Antibiotik

Toksisitas

Chloramphenicol

Apalstic

anemia,

Reversible

anemia,

Leukopenia
Sulfonamide

Hemolytic anemia

Carbenicillin (& ticarcillin)

Penurunan agregasi trombosit

Aminoglycosides

Ketulian (diperparah dg tobramycin)


Vertigo (diperparah dg gentamicin)
Paralisis respirasi

Penicillin & Cephalosporin

Mycoclonic seizures

Vancomycin

Vertigo

Tetracycline

Hepatitis
56

Clindamycin

Diare, Pseudomembranous colitis

Erythromycin

Hepatitis

Amphotericin B / Cephaloridin /

Azotemia (karena nekrosis tubular)

Aminoglycosides

Pemilihan antiobiotik sebaiknya yang bersifat bakterisidal, dibandingkan dengan yang bakteriostatik. Antibiotik
yang bakterisidal bekerja dengan mematikan bakteri, melalui gangguan sintesis dinding sel dan sintesis asam
nukleat. Contohnya adalah penicillin(s), cephalosporin(s), aminoglycosides, vancomycin, metronidazole,
imipenem dan ciprofloxacin. Sedangkan antibiotik bakteriostatik menghambat pertumbuhan bakteri melalui
inhibisi sintesis protein. Contohnya adalah tetracyclines, erythromycin, clarithromycin, azithromycin,
clindamycin, dan golongan sulfa. Keuntungan dari penggunaan antibiotik bakterisidal adalah:

Tidak terlalu bergantung pada kemampuan resistensi host

Antibiotik tersebut membunuh bakteri

Bekerja lebih cepat dibanding antibiotik bakteriostatik

Lebih fleksibel dengan interval dosis

Prinsip-prinsip lain dalam pemilihan antibiotik adalah riwayat pengunaan obat oleh pasien, penggunaan
antibiotik dengan riwayat sukses dan berdasarkan harga obat yang cocok bagi pasien. Sebelum memilih
antibiotik perlu ditanyakan riwayat penggunaan antibiotik oleh pasien, terutama riawyat reaksi alergi dan
riwayat reaksi toksik. Pasien yang memiliki alergi terhadap penicillin biasanya juga memiliki alergi yang lain
seperti terhadap cephalosporin, dibanding pasien yang tidak alergi terhadap penicillin. Antibiotik yang memiliki
tingkat kesuksesan tinggi terhadap infeksi odontogenik adalah penicillin. Golongan tetracycline, erthromycin,
lincomycin, dan clindamycin juga dianggap memiliki kemampuan yang balik.

PRINSIP PEMBERIAN ANTIBIOTIK


Terdapat lima prinsip penting dalam pemberian antibiotik, yaitu:

Pemberian dosis yang tepat


57

Pemberian obat dengan interval waktu yang tepat

Cara administrasi antibiotik yang tepat

Konsistensi pemberian antibiotik yang tepat

Konsistensi pemberian antibiotik

Kombinasi terapi antibiotik

Berikut ini adalah dosis dan frekuensi pemberian antibiotik secara oral (Tabel 5) dan parenteral (Tabel 6).
Tabel 5. Dosis dan Frekuensi Pemberian Antibiotik secara Oral.
Antibiotik

Dosis/Frekuensi

Antibiotik

Dosis/Frekuensi

Penicillin V

500 mg q6h

Dicloxacillin

250 mg q6h

Amoxicillin

250 mg q8h

Amoxicillin/clavulanic

250 mg q8h

acid
Cephalexin

500 mg q6h

Cefadroxil

500 mg q12h

Cefaclor

250 mg q6h

Cefurozime

250 mg q12h

Cefixime

400 mg q24h

Eruthromycin

250 mg q6h

Clarithromyci

250 mg q12h

Azithromycin

250 mg q24h

Metronidazole

250 mg q8h

Tetracycline

250 mg q6h

Doxycyclin

100 mg q24h

Minocycline

100 mg q24h

Ciprofloxacin

250 mg q12h

Ofloxacin

200 mg q12h

Nystatin

1 pastille q6h

Ketoconazole

200 mg q24h

pastilles

(10 hari)

Fluconazole

100 mg q24h

(10 hari)

(10 hari)

Tabel 6. Dosis dan Frekuensi Pemberian Antibiotik secara Parenteral.


Antibiotik

Dosis/Frekuensi

Antibiotik

Dosis/Frekuensi

Penicillin G

2m U q4h

Cefonicid

1 g q 24h

Oxacilin

500 mg q4h

Cefotazime

1 g q12h

Ampicillin

250 mg q6h

Ceftriaxone

1 g q24h
58

Ampicillin-sulbactin

1.5 g q6h

Cefoperazone

1 g q12h

Ticarcillin

3 g q6h

Imipenem

250 mg q6h

Cephalotin

500 mg q4h

Aztreonam

500 mg q8h

Cefazolin

500 mg q8h

Gentamicin

80 mg q8h

Cepharadine

500 mg q6h

Tobramycin

80 mg q8h

Cefoxitin

1 g q6h

Vancomycin

500 mg q6h

Cefamandole

1 g q6h

Cefuroxime

750 mg q8h

Pemberian antibiotik secara parenteral saja mampu menghasilkan tingkat yang memadai dalam serum. Dalam
pemberian antibiotik secara parenteral, apabila hasil awal telah dicapai seringkali klinisi tergoda untuk
mengganti metode administrasi menjadi secara oral. Hal ini meningkatkan resiko terjadinya infeksi rekuren.
Bakteri baru hilang setelah pemberian antibiotik secara parenteral selama minimal 5-6 hari. Maka apabila
administrasi antibiotik dari secara parenteral menjadi secara oral setelah 2-3 hari, kemungkinan infeksi rekuren
lebih besar. Setelah pemberian antibiotik secara parenteral selama 5 hari maka tingkat di dalam darah cukup
memadai apabila dilanjutkan dengan pemberian secara oral.

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DALAM BEDAH ORAL & MAKSILOFASIAL


Abses
Abses dan selulitis dentoalveolar akut biasanya membutuhkan pengobatan antibiotik. Antibiotik pilihan adalah
penicillin. Selain pengobatan dengan antibiotik, dibutuhkan perawatan lain berupa perawatan endodontik atau
ekstraksi gigi yang merupakan sumber infeksi.

Pericoronitis
Pericoronitis akut yang parah kadangkala membutuhkan terapi antibiotik. Bakteir penyebabkan pericoronitis
semuanya bersifat anaerob, diantaranya gram-positif kokus seperti peptostreptococcus, dan gram-negatif batang
seperti Porphyromonas gingivalis, Prevotella intermedia, dan Fusobacterium nucleatum. Antibiotik pilihan
adalah penicillin, disamping perawatan dengan debridement dan ekstraksi gigi penyebab.
Osteomyelitis
Terapi antibiotik dibutuhkan untuk membantu intervensi secara pembedahan namun sebelumnya dibutuhkan
identifikasi bakteri penyebab. Durasi terapi antiobiotik untuk kasus osteomyelitis lebih lama dibandingkan
untuk infeksi jaringan lunak.
59

Fraktur
Terapi antibiotik dibutuhkan untuk semua compound fracture, termasuk fraktur yang melibatkan tulang
dentoalveolar dengan gigi karena socket gigi dapat menjadi jalur komunikasi dengan rongga mulut. Pemberian
antibiotik untuk kasus fraktur dilakukan selama 10-14 hari. Dan obat pilihat adalah penicillin.
Luka jaringan lunak
Terapi antibiotik tidak terlalu dibutuhkan dalam perawatan luka jaringan lunak, terutama apabila luka tersebut
telah dibersihkan dan dilakukan debridement serta telah ditutup secara adekuat. Terapi antibiotik dibutuhkan
apabila luka tersebut terbuka selama 6 jam atau lebih, atau luka tersebut merupakan luka gigitan dari binatang
atau manusia. Luka bekas gigitan dalam menyebabkan infeksi staphylococcus, streptococcus, bacteroides,
fusobacterium dan Pasteurella multocida (khusus gigitan binatang) yang ditransfer dari mulut penyerang.
Antibiotik pilihan untuk kasus luka jaringan lunak adalah amoxicillin + clavulanic acid.
Lain-Lain
Pada infeksi odontogenic lainnya, bakteri anaerob merupakan penyebab utama. Khususnya Bacteroides
melaninogenicas yang bersifat resisten terhadap penicillin. Oleh karena itu antibtioik pilihan adalah
clindamycin.
PROFILAKSIS ANTIBIOTIK
Keuntungan dari profilaksis antibiotik adalah :

Pencegahan infeksi

Penurunan morbiditas pasien

Penurunan mortalitas pasien

Penurunan durasi rawat inap

Penurunan biaya rawat

Penurunan jumlah penggunaan antibiotik total

Penurunan jumlah bakteri resisten

Namun profilaksis antibiotik juga memiliki kerugian, yaitu:

Tidak berkurangna infeksi, meskipun telah dilakukan profilaksis

Berkembangnya jumlah bakteri yang resisten


60

Delay pada onset infeksi

Efek samping terhadap tindakan pembedahan

Terdapat lima prinsip dalam penggunaan profilaksis antibiotik. Prinsip pertama diperlukannya profilaksis
antibiotik adalah apabila prosedur pembedahan memiliki resiko yang singifikan terhadap terjadinya
kontaminasi bakteri dan insidens infeksi yang tinggi. Prinsip kedua adalah organisme penyebab infeksi harus
diketahui. Prinsip ketiga adalah kerentanan organisma terhadap antibiotik harus diketahui. Prinsip keempat
adalah agar profilaksis antibiotik efektif, maka antibiotik harus berada di dalam jaringan pada saat terjadi
kontaminasi (pembedahan) dan harus terus diberikan tidak lebih dari 4 jam setelah kontaminasi. Prinsip kelima
adalah antibiotik harus diberikan dalam dosisi yang cukup sehingga mencapai 4x MIC organisme penyebab.
Untuk menentukan potensi resiko suatu luka operasi, dibuatkan empat klasifikasi luka, yaitu:

Class I : Clean
Luka non-traumatis, tidak ada inflamasi, tidak ada gangguan pada teknik bedah, dan tidak ada gangguan
pada saluran respirasi, alimentary dan genital.

Class II : Clean-contaminated
Luka non-traumatis, terjadi gangguan kecil pada teknik, dan saluran gastrointestinal atau genitourin atau
respirasi dimasuki tanpa spillage yang berarti.

Class III : Contaminated


Luka trauma yang baru dari sumber yang relatif bersih, atau luka dari operasi dengan gangguan besar
pada teknik, spillage besar pada traktus gastrointestinal, atau masuknya ke saluran genitourin atau biller,
adanya infeksi dalam urine atau bile.

Class IV : Dirty
Luka traumatis dari sumber yang kotor atau telat menerima perawatan. Termasuk luka operatif dengan
inflamasi bakterial akut, atau jaringan lunak bersih dilewati untuk mencapai pus.

Luka kelas III dan kelas IV membutuhkan profilaksis antibiotik. Sedangkan Luka operasi kelas I tidak
membutuhkan profilaksis antibiotik. Luka operasi kelas II membutuhkan profilaksis antibiotik apabila pasien
memiliki sistem imun yang tertekan, atau alat prostetis akan diinsersi, atau sequela dari infeksi merupakan
masalah serius, atau bagian dari tindakan operasi meningkatkan resiko infeksi seperti durasi yang lama atau
penurunan suplai darah lokal.
61

Penggunaan profilaksis dalam tindakan bedah oral dan maksilofasial harus mempertimbangkan dua faktor
terlebih dahulu, yaitu evaluasi kemampuan sistem imun host dan prosedur operasi itu sendiri. Faktor-faktor
dalam prosedur operasi seperti derajat kontaminasi, durasi kontaminasi lebih dari 3 jam dan penggunaan implan
dapat meningkatkan resiko infeksi. Tindakan oeprasi lebih dari 3 jam dengan derajat kontaminasi ringan
membutuhkan antibiotik, sedangkan operasi sederhana kurang dari 2 jam tidak membutuhkan antibiotik. Pasien
dengan keadaan yang menekan sistem imun seringkali membutuhkan bantuan profilaksis antibiotik meskipun
hanya untuk tindakan yang sederhana. Pasien dengan sistem imun yang tertekan dapat berupa kelainan
metabolis atau pasien yang sedang pengobatan untuk kanker. Pasien dengan sistem imun yang normal dapat
memerlukan antibiotik untuk prosedur transoral yang lebih dari 3 jam. Selain itu antibiotik diindikasikan untuk
tindakan graft tulang. Pasien dengan sistem imun yang tertekan
Profilaksis antibiotik dalam tindakan bedah oral dan maksilofasial juga dibutuhkan untuk mencegah infeksi
metastasis. Infeksi metastasis terjadi saat infeksi primer (atau pada port dentre bakteri) di suatu lokasi
menyebabkan infeksi sekunder di lokasi yang jauh. Penyebaran bakteri penyebab biasanya secara hematogen.
Terdapat tiga faktor terjadinya infeksi metastasis, yaitu adanya infeksi primer atau port dentre bakteri ke
dalam pembuluh darah, bakteremia, dan adanya lokasi jauh yang rentan. Dalam bidang bedah mulut dan
maksilofasial, terdapat tiga kondisi yang perlu diperhatikan untuk terjadinya infeksi metastasis, yaitu
endokarditis bacterial subakut, graft vascular, dan total joint replacement.
Regimen profilaksis antibiotik standar untuk kasus endokarditis bacterial subakut adalah sebagai berikut:

Amoxicillin
o Pre-op: 3 g 1 jam sblm operasi
o Post-op: 1.5 g 6 jam stlh dosis awal

Pasien allergi penicillin


o Erythromycin

Pre-op: 1 g 2 jam sblm operasi

Post-op: 500 mg 6 jam stlh dosis awal

o Clindamycin

Pre-op: 300 mg 1 jam sblm operasi

Post-op: 150 mg 6 jam stlh dosis awal

62

Sedangkan dosis untuk kasus pediatri adalah sebagai berikut, dengan catatan dosis total pediatri tidak boleh
melebihi dosis total dewasa:

Amoxicillin
o Pre-op: 15 mg/kg 1 jam sblm operasi
o Post-op: dosis awal 6 jam stlh dosis awal

Erythromycin
o Pre-op: 2o mg/kg 2 jam sblm operasi
o Post-op: dosis awal 6 jam stlh dosis awal

Clindamycin
o Pre-op: 10 mg/kg 1 jam sblm operasi
o Post-op: dosis awal 6 jam stlh dosis awal

INDIKASI SPESIFIK ANTIBIOTIK


Penicillin merupakan drug of choice secara empiris untuk infeksi odontogenik. Streptococcus bersifat
sensitive terhadap penicillin sedangkan Bacteroides malninogenicus resisten terhadap penicillin. Dicloxacillin
merupakan obat penicllin yang resisten terhadap penicillinase, dan bersifat anti-staphylococcus.
Clindamycin aktif terhadap flora dalam infeksi odontogenik pada umumnya. Jarang ada resistensi
terhadap clindamycin dan berguna untuk mengobati infeksi yang resisten terhadap penicillin. Clindamycim
menjadi obat pilihan untuk kasus osteomyelitis kronik.
Amoxycillin jarang terindikasi untuk infeksi odontogentik rutin karena memiliki spectrum untuk bakteri
batang gram negatif yang jarang terlibat dalam infeksi oral. Penambahan clavulanic acid akan meluaskan
spectrum mencakup staphylococcus dan bakteri anaerob, sehingga amoxicillin + clavulanic acid menjadi obat
pilihat untuk sinusitis dan luka bekas gigitan.
Erythromycin menjadi obat pilihan bagi pasien yang memiliki alergi terhadap penicillin. Erythromycin
dapat digunakan untuk kasus infeksi odontogenik yang bersifat ringan sampai sedang. Erythromycin bersifat
bakteriostatik dan tidak boleh digunakan dalam dosis besar.

63

Cephalosporin(s) memiliki spectrum luas dan toksisitas yang rendah, serta bersifat bakterisidal. Jenis
cephalexin dan cefaclor berguna untuk infeksi odontogenik namun penggunaannya harus hati-hati pada pasien
yang memiliki alergi terhadap penicillin.
Tetracyclin memiliki spektrum luas namun banyak mikroba yang resisten terhadap tetracycline.
Tetracyclin sangat efektif terhadap flora anaerob dan digunakan sebagai terapi medis sampingan untuk penyakit
periodontal.
Metronidazole bersifat bakterisidal terhadap anaerob, tetapi tidak ada pengaruh terhadap bakteri anerob.
Metronidazole tidak boleh digunakan pada infeksi pada tahap selulitis. Metronidazole dapat digunakan bersama
penicillin dalam infeksi odontogenik yang serius terutama pada host yang comprimsed.

64

Referensi
1. Widodo D, Pohan HT (editor). Bunga rampai penyakit infeksi. Jakarta: 2004; h.54-88.
2. Guyton AC, Hall JE. 2006. Syok Sirkulasi dan Fisiologi Pengobatan in: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 11. EGC. Jakarta. pp. 359-372.
3. British Journal of Anesthesia.Anesthesic Management in Patients With Severe Sepsis. [online]. Cited
May 2013. Available from : http://bja.oxfordjournals.org/content/105/6/ 734/T1. expansion.html
4. Nelwan RHH. Patofisiologi dan deteksi dini sepsis. Dalam: Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit
Dalam 2003. Jakarta: 2003; h. S15-18
5. Ron Daniels. Tim Nutbeam. ABC of Sepsis.2010. UK : Wiley Blackwell BMJ books.
65

6. Sands KE, Bates DW, Lanken PN, Graman PS, Hibberd PL, Kahn KL, et al. Epidemiology of sepsis
syndrome in 8 academic medical centers. JAMA. Jul 16 1997;278(3):234-40.
7. Kumar A, Roberts D, Wood KE, Light B, Parrillo JE, Sharma S, et al. Duration of hypotension before
initiation of effective antimicrobial therapy is the critical determinant of survival in human septic
shock. Crit Care Med. Jun 2006;34(6):1589-96.
8. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, LaRosa SP, Dhainaut JF, Lopez-Rodriguez A, et al. Efficacy and
safety of recombinant human activated protein C for severe sepsis. N Engl J Med. Mar 8
2001;344(10):699-709.
9. Bernard GR, Artigas A, Brigham KL, Carlet J, Falke K, Hudson L, et al. The American-European
Consensus Conference on ARDS. Definitions, mechanisms, relevant outcomes, and clinical trial
coordination. Am J Respir Crit Care Med. Mar 1994;149(3 Pt 1):818-24.
10. Michael

R.

Pinsky.

Septic

Shock.

[online]

cited

May

2013.

Available

from

http://emedicine.medscape.com/article/168402
11. Bochud PY, Calandra T. Pathogenesis of sepsis: new concepts and implication for future treatment. BMJ
2003;325:262-266. Available at: http://www.bmj.com
12. Nelwan RHH. Patofisiologi dan deteksi dini sepsis. Dalam: Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit
Dalam 2003. Jakarta: 2003; h. S15-18.
13. Hotckins RS, Karl I. The pathophysiology and treatment of sepsis. N Engl J Med 2003;348 (2): 138150. Available at: http://www.nejm.com
14. Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, Gerlach H, Calandra T, Cohen J, et.al. Surviving sepsis campaign
guidelines for mangement of severe sespis and septic shock. Crit Care Med 2004;32(3):858-72.
15. Wheeler AP, Bernard G. Treating patient with severe sepsis.[online]. Cited May 2013. Available at:
http://www.nejm.com

66

67

Anda mungkin juga menyukai