Pendahuluan Dan Tipus-1
Pendahuluan Dan Tipus-1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kabupaten Purbalingga secara geografis terletak di bagian barat daya
wilayah Provinsi Jawa Tengah dengan posisi pada 101011 109035 Bujur Timur
dan 7010 7029 Lintang Selatan. Kawasan pertanian di wilayah Kabupaten
Purbalingga terdiri atas kawasan pertanian lahan sawah, kawasan pertanian
tanaman lahan kering dan tanaman tahunan/perkebunan. Termasuk kawasan
budidaya pertanian adalah unit lahan yang mempunyai tingkat kesesuaian bagi
peruntukan usaha pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan dan
petemakan serta unit lahan yang tidak dialokasikan untuk kawasan lindung
(Badan Statistik, 2007).
Provinsi sentra produksi durian selanjutnya adalah Provinsi Jawa Tengah
dimana pada tahun 2013 sebanyak 18.604 ton atau 26,75% produksi durian.
Sebaran produksi durian terbesar di Jawa Tengah terdapat di beberapa kabupaten,
Kabupaten Wonosobo Kabupaten penghasil durian terbesar selanjutnya adalah
Kabupaten Pekalongan dengan 8.067 ton (11,60%), Kabupaten Purbalingga 7.605
ton (10,94%), Kabupaten Banjarnegara 6.442 ton (9,26%) dan Kabupaten
Temanggung 3.875 ton (5,57%) (Gunawan et al., 2008).
Tercatat pada 2013, produktivitas durian dapat menembus angka
12,39
bisa menjadi buah karena bunga durian mekar pada sore sampai malam hari
sehingga tidak banyak serangga penyerbuk. Selain itu juga tidak semua bunga
durian muncul secara bersamaan, padahal penyerbukan berhasil jika serbuk sari
dan kepala putik harus matang secara bersamaan. Oleh karena itu perlu dilakukan
penyerbukan buatan, caranya sapukan kuas halus pada bunga mekar pada malam
hari (Warsono, 2012).
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah suatu konsepsi atau cara
berpikir mengenai pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT)
dengan pendekatan ekologi yang bersifat multidisiplin untuk mengelola populasi
hama dan penyakit dengan memanfaatkan beragam taktik pengendalian yang
kompatibel dalam suatu kesatuan koordinasi pengelolaan, Karena PHT merupakan
suatu sistem pengendalian yang menggunakan pendekatan ekologi, maka
pemahaman tentang biologi dan ekologi hama dan penyakit menjadi sangat
penting (Sastrosiswoyo, 2010).
Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu ( SLPHT ) adalah salah
satu metode penyuluhan dalam penerapaan PHT untuk peningkatan pengetahuan,
ketrampilan dan sikap petani dalam pengelolaan OPT. SLPHT berupaya
mewujudkan petani sebagai ahli PHT, yaitu sebagai manajer yang mampu
mengatasi
segala
permasalahan
di
lahan
usahataninya
secara
mandiri
(Cahyono, 2008).
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan laoran ini adalah untuk mengetahui hasil
pengamatan Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu Pada Tanaman
Durian (Durio zibethinus Murray) di Kabupaten Purbalingga.
Kegunaan Penulisan
-
TINJAUAN PUSTAKA
Ordo : Diptera,
sampai 15, bentuk dan ukuran telur berfariasi tergantung spesies lalat buah. Telur
lalat buah pada umumnya berbentuk bulat panjang seperti pisang, dengan ujung
meruncing. Telur lalat buah memiliki panjang sekitar 1,2 mm dengan lebar 0,2
mm (Djatmiadi dan Djatnika 2001).
Larva lalat buah berkembang melalui tiga tahap atau "instar", dengan
sampai 4 hari untuk setiap tahap. Larva dewasa mencapai sekitar 2 / 5 inci
(10 mm) panjang. Mereka adalah off-mulut hitam putih dengan kait dan cahaya
spirakel posterior cokelat. Pakan larva dan berkembang di dalam material host,
sehingga tidak layak untuk di konsumsi manusia. Larva makan biasanya
menghasilkan buah drop prematur (Ginting, 2007).
Pupa atau kepompong lalat buah berada di dalam puparium yang
berbentuk tong dan berwarna coklat tua yang panjangnya 5 mm. Pupa
membutuhkan waktu sekitar 8 sampai 12 hari dan lamanya sangat dipengaruhi
oleh kondisi tanah. Tanah yang lebih lembab dengan aerasi baik, akan
membutuhkan
waktu
yang
lebih
singkat
untuk
perkembangan
pupa
(Octriana, 2010).
Lalat buah rata-rata berukuran 0,7 mm x 0,3 mm. Toraks berwarna oranye,
merah kecoklatan, coklat, atau hitam dan memiliki sepasang sayap. Pada sayap
Bactrocera dorsalis, biasanya terdapat dua garis membujur dan sepasang sayap
trasparan. Pada abdomen umumnya terdapat dua pita melintang dan satu pita
membujur warna hitam atau bentuk huruf T yang kadang-kadang tidak jelas.
Ujung abdomen lalat buah betina lebih runcing dan mempunyai alat peletak telur
yang cukup kuat untuk menembus kulit buah, sedangkan pada lalat buah jantan
abdomennya lebih bulat. Daur hidup lalat buah dari telur sampai dewasa di daerah
tropis berlangsung 25 hari. Setelah keluar dari pupa, lalat buah membutuhkan
sumber protein untuk makanannya dan persiapan bertelur (Sukarmin, 2011).
Gejala Serangan
Gejala awalnya adalah buah berlubang kecil, kulit buah menguning dan
kalau di belah biji berwarna coklat kehitaman dan pada akhirnya buah rontok.
Gejala serangan pada buah yang terinfestasi lalat buah ditandai dengan adanya
noda-noda kecil bekas tusukan ovipositornya. Rata-rata tingkat serangan lalat
buah berkisar antara 20-25% (Boror, 2006).
Lalat buah biasanya menyerang tanaman cabai pada waktu musim hujan.
Lalat betina menusuk buah dengan alat peletak telur untuk menusukkan telurnya
ke dalam daging buah. Telur akan menetas dan menjadi belatung yang memakan
buah, Apabila buah terdapat luka berupa titik tusukan dan kemudian di belah
maka akan terlihat biji-biji berwarna hitam, daging buah busuk dan ada belatung
yang merupakan larva lalat buah. Sehingga kemudian belatung akan keluar
dengan melentingkan diri dan masuk ke dalam tanah untuk berubah menjadi pupa
dan seterusnya menjadi lalat buah muda. Luka tusukan lalat buah dapat
menyebabkan masuknya infeksi sekunder berupa penyakit busuk buah, baik dari
cendawan maupun bakteri. Pada tingkat serangan parah, buah cabai banyak yang
busuk dan rontok. Lalat buah juga di kenal sebagai hama polibag
(Hamdani, 2006).
Lalat buah biasanya akan mengincar buah yang mulai masak. Lalat betina
hinggap pada sasaran dan meletakkan telur dengan cara menusukkan
ovipositornya kedalam daging buah. Buah yang baru ditusuk akan sulit dikenali
karena hanya ditandai dengan titik hitam yang kecil sekali. Setelah telur menetas
larva akan memakan daging buah bagian dalam sehingga kerusakan buah tidak
dapat dilihat, karena permukaan buah tetap mulus. Jika serangan sudah mendekati
permukaan buah, biasanya buah akan segera terlihat adanya perubahan warna
pada daging buah dan pada bagian yang terserang menjadi lembek
(Hamzah,
2004).
Pengendalian
Pengendalian secara kultur teknis, Pengendalian ini meliputi cara-cara
yang berhubungan dengan budidaya tanaman, antara lain: pemanenan buah yang
masih hijau dan pengolahan tanah yang bertujuan untuk membunuh pupa yang
dapat memutuskan siklus hidup lalat buah dan dengan pemilihan jenis tanaman
jeruk yang varietas tahan serangan hama lalat buah (Nuryatiningsih, 2011).
Fisik Suatu usaha mempergunakan atau merubah faktor lingkungan fisik
sedemikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kematian dan mengurangi
populasi hama. Cara ini meliputi teknik: perlakuan panas dan kelembaban,
penggunaan lampu perangkap, penggunaan penghalang atau barrier contoh :
peninggian pematang mulsa plastik/ jerami, pembungkusan buah dengan kantong
plastik (Oka, 2005).
Hayati/ biologi Pengendalian ini memanfaatkan musuh alami dari lalat
buah. Lalat buah memiliki musuh alami berupa parasitoid. Parasitoid Opius spp.
merupakan salah satu parasitoid lalat buah yang sifatnya parasitoid endoparasit
soliter, memarasit larva, pupa dan muncul pada stadia pupa. Parasit diperkirakan
masuk memarasit telur atau larva instar awal B. dorsalis dalam jaringan buah dan
berkembang mengikuti perkembangan B. dorsalis sampai masa pupa, kemudian
pada akhir pupasi, imago parasitoid akan keluar sebagai individu baru dari pupa
inangnya (Nuryatiningsih, 2011).
Bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan lalat buah (oriental
fruit fly) telah digunakan sebagai toxican/ racun di umpan dan semprotan.
Atraktan cair protein dalam semprotan insektisida adalah metode yang disarankan
untuk mengendalikan populasi lalat buah dewasa di sekitar tanaman. Umpan
semprotan insektisida yang diterapkan untuk tanaman daun lebar yang berfungsi
sebagai refugia untuk lalat buah dewasa. Agar efektif umpan-insektisida
semprotan harus digunakan dalam kombinasi dengan praktek-praktek sanitasi
yang baik (Kuswadi, 2001).
Hama Penggerek Batang ( Batocera SP. )
Biologi hama
Penggerek batang Batocera hercules, Hama ini termasuk famili
Cerambicidae, Ordo Coleoptera. Kumbang dewasa berukuran besar dengan antena
panjang, bersifat nokturnal, akan mengeluarkan bunyi-bunyian (mencicit) bila
diganggu. Bentuk kumbang muda sangat khas, antena panjang dan warna abuabu. Kumbang betina meletakkan telur pada kulit kambium yang telah dilukai
terlebih dahulu. Seekor betina dapat hidup sampai enam bulan dan bertelur 170-
(Badan litbang
pertanian, 2011).
Durian terserang penggerek batang sudah lazim terjadi. Meskipun tidak
seganas kanker batang, tetapi kehadirannya menurunkan produktivitas. Bahkan
kalau batang utama terserang, tanaman bisa mati. Jika Anda memiliki pohon
durian, amati apakah ada lubang kecil di batang atau cabang. Di lubang itu
biasanya terlihat serbuk kayu atau kotoran. Itulah ciri khas serangan Batocera
naminator dan Xyleutes leuconotus. Awalnya ia menggigit kulit kayu, kemudian
meletakkan telur di situ. Telur menetas dan ulatnya masuk ke batang atau cabang.
Di sana ia merusak phloem dan xylem sehingga transportasi air dan zat hara ke
seluruh tanaman terganggu. Daun dan cabang terserang mati. Lamakelamaan
pohonnya ikut mati (Gunadi, 2012).
Gejala serangan
Gejala serangan ditandai dengan menumpuknya kotoran dibawah batang
(keluar air dan kotoran berwarna merah) tanaman yang terserang akan layu dan
mati, rontok bagian batang Menyerang dengan cara membuat lubang pada batang,
dahan, atau ranting (Jumali, 2010).
Pohon yang terserang hama ini dapat dikenali dengan adanya lubanglubang gerekan sebesar 2,5-3 cm, kumbang ini banyak ditemukan di daerah Aceh
dengan intensitas kerusakan sebesar 15-40%. Batocera hercules juga telah
dilaporkan di daerah Sulawesi Utara dengan intensitas serangan 17-24% dan dapat
menurunkan produksi pala sampai 24%
2011).
Ulat zeuzera dapat menggerek cabang bahkan batang pokok tanaman
sehingga menyebabkan tanaman mudah patah atau pertumbuhan tanaman menjadi
terhambat. Jika ulat zeuzera sudah keluar pertumbuhan batang yang digerek
biasanya kembaku normal. Namun pada serangan yang lebih berat, serangan hama
ini dapat mengakibatkan kematian bagi tanaman. Serangan hama ulat penggerek
batang dapat diidentifikasi melalui adanya liang gerekan pada batang disertai
dengan adanya kotoran berbentuk silindrik dan berwarna merah kehitam- hitaman
yang keluar dari liang gerekan (Priyatno, 2015).
10
Pengendalian
Kegiatan SLPHT ini bertujuan untuk meningkatkan dan kemandirian
petani dalam mengelola usaha taninya dan mampu mandiri dalam bertindak
dilahan usaha taninya terutama dalam hal pengendalian OPT di tingkat lapang.
Kehilangan hasil akibat OPT masih tinggi dan penerapan Pengendalian Hama
Terpadu (PHT) padi di Sulawesi Selatan dengan perakitan komponen utama yaitu
tanam serempak pada waktu yang tepat, penggunaan varietas tahan serangan OPT
dengan potensi produksi yang tinggi disertai dengan pergiliran varietas pada
ekosistem tertentu telah terbukti memberikan dampak yang sangat positif
(Patihong, 2012).
Pengendalian dengan cara mekanis/ kultur teknis yaitu dengan memotong
5 cm bagian lubang gerek batang tanaman yang terserang kemudian dimusnahkan,
bisa juga dilakukan dengan memasukkan kawat ke dalam lubang dengan harapan
ulat terkena dan mati (Priyatno, 2015).
Pengendalian dengan cara kimiawi dilakukan penyemprotan dengan
insektisida berbahan aktif Tamaron 0,3 % dan Diazinon 0,5 % yang disemprotkan
sesuai dosis. Dan banyak lagi hama pada tanaman durian yang perlu diwaspadai.
sanitas kebun, potong dan musnahkan batang, dahan, atau ranting yang parah
terserang, tutup bekas lubang gerekan dengan kapas yang sudah diberi PESTONA
+ POC NASA atau disemprotkan (Dewi, 2014).
Faktor Biotik dan Faktor Abiotik
Tinggi rendahnya serangan OPT sangat tergantung dengan faktor biotik
dan abiotiknya. Faktor biotik seperti faktor makanan, kompetisi, dan musuh alami
dari OPT tersebut. Sedangkan faktor abiotik berhubungan dengan faktor
11
lingkungan seperti suhu, kelembaban dan curah hujan. Faktor-faktor tersebut yang
akan mengatur populasi OPT di lapangan. Namun faktor manusia juga sebagai
penentu dalam perubahan ekosistem pada pertanaman, seperti pemilihan tanaman
monokultur yang akan berdampak pada berkurangnya keragaman hayati, serta
penggunaan sarana produksi pertanian berupa pestisida yang tidak bijaksana akan
berdampak merusak lingkungan. Hal inilah yang dapat memicu terjadinya
fluktuasi serangan OPT di lapangan (Dinata et al., 2012).
Peran musuh alami belum banyak dimanfaatkan karena populasi yang
rendah. Keberhasilan dalam memanfaatkan musuh alami tergantung dari
ketersediaan jumlah musuh alami, dalam hal ini parasitiod dan predator yang
berlimpah. Jenis parasitiod yang memarasit larva lalat buah diantaranya Biosteres
sp., Psyttalia fletcheri dan Opius sp. (Hymenoptra; Braconidae) (Dewi, 2014).
Pertumbuhan populasi lalat buah di alam dapat ditekan dengan musuh
alami seperti predator, parasitoid dan patogen. Musuh alami tersebut memangsa
lalat buah mulai dari larva, pupa dan imago. Predator lalat buah (Bactrocera)
berupa semut dan laba-laba. Semut memangsa larva dan pupa lalat buah. Begitu
juga dengan tawon dan jangkrik yang memangsa larva dan pupa lalat buah B.
carambolae. Namun yang menjadi faktor utama untuk pola fluktuasi lalat buah
Bactrocera adalah parasitoid (Untung, 2006).
Jamur entomopatogen Beauveria bassiana merupakan agens pengendalian
hayati yang memiliki potensi besar untuk mengendalikan serangga dari ordo
Diptera salah satunya adalah B. carambolae. Jamur entomopatogen Beauveria
bassiana ini memiliki keanekaragaman infeksi yang luas mulai dari telur, larva
sampai imago. Dari keanekaragaman itu perlu adanya kajian penggunaan metode
12
(Untung,
2006).
Serangga seperti juga hewan yang lain harus memperhatikan kandungan
air dalam tubuhnya, akan mati bila kandungan airnya turun melewati batas
toleransinya.
Berkurangnya
kandungan
air
tersebut
berakibat
kerdilnya
mempunyai
peranan
penting
dalam
pertumbuhan,
13
14
bagaimana petani
dalam kelompoknya
biasa
(poster, ceramah,
dan
lainnya),
antara
lain
karena
keanekaragaman ekologi daerah tropik, oleh karena itu PHT mutlak bersifat lokal.
PHT adalah pengelolaan agroekosistem dalam memanipulasi alam agar tidak
menguntungkan bagi perkembangan OPT, sehingga kehilangan hasil akibat OPT
dapat ditekan (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2013).
Pola pembelajaran di SLPHT yang cocok diterapkan pada petani bukan
pola pembelajaran satu arah antara guru dan murid, tetapi dengan pola
pembelajaran andragogi atau pelatihan partisipatori. Di SLPHT petani diajak dan
dimotivasi untuk belajar bersama-sama dan melakukan pengambilan keputusan
pengelolaan ekosistem (termasuk Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman)
secara bersama pula. Pola dan sistem pembelajaran yang diterapkan dalam
SLPHT adalah pola pendidikan orang dewasa (Hartoyo, 2007).