Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PAJAK PENGHASILAN PASAL 25


Pendahuluan
Ketentuan pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur tentang penghitungan besarnya
angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan. Pembayaran pajak
dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan:
Wajib Pajak membayar sendiri (PPh Pasal 25)
Melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga (PPh Pasal 21, 22, 23, dan 24)
Cara Menghitung Besarnya PPh Pasal 25
Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap
bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak yang dikurangi dengan :
Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal 21, dan pasal 23, serta Pajak
Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam pasal 22.
Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 24.
Dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Contoh 1 :
Jumlah Pajak Penghasilan Tuan Dias yang
terutang sesuai dengan SPT Tahunan PPh 2009 Rp 30.000.000,00
pada tahun 2009, telah dibayar dan dipotong atau dipungut :
PPh Pasal 21 Rp 8.000.000,00
PPh Pasal 22 Rp 2.000.000,00
PPh Pasal 23 Rp 2.000.000,00
PPh Pasal 25 Rp 12.000.000,00
Rp 24.000.000,00
Kurang bayar (pasal 29)
Rp 6.000.000,00
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 tahun 2010 adalah :
PPh yang terutang tahun 2009
= Rp 30.000.000,00
Pengurangan :
PPh Pasal 21 Rp 8.000.000,00
PPh Pasal 22 Rp 2.000.000,00
PPh Pasal 23 Rp 2.000.000,00
Rp 12.000.000,00
Dasar penghitungan PPh Pasal 25 tahun 2010 Rp 18.000.000,00
Besarnya PPh pasal 25 per bulan :
Rp 18.000.000,00 / 12 = Rp 1.500.000,00
Jadi Tuan Dias harus membayar sendiri angsuran PPh Pasaal 25 setiap bulan pada tahun 2010 mulai masa
Maret sebesar Rp 1.500.000,00.
Beberapa Masalah / Kasus Untuk Menghitung Besarnya PPh Pasal 25
Angsuran bulanan untuk bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh

Besarnya angsuran bulanan untuk bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh adalah
sebesar angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
Contoh 2 :
Tuan Dias menyampaikan SPT Tahunan PPh 2009 pada bulan Maret 2010. Angsuran PPh Pasal 25 pada
bulan Desember 2009 adalah Rp 1.000.000,00.
Maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan Januari dan Februari 2010 masing-masing adalah : Rp
1.000.000,00.
Jadi Tuan Dias harus membayar sendiri angsuran PPh Pasal 25 pada bulan Januari dan Februari 2010
masing-masing adalah : Rp 1.000.000,00.
Apabila dalam tahun berjalan, diterbitkan SKP untuk tahun pajak yang lalu
Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk tahun pajak yang lalu maka
angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan Surat Ketetapan Pajak tersebut dan berlaku mulai bulan
berikutnya setelah bulan penerbitan Surat Ketetapan Pajak.
Contoh 3 :
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak
2007 yang disampaikan Wajib Pajakdalam bulan Maret 2008, perhitungan besarnya angsuran pajak yang
harus adalah sebesar Rp 1.250.000,00. Dalam bulan Juli 2008 diterbitkan Surat Ketetapan Pajak tahun
pajak 2007 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp 2.000.000,00.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku, maka besarnya angsuran pajak mulau bulan Agustus 2008 adalah
sebesar Rp 2.000.000,00. Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan Surat Ketetapan Pajak tersebut
bisa sama, lebih besar atau lebih kecil dari angsuran pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan (SPT).
Hal-Hal Tertentu Untuk Penghitungan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25
Direktur Jendral Pajak diberi wewenang untuk menyesuaikan bersarnya angsuran pajak yang harus
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan, apabila :
Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian.
Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur.
SPT Tahunan PPh tahun yang lalu disampaikan seterlah lewat batas waktu yang ditentukan.
Wajib Pajak memberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh.
Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar
dari angsuran bulanan sebelum pembetulan.
Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

Contoh 4 :
Penghasilan PT Dira tahun 2009 adalah sebesar Rp 250.000.000,00. Sisanya kerugian tahun 2007 yang
masih dapat dikopensasikan adalah sebesar Rp 300.000.000,00. Sisa kerugian yang belum
dikompensasikan sebesar RP 50.000.000,00.
Pada tahun 2009 PPh yang dipotong atau dipungut pihak lain adalah sebesar Rp 8.000.000,00 dan tidak
ada pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri.
Penghitungan PPh Pasal 25 tahun 2010 :
Penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar Rp
250.000.000,00 Rp 50.000.000,00 = Rp 200.000.000,00.

PPh Terutang
28% x Rp 200.000.000,00
= Rp 56.000.000,00
PPh dipotong atau dipungut = Rp 8.000.000,00
Rp 48.000.000,00
Besarnya angsuran pajak bulanan PT Dira tahun 2010
= 1/12 x Rp 48.000.000,00 = Rp 4.000.000,00
Contoh 5 :
Pada tahun 2009, Abas memperoleh penghasilan teratur sebesar Rp 52.000.000,00. Sedangkan
penghasilan tidak teratur Abas tahun 2009 adalah sebesar Rp 18.000.000,00.
Penghasilan yang dipakai sebagai dasar perhitungan Pajak penghasilan Pasal 25 pada tahun 2010 Abas
adalah hanya dari penghasilan teratur saja sebesar Rp 52.000.000,00.
Contoh 6 :
PT Luwes yang bergerak dibidang konveksi dalam tahun 2009 membayar angsuran bulanan sebesar Rp
18.000.000,00. Pada bulan Juli 2009 pabrik milik PT Luwes terbakar. Oleh karena itu, berdasarkan
Keputusan Dirjen Pajak, mulai bulan Agustus 2009 dapat disesuaikan menjadi lebih kecil daripada Rp
18.000.000,00.
Contoh 7 :
PT Trendy yang bergerak di bidang konveksi dalam tahun 2009 membayar angsuran bulanan sebesar Rp
27.000.000,00. Mulai bulan Mei PT Trendy mengalami peningkatan penjualan yang sangat besar dan
diperkirakan penghasilan kena pajaknya akan lebih besar dibanding tahun sebelumnya. Oleh karena itu,
berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak mulai bulan Agustus 2009 dapat disesuaikan menjadi lebih besar
daripada Rp 27.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Baru, Bank, BUMN, BUMD, dan wajib Pajak Tertentu
Lainnya
Sesuai Pasal 25 ayat (7) UU PPh, penghitungan PPh Pasal 25 bagi WP baru, BUMN, BUMD, dan WP
tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Angsuran PPh Pasal 25 bagi wajib Pajak Baru
Wajib Pajak Baru adalah Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang baru pertama kali memperoleh
penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan.
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan untuk Wajib Pajak Baru dihitung berdasarkan peranan
tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12.
Dalam hal Wajib Pajak Baru menyelenggarakan pembukuan dan dari pembukuannya dapat dihitung
besarnya penghasilan neto tiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan pembukuannya.
Dalam hal Wajib Pajak Baru hanya menyelenggarakan pencatatan dengan meggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto atau menyelenggarakan pembukuan, tetapi dari pembukuannya tidak
dapat dihitung besarnya penghasilan neto tiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan Norma
Penghasilan Neto atas peredaran atau penerimaan bruto.
Untuk Wajib Pajak orang pribadi baru, jumlah penghasilan neti fiskal yang disetahunkan dikurangi
lebih dahulu dengan PTKP.

Contoh 8 :

PT Almond, perusahaan yang baru berdiri terdaftar sebagai wajib pajak pada awal bulan juni 2009.
Selama bulan Juli penjualan PT Almond sebesar Rp 100.000.000,00 dan biaya-biaya yang terjadi adalah
sebesar Rp 60.000.000,00.
Perhitungan PPh Pasal 25 untuk masa Juni 2009 adalah sebagai berikut :
Penjualan Rp 100.000.000,00
Biaya Rp 60.000.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 40.000.000,00
Penghasilan neto disetahunkan
(12 x Rp 40.000.000,00)
Rp 480.000.000,00
PPh Terutang
28% x Rp 480.000.000,00 = Rp 134.400.000,00
Rp 134.000.000,00 / 12 = Rp 11.200.000,00
Untuk bulan berikutnya sampai dengan penyampaian SPT Tahunan dihitung lagi PPh Pasal 25 tiap-tiap
bulan seperti pada perhitungan di atas.
Contoh 9 :
Setiawan mulai usaha bengkel 3 Februari 2009, penerimaan bruto bulan Februari 2009 Rp 40.000.000,00.
Persentase Norma Penghitungan misalnya untuk usaha bengkel motor 22,5%. Setiawan nikah dan
mempunyai 2 anak.
Penghitungana PPh Pasal 25 :
Penghasilan neto bulan Februari
(22,5% x Rp 40.000.000,00) Rp 9.000.000,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp 9.000.000,00
Rp 108.000.000,00
PTKP (K/2)
Rp 18.480.000,00
Penghasilan Kena Pajak
Rp 89.520.000,00
PPh Terutang
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
15% x Rp 39.520.000,00 = Rp 5.928.000,00
Rp 10.928.000,00
PPh Pasal 25 bulan Februari :
Rp. 10.928.000,00/12=Rp. 910.666,00
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan bagi WP bank atau sewa guna usaha dengan hak opsi
(financial lease), adalah sebesar jumlah Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif
umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terahir yang disetahunkan dikurangi pajak
Penghasilan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu,dibagi 12 (dua
belas).
Contoh 10:
PT Bank Dana Sejahtera dalam laporan triwulan April s.d.Juni 2009 menunjukan penghasilan neto
Rp.250.000,00.
Penghasilan PPh Pasal 25 untukmasa Juli, Agustus, September 2009 adalah sebagai berikut:
Penghasilan neto triwulan
Rp. 250.000.000,00
Penghasilan neto disetahunkan
4 x Rp. 250.000.000,00
Rp. 1.000.000.000,00
PPh Terutang

28% x Rp. 1.000.000.000,00 = Rp. 280.000.000,00


PPh Pasal 25 masa Juli, Agustus, September 2009:
Rp. 280.000.000,00/12 =Rp. 23.333.333,00
Untuk triwulan berikutnya dihitung kembali PPh Pasal 25 tiap-tiap triwulan seperti pada perhitungan di
atas.
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak BUMN dan BUMD dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, kecuali Wajib Pajak bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, adalah besar Pajak
Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut rencana kerja
dan Anggaran pendapatan (RKAP) tahun pajak yangbersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 22 dan Pasal 23
serta Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahunpajak yang lalu, dibagi 12.
Dalam hal Rencana Kerja dan Angsuran Pendapatan (RKAP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
disahkan, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum bulan pengesahan adalah
sama dengan angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.
Menurut RKAP Tahun 2010 yang sudah disahkan, PT Jogja bangkit (sebuah BUMD yang dimiliki
Pemerintah Yogyakarta) diperkirakan mempunyai penghasilan neto sebesar Rp 1.000.000.000,00. Kredit
Pajak (PPh Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 yang dapat dikreditkan) Tahun 2009 berjumlah Rp
40.000.000,00.
Perhitungan PPh Pasal 25 untuktahun 2010 adalah sebagai berikut :
Penghasilan neto Rp 1.000.000.000,00
PPh Terutang
28% x Rp 1.000.000.000,00 = Rp 280.000.000,00
Kredit Pajak (PPh Pasal 22, 23 dan 24) Rp 40.000.000,00
PPh yang dibayar sendiri
PPh Pasal 25 :
Rp 240.000.000,00 / 12 = Rp 20.000.000,00
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang
berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala, adalah sebesar Pajak Penghasilan
yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba rugi fiskal menurut laporan uang berkala
terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 22 dan Pasal 23
serta PPh Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12.
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu,
diterapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha
tersebut.

Pertanyaan 1:
Pak Andra adalah pimpinan dan sekaligus pemilik PT BACKBONE. PT BACKBONE adalah wajib pajak
yang menyelenggarakan pembukuan dan terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Kalibata sejak 1
Januari 2005. Peredaran bruto dalam bulan Januari 2005 tercatat sebesar Rp. 77.800.000,00 dan

penghasilan bersih setelah dikurangi beberapa pengurang penghasilan dalam pembukuannya diperoleh
sebesar Rp. 12.500.000,00. Berapakah angsuran PPh pasal 25 setiap bulannya ? .
Jawaban penyelesaiannya sebagai berikut :
Penghasilan Neto = Rp. 12.500.000
Penghasilan Neto 1 thn = Rp. 150.000.000
PPh pasal 25 terutang :
10% x 50 juta = Rp. 5.000.000
15%x 50 juta = Rp. 7.500.000
30%x50 juta = Rp. 15.000.000 = Rp. 27.500.000
PPh pasal 25 per bulan = 27.500.000/12 = Rp. 2.291.666,67

Pertanyaan 2:
Setelah melalui perhitungan ternyata utang pajak penghasilan PT DYNANIC yang tercantum dalam Surat
Pemberitahuan (SPT) untuk tahun 2005 sebesar Rp. 56.500.000,00. Sedangkan kredit PPh pasal 21, 22,
23 dan 24 tahun 2005 berjumlah Rp. 17.500.000,00. Maka angsuran PPh pasal 25 PT DYNAMIC untuk
setiap bulannya pada tahun 2006 adalah sebesar .
Jawaban penyelesaiannya adalah sebagai berikut :
Pajak penghasilan Terutang (SPT tahun 2005) = Rp. 56.500.000,00
Kredit PPh pasal 21, 22, 23 dan 24 tahun 2005 = Rp. 17.500.000,00
Rp.39.000.000,00
PPh pasal 25 per bulan 39jt/12 = Rp. 3.250.000

Pertanyaan 3 :
Seorang atlet dari Brunei Darussalam yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton SEA
Games Indonesia. Dia memenangkan perlombaan tersebut dan mendapatkan uang sebesar 68,000 BND.
Kurs yang berlaku adalah Rp.7.394 per 1 BND

Berapa PPh pasal 26 untuk atlet tersebut ?


Jawab :
Pendapatan bruto 68,000 x 7,394 = Rp. 502.792.000,Penerapan tarif : 20 % x 502.792.000 = Rp. 100.558.400,PPh pasal 26 atas pendapatan atlet tersebut adalah sebesar Rp. 100.558.400

Pertanyaan 4 :
Penghasilan PT. Maju Sejahtera tahun 2008 adalah sebesar Rp 350.000.000,00. Sisa kerugian tahun 2007
yang masih dapat dikompensasikan sebesar Rp 400.000.000,00. Sisa kerugian yang belum
dikompensasikan sebesar Rp 50.000.000,00. Pada tahun 2008 PPh yang dipotong atau dipungut pihak lain
adalah sebesar Rp18.000.000,00, dan tidak ada pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri. Hitunglah
PPh pasal 25 untuk tahun 2009 dan besar angsuran pajak bulanan PT. Maju Sejahter!
Jawab :
Perhitungan pph pasal 25 tahun 2008 :
Penghasilan yang dipakai sEbagai dasar perhitungan angsuran pph pasal 25 adalah
sebesar Rp 350.000.000,00 Rp 50.000.000,00 = Rp300.000.000,00

Pph terutang = 28% x Rp300.000.000,00

Rp 84.000.000,00

Pph yg dipungut atau dipotong

Rp18.000.000,00

= Rp 66.000.000,00

Besarnya angsuran pajak bulanan PT Maju sejahtera tahun 2008


= 1/12 x Rp66.000.000,00 = Rp5.500.000,00

Archive for the PPh Pasal 23 / 26 Category


JASA KONSTRUKSI 1 comment

5 Votes
Yang dimaksud dengan jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi,
layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan konstruksi.
Usaha Perencanaan Konstruksi adalah pemberian layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi
yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan
sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi, yang dapat terdiri dari :
survei
perencanaan umum, studi makro dan studi mikro
studi kelayakan proyek, industri dan produksi
perencanaan teknik, operasi dan pemeliharaan
penelitian
Yang dimaksud dengan jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi,
layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan konstruksi.
Usaha Perencanaan Konstruksi adalah pemberian layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi
yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan
sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi, yang dapat terdiri dari :
survei
perencanaan umum, studi makro dan studi mikro
studi kelayakan proyek, industri dan produksi
perencanaan teknik, operasi dan pemeliharaan
penelitian
Usaha Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi
yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai
dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi.
Usaha Pengawasan Konstruksi adalah pemberian layanan jasa pengawasan baik keseluruhan maupun
sebagian pekerjaan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan
akhir hasil konstruksi, yang dapat terdiri dari :
pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi; dan
pengawasan keyakinan mutu dan ketepatan waktu dalam proses pekerjaan dan hasil pekerjaan
konstruksi
Tidak termasuk dalam pengertian pekerjaan konstruksi.
1. Pekerjaan perawatan berupa pembersihan dan pengecatan bangunan atau bentuk fisik lainnya yang
dilakukan oleh bukan pengusaha jasa konstruksi;

2. Pekerjaan pemasangan dan pemeliharaan/perbaikan mesin dan peralatan mekanik atau elektrik serta
komponen-komponen bangunan siap pasang (prefabricated) sebagai pelayanan purna jual (after sales
service) yang dilakukan langsung oleh pabrikan atau pemasok mesin dan peralatan tersebut;
3. Pekerjaan jasa teknik, desain interior dan pertamanan yang dilakukan oleh bukan pengusaha jasa
konstruksi.
Pajak Penghasilan
Tarif
Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang dan harus dipotong oleh pengguna jasa atau disetor sendiri
oleh Wajib Pajak penyedia jasa ditetapkan sebagai berikut :
a. 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa perencanaan konstruksi;
b. 2% (dua persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan konstruksi;
c. 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pengawasan konstruksi
Yang dimaksud dengan jumlah bruto disini adalah termasuk imbalan atas pemberian jasa dan juga atas
pengadaan material/barangnya.
Contoh :
PT. ABC dikontrak oleh PT. XYZ untuk melaksanakan pembangunan mal sebesar Rp. 200.000.000.000,dengan perincian :
Fee yang akan diterima oleh PT. ABC = Rp. 75.000.000.000, Biaya pembelian bahan/material = Rp. 125.000.000.000, PPh yang harus dibayar
( 2% X Rp. 200.000.000.000,-) = Rp. 4.000.000.000,Saat Terutang PPh
..
Pajak Pertambahan Nilai
Atas penyerahan Jasa Pemborong/Konstruksi ini akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, yaitu sebesar
10 % .
Saat Terutang PPN
Umumnya pekerjaan jasa pemborongan bangunan diselesaikan dalam suatu masa tertentu. Dan sebelum
jasa pemborongan itu selesai dan siap untuk diserahkan telah diterima pembayaran di muka sebelum
pekerjaan pemborongan dimulai atau pembayaran atas sebagian penyelesaian pekerjaan jasa sesuai
dengan tahap atau kemajuan penyelesaian pekerjaan. Dalam hal ini PPN terutang pada saat pembayaran
tersebut diterima oleh Pemborong atau Kontraktor.
Selanjutnya setelah bangunan atau barang tidak bergerak tersebut selesai dikerjakan, maka jasa
pemborongan seluruhnya diserahkan kepada penerima jasa. Dalam hal ini PPN terutang pada saat
penyerahan Jasa Kena Pajak itu dilakukan, meskipun pembayaran lunas jasa pemborongan tersebut belum
diterima oleh Pemborong atau Kontraktor.
Contoh :
1. Tanggal 1 Maret 2002, perjanjian pemborongan ditandatangani dan diterima uang muka sebesar 20%.
2. Tanggal 1 April 2002, pekerjaan selesai 20%, diterima pembayaran tahap ke-1.

3. Tanggal 1 Mei 2002, pekerjaan selesai 50%, diterima pembayaran tahap ke-2.
4. Tanggal 20 Mei 2002, pekerjaan selesai 80%, diterima pembayaran tahap ke-3.
5. Tanggal 25 Juli 2002, pekerjaan selesai 100%, bangunan atau barang tidak bergerak diserahkan.
6. Tanggal 1 Agustus 2002, diterima pembayaran tahap akhir (ke-4) sebesar 95% dari harga borongan.
7. Tanggal 1 Februari 2003, diterima pembayaran pelunasan seluruh jasa pemborongan.
Pada angka 1 sampai dengan angka 4, PPN terutang pada tanggal diterimanya pembayaran (per tahap),
sedang angka 5 sampai dengan angka 7 PPN terutang pada tanggal 25 Agustus 2001 atau saat jasa
pemborongan bangunan selesai dilakukan dan diserahkan kepada pemiliknya.
Tanggal pembayaran yang tersebut pada angka 6 dan angka 7 tidak perlu diperhatikan, karena tidak
termasuk saat yang menentukan terutangnya pajak.
Atas Jasa Pemborong ini ada juga PPNnya yang ditanggung pemerintah, yaitu :
1. Jasa yang diserahkan oleh Kontraktor untuk pemborongan bangunan antara lain : Rumah Sederhana,
Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar serta
Perumahan lainnya yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan
Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah.
2. Jasa Kontraktor dalam rangka pembangunan tempat-tempat yang semata-mata untuk keperluan ibadah.
Posted 06/10/2012 by Ferry in PPh Pasal 23 / 26
Franchise atau Waralaba 2 comments

1 Votes
Baru baru ini bisnis waralaba atau franchise berkembang dengan pesat, karena mereka menawarkan
peluang bisnis yang relative lebih memberi kepastian mengenai hasilnya. Pada kesempatan ini kami
bermaksud untuk membahas salah satu bisnis franchise yang sedang berkembang pesat baik dari local
maupun luar negeri yaitu bisnis broker property (untuk selanjutnya disingkat Co) dari sisi perpajakan.
Pertama mengenai PPN, bagi yang mempunyai pendapatan kotor lebih dari Rp 600.000.000 (Enam ratus
juta Rupiah) wajib mendaftarkan diri menjadi PKP. Selain itu yang mempunyai target pendapatan lebih
dari Rp 600.000.000 (Enam ratus juta Rupiah) dapat mengajukan menjadi PKP pada saat pendapatan
kotornya sudah mendekati targetnya atau bersamaan pada saat pengajuan NPWP.
Konsekuensi menjadi PKP adalah Co harus memungut PPN atas semua pendapatannya, jika banyak
berhubungan dengan Primary (Developer) tidak menjadi masalah mereka biasanya bersedia dipungut
PPN karena dapat mereka kreditkan (bukan biaya), tapi jika berhubungan dengan Secundary market
(Rumah Bekas/ sewa menyewa antar pribadi) akan menyebabkan penghasilan menjadi berkurang sebesar
PPN, karena biasanya pelanggan pribadi tidak mau dipungut tambahan PPN (tambahan biaya), sehingga
komisi yang diperoleh menjadi berkurang karena sudah termasuk PPN.
Kedua PPh 21, Co harus memotong, memungut, dan menyetorkan serta melaporkan semua biaya yang
terkait dengan karyawan tetap/ tidak tetap maupun MA (Marketing Associate) dan biaya jasa jasa lainnya

yang dilakukan oleh orang pribadi, misalnya service AC, bengkel mobil biasanya 5%. Tarip pemotongan
untuk karyawan / MA sama yaitu mengikuti tarip progresif yaitu 5%, 10%, 15%, 25% dan 35% sesuai
dengan jumlah penghasilan yang mereka terima.
Ada 2 (dua) pendapat mengenai penerapan tarip pemotongan MA yaitu diberlakukan per bulan atau
kumulatif setahun. Masing2 mempunyai alasan sendiri, penerapan perbulan dengan alasan mereka orang
ketiga dan tarip yang digunakan sesuai besaran komisi yang dibayarkan pada saat itu. MA mempunyai
kewajiban untuk menghitung ulang sendiri kewajiban perpajakan akhir tahunnya, jika pajak terhutang
kurang dari yang sudah dipotong harus membayar sendiri. Jika diperiksa pajak ada kemungkinan
kekurangan potong dapat dikoreksi (grey area). Apabila MA masih ada/ bekerja koreksi dapat ditagih, jika
sudah tidak bekerja maka menjadi tanggungan Co.
Penerapan kumulatif, MA secara operational seperti karyawan secara rutin (setiap Hari/Minggu) masuk
hanya statusnya bukan, sebagian belum punya NPWP dan laporan SPT masa PPh 21 per bulannya jika
direkap akan terlihat dengan mudah bahwa MA tertentu sudah melewati batas tarip tertentu kenapa masih
dipotong dengan tarip yang lebih rendah. Dengan dipotong sesuai dengan tarip tersebut maka pada akhir
tahun MA tidak perlu membayar sendiri lagi karena sudah dipotong sesuai taripnya, kecuali mereka
mempunyai penghasilan lain.
Keputusan untuk memilih salah satu dari dua alternative diatas diserahkan sepenuhnya kepada WP tentu
saja dengan resiko dan mempertimbangkan faktor teknik dan non teknik masing-masing WP.
Ketiga PPh 23, Co harus memotong, memungut, dan menyetorkan serta melaporkan biaya royalty kepada
Master Franchise sebesar 15% dan biaya jasa jasa lainnya yang dilakukan oleh badan usaha, misalnya
service AC, bengkel mobil dengan tarip 6% (15% x 40%).
Kalau Master Franchise langsung dari Luar Negeri maka terutang PPh 26 sebesar 20%, dan terutang PPN
10%. Jika Negara asal mempunyai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda/ Tax Treaty maka tarip PPh
26 menjadi lebih kecil sesuai dengan tarip di Tax Treaty tersebut, sebagian besar negera mempunyai tarip
rata rata 10%.
Khusus untuk pelanggan Primary biasanya mereka memotong penghasilan Co sebesar 6%, dan akan
mendapatkan bukti potong dari mereka. Bukti potong tersebut merupakan Kredit Pajak Penghasilan Co.
Ke empat PPh 4 (2), Co harus memotong, memungut, dan menyetorkan serta melaporkan biaya Sewa
sebesar 10% dan bersifat final. Bagi penyewa tanah dan bangunan yang tidak memiliki NPWP tidak dapat
memotong, memungut dan menyetorkan serta melaporkan, sehingga pemilik yang mempunyai NPWP
dapat menyetorkan sendiri.
Ke lima PPh 25, adalah pembayaran angsuran atas kewajiban pajak tahun berjalan berdasarkan kewajiban
pajak tahun lalu. Untuk Co baru biasanya kewajiban PPh 25 nya nihil, kecuali Co yakin dapat
memperoleh laba dari awal berdiri baru melakukan pembayaran PPh 25. Banyak pihak mempunyai
pendapat yang salah kaprah bahwa kewajiban pajak tiap tahun harus naik, jika turun maka akan diperiksa
oleh pajak. Dasar pemikiran tersebut adalah secara alami Co pasti menginginkan kemajuan dalam
usahanya dan laba yang diperoleh meningkat dibanding tahun lalu, tapi pada kondisi tertentu kadang
rencana tidak berjalan dengan baik sehingga laba yang diperoleh menjadi lebih kecil, hal tersebut juga
disadari oleh Perpajakan sehingga mereka mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa Co dapat
mengajukan pengurangan angsuran PPh 25 nya karena laba yang akan diperoleh tahun berjalan lebih
kecil dari tahun lalu..

Ke enam PPh 29, merupakan pajak tahunan yang berupa ikhtiar rugi/ laba Co selama tahun berjalan, jika
laba harus membayar pajak dengan tarip progresif yaitu 10%, 15% dan 30%. PPh 23 yang sudah dipotong
oleh pihak ketiga dan PPh 25 yang sudah Co bayar tiap bulan dapat digunakan sebagai kredit pajak. Jika
jumlah pajak terutang lebih besar Co akan membayar kekurangannya. Sebaliknya jika kredit pajak lebih
besar dari pajak terutang Co menjadi lebih bayar dan akan diperiksa pajak karena restitusi.
sumber : http://www.indonesiataxconsultant.com

Posted 24/11/2011 by Ferry in PPh Badan, PPh Pasal 21 / 26, PPh Pasal 23 / 26, PPh Pasal 25, PPN &
PPnBM
Aspek Perpajakan Pada Bidang Usaha Perbankan Leave a comment
Aspek Perpajakan Pada Bidang Usaha Perbankan
1. Subjek Pajak Penghasilan (PPh)
Yang menjadi subjek pajak adalah :
a. 1) Orang Pribadi
2) Warisan yang belum terbagi sebagai kesatuan menggantikan yang berhak
b. Badan
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi
sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap
Klasifikasi Objek Pajak Badan
Penghasilan yang merupakan Objek Pajak tidak bersifat final (Pasal 4 ayat (1) UU PPh)
Penghasilan yang merupakan Objek Pajak yang dipotong PPh final (Pasal 4 ayat (2) UU PPh)
Penghasilan yang bukan merupakan merupakan Objek Pajak (Pasal 4 ayat (3) UU PPh)
c. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
2. Objek Pajak Penghasilan (PPh)
Yang menjadi Objek Pajak adalah Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
Diterima atau diperoleh Wajib Pajak Berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia Dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambahkekayaan Wajib Pajak Dengan nama dan dalam bentuk apapun. Termasuk
:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk
gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang PPh

b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan


c. laba usaha
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan
pengembalian pajak. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi
h. royalti
i.sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
j.penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah (PP Nomor 130 Tahun 2000)
l.keuntungan selisih kurs mata uang asing
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
n. premi asuransi
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenai pajak
q. penghasilan dari usaha yang berbasis syariah (PP 25 Tahun 2009)
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakan
s. surplus Bank Indonesi
Yang dikecualikan dari objek pajak adalah :
a. 1) bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amal zakat atau lembaga amal
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak
atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang
diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah (PP 18 Tahun 2009)
2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK-245/PMK.03/2008)
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihakpihak yang bersangkutan
b. Warisan
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
penyertaan modal
d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam
bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan
Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma

penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh


e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan,
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa
Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam
negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada
badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah modal yang disetor.
g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai
h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud dalam huruf g di
atas, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (KMK651/KMK.04/1994)
i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif
j. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura, berupa bagian laba dari pasangan
usaha yang didirikan dan menjalankan usaha di Indonesia, sepanjang perusahaan pasangan usaha
tersebut :
dalam sektor usaha yang ditetapkan Menteri Keuangan (KMK-250/KMK.04/1995); dan
sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
k. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK-246/PMK.03/2008)
l. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang
pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang
membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan (PMK-80/PMK.03/2009)
m. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib
Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK- 247/PMK.03/2008)
Konsep Biaya Dalam PPh
3. Pengurang Penghasil Bruto
Yang menjadi Pengurang Penghasil Bruto adalah besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya
yang menurut ketentuan undang-undang perpajakan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Biaya
yang dapat dikurangkan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara.
Sesuai Pasal 6 UU PPh, biaya-biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto yaitu biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:

1) biaya pembelian bahan


2) biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan
tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang
3) bunga, sewa, dan royalti
4) biaya perjalanan
5) biaya pengolahan limbah
6) premi asuransi
7) biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan PMK (PMK-02/PMK.03/2010)
8) biaya administrasi; dan
9) pajak kecuali Pajak Penghasilan
Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk
memperoleh hak dan atas biaya lain yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, sepanjang
harta yang disusutkan atau diamortisasi tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan (pajak)
iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau
yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
Kerugian selisih kurs mata uang asing
biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia
biaya beasiswa, magang, dan pelatihan
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat (diatur lebih lanjut dengan PMK105/PMK.03/2009 stdd PMK-57/PMK.03/2010):
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal
Pajak; dan
3) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang
menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan
utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum
atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang
tertentu
4) syarat sebagaimana dimaksud pada butir h.3 di atas tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak
tertagih debitur kecil.
Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah
Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah
Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah
Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah
4. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU PPh, pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
yaitu :
Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, seperti dividen, termasuk dividen yang
dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi

Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau
anggota
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali :
cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa
guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang
cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan
cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan
cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan
limbah industri
yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK81/PMK.03/2009)
Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa
yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut
dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak orang pribadi yang bersangkutan (wajib dipotong PPh
Pasal 21)
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura
dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK- 83/PMK.03/2009)
jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan
Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3) huruf a dan huruf b UU PPh, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
i, huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m UU PPh serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah
Pajak Penghasilan
biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi
tanggungannya
gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham
sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan
dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Biaya Promosi
Biaya Promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam PMK-02/PMK.03/2010
(berlaku sejak 1 Januri 2009). PMK ini disampaikan melalui SE-9/PJ/2010 tanggal 1 Februari 2010.
Dengan pokok-pokok ketentuan sebagai berikut :

Biaya Promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
1) untuk mempertahankan dan atau meningkatkan penjualan;
2) dikeluarkan secara wajar; dan
3) menurut adat kebiasaan pedagang yang baik.
Besarnya Biaya Promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto merupakan akumulasi dari
jumlah
1) biaya periklanan di media elektronik, media cetak, dan/atau media lainnya;
2) biaya pameran produk;
3) biaya pengenalan produk baru; dan/atau
4) biaya sponsorship yang berkaitan dengan promosi produk.
Tidak termasuk Biaya Promosi adalah :
1) pemberian imbalan berupa uang dan/atau fasilitas, dengan nama dan dalam bentuk apapun, kepada
pihak lain yang tidak berkaitan langsung dengan penyelenggaraan kegiatan promosi.
2) Biaya Promosi untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan
objek pajak dan yang telah dikenai pajak bersifat final.
Dalam hal promosi dilakukan dalam bentuk pemberian sampel produk, besarnya biaya yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar harga pokok sampel produk yang diberikan, sepanjang
belum dibebankan dalam perhitungan harga pokok penjualan.
Biaya Promosi yang dikeluarkan kepada pihak lain dan merupakan objek pemotongan PPh wajib
dilakukan pemotongan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mekanisme pemotongan PPh kepada
pihak-pihak yang menerima penghasilan atas pengeluaran biaya promosi mengacu pada ketentuan
perpajakan yang berlaku.
Wajib Pajak wajib membuat daftar nominatif yang paling sedikit harus memuat data penerima berupa
nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat, tanggal, bentuk dan jenis biaya, besarnya biaya, nomor bukti
pemotongan dan besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong dengan format sebagaimana dalam lampiran
PMK-2/PMK.03/2010. Pada saat pengisian Lampiran Peraturan Menteri mengenai Daftar Nominatif
perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
Dalam hal pemberian sampel, kolom Keterangan harus diisi dengan mencantumkan Nama Kegiatan dan
Lokasinya;
Dalam hal Biaya Promosi dikeluarkan dalam bentuk sponsorship, kolom Keterangan harus diisi dengan
informasi kontrak dan/atau perjanjian sponsorship secara lengkap, termasuk nomor dan tanggal kontrak;
Dalam hal Biaya Promosi dilakukan dalam bentuk selain sponsorship dan kegiatan promosi tersebut
dilakukan berdasarkan suatu kontrak dan/atau perjanjian, maka Wajib Pajak harus mencantumkan
informasi kontrak dan/atau perjanjian secara lengkap dalam kolom Keterangan, termasuk nomor dan
tanggal kontrak.
Daftar nominatif dilaporkan sebagai lampiran saat Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan.
Dalam hal ketentuan huruf f dan g di atas tidak dipenuhi, Biaya Promosi tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto.
Piutang Yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih diatur dalam PMK- 105/PMK.03/2009 stdd PMK57/PMK.03/2010 (berlaku sejak 1 Januri 2009). PMK- 57/PMK.03/2010 disampaikan melalui SE62/PJ/2010 tanggal 10 Mei 2010. Pokok-pokok ketentuan adalah sebagai berikut :

Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih adalah piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang wajar
sesuai dengan bidang usahanya, yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah dilakukan upayaupaya penagihan yang maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto, sepanjang
memenuhi persyaratan:
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut dalam
bentuk hard copy dan/atau soft copy kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
3) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah diserahkan perkara penagihannya kepada
Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau terdapat perjanjian
tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus,
atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
Persyaratan butir b.3 ini tidak berlaku untuk debitur kecil ( Rp 100 juta) atau debitur kecil lainnya ( Rp
5 juta).
Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan dokumen/bukti untuk pemenuhan ketentuan
dalam butir b di atas diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak dengan cara melampirkannya dalam
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh tahun pajak dihapuskannya piutang yang nyata-nyata tidak
dapat ditagih.
Penerbitan umum atau khusus sebagaimana dimaksud dalam syarat piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih adalah penerbitan yang meliputi:
Penerbitan umum adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan surat kabar/majalah atau media massa
cetak yang lazim lainnya yang berskala nasional; atau
Penerbitan khusus adalah pemuatan pengumuman pada:
penerbitan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA)/Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional
(PERBANAS)
penerbitan/pengumuman khusus Bank lndonesia; dan/atau
penerbitan yang dikeluarkan oleh asosiasi yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan pihak kreditur
menjadi anggotanya.
Yang dimaksud debitur kecil -> piutang debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang diberikan
oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya pemberian:
Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang
diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang telah menjadi peserta Takesra dan
tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS;
Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer baik
sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani
guna membiayai usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija, dan hortikultura;
Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada
masyarakat untuk pemilihan rumah sangat sederhana (RSS);
Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil;
Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang diberikan untuk keperluan modal usaha kecil lainnya
selain KUK; dan/atau

Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha
kecil dan koperasi.
Yang dimaksud debitur kecil lainnya -> debitur selain sebagaimana dimaksud dalam butir e di atas yang
jumlahnya tidak melebihi Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Apabila di kemudian hari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dilunasi oleh debitur seluruhnya
atau sebagian, maka jumlah piutang yang dilunasi tersebut merupakan penghasilan bagi kreditur pada
tahun pajak diterimanya pelunasan.
Pembentukan/Pemupukan Dana Cadangan
Pembentukan/pemupukan dana cadangan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
81/PMK.03/2009 tanggal 22 April 2009 (berlaku sejak tanggal 1 Januari 2009). Pokok-pokok ketentuan
adalah sebagai berikut :
Bank umum konvensional dan bank umum syariah serta BPR konvensional dan BPR Syariah dapat
membentuk dana cadangan piutang tak tertagih.
Besarnya cadangan piutang tak tertagih sebagai berikut :
1) Bank Umum Konvensional :
2) Bank Umum Syariah :
3) BPR Konvensional :
4) BPR Syariah :
Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan sebagaimana
dimaksud di atas paling tinggi adalah:
100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan perusahaan
penilai
Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan tersebut di atas adalah
jumlah pokok pinjaman yang diberikan oleh bank.
Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan
cadangan piutang tak tertagih.
Dalam hal cadangan piutang tak tertagih tidak atau tidak seluruhnya dipakai untuk menutup penghapusan
piutang yang nyata-nyata tidak tertagih, maka jumlah kelebihan cadangan tersebut harus diakui sebagai
penghasilan. Dan sebaliknya, apabila jumlah cadangan yang ada tidak mencukupi, maka kekurangannya
diperhitungkan sebagai kerugian (biaya).
Penghasilan Usaha Bank Berbasis Syariah
Perlakuan Pajak Penghasilan atas kegiatan usaha berbasis syariah diatur dalam PP Nomor 25 Tahun 2009,
yaitu sebagai berikut:
Usaha Berbasis Syariah adalah setiap jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah yang meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, jasa keuangan syariah dan
kegiatan usaha berbasis syariah lainnya
Perlakuan Pajak Penghasilan dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah meliputi:

penghasilan;
biaya; dan
pemotongan pajak atau pemungutan pajak.
Biaya dari Kegiatan Usaha Berbasis Syariah termasuk :
hak pihak ketiga atas bagi hasil;
margin; dan
kerugian dari transaksi bagi hasil.
Pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah dilakukan juga terhadap:
hak pihak ketiga atas bagi hasil;
bonus;
margin; dan
hasil berbasis syariah lainnya yang sejenis.
Ketentuan mengenai penghasilan, biaya, dan pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan
Usaha Berbasis Syariah sebagaimana dimaksud di atas berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pemberlakuan secara mutatis mutandis dimaksudkan bahwa
ketentuan perpajakan yang berlaku umum berlaku pula untuk kegiatan Usaha Berbasis Syariah.
5. Aturan Khusus Perbankan
Ketentuan Perpajakan Untuk Perbankan
Seperti jenis usaha yang lain, ketentuan perpajakan secara umum juga berlaku untuk usaha perbankan.
Namun karena ada karakteristik khusus atas usaha perbankan maka terdapat aturan pajak yang khusus
mengatur hal tersebut. Aturan pajak tersebut adalah :
PPh Pasal 21 untuk Gaji, upah , honorarium, insentif, imbalan lainnya dalam bentuk dan nama apapun
PPh Pasal 22 untuk Pengadaan (Pembelian) Barang oleh Bank BUMN/D
1) Kewajiban Pemungutan PPh Pasal 22
Pemungutan PPh Pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.03/2001 sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan PMK-210/PMK.03/2008). Menyebutkan bahwa :
Atas pembelian barang yang dilakukan oleh :
Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian barang dengan
dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan/atau belanja daerah (APBD)
Bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN maupun nonAPBN
Wajib dipungut PPh Pasal 22 dari wajib pajak penjual dengan tarif efektif 1,5% x Harga Jual (belum
termasuk PPN). PPh Pasal 22 dipungut pada saat pembayaran.
PPh Pasal 23 untuk Bunga, Dividen, Royalti, Sewa, dan Imbalan Jasa
1) Pemotong PPh Pasal 23 menurut Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) adalah :

Badan Pemerintah
Subjek Pajak Badan Dalam Negeri
Penyelenggara Kegiatan
Bentuk Usaha Tetap
Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya
Orang Pribadi Sebagai Wp Dalam Negeri Tertentu Yang Ditunjuk Oleh Dirjen Pajak
2) Penghasilan Wajib Pajak Dalam Negeri atau BUT yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 menurut
Pasal 23 ayat (1) adalah sebagai berikut :
Dividen (selain deviden ke OP / ke PT dgn penyertaan saham diatas 25%)
Bunga (kecuali bank)
Royalti
Hadiah dan Penghargaan sehubungan dengan kegiatan selain yg telah dipotong PPh Ps. 21
Yang memiliki NPWP dikenakan tarif 15%, yang tidak memiliki NPWP dikenakan tarif 30%.
Sewa (selain sewa tanah dan bangunan)
Imbalan sehubungan dengan :
jasa teknik
jasa manajemen
jasa konsultan
jasa lain yg ditetapkan dirjen pajak selain jasa yg telah dipotong pph psl 21
Yang memiliki NPWP dikenakan tarif 2%, yang tidak memiliki NPWP dikenakan tarif 4%.
3) Jasa lain yang dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2% menurut
PMK-244/PMK.03/2008 adalah sebagai berikut :
Jasa penilai (appraisal);
Jasa aktuaris;
Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
Jasa perancang (design);
Jasa pengeboran (drilling) di bidang migas, kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT);
Jasa penunjang di bidang penambangan migas;
Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;
Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
Jasa penebangan hutan;
Jasa pengolahan limbah;
Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services);
Jasa perantara dan/atau keagenan;
Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan
KPEI;
Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
Jasa mixing film;
Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau
sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat

transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
Jasa maklon;
Jasa penyelidikan dan keamanan;
Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
Jasa pengepakan;
Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk
penyampaian informasi;
Jasa pembasmian hama;
Jasa kebersihan atau cleaning service;
Jasa katering atau tata boga.
4) Dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23 menutut Pasal 23 ayat (4) UU PPh adalah sebagai
berikut :
Penghasilan yang dibayar/terutang kepada bank dan lembaga keuangan
Sewa yang dibayarkan/terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi
Dividen/bagian laba yg diterima/diperoleh PT sebagai WP dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD dari
penyertaan modal pada badan usaha yg didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
dividen berasal dari cadangan laba di tahan; dan
bagi PT, BUMN, BUMD saham yang dimiliki minimal 25%.
Bagian laba yang diterima/diperoleh anggota dari Perseroan Komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham-saham, Persekutuan, Perkumpulan, Firma Dan Kongsi.
SHU koperasi yang dibayarkan kepada anggotanya
Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai
penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan.
5) PMK Nomor 251/PMK.03/2008 (Jasa Keuangan selain bank yg dikecualikan dari pemotongan PPh Ps
23), dasar hukumnya adalah pasal 23 ayat (4) huruf h yang menyebutkan bahwa :
Atas penghasilan berupa bunga atau imbalan lain yang diberikan atas penyaluran pinjaman dan atau
pemberian pembiayaan, termasuk yang menggunakan pembiayaan berbasis syariah sehubungan dengan
jasa keuangan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha:
perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan bank
yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga
pembiayaan dan telah memperoleh ijin usaha dari Menteri Keuangan
BUMN atau BUMD yang khusus didirikan untuk memberikan sarana pembiayaan bagi UMKM termasuk
PT Permodalan Nasional Madani, yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan, tidak
dilakukan pemotongan PPh Pasal 23.
PPh Pasal 4 ayat (2) untuk PPh yang bersifat final, misal : bunga tabungan/ deposito, hadiah undian, dan
lain lain
1) PPh Final atas Bunga Deposito/Tabungan
PPh Final atas Bunga Deposito/Tabungan diatur dalam PP Nomor 131 Tahun 2000 dan KMK51/KMK.04/2001. Pokok-pokok ketentuan adalah sebagai berikut :

PPh Final dikenakan atas bunga yang berasal dari deposito/tabungan baik yang ditempatkan pada bank
yang didirikan di dalam negeri maupun bank di luar negeri melalui cabangnya di di Indonesia, termasuk
jasa giro serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia, kecuali WP Orang Pribadi yang seluruh
penghasilannya dalam 1 tahun pajak termasuk bunga dan diskonto tidak melebihi PTKP.
PPh yang terutang adalah sebesar 20% dari jumlah bruto (terhadap wajib pajak dalam negeri atau BUT)
dan 20% dari jumlah bruto atau sesuai tarif P3B yang berlaku (terhadap wajib pajak luar negeri).
Dikecualikan dari pemotongan PPh :
Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta sertifikat
Bank Indonesia tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang dipecahpecah.
Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar
negeri di Indonesia.
Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang telah
disahkan Menteri Keuangan, sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 UU Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun.
Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan
sangat sederhana, kapling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun
sederhana sepanjang untuk dihuni sendiri.
Pembebasan pemotongan PPh atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau
diperoleh Dana Pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan, sepanjang dananya diperoleh dari
sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UU Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana
Pensiun dapat diberikan berdasarkan SKB Pemotongan PPh atas Bunga Deposito dan Tabungan serta
Diskonto Sertifikat Bank Indonesia yang diterbitkan oleh KPP tempat dana pensiun terdaftar.
2) PPh Final atas Hadiah Undian
PPh Final atas Penghasilan dari Hadiah atas Undian diatur dalam PP Nomor 132 Tahun 2000, KEP395/PJ/2001, dan SE-19/PJ.43/2001. Pokok-pokok ketentuannya adalah sebagai berikut :
Hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun melalui cara undian yang diterima atau diperoleh orang
orang pribadi/badan dalam negeri dan orang pribadi atau badan luar negeri dikenakan PPh Final sebesar
25% dari jumlah bruto nilai undian.
Penyetoran PPh tersebut oleh penyelenggara undian dengan SSP secara kolektif selambat-lambatnya
tanggal10 bulan berikutnya.
Pelaporan ke KPP setempat dengan SPT Masa PPh atas hadiah undian selambat-lambatnya tanggal 20
bulan berikutnya setelah dibayarkannya atau diserahkannya hadiah undian tersebut.
PPh Pasal 25 Wajib Pajak Bank
1) Angsuran PPh Pasal 25 WP Bank
Angsuran PPh Pasal 25 bank tidak berdasarkan SPT Tahunan tahun sebelumnya tetapi berdasarkan
Laporan Keuangan Triwulan (PMK-255/PMK.03/2008 stdd PMK Nomor 208/PMK.03/2009). Dalam
Pasal 3 PMK-255/PMK.03/2008 stdd PMK Nomor 208/PMK.03/2009 menyebutkan bahwa : Besarnya
angsuran PPh Pasal 25 untuk WP bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi adalah sebesar PPh yang
dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan
terakhir yang disetahunkan dikurangi PPh Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun
pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).
PPN untuk Penyerahan Barang/Jasa (BKP/JKP) yang terutang PPN.

1) PPN Terkait Usaha Perbankan, pada prinsipnya semua barang dan jasa dikenakan PPN, hanya saja ada
pengecualian. Jasa keuangan termasuk yang jenis jasa yang tidak dikenakan PPN. Dalam UU PPN yang
baru (UU No.42 Tahun 2009) terdapat perubahan terminologi dari jasa perbankan menjadi jasa
keuangan. Jasa perbankan yang dimaksud dalam UU PPN lama (PP 144/2000) adalah jasa perbankan
sesuai dengan UU perbankan, sedangkan menurut UU PPN baru, tidak disebut lagi jasa perbankan namun
jasa keuangan (jasa menghimpun dana, menempatkan dana, dan jasa pembiayaan). Jasa keuangan ini
tidak dikaitkan lagi pengertian jasa perbankan sebagaimana dimaksud dalam UU perbankan. Menurut UU
PPN yang baru, jasa keuangan yang dilakukan oleh siapapun tidak dikenakan PPN
2) Perubahan ini memberikan perluasan arti sehingga mengakhiri perdebatan yang timbul selama ini
mengenai apakah jasa keuangan yang dilakukan oleh perbankan syariah dan non perbankan termasuk
pengertian jasa perbankan yang tidak dikenakan PPN ?. Salah satu yang menjadi polemik adalah
pengenaan PPN terhadap transaksi murabahah (produk perbankan syariah dengan prinsip jual beli).
Dengan adanya UU PPN yang baru maka atas transaksi tersebut tidak dikenakan PPN lagi.
3) Persandingan UU PPN yang lama dengan UU PPN yang baru yang mengatur PPN terkait usaha
perbankan.
UU PPN lama (PP 144/2000)
Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, meliputi:
jasa perbankan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 kecuali jasa
penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak
lain berdasarkan suatu kontrak (perjanjian), serta anjak piutang;
jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi;
jasa Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi
UU PPN baru (UU No.42 Tahun 2009)
Jasa keuangan, meliputi:
jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan,
dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan
menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
sewa guna usaha dengan hak opsi;
anjak piutang;
usaha kartu kredit; dan/atau
pembiayaan konsumen;
jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan
jasa penjaminan.
4) Jenis jasa keuangan yang tidak dikenakan PPN telah disebutkan secara limitatif dalam Memori
Penjelasan Pasal 4A ayat (3) huruf d UU PPN, Jenis jasa lainnya yang tidak disebutkan dalam Memori
Penjelasan Pasal 4A ayat (3) huruf d UU PPN dikenakan PPN
5) Contoh jenis jasa yang Dilakukan Perusahaan Perbankan yang Dikenakan PPN (ketentuan dalam SE
dan Surat Dirjen hanya bersifat penegasan) :
Jasa persewaan Safety Box (SE-02/PJ.321/1994) memberikan penegasan bahwa:

kegiatan usaha penyewaan safety box yang dilakukan oleh bank umum terutang PPN
dalam hal dapat dibuktikan oleh bank yang bersangkutan bahwa penggunaan safety box oleh pihak lain
dikaitkan dengan usaha perbankan lainnya sehingga atas pemakaian safety box tersebut tidak dipungut
biaya maka Dasar Pengenaan Pajaknya adalah nihil dan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang juga nihil.
Jasa penukaran uang kecil yang dilakukan oleh bank dikenakan PPN (Surat Dirjen Pajak No.S56/PJ.53/2004). Dasar Pengenaan Pajaknya adalah jumlah kompensasi jasa/fee (imbalan) yang diterima
oleh bank tersebut.
Penyerahan barang dalam rangka pembagian hadiah berupa barang (melalui penukaran poin yang
terkumpul) oleh perusahaan perbankan penerbit kartu kredit kepada para nasabahnya melalui
Membership Reward Program yang dikaitkan dengan penggunaan kartu kredit/kartu tagih, terutang
PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar harga pasar wajar barang tersebut (Surat Dirjen Pajak No. S777/PJ.322/2003).
Jasa Penagihan Listrik dan Telepon yang Dilakukan oleh Bank (Surat Dirjen Pajak Nomor S947/PJ.53/2005)
Persewaan ruangan (gedung perkantoran atau rumah tinggal), termasuk persewaan safety box, jasa
persewaan barang-barang bergerak lainnya, jasa konsultasi, jasa riset, jasa makelar/pialang, jasa
keagenan, jasa penaksiran (appraisal), jasa manajemen, dan sejenisnya terutang PPN meskipun jasa-jasa
ini dilakukan oleh bank dan LKBB sebagai bagian dari usaha dengan perizinan yang diperolehnya (SE15/PJ.5/1990).
Penyerahan jasa perdagangan, seperti (SE-15/PJ.5/1990):
mempersiapkan penerbitan dan penjualan surat-surat berharga,
bertindak sebagai dealer surat-surat berharga,
bertindak sebagai perantara untuk mendapatkan kompanyon/partner joint venture, mendapatkan tenaga
ahli, atau mendapatkan pinjaman bagi pihak lain, dan
konsultasi dalam bidang pembiayaan, investasi, dan manajemen.
sumber : http://slidepajak.wordpress.com/2010/07/23/aspek-perpajakan-pada-bidang-usaha-perbankan/

Seri PPh - Bunga yang merupakan Objek Pajak PPh Pasal 23 (Tidak Final)
Jumat, 6 Juli 2012 - 17:51
Dasar Hukum
1. Pasal 4 Ayat (1) Huruf f, Pasal 4 Ayat (3) huruf f, Pasal 23 , Pasal 17 Ayat (2c) UU Nomor 36
Tahun 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan
2. PP 94 TAHUN 2010 sebagai pengganti PP 138 Tahun 2000 (berlaku sejak 30 Desember 2010)
tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan PPh dalam Tahun Berjalan
3. PMK-251/PMK.03/2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang Penghasilan atas Jasa Keuangan
yang Dilakukan oleh Badan Usaha yang Berfungsi sebagai Penyalur Pinjaman dan/ atau
Pembiayaan yang Tidak Dilakukan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23
4. PER-38/PJ./2009 (berlaku sejak 1 Juli 2009) tentang Bentuk Formulir Surat Setoran Pajak
Objek PPh Pasal 23

Objek PPh Pasal 23 adalah bunga dan imbalan lainnya termasuk premium maupun diskonto yang
merupakan bunga antar pinjaman yang diterima atau diperoleh oleh WP OP DN maupun WP Badan DN
dari pihak pembayar bunya yang merupakan pemotong PPh Pasal 23
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang.

Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya. Premium
merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi.

Diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Diskonto merupakan
penghasilan bagi yang membeli obligasi.
Bunga Yang Tidak Dipotong PPh Pasal 23
1. Jika penghasilan dibayar/ terutang kepada Bank (karena dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal
23 sesuai Pasal 23 ayat (4) huruf a UU Nomor 36 Tahun 2008)
2. Jika penghasilan dibayar/ terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai
penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK251/PMK.03/2008). (karena dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23 sesuai Pasal 23 ayat (4)
huruf h UU Nomor 36 Tahun 2008). Keterangan:
a. Penghasilan yang dibayar/ terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan penyalur
pinjaman dan/ atau pembiayaan yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23 adalah
penghasilan berupa bunga atau imbalan lain yang diberikan atas penyaluran pinjaman
dan/atau pemberian pinjaman (termasuk pembiayaan berbasis syariah) (Pasal 1 ayat (2)
PMK-251/PMK.03/2008).
b. Badan Usaha yang dimaksud terdiri dari: (Pasal 1 ayat (3) PMK-251/PMK.03/2008).

Perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha diluar Bank dan lembaga
keuangan bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang
termasuk bidang usaha lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin usaha
dari Menteri Keuangan.

Badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah yang khusus didirikan
untuk memberikan sarana pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi, termasuk PT (Persero) Permodalan Nasional Madani.

3. Bunga Deposito, Tabungan (yang didapatkan dari Bank), dan Diskonto SBI (karena termasuk
pemotongan PPh Pasal 4(2))
4. Bunga Obligasi (karena termasuk pemotongan PPh Pasal 4(2))
5. Bunga simpanan yang dibayarkan Koperasi kepada anggota koperasi Orang Pribadi (WP OP)
(karena termasuk pemotongan PPh Pasal 4(2))
Tarif

1. 15% dari Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final


2. Dalam hal WP yang menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal
23 tidak memiliki NPWP, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% daripada tarif
yang seharusnya Pasal 23 ayat (1a) UU Nomor 36 Tahun 2008)
Saat Terutang Atau Saat Pemotongan
1. Saat Pemotongan : Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 UU PPh dilakukan pada akhir bulan
dibayarkannya penghasilan, disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau jatuh temponya
pembayaran penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(PP 94 Tahun 2010 Pasal 15 ayat (3)
2. Saat Terutang : Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 UU PPh adalah pada saat
pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh tempo (seperti: bunga
dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (seperti: royalti,
imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa lainnya). (Penjelasan PP 94 Tahun 2010 Pasal
15 ayat (3)
Yang dimaksud dengan "saat jatuh tempo pembayaran" (seperti : untuk bunga atau sewa) adalah saat
kewajiban untuk melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.
Pinjaman Tanpa Bunga Dari Pemegang Saham
1. Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan
terbatas diperkenankan apabila:
a. Pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal
dari pihak lain;
b. modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor
seluruhnya;
c. pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan
d. perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk
kelangsungan usahanya.
2. Apabila pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang
sahamnya tidak memenuhi ketentuan ini,maka atas pinjaman tersebut terutang bunga dengan
tingkat suku bunga wajar.
Yang dimaksud dengan "tingkat suku bunga wajar" adalah tingkat suku bunga yang berlaku yang
ditetapkan sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman (best practice) jika transaksi dilakukan di
antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4)
UU PPh.

Anda mungkin juga menyukai