BATUBARA KOKAS INDONESIA: SEMUA PIHAK HARUS MENGAKUINYA
oleh: Chairul Nas (pemerhati batubara)
Dulu (duapuluh tigapuluh tahun yang lalu) kita menganggap bahwa di Indonesia tidak terdapat endapan batubara kokas. Anggapan ini dikarenakan, pada waktu itu bila kita bicara batubara kokas kita selalu mengacu kepada batubara Australia dan kenyataannya hampir semua batubara kita mengandung inertinite yang sangat rendah yang memang diperlukan di dalam campuran batubara pembuat kokas. Namun, kandungan inertinite bukanlah satu-satunya factor terpenting bagi batubara yang cocok dibuat kokas; faktor lain yang juga penting adalah sifat fluiditas dan komposisi abu dari batubara kokas. Batubara Indonesia punya kelebihan dalam fluiditas sementara batubara Australia (yang termasuk Gondowana coal) memiliki kelemahan dalam fluiditas sehingga batubara kita sangat diperlukan dalam campuran batubara pembuat kokas. Selain Meruwai yg baru akan mau menambang (entah kapan), beberapa tambang batubara sudah ada yg menghasilkan batubara kokas seperti: Marunda Graha Mineral (MGM) dan AKT di Kalteng, sebagian batubara Bayan dan KSM, beberapa tambang baru di hulu Mahakam (di daerah Mamahak). Sayapun agak kaget mendapat data dari publikasi-publikasi International Energy Agency (IEA thn 2008) dan World Coal Institute (WCI tahun 2009) yang menyebutkan Produksi Coking Coal Indonesia thn 2007 sebesar 31 juta ton yang oleh WCI disebut sebagai pengeksport coking coal nomor 3 terbesar di dunia (2008) setelah Australia (137 juta ton) dan USA (39 juta ton). Data ini sudah pernah saya cek di Direktorat Jendral Minerba; kawan-kawan disana menjelaskan bhw kantornya tidak pernah mengeluarkan data seperti itu; jadi apa sebenarnya yg terjadi? Ada beberapa kemungkinan: 1. Definisi coking coal yg digunakan oleh IEA dan WCI tidak sama dengan definisi baku batubara; 2. IEA memperoleh data dari end-users batubara Indonesia di luar negeri; 3. Ekspor batubara bituminous kita mungkin ada yg memenuhi kriteria coking coal, tapi kita menjualnya hanya sebagai steaming coal (thermal coal), karena pikiran kita memang sudah sejak lama dirasuki oleh paradigma lama bhw "di Indonesia tidak ada coking coal". 4. Selama ini kita selalu meng-underestimate batubara kita dengan menyatakan bahwa batubara Indonesia tidak sama dengan batubara coking coal Australia (yg kaya akan inertinite), sehingga pemerintah melalui ESDM (Minerba) tidak menyadari bahwa kitapun punya prime coking coal yg bisa dijual dengan harga yg sama dengan coking coal Australia. Jika kasusnya adalah nomor 2, 3, dan 4, maka selama ini telah terjadi "transfered pricing" yang sangat merugikan negara kita. Oleh sebab itu saya mengusulkan: segera lakukan penelitian atau kajian potensi dan kualitas batubara kokas di seluruh Indonesia. Setelah itu lakukan pengawasan yg ketat terhadap produksi dan penjualannya. Sungguh sangat beruntung, usul ini langsung ditanggapi secara positif oleh Ibu Dr. Fatimah dari Badan Geologi-ESDM, dimana dlm waktu dekat mereka akan merencanakan penelitian dan kajian batubara kokas di seluruh Indonesia. Yang saya lakukan sampai saat ini adalah tidak bosan-bosannya mensosialisasikan bhw kita juga punya batubara kokas. Sebagai contoh, waktu saya jadi penasehat direksi PTBA 10 tahun yg lalu, saya pernah menyatakan dengan tegas: Jika PTBA menjual coking coal sebagai thermal coal karena ketidaktahuannya, maka perusahaan ini telah merugikan negara secara signifikan. Hal ini saya sampaikan karena saya melihat indikasi bahwa konsesi batubara PTBA di Bukit Asam juga punya potensi kandungan batubara kokas. Saya pun sudah mulai menulis mengenai keterdapatan dan potensi batubara kokas di Indonesia semenjak tahun 2005 pada Seminar Internasional yang diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) di Bogor, dan diulangi lagi tahun 2010 pada Seminar Nasional Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia (MGEI) di Balikpapan. Tidak bosanbosannya, pada tahun yang sama saya juga memberanikan diri presentasi tentang Quality of Indonesian Coking Coal pada Seminar CoalTrans di Hotel Hyat Jakarta. Karena masih dirasakan belum berdampak signifikan, tahun 2011 sayapun nekad menyajikan makalah tentang kualitas batubara kokas Indonesia dihadapan 300 ahli geologi dan tambang di Newcastle NSW Australia. Walaupun sulit, saya harus terus mencoba, dengan harapan suatu saat nanti (tentu pelan-pelan) semuanya akan sadar akan potensi kekayaan geologi kita ini.