Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PERKEMBANGAN MORAL DAN SOSIAL PADA


ANAK USIA SEKOLAH DASAR

OLEH :
ANGGI EKO JANUARDI
NOFI REZKIANI

KELAS: 5B Reguler

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH
DASAR
UNIVERSITAS TANJUNG PURA

PONTIANAK
2015/2016
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah swt. atas limpahan rahmat dan
taufik- nyalah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul,
PERKEMBANGAN MORAL DAN SOSIAL PADA ANAK USIA SD ini tepat
pada waktunya.
Makalah ini berisikan tentang informasi prilaku bermoral anak usia SD
yang dapat diterima oleh kelompok sosialnya . Kami menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Pontianak, 5 Oktober 2016 2016

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah........................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Perkembangan moral pada anak usia SD........................................................3
B. Penyesuaian diri dan penerimaan social pada usia SD ..................................13
C. Perkembangan peran gender pada anak usia SD .............................................14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................. 18
B. Saran............................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................19

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan yang terjadi pada anak meliputi segala aspek
kehidupan yang mereka jalani baik bersifat fisik maupun non fisik.
Perkembanmgan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi
sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman.
Beberapa teori perkembangan manusia telah mengungkapkan
bahwa manusia telah tumbuh dan berkembang dari masa bayi kemasa
dewasa melalui beberapa langkah jenjang. Kehidupan anak dalam
menelusuri perkembangnya itu pada dasarnya merupakan kemampuan
mereka berinteraksi dengan lingkungan. Dalam proses sosialisai, anak
menunjukkan perilaku sesuai aturan aturan sosial yang ditentukan. Anak
pun mulai membutuhkan teman dekat, yaitu teman sebagai orang yang
dapat membantu jika dibutuhkan.
Dalam menyesuaikan diri dengan kelompoknya, anak pun belajar
tentang peran gender. Gender dipersoalkan karena secara sosial telah
melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi serta ruang
aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut
akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih
perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol dalam hasil pembangunan
laki-laki dan perempuan. Adanya peran yang berbeda membuat adanya
aturan bagi anak laki-laki dan perempuan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan moral pada anak usia SD?
2. Bagaimana penyesuaian diri dan penerimaan social pada anak usia
SD?

3. Bagaiman perkembangan peran gender pada anak usia SD?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui perkembangan moral pada usia SD
2. Untuk mengetahui bentuk penyesuaian diri dan penerimaan social pada
anak usia SD
3. Untuk mengetahui perkembangan peran gender pada anak usia SD

BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Moral pada Anak usia SD


1. Pengertian Perilaku Moral
Menurut Taufiq Agus dkk (2008:4.3) mengatakan bahwa perilaku
moral berarti perilaku yang menyesuaikan dengan kode moral dari
kelompok

sosialnya.

latin; mores berarti

Moral

itu

tatakrama

atau

sendiri

berasal

kebiasaan.

dari

bahasa

Perilaku

moral

dikendalikan oleh konsep moral, yakni aturan-aturan dalam bertingkah


laku, di mana anggota masyarakat berperilaku sesuai dengan pola
perilaku

yang

diharapkan

oleh

masyarakatnya,

sedangkan

perilaku inmoral adalah perilaku yang gagal menyesuaikan pada harapan


sosial. Perilaku tersebut tidak dapat diterima oleh norma-norma sosial,
perilaku yang unmoral adalah perilaku yang tidak menghiraukan harapan
dari kelompok sosialnya. Perilaku ini cenderung terlihat pada anak-anak.
Ketika masih kanak-kanak, anak tidak diharapkan untuk mengenal
seluruh tata krama dari suatu kelompok. Begitu anak-anak memasuki usia
remaja dan menjadi anggota suatu kelompok, anak dituntut untuk
bertingkah laku sesuai dengan kebiasaan kelompoknya. Tingkah laku
yang sesuai dengan aturan tidak hanya sesuai dengan dasr-dasar yang di
tetapkan secara sosial tetapi juga perlu diikuti secara sukarela. Hal ini
terjadi dari otoritas ekstarnal maupun internal. Dalam perkembangan
moralnya kelak anak harus belajar mana yang benar dan mana yang salah.
Kemudian, begitu anak bertambah besar, ia juga harus tahu alasan
mengapa sesuatu dianggap benar sementara yang lain tidak. Dengan
demikian, anak perlu dilibatkan dalam aktivitas kelompok, tetapi yang

terpenting tetap perlu mengembangkan harapan melakukan mana yang


baik dan mana yang buruk.

2. Cara Mempelajari Moral


Konsep moral pada usia pendidikan tingkat dasar tidak lagi
sesempit seperti awal masa kanak-kanak. Pada awal masa kanak-kanak,
anak berperilaku moral dalam berbagai situasi yang khusus saja. Anak
belajar bagaimana bertindak tanpa mengetahui mengapa melakukan
tindakan tertentu. Sedangkan ketika memasuki usia sekolah mereka mulai
memperluas pengetahuannya sehingga perilaku tertentu muncul pada
situasi apa saja, contohnya tidak berbohong bukan hanya kepada orang
tua saja. Pada saat ini anak belajar bahwa berbohong adalah tindakan
yang tidak dapat diterima oleh kelompok sosialnya.
Piaget dan Kohlberg dalam Taufik dkk (2008:4.4) mengemukakan
tahap-tahap perkembangan moral antara anak usia 5 tahun dan 12 tahun,
konsep anak mengenai keadilan sudah tumbuh. Pengertian yang kaku
tentang benar dan salah yang dipelajari dari orang tua menjadi berubah
dan anak mulai memperhitungkan keadaan khusus di sekitar pelanggaran
moral.
Hurlock dalam Taufik dkk (2008:4.4)mengemukakan bahwa dalam
perkembangan moral ada 4 elemen yang harus diketahui, yaitu berikut
ini.
a. Peran

hukum,

Kebiasaan/Tata

Krama

dan

Aturan

dalam

Perkembangan Moral
Elemen pertama yang penting dalam belajar menjadi invidu
yang bermoral adalah belajar apa yang diharapkan kelompok. Dalam

setiap kelompok sosial beberapa perilaku dapat dianggap benar atau


salah karena berkaitan dengan kesejahteraan anggota kelompoknya.
Ketika masa kanak-kanak, anak tidak terlalu dituntut untuk
tunduk pada hukum dan kebiasaan sebagaimana yang diharapkan
pada anak yang lebih besar. Setelah memasuki usia sekolah, anak
mulai diajarkan sdikit demi sedikit hukum yang berlaku di
lingkungannya, misalnya menunjukkan sopan santun pada orang yang
lebih tua, membantu mereka yang cacat. Di sekolah mereka belajar
dan patuh pada aturan sekolah, begitu pula dalam bermain dengan
teman sebaya.
Secara perlahan, anak belajar aturan yang dibentuk oleh
berbagai kelompok yang berbeda, sepertidi rumah, sekolah, dan
lingkungan

rumah/tetangga.

Hal

ini

membentuk

dasar

dari

pengetahuan mengenai apa yang diharapkan oleh kelompok yang


berbda. Mereka juga belajar bahwa mereka diharapkan untuk taat
pada aturan dan juga melanggar akan mendapat hukuman atau
kurangnya penerimaan sosial. Dengan demikian, aturan merupakan
pedoman bagi perilaku anak dan sebagai sumber dari motivasi untuk
taat pada harapan sosial sebagaimana hukum dan alat kebiasaan bagi
remaja dan orang dewasa.
b. Peran Kata hati dalam Perkembangan Moral
Kata hati merupakan kontrol internal (dalam diri) terhadap
tingkah laku seseorang. Tidak ada anak yang lahir dengan kata hati
tertentu dan setiap anak tidak hanya belajar mengenai apa yang benar
dan apa yang salah, tetapi anak harus menggunakan kata hatinya
sebagai kontrol terhadap tingkah lakunya. Hal ini merupakan salah
satu tugas perkembangan yang penting di masa anak usia sekolah.
Kata hati merupakan sesuatu yang kompleks bagi anak-anak. Oleh

karena itu, pada awalnya tingkah laku mereka lebih banyak dikontrol
oleh lingkungan. Terjadi pergantian yang perlahan-lahan dari
lingkungan kontrol yang sudah terinternalisasi, pada saat itulah
transisi sudah lebih lengkap.
c.

Peran Rasa Bersalah dan Malu dalam Perkembangan Moral


Setelah anak mengembangkan kata hati maka kata hati akan
dipergunakan sebagai pedoman bagi tingkah laku mereka. Jika
tingkah laku mereka tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan
oleh kata hatinya maka mereka akan merasa bersalah, malu atau
keduanya.
Dalam perilaku bermoral, rasa bersalah perlu ada. Seseorang
harus taat pada kebiasaan atau tata krama dari kelompok melalui
standar pengarahan dalam diri. Ausubel (dalam Taufiq dkk, 2008)
mengemukakan

bahwa

rasa

bersalah

merupakan

mekanisme

psikologis yang penting, dimana perilaku seseorang menjadi sesuai


dengan kebudayaannya. Rasa bersalah juga merupakan alat yang
penting bagi kelangsungan hidup budaya karena memungkinkan
individu

untuk

berperilaku

sesuai

dengan

nilai-nilai

moral

masyarakat. Jika anak tidak merasa bersalah, anak akan menjadi tidak
termotivasi untuk belajar apa yang diharapkan kelompok pada
dirinya.
d.

Peran Interaksi Sosial dalam Perkembangan Moral


Interaksi sosial memegang peran penting dalam perkembangan
moral anak karena dapat memberikan dasar-dasar dari tingkah laku
yang diterima masyarakat, memberikan motivasi melalui apa yang
diterima dan tidak diterima kelompok. Jika anak itu berinteraksi
dengan lingkungannya, anak tidak akan tahu tingkah laku apa yang
akan diterima.
9

Interaksi sosial pertama yang dialami anak adalah melalui


kehidupan dilingkungan keluarganya, anak belajar dari keluarganya
mengenai apa yang dianggap baik dan buruk oleh mereka. Melalui
pengabaian sosial/hukuman dan penerimaan/ penghargaan atas
perilakunya, anak memperoleh gambaran dan termotivasi untuk taat
pada dasar perilakunya, yang diterima oleh anggotakeluarganya.
Begitu lingkungan menjadi lebih luas, anak juga belajar bahwa dasar
yang diperoleh dari lingkungan kadang sama, tetapi kadang-kadang
berbeda dengan apa yang mereka peroleh dari kelompok juga semakin
besar.

Jika ada perbedaan antara standar moral dilingkungan rumah


dengan lingkungan kelompok maka anak cenderung lebih menerima
standar yang ditetapkan oleh kelompok dan menolak apa yang telah
ditetapkan oleh keluarganya. Di lingkungan sekolah, dimana guru
lebih berperan dalam mengontrol tingkah lakunya.
Melalui interaksi sosial, anak tidak hanya belajar mengenal
kode-kode moral, tetapi mereka juga berkesempatan untuk belajar
mengevaluasi tingkah laku mereka. Jika evaluasi menyenangkan
maka anak akan termotivasi untuk taat pada standar moral yang telah
ditetapkan lingkungan. Jika evaluasi tidak menyenangkan maka anak
akan mengubah standar moral mereka dan menerima apa yang
diharapkan lingkungan padanya.
3. Pengertian Disiplin
Konsep umum dari disiplin disamakan dengan hukuman. Konsep
ini menyatakan bahwa disiplin digunakan jika anak melanggar aturanaturan yang ditetapkan oleh orang tua, guru ataupun orang dewasa
lainnya. Disiplin merupakan cara masyarakat mengajarkan anak
10

berperilaku moral yang diterima oleh masyarakatnya. Tujuan dari disiplin


adalah membentuk perilaku yang sesuai dengan kelompok sosialnya.
Walaupun demikian, ada orang tua yang takut bahwa dengan menerapkan
disiplin akan menimbulkan masalah dalam hubungan dengan anakanaknya. Oleh karena itu ada konsep yang bertetangan tentang disiplin itu
sendiri. Konsep yang memandang disiplin sebagai konsep negatif, berarti
sama dengan hukuman. Sedangkan konsep positif sama dengan adanya
pendidikan, bimbingan dalam menetapkan disiplin diri dan kontrol itu.

4. Pentingnya Disiplin Bagi Anak


Disiplin adalah penting bagi perkembangan anak karena berisi halhal yang diperlukan anak. Disiplin akan menambah kebahagian,
penyesuaian sosial dan pribadi mereka. Menurut Taufiq dkk (20008:4.7)
ada empat kebutuhan anak yang dapat dipenuhi melalui disiplin yaitu.
a. Disiplin membuat anak-anak mempunyai perasaan aman tentang apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
b. Anak belajar mengapa pola perilaku tertentu diterima dan mengapa
pola perilaku lain tidak diterima.
c. Melalui disiplin anak-anak dibantu untuk hidup sesuai dengan normanorma sosial. Anak-anak belajar berperilaku dengan cara tertentu yang
dapat memperoleh pujian, di mana anak-anak mengartikan sebagai
dicintai-diterima. Hal ini mendorong anak untuk mengulang perilaku
yang baik.
d. Anak-anak pun akan mengembangkan kata hati untuk membuata
keputusan dan pengendalian dari perilakunya.

11

Menurut Hurlock (dalam Taufik dkk, 2008:4.7) mengatakan hal-hal


yang penting dari disiplin untuk anak-anak usia pendidikan tingkat dasar
adalah sebagai berikut.
a. Alat untuk membentuk moral
Pengajaran baik dan buruk perlu ditekankan pada alasan
mengapa beberapa pola tingkah laku diterima sementara yang lain
tidak, dan penjelasan langsung perlu untuk membantu anak memiliki
konsep yang lebih luas.
b. Penghargaan
Penghargaan memiliki nilai pendidikan yang kuat bagi anak
jika anak bertingkah laku benar dan dapat memotifasi anak untuk
mengulang kembali tingkah laku yang diharapkan. Dengan demikian,
penghargaan

merupakan

hal

yang

efektif

maka

pemberian

penghargaan juga harus tepat disesuaikan dengan usia anak dan


tingkat perkembangannya.
c. Hukuman
Sebagaimana penghargaan, hukuman perlu dikembangkan
secara cepat. Hukuman juga harus dapat memotivasi anak agar taat
pada harapan sosial di kemudian hari.
d. Konsistensi
Disiplin yang baik adalah disiplin yang diberikan secara
konsisten. Apa yang benar saat ini juga benar di saat yang lain.
Tingkah laku yang salah jika diulang, perlu mendapat hukum yang
sama setiap saat, dan tingkah laku yang benar perlu mendapat
penghargaan yang sama pula.

12

Dengan

demikian,

dapat

disimpulkan

bahwa

dalam

menerapkan disiplin hendaknya disesuaikan dengan perkembangan


anak. Seorang anak akan cocok pada suatu disiplin, tetapi mungkin
anak yang lain tidak sesuai. Pemberian disiplin tergantung pada
dimana biasanya muncul permasalahan. Oleh karena itu, disiplin
sebaiknya mulai diberikan dalam hubungan dengan kegiatan rutin
sehari-hari, seperti acara makan, tidur ataupun kebiasaan belajar.
5. Pemberian Hukuman dan Penghargaan
Menanamkan aturan-aturan dan disiplin melalui hukuman dan
penghargaan tampaknya tidak dapat diabaikan. Dengan hukuman, anak
belajar mengapa ia dihukum dan anak akan lebih memahami mengapa
perbuatan yang dilakukan itu salah. Adanya hukuman membuat anak
tidak akan mengulangi perilaku yang salah tersebut sehingga anak belajar
tentang baik buruk perilakunya.

Pemberian hukuman pun hendaknya segera, konsisten dan


konstruktif dengan alasan yang jelas. Adapun pemberian hukuman dapat
berfungsi untuk. (1) membatasi anak agar tingkah laku yang tidak
diulangi, (2) mendidik, dan (3) motivasi, untuk menghindari terjadinya
tingkah laku sosial yang tidak diinginkan.
Menurut Strommen dkk (dalam Taufiq dkk 2008:4.9) mengatakan
bahwa bentuk hukuman dapat berbentuk hukuman fisik (misalnya
pukulan), mengisolasi anak selama beberapa waktu (misalnya tidak
menonton acara TV yang disukai). Meskipun demikian, pemberian
hukuman fisik tampaknya sudah tidak terlalu efektif, itulah sebabnya akan
lebih baik dan efektif jika pemberian hukuman disertai pula penjelasan
mengapa tingkah laku dilarang.

13

Secara psikologis pemberian hukuman juga tidak akan merusak


anak, sejauh berkaitan/seimbang dengan tingkah laku yang diberi
hukuman. Pemberian hukuman yang terlalu sering juga tidak terlalu baik
karena akan berakibat negatif pada diri anak. Dari beberapa penelitian
menunjukkan bahwa orang tua yang sering menghukum anaknya
mengakibatkan anak belajar pola-pola tingkah laku yang tidak sehat,
seperti suka menyerang yang tidak terkontrol, tidak bisa berkomunikasi
secara efektif, takut pada otoritas, menghindar dari interaksi sosial, tidak
mampu mengekspresikan emosinya secara positif, merasa bersalah dan
harga diri rendah. Selain itu juga perkembangan sosial dan intelektualnya
juga terlambat. Jika anak menjadi orang tua, kelak akan menjadi orang tua
yang sering menghukum anaknya (Gardon & Gardon dalam Strommen,
1983).
Dengan demikian, orang tua maupun guru harus menghukumanak/
peserta didiknya maka mereka harus hati-hati agar dampak negatif tidak
terjadi pada diri anak. Untuk anak usia sekolah lebih baik dan lebih efektif
jika disertai dengan pemberian alasan mengapa orang tua/guru
menghukum anak.
Jika hukuman orang tua/guru ditinjau dari sudut pandang anak
tanpa alasan yang spesifik maka anak tidak akan memahami hubungan
antara apa yang telah dilakukan dengan hukuman yang diperoleh atau
anak juga tidak paham mengapa mengapa tingkah lakunya tidak diterima.
Misalnya, mengatakan pada anak bahwa ia dihukum karena kamu
jelek/buruk, justru akan membuat anak memiliki konsep diri/gambaran
diri yang buruk.
Secara singkat dapat dikatakan hukuman dapat merusak diri anak
tergantung dari pandangan orang tua/keluarga terhadap sudut pandang
anak mengenai hukuman yang diterimanya. Jika orang tua digambarkan
anak sebagai sosok yang penuh kasih sayang dan perhatian pada anak

14

maka pemberian hukuman dirasakan sebagai suatu kenyataan yang tidak


menyenangkan dalam kehidupan anak, dan bukan sebagai sesuatu yang
kejam dan penolakan.
Pemberian penghargaan pun sama dengan hukuman, yaitu
memotivasi anak untuk mengulangi perilaku yang baik yang dapat
diterima lingkungannya. Dengan demikian, anak akan lebih muda
menyesuaikan diri. Berikut ini Tufiq dkk (2008:4.10) mengatakan bahwa
fungsi dari pemberian penghargaan adalah sebagai berikut. (1). Nilai
mendidik karena pemberian penghargaan menunjukkan bahwa tingkah
laku anak adalah yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
lingkungannya. (2) Motivasi, agar tingkah laku yang diterima diulang
kembali. (3). Penguat, untuk tingkah laku yang diterima secara sosial.
Bentuk penghargaan berbentuk nonverbal, seperti senyuman,
pelukan, sedangkan berbentuk verbal seperti melalui ungkapan rasa puas
atau menghargai uasaha anak. Seain itu, tidak jarang pula

yang

memberikan penghargaan dalam bentuk pemberian hadiah. Pemberian


penghargaan

hendaknya

bervariasi

sehingga

anak

tidak

selalu

mengharapkan hadiah.

6. Arti Agama Bagi Peserta Didik Usia Sekolah


Tidak dapat disangkal bahwa perasaan keaagamaan termasuk
perasaan yang luhur dalam jiwa seseorang. Perasaan keagamaan
menggerakkan hati seseorang agar ia lebih banyak melakukan perbuatan
yang baik. Oleh karena itu, perlu perlu memperkenalkan agama sejak dini
pada anak-anak. Anak-anak mempunyai keyakinan beragama, yang
diperoleh dari lingkungan rumah ataupun sekolah misalnya anak-anak
diajarkan memikirkan Tuhan sebagai seseorang yang akan marah jika
anak-anak berbuat kesalahan dan akan menghukumnya untuk dosa yang
15

dilakukan. Di lain pihak, berbagai perayaan keagamaan dilingkungan


rumah atau sekolah juga diperkenalkan dengan anak misalnya bersalamsalaman untuk saling memaafkan setiap menjelang hari puasa,
memperkenalkan pada anak mengenai berbagai hari besar, seperti Idul
Fitri, Natal, Nyepi atau Waisak, juga memperkenalkan pada anak
mengenai berbagai tempat ibadah. Melalui pelajaran Agama dan PKn
(pendidikan Kewarganegaraan) peserta didik tingkat dasar (SD/MI) dapat
lebih memahami arti agama.
Bagaimana caranya? Dengan mengajarkan konsep keagamaan
diajarkan diajarkan dalam bahasa sehari-hari dan melalui pengalaman
sehari-hari, misalnya agar anak dapat memahami tata cara makan tidak
boleh sambil bicara, sebelum makan harus cuci tangan dan berdoa sebagai
pengungkapan rasa syukur pada Yang Maha Kuasa. Jika anak lengah
dengan yang pernah dipelajarinya maka sebagai orang tua maupun guru
perlu mengingatkan kembali. Dengan begitu anak tidak hanya sekadar
menghafal apa yang telah dipelajari, tetapi juga nilai-nilai yang diajarkan
dalam agama akan lebih tertanam dalam diri anak.
Dalam mengenal konsep keagamaan, anak akan menghindari
perbuatan buruk dan meningkatkan perbuatan baik. Anak akan
mempunyai keyakinan bahwa dengan berbuat baik ia akan masuk
surga, demikian pula sebaliknya.
Dalam hal ini anak berpikir tentang konsep Tuhan, surga, neraka,
malaikat ataupun dosa. Pada peserta didik tingkat dasar (SD/MI)
umumnya akan mempertaanyakan mengenai nilai dari ketaatan beragama
seperti berdoa atau sembahyang, yang kemudian akan meningkat pada
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan keyakinan beragama,
seperti surga atau neraka.
B. Penyesuaian Diri dan Penerimaan Sosial

16

1. Makna Perkembangan Sosial Bagi Anak Usia Sekolah Dasar


Perkembangan

social

mempunyai

arti

kemampuan

untuk

berprilaku sesuai dengan harapan harapan kelompok sosialnya. Dalam


hal ini, terjadi 3 proses sosialisasi, yang saling berkaitan. Kegagalan pada
salah satu proses akan menyebabkan tingkat sosialisasi indvidu rendah.
Ketiga proses tersebut adalah berikut ini.
a. Belajar untuk bertingkah laku sesuai dengan cara/norma yang berlaku
b. Bermain sesuai dengan peran social yang diharapkan
c. Mengembangkan sikap sikap social
2. Pola Pola Tingkah Laku yang Dapat Dipelajari dari Anggota Kelompok
Sebaya
a. Anak cenderung mengikuti kelompok sebayanya, ketimbang orang tua
maupun gurunya.
b. Terlalu peka/ sensitif.
c. Mudah terpengaruh teman lain.
d. Persaingan (baik persaingan antar anggota kelompok, kelompok
e.
f.
g.
h.

dengan kelompok lain, kelompok dengan masyarakat).


Hubungan yang baik.
Bertanggung jawab.
Kesadaran sosial (empati).
Diskriminasi sosial.

C. Perkembangan Peran Gender pada Anak Usia SD


1. Pengertian Peran gender
Jenis kelamin lebih menunjukkan pada dimensi biologis dari
menjadi

laki-laki

atau

perempuan.

Sementara

gender

menunjukkan dimensi sosial dari menjadi laki-laki atau perempuan. Dua


aspek dari gender yang perlu diketahui adalah identitas gender dan peran
gender. Identitas gender adalah suatu perasaan menjadi laki-laki atau
perempuan, dimana hal ini kebanyakan diperoleh anak begitu ia berusia 3

17

tahun. Sedangkan peran genderberisi harapan-harapan yang menunjukkan


bagaimana laki-laki atau perempuan harus berpikir, bertingkah laku, dan
merasakan.
Di lain pihak stereotype gender diartikan sebagai seperangkat
keyakinan (beliefs) tentang karakteristik yang sesuai menjadi perempuan
dan laki-laki. Misalnya begitu anak perempuan lahir, orang tua cenderung
memberikan perlakuan yang berbeda terhadap anak laki-laki maupun
perempuan. Warna-warna tertentu lebih cenderung ditujukan untuk anak
perempuan, sementara warna lain untuk laki-laki. Dengan berjalannya
waktu, perbedaan ini juga tampak dalam gaya potongan rambut, baju,
maupun jenis mainan. Selama masa perkembangannya, orang dewasa dan
kelompok sebaya memberikan dukungan atas perbedaan ini. Anak lakilaki diyakini cenderung dominan, agresif, independen dan anak peremouan
cenderung perhatian, sabar, tergantung.
Anak perempuan dan laki-laki belajar peran gender melelui meniru
atau mengamati lingkungannya, misalnya dengan memperhatikan apa
yang dilakukan dan dikatakan orang. Melalui orang tua anak belajar
mengenai peran gender, itulah sebabnya orang tua dikatakan sebagai sosok
yang paling berpengaruh dalam perkembangan gender. Sementara
kebudayaan, sekolah, kelompok sebaya, media masa, dan anggota
keluarga lainnya merupakn sosok lainnya dimana anak bias belajar peran
gender (Santrock, 1992). Berk (2000) mengatakan bahwa stereotype
gender dan peran gender dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, orang tua,
guru, mata pelajaran, ataupun teman sebaya.
Berikut ini dijelaskan mengenai apa yang dikemukakan oleh
Santrock (1992), hal ini perlu karena apa yang diungkapkan Santrock
berdasarkan teori belajar sosial mengenai gender.
a. Pengaruh orang tua
Orang tua berpengaruh dalam perkembangan gender, tampaknya
sudah tidak diragukan lagi. Ibu dan ayah secara psikologis berperan
dalam perkembangan gender anak. Ibu secara konsisten bertanggung
jawab terhadap pengasuhan, sementara ayah lebih berperan pada

18

interaksi bermain dengan anak dan bertanggung jawab menanamkan


agar anak laki-laki atau perempuan tunduk pada norma-norma budaya.
Tanpa disadari ayah merupakan bagian penting dalam
perkembangan peran gender daripada ibu karena ayah cenderung
bereaksi secara berbeda pada anak laki-laki maupun perempuan.
Banyak keluarga mendororng anak laki-laki dan perempuan untuk
terlibat dalam permainan dan kegiatan yang berbeda. Anak perempuan
umumnya bermain dengan boneka sampai ia mencapai usia sekolah,
jika sudah dewasa ia diharapkan dapat mengasuh atau terlibat dengan
hal-hal yang bersifat emosional daripada laki-laki. Sedangkan anak
laki-laki dilibatkan pada permainan yang bersifat agresif. Begitu
menginjak remaja, anak laki-laki lebih diberi kebebasan.
b. Pengaruh kelompok sebaya
Kelompok sebaya cenderung mendukung anak untuk terlibat
dalam aktivitas yang sesuai jenisnya. Kelompok cenderung mencela
anak yang terlibat dalam permainan yang tidak sesuai dengan jenis
kelaminnya. Tuntutan semacam ini akan semakin menonjol menjelang
masa remaja.
c. Pengaruh sekolah dan guru
Ketika memasuki usia sekolah, anak menyadari dan meyakini
bahwa ada beberapa stereotype, seperti pekerjaan, kepribadian ataupun
keinginan berprestasi. Ada keyakinan, anak laki-laki lebih unggul
dalam pelajaran matematika dan etletik, sedangkan anak perempuan
pada pelajaran seni, musik dan ketrampilan. Stereotype gender ini
menguatkan perilaku anak-anak perempuan yang diusia sekolah ntidak
menonjol pada pelajaran matematika.
d. Pengaruh media masa
Berbagai berita yang disajikan melalui media masa dapat
berpengaruh besar dalam perkembangan gender. Bagaimana cara
wanita tampil di televise, majalah atau Koran amat berbeda dengan
laki-laki, wanita lebih banyak ditampilkan di berbagai iklan.
Dari apa yang telah diutarakan di atas, tampak bahwa
berdasarkan pandangan/teori belajar sosial, perkembangan gender

19

dapat dipengaruhi oleh lingkungan atau pengalaman anak dengan


lingkungannya.

Sebetulnya

perkembangan

gender

juga

bisa

dipengaruhi oleh faktor biologis dan pemahaman kognitif. Namun,


semua penjelasan ini sangat tergantung dari sudut pandang kita sendiri.
Termasuk dalam kognisi sosial adalah pemahaman mengenai asumsiasumsi tentang sifat hubungan atau inferensi sosial, proses sosial, dan
perasaan orang lain.
2. Perkembangan peran gender pada siswa sekolah dasar
Pada usia sekolah, anak laki-laki mempunyai identifikasi
peran masculine, sedangkan anak perempuan lebih androgyny (yaitu
adanya ciri-ciri masculine dan feminine pada individu yang sama). Selain
memasak, menjahit, anak perempuan juga menyukai kegiatan olahraga,
terlibat dalam kegiatan ilmu pengetahuan alam. Orang tua ataupun guru
lebih toleran melihat anak perempuan menunjukkan peran gender lakilaki, tetapi tidak demikian sebaliknya. Anak laki-laki, seperti anak
perempuan menjadi ejekan.
Pada dasarnya memang ada perbedaan gender dalam kemampuan
mental

dan

kepribadian. Anak

perempuan

lebih

unggul

dalam

perkembangan bahasa namun lebih sensitive dan tergantung. Sedangkan


anak laki-laki unggul dalam kemampuan keuangan dan lebih agresif. Hal
ini berdasarkan pandangan bahwa anak perempuan cenderung lebih
banyak memanfaatkan otak sebelah kirinya, sedangkan anak laki-laki lebih
banyak memanfaatkan otak sebelah kanannya, yang banyak berkaitan
dengan spasial atau keruangan. Dari penelitian-penelitian yang telah
berlangsung sampai 1972 terkumpul bukti bahwa anggapan anggapan
berikut ini adalah tidak benar.
3. Mengembangkan stereotype nongender pada anak
Untuk

mengurangistereotype

gender

pada

anak-anak

perlu

dilakukan beberapa cara oleh orang tua dan guru. Misalnya orang tua
maupun guru dapat membantu anak-anak untuk mengenal peran gender
laki-laki dan perempuan. Orang tua atau guru hendaknya menghargai apa
pun yang dilakukan anak bukan karena dia laki-laki atau perempuan.

20

Contohnya, seorang wanita dapat menjadi presiden dan memahami


mengapa seorang ayah dapat pula merawat anak-anaknya dirumah,
menyiapkan makanan , dan lain-lain.
Anak juga perlu menyadari akan stereotype gender di masayaraakat.
Meskipun peran gender dalam masyarakat berbeda antara laki-laki dan
perempuan, namun peran tersebut dapat berganti tergantung situasi dan
kebutuhan yang ada. Misalnya banyak dijumpai lingkup pekerjaan atau
karier laki-laki ditekuni oleh perempuan. Dalam hal ini orang tua atau guru
perlu menjelaskan alas an pemilihan karier tersebut bahwa minat dan
keterampilan lebih menentukan pemilihan karier seseorang.
Demikian bahwa stereotipe peran gender juga merupakan kategori
luas yang merefleksikan kesandan keyakinan tentang apa perilaku yang
tepat untuk pria dan wanita (Santrock, tt: 197).

21

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam perkembangan moral, disiplin mempunyai peran penting.
Melalui disiplin anak beljar berperilaku sesuai dengan kelompok
sosialnya. Anak pun belajar perilaku yang dapat diterima dan tidak
dapat diterima dalm masyarakat. Dalam menanamkan disiplin,
hukuman dan penghargaan mempunyai andil. Hukuman akan
diberikan jika terjadi pelanggaran disiplin, anak pun belajr memahami
mengapa perilakunya salah dan anak tidak akan mengulangi perilaku
tersebut. Demikian pula dengan penghargaan adanya penghargaan
anak akan belajar mengulangi perilaku yang diterima lingkungannya.
Pemberian hukuman dan penghargaan atau penanaman disiplin
haruslah secara konsisten.
Begitu pula dengan perbedaan gendre bahwa orang tua maupun
guru harus dapat memahami apa yang dimaksud dengan gender, jenis
kelamin, dan apa yang harus dilakukan agar anak lebih memahami
meskipun peran gender dalam masyarakat berbeda, namun peran
tersebut dapat berganti bergantung pada situasi, kebutuhan, minat, dan
keterampilan yang dimiliki.
B. Saran
Dengan adanya makalah yang berjudul Perkembangan Moral
dan Sosial pada Anak Usia SD di harapkan dapat membantu pembaca
dan calon guru untuk nantinya dapat mengembangkan pendidikan moral
dan social serta dapat menyikapi perilaku yang terjadi pada peserta didik.

22

DAFTAR PUSTAKA

Taufiq Agus, dkk. (2008). Pendidikan Anak di SD. Jakarta: Pusat


Penerbitan Universitas Terbuka.

23

Anda mungkin juga menyukai