2Pernikahannya
6Wafatnya
7Referensi
8Pranala luar
dari Khadijah kepada Rasulullah s.a.w . Muhammad Al-Amiin muncul di rumah Khadijah.
Wanita usahawan itu Khadijah r.a. berkata: Hai Al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu!
(Suaranya ramah, bernada dermawan. Dengan sikap merendahkan diri tetapi tahu harga
dirinya)
Muhammad SAW berbicara lurus, terus terang, meskipun agak malu-malu tetapi pasti.
Muhammad SAW: Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bagianku dalam rombongan
niaga. Keluarga kami amat memerlukannya untuk mencarikan jodoh bagi anak saudaranya
yang yatim piatu (Kepalanya tertunduk, dan wanita hartawan itu memandangnya dengan
penuh ketakjuban). Khadijah: Oh, itukah. Muhammad, upah itu sedikit, tidak
menghasilkan apa-apa bagimu untuk menutupi keperluan yang engkau maksudkan. Tetapi
biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan calon isteri bagimu. (Ia berhenti sejenak,
meneliti). Kemudian meneruskan dengan tekanan suara memikat dan mengandung isyarat .
Khadijah r.a: Aku hendak mengawinkanmu dengan seorang wanita bangsawan Arab.
Orangnya baik, kaya, diinginkan oleh banyak raja-raja dan pembesar-pembesar Arab dan
asing, tetapi ditolaknya.
Kepadanyalah aku hendak membawamu. khadijah (Khadijah tertunduk lalu
melanjutkan): Tetapi sayang, ada aibnya! Dia dahulu sudah pernah bersuami. Kalau
engkau mau, maka dia akan menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu. Pemuda AlAmiin tidak menjawab. Mereka sama-sama terdiam, sama-sama terpaku dalam
pemikirannya masing-masing. Yang satu memerlukan jawaban, yang lainnya tak tahu apa
yang mau dijawab. Khadijah r.a tak dapat mengetahui apa yang terpendam di hati pemuda
Bani Hasyim itu, pemuda yang terkenal dengan gelaran Al-Amiin (jujur). Pemuda Al-Amiin
itupun mungkin belum mengetahui siapa kira-kira calon yang dimaksud oleh Khadijah r.a.
Rasulullah SAW minta izin untuk pulang tanpa sesuatu keputusan yang ditinggalkan.
Ia menceritakan kepada Pamannya. Pemuda al-Amin berkata: Aku merasa amat
tersinggung oleh kata-kata Khadijah. Seolah-olah dia memandang enteng dengan
ucapannya ini dan itu anu dan anu. Ia mengulangi apa yang dikatakan oleh perempuan
kaya itu. Atiqah juga marah mendengar berita itu. Dia seorang perempuan yang cepat naik
darah kalau pihak yang dinilainya menyinggung kehormatan Bani Hasyim.
Katanya: Muhammad, kalau benar demikian, aku akan mendatanginya.
Atiqah tiba di rumah Khadijah r.a dan terus menegurnya: Khadijah, kalau kamu mempunyai
harta kekayaan dan kebangsawan, maka kamipun memiliki kemuliaan dan kebangsawanan.
Kenapa kamu menghina puteraku, anak saudaraku Muhammad? Khadijah r.a terkejut
mendengarnya. Tak disangkanya bahwa kata-katanya itu akan dianggap penghinaan. Ia
berdiri menyabarkan dan mendamaikan hati Atiqah: Khadijah : Siapakah yang sanggup
menghina keturunanmu dan sukumu? Terus terang saja kukatakan kepadamu bahwa
dirikulah yang kumaksudkan kepada Muhammad Saw. Kalau ia mau, aku bersedia menikah
dengannya, kalau tidak, aku pun berjanji tak akan bersuami hingga mati. Pernyataan jujur
ikhlas dari Khadijah membuat Atiqah terdiam. Kedua wanita bangsawan itu sama-sama
cerah. Percakapan menjadi serius. Tapi Khadijah, apakah suara hatimu sudah diketahui
oleh sepupumu Waraqah bin Naufal? tanya Atiqah sambil meneruskan: Kalau belum
cobalah meminta persetujuannya.Ia belum tahu, tetapi katakanlah kepada saudaramu, Abu
Thalib, supaya mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum, dimana sepupuku
diundang, dan disitulah diadakan majlis lamaran.
Khadijah r.a berkata seolah-olah hendak mengatur siasat. Ia yakin Waraqah takkan
keberatan karena dialah yang menafsirkan mimpinya akan bersuamikan seorang Nabi akhir
zaman. Atiqah pulang dengan perasaan tenang, puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia segera
menyampaikan berita gembira itu kepada saudara-saudaranya: Abu Thalib, Abu Lahab,
Abbas dan Hamzah. Semua riang menyambut hasil pertemuan Atiqah dengan Khadijah: itu
bagus sekali, kata Abu Thalib. Tapi kita harus bermusyawarah dengan Muhammad SAW
lebih dulu.
dirham yang akan segera dibayarnya dengan tunai dari hartaku sendiri dan saudarasaudaraku.
Demi Allah SWT, sesungguhnya aku mempunyai firasat tentang dirinya bahwa sesudah ini,
yakni di saat-saat mendatang, ia akan memperolehi berita gembira (albasyaarah) serta
pengalaman-pengalaman hebat. Semoga Allah memberkati pernikahan ini.
Penyambutan untuk memeriahkan majlis pernikahan itu sangat meriah di rumah mempelai
perempuan. Puluhan anak-anak lelaki dan perempuan berdiri berbaris di pintu sebelah
kanan di sepanjang lorong yang dilalui oleh mempelai lelaki, mengucapkan salam marhaban
kepada mempelai dan menghamburkan harum-haruman kepada para tamu dan pengiring.
Selesai upacara dan tamu-tamu bubar, Khadijah (r.a) membuka isi hati kepada suaminya
dengan ucapan: Hai Al-Amiin, bergembiralah! Semua harta kekayaan ini baik yang bergerak
maupun yang tidak bergerak, yang terdiri dari bangunan-bangunan, rumah-rumah, barangbarang dagangan, hamba-hamba sahaya adalah menjadi milikmu. Engkau bebas
membelanjakannya ke jalan mana yang engkau redhai ![3]
Itulah sebagaimana Firman Allah SWT yang bermaksud: Dan Dia (Allah) mendapatimu
sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kekayaan. (Adh-Dhuhaa: 8)
Alangkah bahagianya kedua pasangan mulia itu, hidup sebagai suami isteri yang sekufu,
sehaluan, serasi dan secita-cita.