Anda di halaman 1dari 5

'Khadijah binti Khuwailid' (Bahasa Arab:, Khadijah al-Kubra[1]) (sekitar 555/565/570 619/623) merupakan isteri pertama Nabi Muhammad.

Nama lengkapnya adalah Khadijah


binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai. Khadijah al-Kubra, anak perempuan
dari Khuwailid bin Asad dan Fatimah binti Za'idah, berasal dari kabilah Bani Asad dari
suku Quraisy. Ia merupakan wanita as-Sabiqun al-Awwalun.
Daftar isi
[sembunyikan]

1Kelahiran & kehidupan keluarga

2Pernikahannya

3Khadijah yang baik dan cantik

4Nafisah binti Munyah

5Salam dari Tuhan-nya dan Jibril a.s

6Wafatnya

7Referensi

8Pranala luar

Kelahiran & kehidupan keluarga[sunting | sunting sumber]


Khadijah berasal dari golongan pembesar Mekkah. Menikah dengan Nabi Muhammad,
ketika berumur 40 tahun, manakala Nabi Muhammad berumur 25 tahun. Ada yang
mengatakan usianya saat itu tidak sampai 40 tahun, hanya sedikit lebih tua dari Nabi
Muhammad. Khadijah merupakan wanita kaya dan terkenal. Khadijah bisa hidup mewah
dengan hartanya sendiri. Meskipun memiliki kekayaan melimpah, Khadijah merasa kesepian
hidup menyendiri tanpa suami, karena suami pertama dan keduanya telah meninggal.
Beberapa sumber menyangkal bahwa Khadijah pernah menikah sebelum bertemu Nabi
Muhammad. Khadijah dikenal sebagai wanita suci di zamannya tatkala di antara
lingkungannya sudah kotor. Dia, Khadijah r.ha betul-betul pilihan Tuhan yang dipersiapkan
untuk menjadi istri Nabi Muhammad.[2]
Pada suatu hari, saat pagi buta, dengan penuh kegembiraan ia pergi ke rumah sepupunya,
yaitu Waraqah bin Naufal. Ia berkata, Tapada malam aku bermimpi sangat menakjubkan.
Aku melihat matahari berputar-putar di atas kota Mekkah, lalu turun ke arah bumi. Ia
semakin mendekat dan semakin mendekat. Aku terus memperhatikannya untuk melihat ke
mana ia turun. Ternyata ia turun dan memasuki rumahku. Cahayanya yang sangat agung itu
membuatku tertegun. Lalu aku terbangun dari tidurku". Waraqah mengatakan, Aku
sampaikan berita gembira kepadamu, bahwa seorang lelaki agung dan mulia akan datang
meminangmu. Ia memiliki kedudukan penting dan kemasyhuran yang semakin hari semakin
meningkat". Tak lama kemudian Khadijah ditakdirkan menjadi isteri Nabi Muhammad.

Pernikahannya[sunting | sunting sumber]


Khadijah pulang ke rumahnya dengan perasaan yang luar biasa gembiranya. Belum pernah
ia merasakan kegembiraan sedemikian hebat. Maka sejak itulah Khadijah senantiasa
bersikap menunggu dari manakah gerangan kelak munculnya sang pemimpin itu. Lamaran

dari Khadijah kepada Rasulullah s.a.w . Muhammad Al-Amiin muncul di rumah Khadijah.
Wanita usahawan itu Khadijah r.a. berkata: Hai Al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu!
(Suaranya ramah, bernada dermawan. Dengan sikap merendahkan diri tetapi tahu harga
dirinya)
Muhammad SAW berbicara lurus, terus terang, meskipun agak malu-malu tetapi pasti.
Muhammad SAW: Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bagianku dalam rombongan
niaga. Keluarga kami amat memerlukannya untuk mencarikan jodoh bagi anak saudaranya
yang yatim piatu (Kepalanya tertunduk, dan wanita hartawan itu memandangnya dengan
penuh ketakjuban). Khadijah: Oh, itukah. Muhammad, upah itu sedikit, tidak
menghasilkan apa-apa bagimu untuk menutupi keperluan yang engkau maksudkan. Tetapi
biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan calon isteri bagimu. (Ia berhenti sejenak,
meneliti). Kemudian meneruskan dengan tekanan suara memikat dan mengandung isyarat .
Khadijah r.a: Aku hendak mengawinkanmu dengan seorang wanita bangsawan Arab.
Orangnya baik, kaya, diinginkan oleh banyak raja-raja dan pembesar-pembesar Arab dan
asing, tetapi ditolaknya.
Kepadanyalah aku hendak membawamu. khadijah (Khadijah tertunduk lalu
melanjutkan): Tetapi sayang, ada aibnya! Dia dahulu sudah pernah bersuami. Kalau
engkau mau, maka dia akan menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu. Pemuda AlAmiin tidak menjawab. Mereka sama-sama terdiam, sama-sama terpaku dalam
pemikirannya masing-masing. Yang satu memerlukan jawaban, yang lainnya tak tahu apa
yang mau dijawab. Khadijah r.a tak dapat mengetahui apa yang terpendam di hati pemuda
Bani Hasyim itu, pemuda yang terkenal dengan gelaran Al-Amiin (jujur). Pemuda Al-Amiin
itupun mungkin belum mengetahui siapa kira-kira calon yang dimaksud oleh Khadijah r.a.
Rasulullah SAW minta izin untuk pulang tanpa sesuatu keputusan yang ditinggalkan.
Ia menceritakan kepada Pamannya. Pemuda al-Amin berkata: Aku merasa amat
tersinggung oleh kata-kata Khadijah. Seolah-olah dia memandang enteng dengan
ucapannya ini dan itu anu dan anu. Ia mengulangi apa yang dikatakan oleh perempuan
kaya itu. Atiqah juga marah mendengar berita itu. Dia seorang perempuan yang cepat naik
darah kalau pihak yang dinilainya menyinggung kehormatan Bani Hasyim.
Katanya: Muhammad, kalau benar demikian, aku akan mendatanginya.
Atiqah tiba di rumah Khadijah r.a dan terus menegurnya: Khadijah, kalau kamu mempunyai
harta kekayaan dan kebangsawan, maka kamipun memiliki kemuliaan dan kebangsawanan.
Kenapa kamu menghina puteraku, anak saudaraku Muhammad? Khadijah r.a terkejut
mendengarnya. Tak disangkanya bahwa kata-katanya itu akan dianggap penghinaan. Ia
berdiri menyabarkan dan mendamaikan hati Atiqah: Khadijah : Siapakah yang sanggup
menghina keturunanmu dan sukumu? Terus terang saja kukatakan kepadamu bahwa
dirikulah yang kumaksudkan kepada Muhammad Saw. Kalau ia mau, aku bersedia menikah
dengannya, kalau tidak, aku pun berjanji tak akan bersuami hingga mati. Pernyataan jujur
ikhlas dari Khadijah membuat Atiqah terdiam. Kedua wanita bangsawan itu sama-sama
cerah. Percakapan menjadi serius. Tapi Khadijah, apakah suara hatimu sudah diketahui
oleh sepupumu Waraqah bin Naufal? tanya Atiqah sambil meneruskan: Kalau belum
cobalah meminta persetujuannya.Ia belum tahu, tetapi katakanlah kepada saudaramu, Abu
Thalib, supaya mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum, dimana sepupuku
diundang, dan disitulah diadakan majlis lamaran.
Khadijah r.a berkata seolah-olah hendak mengatur siasat. Ia yakin Waraqah takkan
keberatan karena dialah yang menafsirkan mimpinya akan bersuamikan seorang Nabi akhir
zaman. Atiqah pulang dengan perasaan tenang, puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia segera
menyampaikan berita gembira itu kepada saudara-saudaranya: Abu Thalib, Abu Lahab,
Abbas dan Hamzah. Semua riang menyambut hasil pertemuan Atiqah dengan Khadijah: itu
bagus sekali, kata Abu Thalib. Tapi kita harus bermusyawarah dengan Muhammad SAW
lebih dulu.

Khadijah yang baik dan cantik[sunting | sunting sumber]


Sebelum diajak bermusyawarah, maka terlebih dahulu ia pun telah menerima seorang
perempuan bernama Nafisah, utusan Khadijah r.a yang datang untuk menjalin hubungan
kekeluargaan. Utusan peribadi Khadijah itu bertanya: Nafisah : Muhammad, kenapa engkau
masih belum berfikir mencari isteri? Muhammad SAW menjawab: Hasrat ada, tetapi
kesanggupan belum ada. Nafisah: Bagaimana kalau seandainya ada yang hendak
menyediakan nafkah? Lalu engkau mendapat seorang isteri yang baik, cantik, berharta,
berbangsa dan sekufu pula denganmu, apakah engkau akan menolaknya?
Pemuda al-Amiin (Rasulullah Saw): Siapakah dia?, tanya Muhammad (Saw).
Nafisah : Khadijah! Nafisah berterus terang. Asalkan engkau bersedia, sempurnalah
segalanya. Urusannya serahkan kepadaku! Usaha Nafisah berhasil. Ia meninggalkan putera
utama Bani Hasyim dan langsung menemui Khadijah (r.a), menceritakan kesediaan
Muhammad Saw. Setelah Muhammad Saw menerima pemberitahuan dari saudarasaudaranya tentang hasil pertemuan dengan Khadijah (r.a), maka baginda tidak keberatan
mendapatkan seorang janda yang usianya lima belas tahun lebih tua daripadanya. Betapa
tidak setuju, apakah yang kurang pada Khadijah? Ia wanita bangsawan, cantik, hartawan,
budiman.
Dan yang utama karena hatinya telah dibukakan Tuhan untuk mencintainya, telah
ditakdirkan akan dijodohkan dengannya. Kalau dikatakan janda, biarlah! Ia memang janda
umur empat puluh, tetapi janda yang masih segar, bertubuh ramping, berkulit putih dan
bermata jeli. Maka diadakanlah majlis yang penuh keindahan itu. Hadir Waraqah bin Naufal
dan beberapa orang-orang terkemuka Arab yang sengaja dijemput. Abu Thalib dengan
resmi meminang Khadijah r.a kepada saudara sepupunya. Orang tua bijaksana itu setuju.
Tetapi dia meminta tempoh untuk berunding dengan wanita yang berkenaan. Pernikahan
Muhammad dengan Khadijah, Khadijah r.a diminta pendapat. Dengan jujur ia berkata
kepada Waraqah: Hai anak sepupuku, betapa aku akan menolak Muhammad Saw padahal
ia sangat amanah, memiliki keperibadian yang luhur, kemuliaan dan keturunan bangsawan,
lagi pula pertalian kekeluargaannya luas.
Waraqah berujar :Benar katamu, Khadijah, hanya saja ia tak berharta. Sambut Khadijah
ra: Kalau ia tak berharta, maka aku cukup berharta. Aku tak memerlukan harta lelaki.
Kuwakilkan kepadamu untuk menikahkan aku dengannya. Waraqah bin Naufal kembali
mendatangi Abu Thalib memberitakan bahwa dari pihak keluarga perempuan sudah bulat
mufakat dan merestui bakal pernikahan kedua mempelai. Lamaran diterima dengan
persetujuan mas kawin lima ratus dirham. Abdullah bin Abu Quhafah (Abu Bakar AshShiddiq r.a), sahabat akrab Muhammad Saw sejak dari masa kecil, memberikan sumbangan
pakaian indah buatan Mesir, yang melambangkan kebangsawaan Quraisy, sebagaimana
layaknya dipakai dalam upacara adat istiadat pernikahan agung, apalagi karena yang akan
dinikahi adalah seorang hartawan dan bangsawan pula.
Peristiwa pernikahan Muhammad (SAW) dengan Khadijah (r.a) berlangsung pada hari
Jumat, dua bulan sesudah kembali dari perjalanan niaga ke negeri Syam. Bertindak
sebagai wali Khadijah r.a ialah pamannya bernama Amir bin Asad. Waraqah bin Naufal
membacakan khutbah pernikahan dengan fasih, disambut oleh Abu Thalib sebagai
berikut: Alhamdu Lillaah, segala puji bagi Allah Yang menciptakan kita keturunan (Nabi)
Ibrahim, benih (Nabi) Ismail, anak cucu Maad, dari keturunan Mudhar. Begitupun kita
memuji Allah SWT Yang menjadikan kita penjaga rumah-Nya, pengawal Tanah Haram-Nya
yang aman sejahtera, dan menjadikan kita hakim terhadap sesama manusia.
Sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, kalau akan ditimbang dengan
laki-laki manapun juga, niscaya ia lebih berat dari mereka sekalian. Walaupun ia tidak
berharta, namun harta benda itu adalah bayang-bayang yang akan hilang dan sesuatu yang
akan cepat perginya. Akan tetapi Muhammad , tuan-tuan sudah mengenalinya siapa dia.
Dia telah melamar Khadijah binti Khuwailid. Dia akan memberikan mas kawin lima ratus

dirham yang akan segera dibayarnya dengan tunai dari hartaku sendiri dan saudarasaudaraku.
Demi Allah SWT, sesungguhnya aku mempunyai firasat tentang dirinya bahwa sesudah ini,
yakni di saat-saat mendatang, ia akan memperolehi berita gembira (albasyaarah) serta
pengalaman-pengalaman hebat. Semoga Allah memberkati pernikahan ini.
Penyambutan untuk memeriahkan majlis pernikahan itu sangat meriah di rumah mempelai
perempuan. Puluhan anak-anak lelaki dan perempuan berdiri berbaris di pintu sebelah
kanan di sepanjang lorong yang dilalui oleh mempelai lelaki, mengucapkan salam marhaban
kepada mempelai dan menghamburkan harum-haruman kepada para tamu dan pengiring.
Selesai upacara dan tamu-tamu bubar, Khadijah (r.a) membuka isi hati kepada suaminya
dengan ucapan: Hai Al-Amiin, bergembiralah! Semua harta kekayaan ini baik yang bergerak
maupun yang tidak bergerak, yang terdiri dari bangunan-bangunan, rumah-rumah, barangbarang dagangan, hamba-hamba sahaya adalah menjadi milikmu. Engkau bebas
membelanjakannya ke jalan mana yang engkau redhai ![3]
Itulah sebagaimana Firman Allah SWT yang bermaksud: Dan Dia (Allah) mendapatimu
sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kekayaan. (Adh-Dhuhaa: 8)
Alangkah bahagianya kedua pasangan mulia itu, hidup sebagai suami isteri yang sekufu,
sehaluan, serasi dan secita-cita.

Nafisah binti Munyah[sunting | sunting sumber]


Ketika Nabi Muhammad masih muda dan dikenal sebagai pemuda yang lurus dan jujur
sehingga mendapat julukan Al-Amin, telah diperkenankan untuk ikut menjualkan barang
dagangan Khadijah. Hal yang lebih banyak menarik perhatian Khadijah adalah kemuliaan
jiwa Nabi Muhammad. Khadijah lah yang lebih dahulu mengajukan permohonan untuk
meminang Dia, yang pada saat itu bangsa Arab jahiliyah memiliki adat, pantang bagi
seorang wanita untuk meminang priadan semua itu terjadi dengan adanya usaha orang
ketiga, yaitu Nafisah Binti Munyah, 'Atiqah dan peminangan dibuat melalui
paman Muhammad (SAW) yaitu Abu Thalib. Keluarga terdekat Khadijah tidak menyetujui
rencana pernikahan ini. Namun Khadijah sudah tertarik oleh kejujuran, kebersihan dan sifatsifat istimewa dia ini, sehingga ia tidak memedulikan segala kritikan dan kecaman dari
keluarga dan kerabatnya. Khadijah yang juga seorang yang cerdas, mengenai
ketertarikannya kepada Nabi Muhammad mengatakan, Jika segala kenikmatan hidup
diserahkan kepadaku, dunia dan kekuasaan para raja Persia dan Romawi diberikan
kepadaku, tetapi aku tidak hidup bersamamu, maka semua itu bagiku tak lebih berharga
daripada sebelah sayap seekor nyamuk.
Sewaktu malaikat turun membawa wahyu kepada Muhammad maka Khadijah adalah orang
pertama yang mengakui kenabian suaminya, dan wanita pertama yang memeluk Islam. Dia
turut menenangkan hati Rasulullah, di kala kegalauan Nabi sewaktu wahyu pertama turun.
Khadijah (r.ha) berkata, Tidak demikian, tetapi bergembiralah. Maka demi Allah, Allah
takkan Mencelakakan engkau selamanya; engkau suka menyambungkan tali silaturahim,
dan selalu jujur dalam bicara, meringankan derita orang lain, menyantuni orang tak mampu,
menjamu tamu, dan menolong orang lain untuk mendapatkan haknya.[4] Sepanjang
hidupnya bersama Nabi, Khadijah begitu setia menyertainya dalam setiap peristiwa suka
dan duka. Setiap kali suaminya ke Gua Hira, ia pasti menyiapkan semua perbekalan dan
keperluannya. Seandainya Nabi Muhammad agak lama tidak pulang, Khadijah akan melihat
untuk memastikan keselamatan suaminya. Sekiranya Nabi Muhammad khusyuk
bermunajat, Khadijah tinggal di rumah dengan sabar sehingga Beliaau pulang. Apabila
suaminya mengadu kesusahan serta berada dalam keadaan gelisah, dia coba sekuat
mungkin untuk mententram dan menghiburkan, sehingga suaminya benar-benar merasai
tenang. Setiap ancaman dan penganiayaan dihadapi bersama. Allah mengkaruniakannya 6
orang anak, yaitu Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqaiah,Ummi Kultsum, dan Fatimah.

Salam dari Tuhan-nya dan Jibril a.s[sunting | sunting sumber]


Diriwayatkan dalam hadits shahih, dari Abu Hurairah r.a., dia berkata :Jibril datang kepada
Nabi SAW, lalu berkata :Wahai, Rasulullah, ini Khadijah telah datang membawa sebuah
wadah berisi kuah, makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan
kepadanya salam dari Tuhan-nya dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah di
syurga, (terbuat) dari mutiara yang tiada suara ribut di dalamnya dan tiada kepayahan.[5]
Dalam banyak kegiatan peribadatan Nabi Muhammad, Khadijah pasti bersama dan
membantunya, seperti menyediakan air untuk mengambil wudhu. Nabi Muhammad
menyebut keistimewaan terpenting Khadijah dalam salah satu sabdanya, Di saat semua
orang mengusir dan menjauhiku, ia beriman kepadaku. Ketika semua orang mendustakan
aku, ia meyakini kejujuranku. Sewaktu semua orang menyisihkanku, ia menyerahkan
seluruh harta kekayaannya kepadaku.

Wafatnya[sunting | sunting sumber]


Khadijah telah hidup bersama-sama Nabi Muhammad selama 24 tahun dan wafat dalam
usia 64 tahun 6 bulan. Dia meninggal di gunung Hujun, dan dimakamkan di pemakaman
dekat Mekkah[6] setelah sakit-sakitan dan melemah setelah lama menahan rasa lapar
setelah masa blokade orang Quraisy selama 3 tahun. Tahun meninggalnya dikenal
sebagai Amul Huzni (Tahun Kesedihan).[2]

Anda mungkin juga menyukai