Anda di halaman 1dari 40

0

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG


LAPORAN KASUS

EPILEPSI UMUM
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang
Diajukan Kepada :
dr. Noorjanah Pujiastuti, Sp.S
Disusun Oleh :
Ahmad Auli Roziqi

(H2A012032P)

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Saraf


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SEMARANG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TUGUREJO
2016

LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN


Ilmu Penyakit Saraf
Laporan kasus dengan judul :
EPILEPSI UMUM
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang

Disusun Oleh:
Ahmad Auli Roziqi

(H2A012032P)

Telah disetujui :
Pembimbing

dr. Noorjanah Pujiastuti, Sp.S

STATUS MAHASISWA
KEPANITRAAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TUGUREJO SEMARANG
Kasus

: Epilepsi Umum

Nama Mahasiswa

: Ahmad Auli Roziqi

NIM

: H2A012032P

IDENTITAS PENDERITA
Nama

: Tn. H

Umur

: 27 tahun

Agama

: Islam

Status

: Belum Menikah

Alamat

: Gunung Pati

Pekerjaan

: swasta

Tanggal masuk RS

: 22 November 2016

DAFTAR MASALAH
Tanggal
22/11/2016

AKTIF
-Epilepsi Umum

Tanggal
22/11/2016

PASIF

I. SUBJEKTIF
3

a. ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara Alloanamnesis pada tanggal 22 Oktober
2016, pukul 10.45 WIB di Poliklinik Saraf RSUD Tugurejo Semarang
1.
2.

Keluhan Utama
: Sering Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang :
Onset
: kejang terakhir kali pada hari minggu SMRS
Kualitas
: mengganggu aktivitas
Kuantitas
: terjadi selama kurang dari lima menit
Kronologi :

Sebelum terjadi kejang, pasien merasa kesemutan pada leher dan


menjalar hingga kaki, saat kejang pasien tidak sadarkan diri selama
kurang dari lima menit. Pasien mengaku kejang pertama kali saat usia
14 tahun. Minggu kemarin pasien kejang hingga 4 kali. pasien sadar
tetapi tidak bisa menggerakan tubuhnya dan keempat anggota
geraknya, pasien sulit berkomunikasi, komunikasi dilkukan dengan
gerakan bola mata. Pusing (-), mual muntah (-), demam (-).

3.

4.

5.

Faktor memperberat : saat kelaparan


Faktor memperingan : istirahat merasa lebih baik.
Gejala penyerta
: perut terasa agak sakit.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat stroke
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat jantung
: disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat Hipertensi
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat Penyakit jantung : disangkal
Riwayat Kejang
: disangkal

Riwayat Sosial, Ekonomi dan Pribadi


Pasien bekerja swasta, biaya dengan BPJS
Kesan Ekonomi: cukup
OBJEKTIF
I.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 22 November 2016, pukul
11.30 WIB di poliklinik saraf Tugurejo Semarang
1. Status Gizi

Berat Badan
: 53 Kg
Tinggi Badan : 168 cm
IMT
: 18.79
Kesan
: Status gizi cukup
2. Tanda-tanda vital
KU
: baik
Kesadaran: compos mentis
GCS: E4 M6 V5
Tekanan Darah: 110/70 mmHg
Nadi
: 80 kali/menit
RR
: 21 kali/menit
Suhu
: 36,2 0C
Status Internus
Kepala

: kesan mesosefal, rambut putih bergelombang, luka (-),


hematom di daerah Occipital dan Temporal, fraktur (-) battle

Mata

sign (-)
: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat,
central, reguler dan isokor 3mm/ 3mm, reflek pupil direk (+
N/+N),

reflek

pupil

indirek

(+N/+N),

racon

eye(-),

Hidung
Telinga

perdarahan konjungtiva(-)
: nafas cuping hidung (-), sekret (-) rhinorea(-), hallo sign(-)
: serumen (-/-), nyeri tekan (-/-) othorea(-), nyeri tekan

Mulut

tragus(-) battle sign(-)


: bibir kering (-), bibir sianosis (-), lidah kotor (-), gusi

Leher

berdarah (-). Gigi patah(-)


: pembesaran kelenjar limfe (-), pembesaran kelenjar

tyroid

(-), deviasi trakea (-), kaku kuduk (-) JVP(-)


Thorax
Paru
Paru depan

Paru belakang

Inspeksi
Statis

Normochest,

simetris, Normochest,

simetris,

kelainan kulit (-/-), sudut kelainan kulit (-/-)


arcus costa dalam batas
normal, ICS dalam batas
normal
5

Dinamis

Pengembangan pernapasan
Pengembangan

pernafasan paru normal

paru normal
Simetris (N/N), Nyeri tekan Simetris (N/N), Nyeri tekan

Palpasi

(-/-),

ICS

dalam

batas (-/-),

ICS

dalam

batas

normal, taktil fremitus sulit normal, taktil fremitus sulit


dinilai

dinilai

Sonor seluruh lapang paru

Sonor seluruh lapang paru

Perkusi
Kanan
Kiri
Auskultasi

Sonor seluruh lapang paru.


Sonor seluruh lapang paru.
Suara dasar vesicular, Ronki Suara
dasar
vesicular,
(-/-), Wheezing (-/-)

Tampak anterior paru

SD : vesikuler

Ronki (-/-),Wheezing (-/-)

Tampak posterior paru

SD : vesikuler

ST : Ronki (-), wheezing (-)

ST: Ronki (-), wheezing (-)

Jantung
Inspeksi

: ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: ictus cordis teraba pada ICS V 1-2 cm ke arah medial


midclavikula sinistra, thrill (-), pulsus epigastrium (-), pulsus
parasternal (-), sternal lift (-)

Perkusi

:
batas atas

: ICS II linea parasternal sinistra

pinggang jantung: ICS III linea parasternal sinsitra

batas kanan bawah: ICS V linea sternalis dextra


kiri bawah

: ICS V 1-2 cm ke arah medial midclavikula

sinistra
Konfigurasi jantung (dalam batas normal)
Auskultasi

: regular
Suara jantung murni: SI,SII (normal) reguler.
Suara jantung tambahan gallop (-), murmur (-) SIII (-), SIV

Abdomen
Inspeksi

: Permukaan cembung, warna sama seperti kulit di sekitar,


Cullen sign(-)

Auskultasi

: Bising usus 10 kali/menit (normal)

Perkusi

: Timpani seluruh regio abdomen, pekak sisi (+) normal,


pekak alih (-), nyeri ketok ginjal dextra/sinistra (-)

Palpasi

: Nyeri

tekan

ringan

epigastrum

(+),lumbal

dextra

(+),umbilicus (+),lumbal sinistra (+), Tidak teraba pembesaran organ


Ekstremitas
Akral pucat
Akral hangat
Capillary Refill

Superior
-/+/+
< 2 detik/< 2
detik
-/-/-/-

Inferior
-/+/+
< 2 detik/< 2
detik
-/-/-/-

Fraktur
Krepitasi
Luka
3. Status Psikis
Tingkah laku: normal
Perasaan Hati : sesuai dengan keadaan sakit
Cara Berpikir : realistik
Daya Ingat : normal
Kecerdasan: kesan cukup
4. Status Neurologis
a. Fungsi Luhur
Kesadaran
:
Kualitatif
: compos mentis
Kuantitatif GCS
: E4M6V5
Orientasi
: tempat, waktu dan situasi baik
Daya ingat
Baru
: baik

Lama
: baik
Gerakan abnormal
: tidak ditemukan
Gangguan berbahasa
:
Afasia motorik
:Afasia sensorik
:Akalkuli
:b. Koordinasi dan Keseimbangan
Cara berjalan
: tidak dilakukan
Tes Romberg
: tidak dilakukan
Tes romberg dipertajam
: tidak dilakukan
Tes telunjuk hidung
: tidak dilakukan
Tes telunjuk telunjuk
: tidak dilakukan
Tes hidung telunjuk hidung: tidak dilakukan
Uji dix halpike
: tidak dilakukan
Disdiadokhokinesis
: tidak dilakukan
Robound fenomen
: tidak dilakukan
Nistagmus
: (-)/(-)
c. Fungsi Vegetatif
Miksi
: DBN
Defekasi
: DBN
Flatus
:+
d. Fungsi sensorik
1. Eksteroseptif :
a) Rasa nyeri : DBN
b) Rasa Suhu : tidak dilakukan
c) Rasa Raba : DBN
2. Proprioseptif:
a) Rasa gerak : (-)
b) Rasa getar : tidak dilakukan
3. Diskriminatif :
a) Rasa Gramestesia : tidak dilakukan
b) Rasa Barognosia : tidak dilakukan
c) Rasa topognosia : tidak dilakukan
e. Nervi Cranialis
Nervus Kranialis

Kanan

Kiri

Normosmia

Normosmia

N. I (Olfactorius)
Daya Penghidu
N.II (Opticus)
Daya penglihatan
Pengenalan warna
Medan penglihatan
Perdarahan arteri/vena

baik
baik

baik
baik

t.d.l
t.d.l

t.d.l
t.d.l
8

Fundus okuli
Papil
Retina
N.III (Oculomotorius)
Ptosis
Gerak mata keatas
Gerak mata kebawah
Gerak mata media
Ukuran pupil
Bentuk pupil
Reflek cahaya langsung

t.d.l
t.d.l
t.d.l

t.d.l
t.d.l
t.d.l

(-)
(+)

(-)
(+)

(+)
(+)
3 mm

(+)
(+)
3mm

Bulat, reguler

Bulat, reguler
(+N)

(+N)

Reflek cahaya konsesuil

(+N)
(+)
(-)

Reflek akmodasi
Strabismus divergen
Diplopia
N.IV (Trochlearis) :

(-)

Gerak mata lateral bawah


Strabismus konvergen
Diplopia

(+N)
(+)
(-)
(-)

(+)

(+)

(-)

(-)

(-)

(-)

(+)
(+)
(+)

(+)
(+)
(+)

(+)
(+)
(+)

(+)
(+)
(+)

t.d.l

t.d.l

t.d.l
t.d.l
(-)

t.d.l
t.d.l
(-)

(+)

(+)

(-)
(-)

(-)
(-)

N.V (Trigeminus)
Menggigit
Membuka mulut
Sensibilitas muka atas
Sensibilitas muka tengah
Sensibilitas muka bawah
Reflek kornea
Reflek bersin
Reflek masseter
Reflek zigomatikus
Trismus
N.VI (Abducens) :
Pergerakan

mata

(ke

lateral)
Strabismus konvergen
Diplopia

N. VII (Facialis)
Kerutan kulit dahi
Mengerutkan dahi
Mengangkat alis
Menutup mata
Lipatan nasolabia
Sudut mulut
Meringis
Tik fasial
Lakrimasi
Daya kecap 2/3 depan
Reflek fasio-palpebra

(+)
(+)

(+)
(+)
(+)
(+)
(+)

(+)
(+)
(+)
(+)
(+)

(+)
(-)

(+)
(-)

t.d.l
(+)
N

t.d.l
(+)
N

Reflek glabella
Reflek aurikulo-palpebra
N.

(+)
(+)

N
N

VIII

(Vestibulocochlearis)
Mendengarkan

suara

berbisik
Mendengarkan detik arloji
Tes rinne

t.d.l

t.d.l

t.d.l

t.d.l

t.d.l

t.d.l

t.d.l

t.d.l

Tes weber
Tes schwabach
N IX (Glossopharyngeus)
Arkus faring
Uvula
Daya kecap 1/3 belakang
Reflek muntah
Sengau

Simetris

Simetris

Simetris

Simetris

(+)
t.d.l

(+)
t.d.l

(-)

(-)

t.d.l

t.d.l

Simetris
(+)

Simetris
(+)

Tersedak
N X (Vagus)
Arkus faring
Daya kecap 1/3 belakang

10

Bersuara
Menelan

(+)

(+)

(+)

(+)

(+)
(+)
(+)

(+)
(+)
(+)

N XI (Accesorius)
Memalingkan muka
Sikap bahu
Mengangkat bahu
Trofi otot bahu
N XII (Hypoglossus)
Sikap lidah

N
N
(-)
N
(-)
N

Artikulasi
Tremor lidah
Menjulurkan lidah
Trofi otot lidah
Fasikulasi lidah

ANGGOTA

(-)

GERAK

ATAS

Kanan

Kiri

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada
Normal

Tidak ada
Normal

+ normal

+ normal

5-5-5
Normal

5-5-5
Normal

(-)
+ normal

(-)
+ normal

+ normal

+ normal

+ normal
+ normal
+ normal

+ normal
+ normal
+ normal

Inspeksi:
Drop hand
Claw hand
Kontraktur
Warna kulit
Sistem motorik :
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Trofi
Sensibilitas
Nyeri
Reflek fisiologik :
Bisep
Trisep

11

Radius
Ulna

+ normal

+ normal

(-)
(-)

(-)
(-)

Reflek Patologi :
Hoffman
Tromer
ANGGOTA GERAK

Kanan

Kiri

Inspeksi:
Drop foot
Claw foot
Pitchers foot
Kontraktur
Warna kulit
Sistem motorik

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Normal

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Normal

Gerakan
Kekuatan
Tonus
trofi
Klonus
Reflek
fisiologik

(+) normal
5-5-5
(+) normal
(-)
(-)

(+) normal
5-5-5
(+) normal
(-)
(-)

(+) normal
(-)

(+) normal
(-)

BAWAH

(patella)
Sensibilitas
Nyeri

Keterangan
Reflek Patologis

Kanan

Kiri

Babinski

Chaddock

Oppenheim

tdl

tdl

Gordon

tdl

tdl

Schaeffer

tdl

tdl

Mendel Bechterew

tdl

tdl

Rossolimo

tdl

tdl

Gonda

tdl

tdl

12

Klonus patella

tdl

tdl

Klonus kaki

tdl

tdl

Kaku Kuduk

tdl

tdl

Kernig sign

tdl

tdl

Brudzinski I

tdl

tdl

Brudzinski II

tdl

tdl

Tes Lasegue

tdl

tdl

Tes Patrik

tdl

tdl

Tes Kontra Patrik

tdl

tdl

Tanda neri

tdl

tdl

Tes naffziger

tdl

tdl

Tes valsava

tdl

tdl

Rangsang Meningeal

Rangsang Radikuler

f. Gerakan-Gerakan Abnormal
Tremor
:Atetosis
:Mioklonus
:Khorea
:II.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Usulan pemeriksaan
1. Laboratorium (darah rutin, elektrolit)
2. EEG
III.
RESUME
Sebelum terjadi kejang, pasien merasa kesemutan pada leher dan
menjalar hingga kaki, saat kejang pasien tidak sadarkan diri selama kurang
dari lima menit. pasien sadar tetapi tidak bisa menggerakan tubuhnya dan
keempat anggota geraknya, pasien sulit berkomunikasi, komunikasi
dilkukan dengan gerakan bola mata. Pusing (-), mual muntah (-), demam
(-). Pasien mengaku kejang pertama kali saat usia 14 tahun. Minggu
kemarin pasien kejang hingga 4 kali. Riwayat DM dan HT disangkal.

13

Pada pemeriksaan fisik diperoleh data GCS E4M6V5, tekanan


darah: 110/70 mmHg, nadi 80 kali, RR 21 kali/menit, suhu 36,1 0C. Pada
pemeriksaan neurologis tidak ditemukan defisit neurologis.
IV.

DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis
: Kejang umum
Diagnosis Topis
: Intrakranial
Diagnosis Etiologi
: Epilepsi Atopik

V.

RENCANA AWAL
Daftar Masalah
: Kejang umum
Rencana Diagnosis

Usulan pemeriksaan: Laboratorium (Darah rutin, elektrolit) dan EEG


Rencana Terapi
Medika mentosa:

Ranitidin 2 x 150 mg

Fenitoin 3 x 100 mg

Asam folat 1 x 1

Clobazam 10 x 1

VI.

Edukasi:
-

Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang

keadaan pasien sekarang.


Menjelaskan pasien untuk menghindari 5K yaitu kelelahan,

kelaparan, kepikiran, kepanasan dan kedinginan.


Menjelaskan mengenai terapi yang akan diberikan.
Menjelaskan mengenai prognosis penyakit pasien.
Menjelaskan pasien supaya tidak stress

PROGNOSA
Quo ad vitam

: ad bonam

Quo ad sanam

: dubia ad bonam

Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

14

15

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI EPILEPSI
1.

Definisi konseptual:1,2,3
a. Epilepsi : Kelainan otak yang ditandai dengan kecendrungan untuk
menimbulkan bangkitan epileptic yang terus menerus, dengan
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Definisi
ini mensyaratkan terjadinya minimal 1 kali bangkitan epileptic.
b. Bangkitan epileptik: Terjadinya tanda/gejala yang bersifat sesaat
akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak.

2.

Definisi operasional/definisi praktis3


Epilepsi adalah suatu penyakt otak yang ditandai dengan
kondisi/gejala berikut:
a. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan
refleks dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua
lebih dari 24 jam.
b. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun
kedepan sama dengan (minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan
tanpa profokasi/ bangkitan refleks (misalkan bangkitan pertama
yang terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke, bangkitan pertama
pada anak yang disertai lesi structural dan epileptiform dischargers)
c. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi. Bangkitan refleks
adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus
spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitf, dan
somatomotor.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan

International Bureau for epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi


didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya factor
predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan

16

neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi social yang


diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang
epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan
sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat
aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.4
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam
etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala
akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan
berbagai manifestasi klinik dan laboratorik. Status epileptikus merupakan
kejang yang terjadi >30 menit atau kejang berulang tanpa disertai
pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.(4)
B. EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi. Sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan
ini. Angka epilepsy lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsy di
negara maju ditemukan sekitar 50/100.000. sementara di Negara
berkembang mencapai 100/100.000.5
Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak
mendapatkan pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit
lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi
pada anak berusia dibawah 2 tahun dan usia lanjut di atas 65 tahun.
Umumnya paling tinggi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai
umur 50 th, dan meningkat lagi setelahnya terkait dengan kemungkinan
terjadinya penyakit cerebrovascular. Pada 75% pasien, epilepsy terjadi
sebelum umur 18 tahun.6
C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Etiologi Epilepsi kemungkinan disebabkan oleh:
1. Aktivitas

saraf

abnormal

akibat

proses

patologis

yang

mempengaruhi otak
2. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak
akibat trauma otak pada saat lahir atau cedera lain

17

3. Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia


waktu lahir, trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik,
malformasi congenital pada otak, atau infeksi
4. Pada anak-anak dan remaja mayoritas adalah epilepsy idiopatik,
pada umur 5-6 tahun disebabkan karena febris
5. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena
birth trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit
serebro vaskuler (> 50 th)
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
a.

Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi 50% dari


penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi
genetic, awitan biasanya pada usia >3tahun. Dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan dan alat-alat diagnostic yang canggih kelompok
ini semakin sedikit.
Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan

b.

saraf pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf


pusat (SSP), gangguan metabolic, malformasi otak kongenital,
asphyxia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah
otak, toksik serta kelainan neurodegenerative.
Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya

c.

belum diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom


Lennox-Gastaut dan epilepsy mioklonik.7
Faktor resiko6,7 :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.

Bayi BBLR
Bayi yang mengalami kejang di bulan pertama
Bayi dengan kelainan daerah abnormal pada otak
Hipoksia pada otak
Infeksi otak : abses, meningitis atau ensefalitis
Tumor otak
Cerebral palsy
Penyakit alzheimer
Gangguan spektrum autisme
Kondisi dengan cacat intelektual dan perkembangan
Penggunaan narkoba seperti kokain
Cedera kepala yang berulang

18

D. KLASIFIKASI
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan
epilepsi dan klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi
berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi),
etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia dan situasi yang berhubungan
dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut bangkitan
epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.
Klasifikasi ILAE (1981) untuk tipe bangkitan epilepsi adalah :3
1. Bangkitan parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik
d. Dengan gejala psikik
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
Dengan gangguan kesadaran saja
Dengan automatisme
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik, tonik
atau klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,
dan berkembang menjadi bangkitan umum
2. Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)
1) Bangkitan lena (absence)
Lena (absence), sering disebut petitmal. Serangan terjadi secara tiba-tiba, tanpa di
dahului aura. Kesadaran hilangselama beberapa detik, di tandai dengan
terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan kosong, atau mata
berkedip dengan cepat. Hampir selalu pada anak-anak, mungkin
menghilang waktu remaja atau diganti dengan serangan tonik-klonik.
2) Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang singkat dan tiba-tiba,
bisa simetris dan asimetris, sinkronis atau asinkronis. Muncul akibat
adanya gerakan involuntar sekelompok otot skelet yang muncul secara
19

tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak. Biasanya tidak ada


kehilangan kesadaran selama serangan. Gambaran klinis yang terlihat
adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak
yang berulang dan terjadinya cepat.
3) Bangkitan tonik
Tonik, serangan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat dari otot
ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas. Berupa
pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi
tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Biasanya
kesadaran hilang hanya beberapa menit terjadi pada anak 1-7 tahun.
4) Bangkitan atonik/astatik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan ini bisa di
menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut lemas, atau
kehilangan total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta mendapatkan lukaluka. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot dan terjatuh secara
tiba-tiba. Bangkitan ini jarang terjadi.
5) Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di sebebkan aleh
hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat. Keadaan ini diikuti
sentakan bilateral yang lamanya 1 menit sampai beberapa menit yang
sering asimetris dan bisa predominasi pada satu anggota tubh. Serangan ini
bisa bervariasi lamanya, seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat
ke satu saat lain.
6) Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis serang klasik epilepsi
serangan ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan atau pendengaran
selama beberapa saat yang diikuti oleh kehilangan kesadaran secara cepat.
Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan
terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul
gerakan kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki).
Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau
bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita

20

akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan
biasanya akan tertidur setelahnya.
3. Bangkitan Epileptik yang Tidak Tergolongkan
Klasifikasi ILAE (1989) untuk tipe epilepsy dan sindrom epilepsi
adalah :3
1. Fokal / Partial (localized related)
1.1. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1.1.1. Epilepsi

benigna

sentrotemporal

dengan

(childhood

gelombang
epilepsy

paku

with

di

daerah

centrotemporal

spikes)
1.1.2. Epilepsy benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah
oksipital
1.1.3. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)
1.2. Simtomatik
1.2.1. Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak
anak (Kojenikows Syndrome)
1.2.2. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu
rangsangan (kurang tidur, alcohol, obat-obatan, hiperventilasi,
refleks epilepsy, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
1.2.3. Epilepsi lobus temporal
1.2.4. Epilepsi lobus frontal
1.2.5. Epilepsi lobus parietal
1.2.6. Epilepsi lobus oksipital
1.3. Kriptogenik
2. Epilepsi Umum
2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1. Kejang neonatus familial benigna
2.1.2. Kejang neonatus benigna
2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.4. Epilepsi lena pada anak
21

2.1.5. Epilepsi lena pada remaja


2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik klonik pada saat
terjaga
2.1.8. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di
atas
2.1.9. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang
spesifik
2.2. Kriptogenik atau Simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan
usia)
2.2.1. Sindrom West (spasme infantiil dan spasme salam)
2.2.2. Sindrom Lencox Gastaut
2.2.3. Epilepsi Mioklonik astatic
2.2.4. Epilepsi mioklonik lena
2.3. Simtomatik
2.3.1. Etiologi non spesifik

Ensefalopati mioklonik dini

Ensefalopati pada infantiil dini dengan burst supresi

Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk


di atas

2.3.2. Sindrom Spesifik


2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan Sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1. Bangkitan Umum dan fokal
3.1.1. Bangkitan neonatal
3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau Kleffner)
3.1.5. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi diatas
3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom Khusus
22

4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu


4.1.1. Kejang demam
4.1.2. Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya sekali(
isolated)
4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic
akut, atau toksis, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi
non ketotik
4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi
reflektorik)
E. PATOFISIOLOGI
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih
dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi
aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated
ion channel opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting
artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik.
Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler
dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos
membran neuron.
Gambar : Silbernagl S. Color Atlas Pathopysiology. New York : Thieme.2000

23

Lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada


korteks serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya
epilepsi:
1.

Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja


pada frekuensi tinggi dalam merespon depolarisasi diperpanjang akan
menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi Ca2+ secara
perlahan.

2.

Adanya

koneksi

eksitatorik

rekuren

(recurrent excitatory connection), yang memungkinkan adanya umpan


balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan aktivitas kejang.
3.

Kepadatan komponen dan keutuhan dari


pandangan umum terhadap sel-sel piramidal pada daerah tertentu di
korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias dikatakan sebagai
tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini
menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu
aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.

4.

Bentuk

siap

dari

frekuensi

terjadinya

potensiasi (termasuk juga merekrut respon NMDA) menjadi ciri khas


dari jaras sinaptik di korteks.
5.

Efek berlawanan yang jelas (contohnya


depresi) dari sinaps inhibitor rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi
peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron

abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan


cetusan potensial aksi secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis
serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar
neuron abnormal muncul secara bersamasama, membentuk suatu badai
aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi menimbulkan bermacammacam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung
pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan demikian
24

dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat


bervariasi.
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :
1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan
seseorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang
lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi
hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik
ini dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung
jawab atas timbulnya epileptiform activity di otak. Timbulnya
bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF.
3.

Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya


bangkitan epilepsi pada penderita epilepsi yang kronis.
Patofisiologi Epilepsi Umum
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya

secara lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu
epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik
yang menggambarkan pasien bengong dan aktivitas normal mendadak
berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak
ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu
antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain mengatakan berasal
dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa absans
diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks
serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal
akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik
korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks
terjadi pada saat tidur non-REM.
Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi
genetik. Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode
25

protein kanal ion (pada tabel berikut). Contoh: Generalized epilepsy with
febrile seizure plus, benign familial neonatal convulsions.
Tabel 1. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi4-6
Kanal
Gen
Sindroma
Voltage-gated
Kanal
SCN1A, SCN1B Generalized epilepsies with febrile
Natrium

SCN2A,

seizures plus

Kanal

GABRG2
KCNQ2,

Benign familial neonatal convulsions

Kalium
Kanal

KCNQ3
CACNA1A,

Episodic ataxia tipe 2

Kalsium

CACNB4

Childhood absence epilepsy

Kanal

ACNA1H
CLCN2

Juvenile myoclonic epilepsy

Klorida

Juvenile absence epilepsy


Epilepsy with grand mal seizure on
awakening

Ligand-gated
Reseptor
CHRNB2,
asetilkolin
Reseptor

CHRNA4
GABRA1,

GABA

GABRD

Autosomal dominant frontal lobe


epilepsy
Juvenile myoclonic epilepsy

Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya


ion natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks)
sehingga terjadi aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada
sel neuron. Jika terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat pada
generalized epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi natrium
influks yang berlebihan sedangkan kalium efluks tetap seperti semula
sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung berkalikali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron. Hal yang sama terjadi
pada benign familial neonatal convulsion dimana terdapat mutasi kanal

26

kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan


hipereksitasi pada sel neuron.

F. GEJALA
1. Kejang parsial simplek
Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami
gejala berupa djvu : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu
yang sama sebelumnya.
Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak
dapat di jelaskan.
Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum
pada bagian tubuh tertentu.
Gerakan yang tidak dapat di kontrol pada bagian tubuh tertentu
Halusinasi
2. Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya
bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan
besar tidak akan mengingat waktu serangan.
Gejalanya meliputi :
gerakan seperti mencucur atau mengunyah

27

melakukan gerakan yang sama berulang ulang atau memainkan pakaiannya


Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan
berkeliling dalam keadaan seperti sedang bingung
Gerakan menendang atau meninju yang berulang ulang
Berbicara tidak jelas seperti menggumam
3. Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).
Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat
dua tahap: tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan.
Pada

serangan

jenis

ini pasien

dapat hanya

mengalami tahap

tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura.
Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan
dapat berupa : merasa sakit perut , baal, kunang kunang , telinga
berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat : kehilangan kesadaran,
kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang,
berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau
lidah. Pada saat fase klonik : terjadi kontraksi otot yang berulang dan
tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar tidak dapat di
kontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa
lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.

G. DIAGNOSIS

28

Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat


dilakukan

melalui

anamnesis

dan

pemeriksaan

klinis

dengan

hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara


kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi
(klinis) sudah dapat ditegakkan.8

1.

Anamnesis
Anamnesis

harus

dilakukan

secara

cermat,

rinci

dan

menyeluruh, karena pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan


serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu
yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala
dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan
merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi
tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan
tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekuensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
Anamnesa / Alloanamnesa Epilepsi umum :

29

a. Major :
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe
primer dan sekunder. Epilesi grand mal ditandai dengan hilang
kesadaran dan bangkitan tonik-klonik. Manifestasi klinik: kedua
golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan terletak
pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal
sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal
simtomatik selalu didahului aura yang memberi manifestasi
sesuai dengan letak fokus epileptogen pada permukaan otak.Aura
dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium baubauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu,
sakit kepala dan sebagainya.Bangkitan sendiri dimulai dengan
hilang kesadaran sehingga aktivitas penderita terhenti. Kemudian
penderita mengalami kejang tonik. otot-otot berkontraksi sangat
hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi.
Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga
terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik
ini kemudian disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah
mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke
tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 -- 3 menit. Selain
kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat,
midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut berbuih dan
sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan penderita
dalam keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit
kemudian penderita bangun, termenungdan kalau tak diganggu
akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam
sampai setahun sekali.
b. Minor :
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah
epilepsi umum yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari
kasus epilepsi.. Bangkitan mioklonus. Bangkitan berupa gerakan

30

involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan yang terjadi


berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga
sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak.
Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik.(9)
Bangkitan akinetik. Bangkitan berupa kehilangan kelola
sikap tubuh karena menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan
cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan
kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini(petit
mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita
dan disebut trias Lennox-Gastaut.
Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai
salaam spasm atau sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan
dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang pasti belum
diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak
yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma,
infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa
gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai
tertarik

ke

atas,

kadang-kadang

disertai

teriakan

atau

tangisan,miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.


Bangkitan motorik. Fokus epileptogen terletak di korteks
motorik. Bangkitan kejang pada salah satu atau sebagian anggota
badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran. Penderita
seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya
dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah
dan akhirnya seluruh lengan.Manifestasi klinik ini disebut
Jacksonian marche Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus
epilepsi).9
Bangkitan sensorik

Bangkitan yang terjadi tergantung

dari letak fokus epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan


somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus postcentralis
memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh,

31

perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu


anggota badan. Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat
menyebar ke neuron sekitarnya dan dapat mencapai korteks
motorik

sehingga

terjadi

kejang-kejang.

Epilepsi

lobus

temporalis. Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun.


Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas sekali. Manifestasi
klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus epileptogennya
terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan
pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara
ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi
yang kompleks ini bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu
epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor.
Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik
lazimnya berupa automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai
berikut: Kesadaran hilang sejenak, dalam keadaan hilang
kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran antara sadar dan
mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi
yang terdiri dari halusinasi dan automatisme yang berlangsung
beberapa detik sampai beberapa jam. Halusinasi dan automatisme
yang mungkin timbul : Halusinasi dengan automatisme pengecap,
halusinasi dengan automatisme membaca, halusinasi dengan
automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh.
2.

Pemeriksaan fisik
umum dan neurologis
Pada

orang

dan neurologis dilakukan

dewasa

seperti biasa.

pemeriksaan umum
Pada

toksoplasmosis,

fundus okuli mungkin menunjukkan tanda-tanda korio renitis.


Mencari

kelainan

bawaan,

asimetri

pada

kepala,

muka,

tubuh,ekstrimitas.
3.

Pemeriksaan
penunjang

32

Pemeriksaan Laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa,


kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, ureum dalamdarah. Yang
memudahkan

timbulnya kejang

hypokalemia,

hipomagnesia,

ialah keadaan
hiponatremia,

hipoglikemia,
hypernatremia,

hiperbilirubinemia, dan uremia. Penting pula diperiksa pH darah


karena alkalosis mungkin disertai kejang. Pemeriksaan cairan otak
dapat mengungkapkan adanya radang pada otak atau selaputnya,
toksoplasmosis susunan saraf sentral, leukemia yang menyerang
otak, metastasis tumor ganas, adanya perdarahan otak atau
perdarahan subaraknoid.10,11

a. Pemeriksaan radiologis
Arteriografi dan
pneumoensefalografi

dilakukan

bila

perlu.

Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang


informatif yang dapat memastikan diagnosis epilepsy. Gelombang yang
ditemukan pada EEG berupa gelombang runcing, gelombang paku,
runcing lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain adalah
pemeriksaan foto polos kepala
b. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris
Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik
turunnya kesadaran.

33

c. Elektro ensefalografi (EEG)


Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan
adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya
kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di
kedua hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku
majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas,
misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia,
epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus
per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG
gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul
secara serentak (sinkron).
a. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita
yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan
diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG
memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta
memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis
yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk
penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta

34

bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi


fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada
persiapan operasi.

Gambar Pembentukan EEG

Gambar: profil EEG pada pasien Epilepsi

H. PENATALAKSANAAN

35

Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup


penderita yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut
antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan
tanpa efek samping ataupun dengan efek samping seminimal mungkin
serta menurunkan angka kesakitan dan kematian.10
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka
mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium,
penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi
transmisi eksitatorik glutamat. Sekarang ini dikenal dengan pemberian
kelompok inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antie- pilepsi yang
dikenal sampai sekarang ini antara lain karbamazepin (Tegretol), klobazam
(Frisium), klonazepam (Klonopin), felbamate (Felbatol), gabapentin
(Neurontin), lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam (Keppra), oksarbazepin
(Trileptal), fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin), pregabalin (Lyrica),
tiagabine (Gabitril), topiramat (Topamax), asam valproat (Depakene,
Convulex) (Brodie and Dichter, 1996). Protokol penanggulangan terhadap
status epilepsi dimulai dari terapi benzodiazepin yang kemudian menyusul
fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin bekerja menginhibisi hipereksitabilitas
kanal natrium berperan dalam memblok loncatan listrik. Beberapa studi
membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek samping,
juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap
gangguan kognitif ringan dan sedang. Melihat banyaknya efek samping
dari obat antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat
perlu mengingat bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau
cedera terhadap jaringan otak.
Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron
sebagai aktivator terhadapreseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate
dengan reseptor NMDA dan AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium
masuk kedalam sel yang bisa menstimulasi kematian dari sel.
36

Levetiracetam,

termasuk

kelompok

antikonvulsan

terbaru

merupakan antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya


masih tetap dalam penelitian lanjut. Levetirasetam adalah derivat dari
pirrolidona sebagai obat antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di
vesikel sinaptik yang mempunyai mekanisme berbeda dengan obat
antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor NMDA dan AMPA yakni
glutamat dan GABA). Pada hewan percobaan ditemukan bahwa potensi
levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat tersebut dengan
SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi. Dari data penelitian
ditemukan bahwa levetiracetam dapat digunakan pada penderita epilepsi
dengan berbagai penyakit saraf sentral lainnya seperti pasien epilepsi
dengan gangguan kognitif, karena ternyata levetirasetam tidak berinteraksi
dengan obat CNS lainnya. Salah satu andalan dari levetirasetam yang
berfungsi sebagai antikonvulsan adalah dengan ditemukannya ikatan
levetirasetam

dengan

protein

SVA2.

Dari

beberapa

penelitian

membuktikan bahwa vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya


protein yang mempunyai ikatan dengan levetirasetam mendasar pada
karakter serta pendistribusian molekul protein sebagai antikonvulsan.
Keadaan ini

terbukti

pada

hewan percobaan

bahwa pemberian

levetirasetam yang analog dengan protein SVA2 di vesikel berpotensi


sebagai antikonvulsan.
Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan
untuk epilepsi yakni:13,14
1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi
sudah dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun.
Selain itu pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi
penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari
pengobatan tersebut.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi.

37

3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara


bertahap samapai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek
samping obat.
4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat
mengontrol bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila
sudah mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan
secara perlahan.
5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti
bangkitan tidak terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan
kedua.
Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan
mekanisme kerjanya :
1.

Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron,


bekerja juga pada reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin.

2.

Fenitoin : Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan


kalsium dan klorida dan neurotransmitter yang voltage dependen

3.

Fenobarbital

Meningkatkan

aktivitas

reseptor

GABA

menurunkan eksitabilitas glutamate, menurunkan konduktan natrium,


kalium dan kalsium.
4.

Valproat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan


ambang konduktan kalsium (T) dan kalium.

5.

Levetiracetam : Tidak diketahui

6.

Gabapetin : Modulasi kalsium channel tipe N

7.

Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent

8.

Okskarbazepin : Blok sodium channel, meningkatkan konduktan


kalium, modulasi aktivitas channel.

9.

Topiramat : Blok sodium channel, meningkatkan influks GABAMediated chloride, modulasi efek reseptor GABA.

10.Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi


glutamate.
38

Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE


dapat dihentikan tanpa kekambuhan. Penghentian sebaiknya dilakukan
secara bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang.
Ada

syarat

yang

penting

diperhatikan

ketika

hendak

menghentikan OAE yakni:


1. Syarat umum yang meliputi :
-

Penghentian OAE telah didiskusikan terlebih dahulu dengan


pasien/keluarga dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun
bebas bangkitan.

Gambaran EEG normal

Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula


setiap bulan dalam jangka waktu 3-6bulan.

Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian


dimulai dari 1 OAE yang bukan utama.

2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE


-

Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.

Epilepsi simtomatik

Gambaran EEG abnormal

Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.

Penggunaan OAE lebih dari 1

Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi

Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.

Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinannya bila penderita


telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila
bangkitan timbul kembali maka pengobatan menggunakan dosis
efektif terakhir, kemudian evaluasi.

39

DAFTAR PUSTAKA
1. Accessed on February 22th 2014 :
http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment134.pdf
2. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi.
In : Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.2005. p119-127.
3. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (Perdossi). Pedoman Tatalaksana Epilepsy. Jakarta: Penerbit
Perdossi;2014.
4. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder,P
ediatric Neurology: Essentials for General Practice. 1st ed. 2007
5. Accessed on February 22th 2014:
http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.pdf
6. Accessed on February 22th 2014:
http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm
7. Accessed on February 22th 2014 :
http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahamigejala-epilepsi-pada-anak-2
8. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and
Therapy in Children and Adults. 2nd ed. America: Blackwell Publishing
Ltd.2005
9. P r i c e d a n W i l s o n . 2 0 0 6 . Patofisiologi: Konsep Klinis Prose
s -Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC
10. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
11. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing.
200515.PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta.
200816.http://www.medscape.com/viewarticle/726809
12. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit
Dian Rakyat; 2009.p.439.
13. Utama H. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam Farmakologi dan
terapi. 5th ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005.
14. Lumbantobing SM. Epilepsy. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;2006.

40

Anda mungkin juga menyukai