Anda di halaman 1dari 15

Perdarahan Hidung pada Anak

Grevonds Austen
102013223
Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no. 6, Jakarta Barat 11510
Email : Grevondsten12@gmail.com

Pendahuluan
Epistaksis atau perdarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak
maupun usia lanjut. Epistaksis seringkaii merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain.
Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi
epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat
fatal bila tidak segera ditangani. Perdarahan hidung merupakan masalah yang sangat lazim,
sehingga tiap dokter harus siap menangani kasus demikian. Kunci menuju pengobatan yang
tepat adalah aplikasi tekanan pada pembuluh yang berdarah. Agaknya 90 persen kasus
epistaksis anterior mudah diatasi dengan tekanan yang kuat, kontinu pada kedua sisi hidung
tepat di atas kartilago ala nasi, dengan pasien dalam posisi duduk tegak. Posisi ini
mengurangi tekanan vaskular, dan pasien dapat lebih mudah membatukkan darah di dalam
faring. Namun bila ternyata kontrol tidak memadai, dokter perlu segera mencoba cara lain.1,2
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui kaitan epistaksis ec trauma
dalam anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, working dan differential diagnosis,
etiologi, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, komplikasi, penatalaksanaan,
pencegahan dan prognosis untuk konsep pemahaman dalam menegakkan diagnosis penyakit
epistaksis anterior ec trauma.
Skenario Kasus
Seorang anak berusia 5 tahun diantar ibunya ke poliklinik dengan keluhan hidung
mengeluarkan darah sejak 10 menit yang lalu. Anak sering mengorek hidung. Kejadian ini
sudah sering terjadi.
Anamnesis
Anamnesis merupakan wawancara riwayat kesehatan pasien baik secara langsung
atau tidak langsung yang memiliki tiga tujuan utama yaitu mengumpulkan informasi,
membagi informasi, dan membina hubungan saling percaya untuk mendukung kesejahteraan
1

pasien. Informasi atau data yang dokter dapatkan dari wawancara merupakan data subjektif
berisi hal yang diutarakan pasien kepada dokter mulai dari keluhan utama hingga riwayat
pribadi dan sosial. Anamnesis yang diketahui pada kasus ini adalah keluhat utama, riwayat
penyakit sekarang, dan riwayat penyakit dahulu.3
Epistaksis (mimisan) berarti pendarahan dari dalam hidung. Biasanya darah berasal
dari hidung sendiri kendati pula dapat mengalir dari sinus paranasalis atau nasofaring.
Biasanya riwayat medis yang disampaikan oleh pasien cukup dapat menunjukan lokasi asal
pendarahan. Walaupun demikian, pada pasien yang berada adalam posisi berbaring atau yang
pendarahannya berasal dari struktur posterior, mungkin darahnya tidak mengalir lewat lubang
hidung, tetapi mengalir ke dalam tenggorok. Anda harus mengidentifikasi sumber
pendarahannya dengan cermat apakah darah itu dari hidung ataukah darah yang dibatukan
atau dimuntahkan keluar? Lakukan pemeriksaan untuk mengkaji lokasi pendarahan,
keparahannya dan gejala lain yang menyertai. Apakah epistaksis ini merupakan permasalahan
yang terjadi berali-kali? Apakah terdapat pula gejala mudah memar atau mudah berdarah di
bagian tubuh yang lain?4
Selain itu perlu ditanyakan juga;
1. Riwayat perdarahan sebelumnya
2. Lokasi perdarahan
3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar
dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak?
4. Lama perdarahan dan frekuensinya
5. Kecenderungan perdarahan
6. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
7. Hipertensi
8. Diabetes melitus
9. Penyakit hati
10. Penggunaan antikoagulan
11. Trauma hidung yang belum lama
12. Obat-obatan, mis., aspirin, fenilbutazon (Butazolidin)2

Keluhan Utama
Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat Penyakit Dahulu
2

Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik kejang demam, dilakukan antara lain pemeriksaan kesadaran,
tanda-tanda vital, dan rangsang meningeal.
Pemeriksaan Kesadaran
Seseorang disebut sadar bila ia sadar terhadap diri dan lingkungannya. Orang normal
dapat berada dalam keadaan: sadar, mengantuk atau tidur. Bila ia tidur, ia dapat disadarkan
oleh rangsang, misalnya rangsang nyeri, bunyi atau gerak. Rangsang ini disampaikan pada
sistem aktivitas retikuler, yang berfungsi mempertahankan kesadaran. Sistem aktifitas
retikuler terletak di bagian atas batang otak, terutama di mesensefalon dan hipotalamus. Lesi
di otak, yang terletak di atas hipotalamus tidak akan menyebabkan penurunan kesadaran,
kecuali bila lesinya luas dan bilateral. Lesi fokal di cerebrum, misalnya oleh tumor atau strok,
tidak akan menyebabkan koma, kecuali bila letaknya dalam dan mengganggu hipotalamus.5
Dalam memeriksa tingkat kesadaran, seorang dokter melakukan inspeksi, konversasi
dan bila perlu memberikan rangsang nyeri.5
1. Inspeksi. Perhatikan apakah pasien berespons secara wajar terhadap stimulus visual, auditoar
dan taktil yang ada di sekitarnya.
2. Konversasi. Apakah pasien memberikan reaksi wajar terhadap suara konversasi, atau dapat
dibangunkan oleh suruhan atau pertanyaan yang disampaikan dengan suara yang kuat ?
3. Nyeri. Bagaimana respons pasien terhadap rangsang nyeri?5
Perubahan Patologis Tingkat Kesadaran
Penyakit dapat mengubah tingkat kesadaran ke dua arah, yaitu : meningkatkan atau
menurunkan tingkat kesadaran. Peningkatan tingkat kesadaran dapat pula mendahului
penurunan kesadaran, jadi merupakan suatu siklus. Pada kesadaran yang meningkat atau
eksitasi serebral dapat ditemukan tremor, euforia, dan mania. Pada mania, penderitanya dapat
merasakan ia hebat (grandios); alur pikiran cepat berubah, hiperaktif, banyak bicara dan
insomnia (tak dapat atau sulit tidur).5
Delirium. Penderita delirium menunjukkan penurunan kesadaran disertai peningkatan
yang abnormal dari aktivitas psikomotor dan siklus tidur-bangun yang terganggu. Pada
keadaan ini pasien tampak gaduh-gelisah, kacau, disorientasi, berteriak, aktivitas motoriknya
meningkat, meronta-ronta. Penyebab delirium beragam, diantaranya ialah kurang tidur oleh
3

berbagai obat, dan gangguan metabolik toksik. Pada manula, delirium kadang didapatkan
waktu malam hari. Penghentian mendadak obat anti-depresan yang telah lama digunakan
dapat menyebabkan delirium-tremens. Demikian juga bila pecandu alkohol mendadak
menghentikan minum alkohol dapat mengalami keadaan delirium dengan keadaan gaduhgelisah.5
Secara sederhana tingkat kesadaran dapat dibagi atas: kesadaran yang normal
(kompos mentis), somnolen, sopor, koma-ringan dan koma.5
Somnolen. Keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang.
Somnolen disebut juga sebagai: latergi, obtundasi. Tingkat kesadaran ini ditandai oieh
mudahnya penderita dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang
nyeri.5
Sopor (stupor). Kantuk yang dalam. Penderita masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi, la masih dapat mengikuti
suruhan yang singkat, dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri penderita
tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar.
Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari penderita. Gerak motorik untuk menangkis
rangsang nyeri masih baik.5
Koma-ringan (semi-koma). Pada keadaan ini, tidak ada respons terhadap rangsang
verbal. Refleks (kornea, pupil dlsbnya) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai respons
terhadap rangsang nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi, merupakan
jawaban primitif. Penderita sama sekali tidak dapat dibangunkan.5
Koma (dalam atau komplit). Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama
sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.5
Pembagian tingkat kesadaran di atas merupakan pembagian dalam pengertian klinis,
dan batas antara tingkatan ini tidak tegas. Tidaklah mengherankan bila kita menjumpai
penggunaan kata soporo-koma, somnolen-sopor.5
Inspeksi dan Palpasi
Inspeksi permukaan anterior dan inferior hidung. Biasanya penekanan lembut pada
ujung-depan hidung pasien dengan ibu jari tangan Anda akan memperlebar lubang hidung
(nostril) dan dengan bantuan lampu senter kecil (penlight) atau cahaya otoskop, Anda dapat
melihat sebagian pemandangan setiap vestibulum hidung. Jika ujung hidung tersebut terasa
nyeri ketika disentuh, lakukan tindakan ini dengan hati-hati dan sedapat mungkin tidak
memanipulasi hidung. Perhatikan setiap ketidaksimetrisan atau deformitas pada hidung.4
4

Tes Obstruksi Nasal, jika diperlukan, dilakukan dengan menekan kedua cuping
hidung secara bergantian dan meminta kepada pasien untuk menarik napas.4
Inspeksi bagian dalam rongga hidung dengan alat otoskop dan spekulum telinga yang
terbesar. Minta pasien untuk mendongakkan kepalanya sedikit ke belakang dan masukkan
spekulum secara hati-hati ke dalam vestibulum setiap lubang hidung dengan menghindari
sentuhan dengan septum nasi yang peka. Pegang tangkai otoskop pada satu sisi untuk
menghindari bagian dagu pasien dan meningkatkan mobilitas Anda. Dengan mengarahkan
spekulum ke posterior, kemudian ke atas melalui beberapa langkah kecil, coba untuk melihat
konka inferior dan media, septum nasi, dan saluran hidung yang sempit di antara kedua
struktur ini. Beberapa keadaan asimetris pada kedua sisi tersebut merupakan hal yang
normal.4
Pada pemeriksaan ini perlu diperhatikan:4
-

Mukosa hidung yang menutupi septum dan konka nasalis. Perhatikan warnanya dan
setiap pembengkakan, perdarahan atau eksudat. Jika terdapat eksudat, perhatikanlah
karakternya: jenuh, mukopurulen atau purulen. Normalnya mukosa hidung tampak

sedikit lebih merah daripada mukosa mulut.


Septum nasi (sekat rangga hidung). Perhatikan setiap deviasi, inflamasi atau perforasi
pada septum nasi. Bagian anterior bawah septum nasi (yang dapat dijangkau oleh jari

tangan pasien) merupakan daerah yang sering menjadi [ sumber epistaksis (mimisan}.
Setiap abnormalitas seperti ulkus atau polip.4
Biasakan untuk meletakkan semua spekulum hidung atau telinga yang sudah dipakai

ini di luar kotak instrumen Anda. Kemudian, buang spekulum disposabel atau jika spekulum
tersebut masih akan digunakan lagi (misalnya spekulum nondisposabel dari logam), cuci dan
lakukan desinfeksi secara benar. (Anda harus mengecek kebijakan yang dikeluarkan oleh
rumah sakitt Anda mengenai prosedur ini).4
Palpasi untuk menemukan nyeri tekan pada sinus. Tekan daerah sinus frontalis dari
sebelah bawah alis mata dengan menghindari penekanan pada bola mata, kemudian tekan
daerah sinus maksilaris.4

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah; pemeriksaan darah tepi
lengkap, fungsi hemostasis, fungsi hati, dan fungsi ginjal.
Pemeriksaan Foto Rontgen
Pada sinusitis akut, dilakukan pemeriksaan foto rontgen bidang oksipitomental dan
oksipitofrontal (Gambar 2). Foto bidang oksipitomental memperlihatkan sinus maxillaris,
sinus frontalis, dan sinus sphenoidalis; sedangkan foto bidang oksipitofrontal menilai sinus
frontalis dan cellulae ethmoidales. Namun, nilai pemeriksaan sinus sphenoidalis tidak begitu
besar. Dengan pemindaian CT, pembengkakan mukosa kronis dan proses neoplastik dapat
diketahui. Pemeriksaan MRI terutama digunakan untuk menilai proses pada jaringan lunak,
yang meragukan.6

Gambar 1. Pemeriksaan rontgen diagnostik untuk sinus paranasal, a) Bidang oksipitofrontal,


b) bidang oksipitomental, c) foto rontgen oksipitomental memperlihatkan polisinusitis dengan
air-fluid level di sinus maxillaris kiri.6
Diagnosis
Working Diagnosis
Hanya pada perdarahan akut, diagnosis harus sedikit ditunda atau dilakukan
bersamaan dengan pemberian terapi. Bila penyebab perdarahan belum diketahui, parameter
sirkulasi harus diketahui lebih dahulu. Dengan pengambilan spesimen darah, diagnosis kerja
pertama dapat disingkirkan atau ditegakkan melalui hasil pemeriksaan status koagulasi darah.
Setelah mukosa dibius, dengan endoskopi hidung, letak sumber perdarahan dapat dicari.6
Yang penting adalah menemukan letak relatif perdarahan terhadap concha hidung
untuk menentukan apakah dari wilayah suplai darah a. carotis interna (di atas concha) atau a.
carotis externa (di bawah concha). Dengan bantuan angiografi, sumber perdarahan juga dapat
diketahui. Pada kecurigaan atas pertumbuhan neoplastik, diperlukan pemeriksaan CT.6

Selain itu, perlu juga dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang sehingga dapat
meyakinkan diagnosis, terutama untuk membedakan pendarahan anterior atau posterior,
sehingga dapat ditegakan diagnosis kerjanya, yaitu epistaksis anterior et causa trauma.
Differential Diagnosis
Epistaksis Posterior
Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Perdarahan
biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan
hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri
sfenopalatina. Pada posisi duduk atau setengah tidur, darah mengalir ke arah tenggorokan.1
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat
dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi
perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq.
Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada
tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan.1
Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan
kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik
keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi, kemudian
kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu
didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat meliwati palatum mole masuk ke
nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam
kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di
depan nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap di tempatnya. Benang
lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk
menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena
dapat menyebabkan laserasi mukosa.1
Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma, digunakan
bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior
terpasang di tengah-tengah nasofaring.1
Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon.
Akhir- akhir ini juga banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus untuk
hidung atau tampon dari bahan gel hemostatik. Dengan semakin meningkatnya pemakaian
endoskop, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi a.sfenopalatina
dengan panduan endoskop.1
7

Epistaksis ec Kelainan Kongenital


Pada kelainan kongenital pembuluh darah hidung lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan
sel-selnya lebih sedikit, sehingga mudah terjadi epistaksis. Kelainan kongenital yang sering
menyebabkan epistaksis ialah teleangiektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic
teleangiectasis Osler-Rendu-Weber disease). Juga sering terjadi pada Von Willenbrand
disease.1
Sindrom Osler Weber Rendu atau juga disebut teleangiektasi hemoragik herediter,
merupakan suatu sindrom autosomal dominan yang ditandai oleh pembentukan lesi vaskular
di sekitar bibir, rongga mulut dan hidung. Salah satu manifestasi utama yang lazim adalah
epistaksis berulang hingga memerlukan transfusi lebih dari satu kali. Dermoplasti septum
adalah suatu metode yang dirancang untuk mengendalikan epistaksis berulang. Prosedur
operatif meliputi pengangkatan mukosa septum nasi anterior, dasar hidung dan bagian
anterior konka inferior dengan hati-hati, dan mengganti mukosa ini dengan cangkok kulit
ketebalan paruh. Prosedur biasanya dilakukan hanya pada satu sisi, namun dapat diulangi
kemudian pada sisi satunya. Meskipun menimbulkan pembentukan krusta di dalam hidung,
namun prosedur ini mungkin perlu dilakukan pada pasien yang telah mendapat transfusi
berulang. Terapi hormonal telah memberi perbaikan pada sebagian pasien, sehingga
intervensi bedah dapat dihindarkan.2
Epidemiologi
Frekuensi epistaksis sulit untuk ditentukan karena sebagian besar kejadian dapat
ditangani sendiri, dan oleh karena itu, tidak dilaporkan. Namun, dari beberapa sumber
terakhir, kejadian seumur hidup dari epistaksis pada populasi umum adalah sekitar 60%,
dengan lebih sedikit dari 10% mencari pertolongan medis.7
Distribusi usia bervariasi, dengan puncak pada anak-anak (2-10 tahun) dan orang
yang lebih tua (50-80 tahun). Epistaksis tidak terjadi pada bayi yang tidak terdapat
koagulopati atau patologi hidung (misalnya, atresia choanal, neoplasma). Trauma lokal tidak
terjadi sampai kemudian di tahun-tahun balita. Anak-anak dan remaja juga memiliki insiden
lebih jarang. Pertimbangkan penyalahgunaan kokain pada pasien remaja. Prevalensi
epistaksis cenderung lebih tinggi pada laki-laki (58%) daripada perempuan (42%).7
Etiologi

Pada dasarnya, penyebab epistaksis dapat dibedakan menjadi penyebab lokal dan
sistemik. Pada kebanyakan kasus (90%), tempat perdarahan terdapat di pleksus Kiesselbach,
suatu pleksus pembuluh darah di bagian depan septum hidung. Penyebab tersering adalah
manipulasi jari (mengupil) atau trauma. Yang termasuk dalam trauma antara lain adalah
(meskipun relatif jarang) perdarahan ke dalam rongga hidung akibat fraktur frontobasal, yang
merobek a. ethmoidalis anterior. Penyebab lokal lainnya adalah ruptur pembuluh darah
karena hembusan hidung yang kuat, rhinitis sicca, atau benda asing. Patologi septum hidung
(perforasi, abses) biasanya juga menyebabkan epistaksis dengan derajat keparahan yang
berbeda-beda. Peradangan mukosa hidung, misalnya pada infeksi virus atau pada alergi,
meningkatkan kerentanan struktur yang memang rentan tersebut. Akhirnya, kemungkinan
neoplasma sebagai penyebab perdarahan juga harus dipikirkan, misalnya fibroma nasofaring
juvenil (sangat jarang). Pemicu sistemik yang tersering adalah penyakit sirkulasi-vas- kular
(hipertensi, arteriosklerosis). Penyakit dengan diatesis hemoragik, baik kongenital maupun
didapat, tidak secara langsung berisiko tinggi menimbulkan epistaksis, tetapi bila terjadi,
perdarahan ringan sulit berhenti. Pengobatan untuk keadaan tersebut antara lain adalah
antikoagulan atau inhibitor agregasi trombosit. Penyakit Osler, sebagai contoh vasopati
sistemik, juga bermanifestasi berupa teleangiektasia di kulit dan mukosa mulut selain
epistaksis berulang. Tabel 1 merangkum penyebab tersering epistaksis.6
Tabel 1. Penyebab tersering epistaksis.6

Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan
ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih
hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain itu juga bisa terjadi akibat
adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.1

Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan
dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka
itu sedang mengalami pembengkakan.1
Patofisiologis
Mula-mula pemeriksa harus memperhatikan apakah sumber perdarahan berada pada
sisi kanan atau kiri, bagian depan atau belakang hidung, dan di atas atau di bawah meatus
media, yang secara kasar membagi suplai darah atas dua kontributor utama, arteri karotis
ekstema dan intema. Arteri oftalmika yang berasal dari arteri karotis intema, mencabangkan
arteri etmoidalis anterior dan posterior. Keduanya menyuplai bagian superior hidung. Suplai
vaskular hidung lainnya berasal dari arteri karotis ekstema dan cabang-cabang utamanya.
Arteri sfenopalatina membawa darah untuk separuh bawah dinding hidung lateral dan bagian
posterior septum.2
Semua pembuluh darah hidung saling berhubungan melalui beberapa anastomosis.
Suatu pleksus vaskular di sepanjang bagian anterior septum kartilaginosa menggabungkan
sebagian anastomosis ini dan dikenal sebagai Little area atau pleksus Kiesselbach. Karena
ciri vaskularnya dan kenyataan bahwa daerah ini merupakan subjek trauma fisik dan
lingkungan berulang, maka merupakan lokasi epistaksis tersering.2
Sebagian besar epistaksis (95%) terjadi di little area. Bagian septum nasi anterior
inferior merupakan area yang berhubungan langsung dengan udara, hal ini menyebabkan
mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma pada pembuluh darah tersebut.
Walaupun hanya sebuah aktifitas normal dilakukan seperti menggosok-gosok hidung dengan
keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan terjadinya trauma ringan pada pembuluh darah
sehingga terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi pada membran mukosa yang
sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi akibat dari infeksi saluran pernafasan atas, alergi
atau sinusitis.8,9
Epistaksis anterior kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian
anterior atau dari arteri etmoidalis anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan
karena keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan
terjadi pada anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.1

10

Gambar 2. Pembuluh darah hidung.


(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/80526-overview#a01)

Manifestasi Klinis
Pendarahan keluar dari hidung pada saat pasien menegakkan badannya. Pendarahan
biasanya dapat berhenti sendiri.
Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari sumber
perdarahan, menghentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya
perdarahan.1
Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan
serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dulu misalnya dengan memasang
infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau
diisap.1
Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya dilihat apakah perdarahan dari anterior atau posterior.1
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan ialah lampu kepala, spekulum hidung
dan alat pengisap. Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab
perdarahan.1

11

Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar
dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaanya lemah sebaiknya setengah duduk atau
berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai darah mengalir ke
saluran napas bawah.1
Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak
dan tidak bergerak-gerak.1
Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah
dengan bantuan alat pengisap. Kemudian pasang tampon sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2% dimasukkan ke
dalam rongga hidung untuk menghentikan per- darahanan mengurangi rasa nyeri pada saat
dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi
vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau
posterior hidung.1
Menghentikan perdarahan anterior
Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian
depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama pada anak,
dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit, seringkali
berhasil.1
Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan
larutan Nitras Argenti (AgN03) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotik.1
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau
salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4
buah, disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan.1
Pada perdarahan di bagian rongga hidung anterior, biasanya dimasukkan kasa yang
sudah dioles dengan salep. Cara lain adalah menggunakan tampon busa yang akan
mengembang sendiri karena kelembaban dan menimbulkan penekanan. Hal yang perlu
diperhatikan adalah bahwa pada perdarahan satu sisi, pemasangan tampon selalu dilakukan di
kedua sisi untuk memberikan tekanan yang memadai di tempat perdarahan. Pada perdarahan
yang tidak jelas sumbernya, kateter balon dengan dua ruang dimasukkan. Setelah terisi
dengan air, kateter tersebut memberikan penekanan pada rongga hidung dan pada bagian
minor nasofaring. Dengan demikian, aliran darah ke dalam tenggorokan dapat dihindari.
12

Keuntungan lainnya adalah pemasangan kateter yang mudah dan tidak terlalu membebani
bagi pasien. Bila kateter balon tidak memberikan hasil yang memuaskan, tampon Bellocq
dapat dipasang sebagai tampon belakang. Pada pemasangan tampon tersebut, suatu gulungan
kapas dipasang pada area choana atau nasofaring dan bagian hidung lainnya disumbat dengan
tampon anterior. Akan tetapi, risiko aspirasi dengan adanya gulungan kapas tersebut
meningkat, dan dapat menimbulkan gejala depresi pernapasan melalui penekanan di batang
otak. Pemasangan tampon sebaiknya tidak melebihi 2-3 hari di hidung, untuk menghindari
infeksi dan nekrosis jaringan akibat penekanan. Profilaksis dengan antibiotika dapat
dipertimbangkan. Selama 2 hari ini dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor
penyebab epistaksis. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang tampon baru.1

Gambar 3. Tampon hidung anterior untuk menghentikan pendarahan di bagian


anterior hidung.6
Pada perdarahan yang tidak kunjung berhenti, pembuluh darah utama dapat diligasi
atau diembolisasi. Pembuluh yang menerima tindakan tersebut pada perdarahan di atas
kerangka tengah hidung antara lain aa. ethmoidales, sedangkan pada perdarahan di bagian
bawah rongga hidung, a. sphenopalatina atau a. maxillaris. Pada prosedur tersebut, ligasi
sebaiknya dilakukan sedekat mungkin dengan sumber perdarahan.1
Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat
dari usaha penanggulangan epistaksis.1
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas
bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah
secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi
13

koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini
pemberian infus atau tranfusi darah harus dilakukan secepatnya.1
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan
antibiotik.1
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media, septikemia atau
toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan masih
berlanjut dipasang tampon baru.1
Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba
Eustachius, dan airmata berdarah (bloody tears), akibat mengalirnya darah secara retrograd
melalui duktus nasolakrimalis.1
Pemasangan tampon posterior (tampon Belloq) dapat menyebabkan laserasi palatum
mole atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi.
Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat
menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.1
Pencegahan
Mencegah pendarahan berulang. Setelah perdarahan, untuk sementara dapat diatasi
dengan pemasangan tampon, selanjutnya perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah,
hemostasis. Pemeriksaan foto polos atau CT scan sinus bila dicurigai ada sinusitis. Konsul ke
Penyakit Dalam atau Kesehatan Anak bila dicurigai ada kelainan sistemik.1
Prognosis
Untuk sebagian besar dari populasi umum, epistaksis hanyalah gangguan. Namun,
masalahnya kadang-kadang dapat mengancam jiwa, terutama pada pasien lanjut usia dan
pada pasien dengan masalah medis yang mendasari. Untungnya , kematian jarang terjadi dan
biasanya disebabkan oleh komplikasi dari hipovolemia, dengan perdarahan berat atau kondisi
penyakit yang mendasarinya.7
Secara keseluruhan, prognosis baik tetapi variabel, dengan perawatan yang tepat,
prognosis akan sangat baik. Ketika perawatan suportif yang memadai disediakan dan masalah
medis yang mendasari dikendalikan, kebanyakan pasien tidak mungkin untuk mengalami
perdarahan ulang apapun. Orang lain mungkin memiliki pendarahan berulang yang

14

menghilang secara spontan atau dengan pengobatan mandiri minimal. Sebagian kecil pasien
mungkin memerlukan pengobatan yang lebih agresif.7
Penutup
Epistaksis sebenarnya merupakan suatu gejala bukan suatu penyakit. Penyebab
epistaksis banyak, namun yang paling sering adalah manipulasi jari atau trauma. Pada
epistaksis perlu dibedakan apakah pendarahan anterior atau posterior. Cara membedakannya
adalah dengan meminta pasien untuk duduk tegak, dan kemudian melihat aliran darah apakah
melalui hidung (anterior) atau tenggorokan (posterior). Penanganannya harus dilakukan
sesegera mungkin. Apabila semakin cepat dan tepat penanganannya, maka akan semakin baik
prognosisnya.
Daftar Pustaka
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2009. h. 155-9
2. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Boies: buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC; 2013. h. 223-6.
3. Bickley LS, Szilagyi PG. Pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates: buku saku.
Edisi ke-5. Jakarta: EGC; 2008. h.1-9.
4. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi ke-8.
Jakarta: EGC; 2009. h. 142-3, 162-3.
5. Lumbantobing SM. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta: Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. h. 7-11, 17-20.
6. Nagel P, Gurkov R. Dasar-dasar ilmu THT. Jakarta: EGC; 2012. H. 34-7, 50-1.
7.
Epitaxis,
diunduh
dari:
http://emedicine.medscape.com/article/863220overview#a0156, 30 November 2016.
8. Thompson, Sharon W. Epsitaksis in Emergency Care of Children. Boston : Jones and
Barlett Publisher, 1990. h. 190-1.
9. Soudheiner, Judith M. The Nose & Paranasal Sinuses in Hay, Wiiliam W. et.al.
Current Pediatric Diagnose and Treatment. 6th Ed. USA : The Mc. Groww Hill
Companies Inc, 2007. h. 479.

15

Anda mungkin juga menyukai