Pada zaman purba (primitive culture), manusia percaya bahwa apa yang
ada di bumi mempunyai kekuatan mistik/spiritual yang dapat mempengaruhi
kehidupan manusia. Kepercayaan ini disebut animisme. Mereka meyakini
bahwa sakitnya seseorang disebabkan oleh kekuatan alam atau pengaruh
kekuatan gaib seperti batu-batu besar, gunung-gunung yang tinggi, pohonpohon yang besar, sungai-sungai yang besar, dll. Pada saat itu peran perawat
tidak berkembang, masyarakat pada masa itu lebih senang pergi ke dukun
untuk mengobatkan anggota keluarganya yang sakit. Masyarakat menganggap
bahwa dukun lebih mampu mencari, mengetahui dan mengatasi roh yang
masuk ke tubuh orang yang sakit.
Fenomena animisme terlihat pada sejarah Bangsa Mesir dan Cina. Pada
masa itu bangsa Mesir menyembah Dewa Isis, Dewa yang diyakini bisa
menyembuhkan penyakit. Masyarakat Cina menganggap penyakit disebabkan
oleh syetan atau makhluk halus dan akan bertambah parah jika orang lain
memegang orang yang sakit, akibatnya perawat tidak diperkenankan untuk
merawat orang yang sakit.
C. ZAMAN PERADAPAN KUNO
Pada masa ini, keyakinan mengenai penyebab penyakit masih mirip
dengan zaman primitif, yaitu didasarkan pada takhayul dan magis, sehingga
penyembuhan membutuhkan penyembuhan magis. Pendeta atau dokter
penyihir menikmati status dalam masyarakat kuno. Sejalan dengan
perkembangan peradapan, teori praktis perawatan medis yang muncul sebagai
penyebab penyakit non-medis mulai terobservasi. Catatan tertua mengenai
praktik penyembuhan ada pada lembaran tanah liat berusia 4000 tahun yang
dihubungkan dengan peradapan Sumeria. Lembaran ini berisi tentang resep
obat, tetapi tidak dituliskan untuk mengatasi penyakit apa.
Lontar Eber merupakan temuan kebudayaan Mesir. Lontar ini tertanggal
sekitar tahun 1550 SM, dan dipercayai sebagai teks medis tertua di dunia.
Lontar ini berisi uraian tentang banyak penyakit yang diketahui saat ini dan
mengidentifikasi gejala spesifik. lontar Eber juga berisi 700 zat yang digunakan
untuk obat-obatan disertai cara penyiapan dan penggunaannya. Mumifikasi
atau pembalseman juga muncul pada masa ini, mumifikasi berasal dari
keyakinan bahwa ada kehidupan setelah kematian. Dibutuhkan ilmu dan
pengetahuan untuk membuat larutan yang bisa digunakan untuk
mengawetkan mayat. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa itu sudah
mengenal ilmu fisiologi, anatomi dan patofisiologi.
Bangsa Yahudi kuno menyumbangkan Mosaic Health Code. Kode ini
dianggap sebagai legislasi sanitari pertama dan berisi catatan pertama
mengenai syarat kesehatan masyarakat. Kode ini mencakup aspek individu,
keluarga, dan kesehatan komunitas, termasuk di dalamnya membedakan
antara yang bersih dengan tidak bersih.
Budaya Afrika kuno, fungsi pengasuhan yang dimiliki oleh perawat
termasuk peran sebagai bidan, herbalis, ibu susu, dan pemberi perawatan
untuk anak dan lansia (Dolan, Fitzpatrick, dan Herrmann, 1983). Budaya India
terkenal di Roma yang bernama Monastic Hospital. Rumah Sakit ini dilengkapi
dengan fasilitas perawatan berupa bangsal perawatan, bangsal untuk orang
cacat, miskin dan yatim piatu. Sejak abad pertengahan institusi yang bergerak
dalam bidang sosial (1100 M sampai 1200 M) mulai bergerak merawat lansia,
orang sakit dan orang miskin (Deloughery, 1995).
Seperti di Eropa, pada pertengahan abad VI masehi, keperawatan juga
berkembang di benua Asia. Tepatnya di Asia Barat Daya yaitu Timur Tengah
seiring dengan perkembangan agama Islam. Pengaruh agama Islam terhadap
perkembangan keperawatan tidak lepas dari keberhasilan Nabi Muhammad
SAW dalam menyebarkan agama Islam. Kegiatan pelayanan keperawatan
berkualiatas telah dimulai sejak seorang perawat muslim pertama yaitu Siti
Rufaidah pada jaman Nabi Muhammad S.A.W, yang selalu berusaha
memberikan pelayanan terbaiknya bagi yang membutuhkan tanpa
membedakan apakah kliennya kaya atau miskin(Elly Nurahmah, 2001).
Sementara sejarah perawat di Eropa dan Amerika mengenal Florence
Nightingale sebagai pelopor keperawatan modern, Negara di timur tengah
memberikan status ini kepada Rufaidah, seorang perawat muslim. Talenta
perjuangan dan kepahlawanan Rufaidah secara verbal diteruskan turun
temurun dari generasi ke generasi di perawat Islam khususnya di Arab Saudi
dan diteruskan ke generasi modern perawat di Saudi dan Timur Tengah (Miller
Rosser, 2006)
Prof. Dr. Omar Hasan Kasule, Sr, 1998 dalam studi Paper Presented at
the 3rd International Nursing Conference "Empowerment and Health: An
Agenda for Nurses in the 21st Century" yang diselenggarakan di Brunei
Darussalam 1-4 Nopember 1998, menggambarkan Rufaidah adalah perawat
profesional pertama dimasa sejarah islam. Dia tidak hanya melaksanakan
peran perawat dalam aspek klinikal semata, namun juga melaksanakan peran
komunitas dan memecahkan masalah sosial yang dapat mengakibatkan
timbulnya berbagai macam penyakit. Saat kota Madinah berkembang, Rufaidah
mengabdikan diri merawat kaum muslim yang sakit, dan membangun tenda di
luar Masjid Nabawi saat damai. Dan saat perang Badr, Uhud, Khandaq dan
Perang Khaibar dia menjadi sukarelawan dan merawat korban yang terluka
akibat perang. Dan mendirikan Rumah sakit lapangan sehingga terkenal saat
perang dan Nabi Muhammad SAW sendiri memerintahkan korban yang terluka
dirawat olehnya.
Konstribusi Rufaidah tidak hanya merawat mereka yang terluka akibat
perang. Namun juga terlibat dalam aktifitas sosial di komuniti. Dia
memberikan perhatian kepada setiap muslim, miskin, anak yatim, atau
penderita cacat mental. Dia merawat anak yatim dan memberikan bekal
pendidikan. Rufaidah digambarkan memiliki kepribadian yang luhur dan
empati sehingga memberikan pelayanan keperawatan yang diberikan kepada
pasiennya dengan baik pula. Sentuhan sisi kemanusiaan adalah hal yang
penting bagi perawat, sehingga perkembangan sisi tehnologi dan sisi
kemanusiaan (human touch) mesti seimbang. Rufaidah juga digambarkan
sebagai pemimpin dan pencetus Sekolah Keperawatan pertama di dunia
Isalam, meskipun lokasinya tidak dapat dilaporkan (Jan, 1996), dia juga
merupakan penyokong advokasi pencegahan penyakit (preventif care) dan
menyebarkan pentingnya penyuluhan kesehatan (health education)
Memasuki abad VII Masehi, agama Islam tersebar ke berbagai pelosok
negara dari Afrika, Asia Tenggara sampai Asia Barat dan Eropa (Turki dan
Spanyol). Pada masa itu di jazirah Arab berkembang pesat ilmu pengetahuan
seperti ilmu pasti, ilmu kimia, hygiene, dan obat-obatan. Prinsip-prinsip dasar
perawatan kesehatan seperti menjaga kebersihan diri (personal hygiene),
kebersihan makanan, air dan lingkungan berkembang pesat. Masa Late to
Middle Ages (1000 1500 M ), negara-negara Arab membangun RS dengan baik,
dan mengenalkan perawatan orang sakit. Ada gambaran unik di RS yang
tersebar dalam peradaban Islam dan banyak dianut RS modern saat ini hingga
sekarang, yaitu pemisahan anatar ruang pasien laki-laki dan wanita, serta
perawat wanita merawat pasien wanita dan perawat laki-laki, hanya merawat
pasien laki-laki (Donahue, 1985, Al Osimy, 2004).
KEPERAWATAN ABAD PERTENGAHAN
Permulaan abad XVI, struktur dan orientasi masyarakat mengalami
perubahan, dari orientasi kepada agama berubah menjadi orientasi
kekuasaan, yaitu perang, eksplorasi kekayaan alam serta semangat
kolonialisme. Akibat dari hal tersebut adalah banyak tempat ibadah (termasuk
gereja) yang ditutup, padahal tempat ini dijadikan tempat untuk merawat orang
sakit.
Di satu sisi, kenyataan ini berdampak negatif. Penutupan tempat ibadah
menyebabkan kekurangan tenaga perawat karena sebelumnya, tindakan
perawatan dilakukan oleh kelompok agama. Untuk memenuhi kebutuhan
perawat, bekas wanita jalanan (wanita tuna susila) atau wanita yang bertobat
setelah melakukan kejahatan diterima sebagai perawat. Kejadian ini
melatarbelakangi asumsi negatif terhadap perawat, masyarakat beranggapan
bahwa wanita terhormat tidak bekerja di luar rumah. Akibat reputasi ini
perawat diupah dengan gaji rendah dengan jam kerja lama pada kondisi kerja
yang buruk (Taylor. C.,dkk, 1989)
Di sisi yang lain, adanya perang seperti perang Salib berdampak positif
terhadap perkembangan keperawatan. Untuk menolong korban perang
dibutuhkan banyak tenaga sukarela yang dipekerjakan sebagai perawat.
Mereka terdiri dari kelompok agama, wanita-wanita yang mengikuti suaminya
ke medan perang turut merawat orang sakit jika diperlukan dan tentara (pria)
yang bertugas rangkap sebagai perawat. Pengaruh perang salib terhadap
keperawatan adalah mulainya dikenal istilah P3K (Pertolongan Pertama Pada
Kecelakaan), pada masa itu keberadaan perawat mulai dibutuhkan dalam
ketentaraan dan timbul peluang kerja bagi perawat di bidang sosial. Setelah
perang Salib, kota-kota besar mulai berdiri dan berkembang dengan
menurunkan faktor feodalisme. Perkembangan populasi penduduk yang luas di
kota-kota tersebut menyebabkan munculnya masalah kesehatan, yang secara
masyarakat, dan pendidikan terjadi pada awal abad keduapuluhan. Pada masa
itu mulai dirintis pendidikan keperawatan di tingkat universitas. Dengan
berkembangnya pendidikan keperawatan maka praktik keperawatan juga
mengalami perluasan. Pada tahun 1901 didirika The Army Nurses Corps,
diikuti dengan berdirinya The Navy Nurses Corps pada tahun 1908. Spesialisi
keperawatan juga mulai dikembangkan. Sekitar tahun 1920-an, dibentuk
organisasi perawat spesialis, seperti Assosiation of Operating Room
Nurses (1949),American Assosiation of Critical-Care Nurses (1969) dan Oncology
Nursing Society(1975).
PERKEMBANGAN KEPERAWATAN DI INDONESIA
Tidak banyak literatur yang
mengungkapkan perkembangan
keperawatan di Indonesia. Seperti perkembangan keperawatan di dunia pada
umumnya, perkembangan keperawatan di Indinesia juga dipengaruhi kondisi
sosial ekonomi yaitu penjajahan pemerintah kolonial Belanda, Inggris dan
Jepang serta situasi pemerintahan Indonesia setelah Indonesia merdeka.
Perkembangan keperawatan di Indonesia pada dasarnya dibedakan atas masa
sebelum kemerdekaan dan masa setelah kemerdekaan (orde lama dan orde
baru).
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda perawat berasal dari
penduduk
pribumi
yang
disebut
velpleger dengan
dibantu zieken
oppaser sebagai penjaga orang sakit. Mereka bekerja pada Rumah Sakit Binnen
Hospital di Jakarta yang didirikan tahun 1799 untuk memelihara kesehatan
staf dan tentara Belanda. Usaha pemerintah kolonial Belanda di bidang
kesehatan pada masa itu antara lain: Dinas Kesehatan Tentara yang dalam
bahasa Belanda disebut Militiary Gezondherds Dienst dan Dinas Kesehatan
Rakyat atauBurgerlijke Gezondherds Dienst. Pendirian rumah sakit ini
termasuk usaha Daendels mendirikan rumah sakit di Jakarta, Surabaya dan
Semarang, ternyata tidak diikuti perkembangan profesi keperawatan yang
berarti karena tujuannya semata-mata untuk kepentingan tentara Belanda.
Ketika VOC berkuasa, Gubernur Jendral Inggris Raffles (1812-1816)
sangat memperhatikan kesehatan rakyat. Berangkat dari semboyannya
Kesehatan adalah milik manusia, ia melakukan berbagai upaya memperbaiki
derajat kesehatan penduduk pribumi. Tindakan yang dilakukan antara lain:
pencacaran umum, membenahi cara perawatan pasien dengan gangguan jiwa
serta memperhatikan kesehatan dan perawatan para tahanan.
Setelah pemerintahan kolonial kembali ke tangan Belanda, usaha-usaha
peningkatan kesehatan penduduk mengalami kemajuan. Di Jakarta tahun
1819 didirikan beberapa rumah sakit, salah satu diantaranya adalah Rumah
Sakit Stadsverband berlokasi di Glodok (Jakarta Barat). Pada tahun 1919
rumah sakit ini dipindahkan di Salemba dan sekarang bernama Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM). Saat ini RSCM menjadi pusat rujukan nasional
dan pendidikan nasional. Dalam kurun waktu ini (1816-1942), berdiri pula
beberapa rumah sakit swasta milik katolik dan protestan, misalnya: RS
Persatuan Gereja Indonesia (PGI) Cikini-Jakarta Pusat, RS St. Carolus
seperti pandangan keperawatan di Negara barat, keyakinan akan spiritual Islam tercermin
dalam budaya mereka.
Di Indonesia mungkin hal serupa juga terjadi tinggal bagaimana keperawatan dan islam
berkembang sejalan dalam harmoni percepatan tuntutan asuhan keperawatan, kompleksitas
penyakit, perkembangan teknologi kesehatan dan informatika kesehatan agar tetap
mengenang dan menteladani sejarah perkembangan keperawatan dimulai oleh Rufaidah binti
Saad.