Anda di halaman 1dari 22

Referat

HIPERTENSI PADA PENYAKIT GINJAL

PEMBIMBING :
dr. Tony Prasetya, Sp.PD

Disusun Oleh :
Intan Nabilah Pratiwi, S.Ked
Revi Fitradewi, S.Ked
Rino Agustian Praja, S.Ked
Tri Rahayu Marbaniati, S.Ked

SMF DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FK UNIVERSITAS MALAHAYATI
RS PERTAMINA BINTANG AMIN
BANDAR LAMPUNG 2016

BAB I
PENDAHULUAN

Ginjal dan tekanan darah mempunyai suatu keterkaitan. Hubungan


keterkaitan antara hipertensi dan ginjal telah lama diketahui sejak Richard Bright
pada 1836. Penyakit ginjal dapat menyebabkan naiknya tekanan darah dan
sebaliknya hipertensi dalam jangka waktu lama dapat mengganggu ginjal. Apakah
hipertensi yang menyebabkan penyakit ginjal atau penyakit ginjal yang
menyebabkan naiknya tekanan darah masih sukar untuk dibedakan dan untuk
mengetahui kedua keadaan ini diperlukan adanya catatan medik yang teratur
dalam jangka panjang.1,2
Hipertensi pada penyakit ginjal seringkali bersifat menetap dan berkaitan
dengan risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler yang tinggi dibandingkan
dengan hipertensi tanpa disertai penyakit ginjal. Tingkat prevalensi hipertensi di
seluruh dunia masih tinggi. Lebih dari 25% jumlah populasi dunia saat ini
menderita hipertensi dan prevalensinya diperkirakan meningkat sampai 60% pada
tahun 2025. Berdasarkan beberapa data penelitian menunjukkan bahwa hipertensi
menyumbang peranan sekitar 50% pada penyakit ginjal kronik.3
Penelitian-penelitian selama ini membuktikan bahwa hipertensi merupakan
salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal di samping faktor-faktor lain seperti
proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemia, hiperlipidemia, dan beratnya
fungsi ginjal sejak awal.

Data-data epidemiologis dan uji klinis menunjukkan bahwa upaya


penurunan tekanan darah akan memperlambat perburukan penyakit ginjal dan
sekaligus menurunkan resiko kematian akibat penyakit kardiovaskuler.1,4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis di mana terjadi
peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam jangka waktu lama). Menurut
The seventh Report of the Joint National Commite on Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure (JNC-VII), hipertensi didefinisikan sebagai
tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg.
Klasifikasi ini diperuntukkan pada dewasa 15 tahun ke atas dan berdasarkan pada
nilai rata-rata dari dua atau lebih pengukuran tekanan darah dalam keadaan duduk
dan dalam beberapa kali kunjungan.5
Beratnya pengaruh hipertensi pada ginjal tergantung dari tingginya
tekanan darah dan lamanya menderita hipertensi. Makin tinggi tekanan darah
dalam waktu lama makin berat komplikasi yang ditimbulkan. Selain itu
variabilitas tekanan darah berperan penting sebagai penyebab kerusakan target
organ. 1,2
EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, penyakit hipertensi terus mengalami peningkatan karena
tingkat kesadaran dan kewaspadaan masyarakat akan kesehatan masih rendah.
Dari 4.000 penderita hipertensi, sekitar 17% di antaranya juga menderita penyakit
gagal ginjal. Kejadian hipertensi tertinggi ada pada usia di atas 60 tahun dan
terendah pada usia di bawah 40 tahun. Di negara berkembang, sekitar 80%

penduduk negara menderita hipertensi. Untuk penyakit ginjal kronik, peningkatan


terjadi sekitar 2-3 kali lipat dari tahun sebelumnya.6
Pada penelitian tahun 2009 diperoleh 101 pasien yang mengalami penyakit
ginjal, dimana 61,4% berjenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada yang
berjenis kelamin perempuan yaitu 38,6%. Sampel mayoritas berumur antara 31-50
tahun yaitu sebesar 50,5%. Sebagian besar sampel yaitu 60,4% menderita
hipertensi sebagai penyebab penyakit ginjal terbanyak.6
PATOGENESIS
Peranan Renin Angiotensin Aldosteron Pada Pengaturan Tekanan Darah
Peranan renin-angiotensin sangat penting pada hipertensi renal atau yang
disebabkan karena gangguan pada ginjal. Apabila bila terjadi gangguan
pada ginjal, maka ginjal akan banyak mensekresikan sejumlah besar renin.
Nama renin pertama kali diberikan oleh Tigerstredt dan Bergman (1898)
untuk suatu zat presor yang diekstraksi dari ginjal kelinci. Pada tahun 1975
Page dan Helmer mengemukakan bahwa renin merupakan enzim yang bekerja
pada suatu protein, angiotensinogen untuk melepaskan Angiotensin. Baru pada
tahun 1991 Rosivsll dan kawan-kawan mengemukakan bahwa bahwa renin
dihimpun dan disekresi oleh sel juxtaglomelurar yang terdapat pada dinding
arteriol afferen ginjal, sebagai kesatuan dari bagian macula densa satu unit nefron.
Menurut Guyton dan Hall (1997), renin adalah enzim dengan protein kecil yang
dilepaskan oleh ginjal bila tekanan arteri turun sangat rendah. Menurut Klabunde
(2007)

pengeluaran

renin

dapat

disebabkan

aktivasi

saraf

simpatis

(pengaktifannya melalui 1-adrenoceptor), penurunan tekanan arteri ginjal


(disebabkan oleh penurunan tekanan sistemik atau stenosis arteri ginjal), dan
penurunan asupan garam ke tubulus distal.7

Proses pengeluaran renin dari ginjal, pembentukan dan


fungsi angiotensin II

Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan pada uraian berikut. Renin


bekerja secara enzimatik pada protein plasma lain, yaitu suatu globulin
yang disebut bahan renin (atau angiotensinogen), untuk melepaskan peptida
asam amino-10, yaitu angiotensin I. Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor
yang ringan tetapi tidak cukup untuk menyebabkan perubahan fungsional yang
bermakna dalam fungsi sirkulasi. Renin menetap dalam darah selama 30 menit
sampai 1 jam dan terus menyebabkan pembentukan angiotensin I selama
sepanjang waktu tersebut (Guyton dan Hall, 1997).

Dalam beberapa detik setelah pembentukan angiotensin I, terdapat dua


asam amino tambahan yang memecah dari angiotensin untuk membentuk
angiotensin II peptida asam amino-8. Perubahan ini hampir seluruhnya terjadi
selama beberapa detik sementara darah mengalir melalui pembuluh kecil pada
paru-paru, yang dikatalisis oleh suatu enzim, yaitu enzim pengubah, yang
terdapat di endotelium pembuluh paru yang disebut Angiotensin Converting
Enzyme (ACE). Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat, dan
memiliki efek-efek lain yang juga mempengaruhi sirkulasi. Angiotensin II
menetap dalam darah hanya selama 1 atau 2 menit karena angiotensin II secara
cepat akan diinaktivasi oleh berbagai enzim darah dan jaringan yang secara
bersama-sama disebut angiotensinase (Guyton dan Hall, 1997).
Selama angiotensin II ada dalam darah, maka angiotensin II mempunyai
dua pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri. Pengaruh
yang pertama, yaitu vasokontriksi, timbul dengan cepat. Vasokonstriksi terjadi
terutama pada arteriol dan sedikit lebih lemah pada vena. Konstriksi pada arteriol
akan meningkatkan tahanan perifer, akibatnya akan meningkatkan tekanan arteri.
Konstriksi ringan pada vena-vena juga akan meningkatkan aliran balik darah
vena ke jantung, sehingga membantu pompa jantung untuk melawan kenaikan
tekanan (Guyton dan Hall, 1997).
Cara utama kedua dimana angiotensin meningkatkan tekanan arteri
adalah dengan bekerja pada ginjal untuk menurunkan eksresi garam dan air.
Ketika tekanan darah atau volume darah dalam arteriola eferen turun ( kadangkadang sebagai

akibat

dari

penurunan

asupan

garam),

enzim

renin

mengawali

reaksi kimia yang mengubah protein plasma yang disebut

angiotensinogen menjadi peptida yang disebut angiotensin II. Angiotensin II


berfungsi sebagai hormon yang meningkatkan tekanan darah dan volume
darah dalam beberapa cara. Sebagai contoh, angiotensin II menaikan tekanan
dengan cara menyempitkan arteriola, menurunkan aliran darah ke banyak
kapiler, termasuk kapiler ginjal. Angiotensin II merangsang tubula proksimal
nefron

untuk

menyerap

kembali NaCl dan air. Hal tersebut akan jumlah

mengurangi garam dan air yang diekskresikan dalam urin dan akibatnya adalah
peningkatan volume darah dan tekanan darah (Campbell, et al. 2004).
Pengaruh lain angiotensin II adalah perangsangan kelenjar adrenal, yaitu
organ yang terletak diatas ginjal, yang membebaskan hormon aldosteron.
Hormon aldosteron bekerja pada tubula distal nefron, yang membuat tubula
+

tersebut menyerap kembali lebih banyak ion natrium (Na ) dan air, serta
meningkatkan volume dan tekanan darah (Campbell, et al. 2004). Hal tersebut
akan memperlambat

kenaikan

voume

cairan

ekstraseluler

yang

kemudian meningkatkan tekanan arteri selama berjam-jam dan berhari-hari.


Efek jangka panjang ini bekerja melalui mekanisme volume cairan ekstraseluler,
bahkan lebih kuat daripada mekanisme vasokonstriksi akut yang akhirnya
mengembalikan tekanan arteri ke nilai normal.
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut
maupun kronik baik pada kelainan glomerulus maupun pada kelainan vaskuler.
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat dikelompokkan dalam:1,2
1.

Pada Penyakit Glomerulus Akut: GN Pasca Streptokokkus, Nefropati,


Membranosa

2.
3.
4.

Pada Penyakit Vaskuler: Vaskulitis, Skleroderma


Pada Gagal Ginjal Ktonik : CKD Stage III-V
Penyakit Glomerulus Kronik: Tekanan darah normal tinggi

1.

Penyakit Glomerulus Akut


Hipertensi terjadi oleh karena adanya retensi natrium yang menyebabkan

hipervolemi. Retensi natrium terjadi akibat adanya peningkatan reabsorbsi


Natrium di duktus koligentes. Peningkatan ini dimungkinkan oleh karena adanya
resisten relative terhadap Hormon Natriuretik Peptida dan peningkatan aktivitas
pompa Na-K-ATPase di duktus koligentes.1

2.

Penyakit Vaskuler
Pada keadaan ini terjadi iskemi yang kemudia merangsang system renin

angiotensin aldosteron.1

3.

Gagal Ginjal Kronik

Hipertensi oleh karena hal-hal sebagai berikut:1


1.
2.
3.
4.
5.

Retensi natrium
Peningkatan system RAA akibat iskemi relative karena kerusakan regional
Aktivitas saraf simpatis meningkat akibat kerusakan ginjal
Hiperparatiroid sekunder
Pemberian eritropoeitin

4.

Penyakit Glomerulus Kronik


Tekanan darah yang ditemukan biasanya normal tinggi dibandingkan

dengan kontrol normal. Sejak ditemukan cara penentuan praktis kadar renin dan
angiotensin II dalam plasma maka renin-angiotensin-aldosterone (RAA) sistem
diteliti secara luas. Renin dihasilkan oleh sel-sel jukstaglomerulus di ginjal dan

akan merubah angiotensinogen menjadi angiotensin I (AI). Kemudian AI oleh


pengaruh angiotensin converting enzym (ACE) yang dihasilkan oleh paru, hati dan
ginjal dirubah menjadi angiotensin II (AII). Sistem RAA adalah satu sistem
hormonal enzimatik yang bersifat multikompleks dan berperan dalam hal naiknya
tekanan darah, pengaturan keseimbangan cairan tubuh dah elektrolit.1
Sekresi renin oleh ginja dipengaruhi oleh : 1). Mekanisme intrarenal : (a)
reseptor vaskular, (b) makula densa; 2). Mekanisme simpatoadrenergik; 3).
Mekanisme humoral.1
Selain sistem RAA ada juga sistem Kalikrein-Kinin (KK) yang juga dapat
menyebabkan naiknya tekanan darah (gambar 2). Kalikrein akan merubah
Bradikininogen menjadi Bradikinin kemudian ACE akan merubah Bradikinin
menjadi fragmen inaktif yang dapat meningkatkan tekanan darah (gambar 3).1
Renin mengubah Angiotensinogen menjadi Angiotensin I (AI) kemudian
AI dirubah oleh ACE menjadi Angiotensin II (AII) dan alur ini disebut alur ACE.
Selain alur ACE, AII juga dapat terbentuk langsung dari Angiotensinogen atau
melalui alur lain dan kedua alur ini disebut alur non ACE.1

DIAGNOSIS

Hipertensi

Kebanyakan orang dengan tekanan darah tinggi tidak memiliki gejala.


Satu-satunya cara untuk mengetahui apakah tekanan darah seseorang tinggi adalah
dengan mengukurnya menggunakan manset tekanan darah. Hasilnya dinyatakan
sebagai dua angka. Angka yang lebih tinggi diperoleh pada saat jantung
berkontraksi (sistolik), angka yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung
berelaksasi (diastolik). Tekanan darah seseorang dianggap normal jika tetap pada
atau di bawah 120/80 mmHg. Orang dengan tekanan darah sistolik sekitar 120139 atau tekanan darah diastolik dari 80-89 dianggap prehipertensi dan harus
mengadopsi perubahan gaya hidup untuk menurunkan tekanan darah dan
mencegah penyakit jantung dan pembuluh darah. Seseorang yang tekanan darah
sistolik secara konsisten 140 atau lebih tinggi atau yang diastolik tekanan adalah
90 atau lebih tinggi dianggap memiliki tekanan darah tinggi dan harus konsul
dengan dokter tentang cara terbaik untuk menurunkannya.7

Penyakit Ginjal

Penyakit ginjal dini adalah silent problem, seperti tekanan darah tinggi,
dan tidak memiliki gejala apapun. Seseorang mungkin memiliki penyakit ginjal
kronik tetapi tidak tahu itu karena mereka tidak merasa sakit. Glomerulus
Filtration Rate (GFR) adalah ukuran seberapa baik ginjal menyaring buangan dari
darah. GFR didapatkan dari pengukuran rutin kreatinin dalam darah. Hasilnya
disebut estimated GFR (eGFR).7

Kreatinin adalah produk limbah yang dibentuk dari kerusakan sel-sel otot
normal. Ginjal sehat mengambil kreatinin keluar dari darah dan memasukkannya
ke dalam urin agar keluar dari dalam tubuh. Ketika ginjal tidak bekerja dengan
baik, maka kreatinin akan menumpuk dalam darah.7
eGFR dengan nilai di bawah 60 mililiter per menit (ml/menit) artinya
beberapa kerusakan ginjal telah terjadi. Skor tersebut menunjukkan bahwa ginjal
seseorang tidak bekerja pada kekuatan penuh.7
Tanda lain dari penyakit ginjal kronik adalah protein dalam urin
(proteinuria). Ginjal sehat mengambil buangan keluar dari darah tetapi
meninggalkan protein. Pada gangguan ginjal mungkin gagal untuk memisahkan
protein darah yang disebut albumin dari limbah buangan. Pada awalnya, hanya
sejumlah kecil albumin dapat bocor ke dalam urin, kondisi ini yang dikenal
sebagai mikroalbuminuria yang merupakan tanda gagal fungsi ginjal. Sejalan
dengan memburuknya fungsi ginjal, jumlah albumin dan protein lain dalam urin
meningkat, yang disebut proteinuria. CKD hadir ketika lebih dari 30 mg albumin
per gram kreatinin diekskresikan dalam urin, dengan atau tanpa penurunan eGFR.7

PENATALAKSANAAN
Medikamentosa

Berdasarkan patogenesis terjadinya hipertensi pada penyakit ginjal, maka


pengobatan sebaiknya disesuaikan pada masing-masing kelompok.1
Pengobatan hipertensi pada kelompok penyakit glomerulus akut, diberikan
diuretik sekaligus mengurangi edema yang terjadi pada kelompok ini.pengurangan
cairan dengan dialisis dapat juga menurunkan tekanan darah. Pemberian ACEI
atau angiotensin Receptor Blocker (ARB) juga dimungkinkan, stimulasi terhadap
sistem renin angiotensin aldosteron jaringan (tissue-ACE) dapat terjadi bila ada
lesi pada ginjal.1,8
ACE-I atau ARB merupakan obat pilihan pengobatan hipertensi pada
kelainan vaskular ginjal oleh karena iskemi yang terjadi akan merangsang sistemRAA.1,8
Pada gagal ginjal kronis, pemberian diuretik atau ACEI/ARB atau alcium
Channel Blocker (CCB) atau Beta locker dimungkinkan untuk pengobatan
hipertensi

secara

sendiri-sendiri

atau

kombinasi.

Komplikasi

terjadinya

hiperkalemi pada pemberian ACEI atau Beta Blocker atau penurunan fungsi ginjal
pada pemberian ACEI harus menjadi perhatian. Bila terjadi hiperkalemi atau
penurunan fungsi ginjal lebih dari 30%, pemberian obat ini harus dihentikan.
Sesuai anjuran dari The Seventh Report of the Joint National Commitee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC7),
tahun 2003, tekanan darah sasaran pada penyakit ginjal kronik adalah 130/80
mmHg untuk menahan progresi penurunan fungsi ginjal, maka tekanan darah
diusahakan diturunkan untuk mencapai sasaran dengan kombinasi obat-obatan di
atas.1,8

Pengobatan

hipertensi

pada

penyakit

glomerulus

kronik

dapat

doperlakukan sebagai pengobatan pada penyakit glomerulus akut. Pada


glomerulonefritis kronik dapat ditemukan adanya hipertrofi ventrikel kiri
walaupun tekanan darah masih dalam rentang normal, sehingga pemberian ACEI
atau ARB dapat dipakai.1,8

Renoprotektif
Maksud dari pengobatan hipertensi selain untuk menurunkan tekanan
darah, juga untuk mencegah terjadinya kerusakan pada organ target. Terbentuknya
AII baik dari alur ACE maupun alur non ACE dapat menyebabkan
glomerulofibrosis

karena

terjadi

infiltrasi

makrofag,

naiknya

tekanan

intraglomeruler dan kenaikan aldosteron yang semuanya dapat menyebabkan


gangguan pada sel-sel glomerulus. Naiknya tekanan intraglomeruler akibat terjadi
perbedaan tekanan pada vasa afaren dan eferen. Dalam hal renoprotektif ARB
lebih unggul dari ACEI karena selain efek samping yang minim, semua AII yang
terbentuk baik dari alur ACE maupun alur non ACE dihambat sedangkan reseptor
AT2 yang mempunyai efek menguntungkan justru distimulasi.1,8
Angiostensin II dengan kadar yang rendah dapat menyebabkan proteinuri.
Hal ini disebabkan karena terjadinya peningkatan tekanan pada kapiler
glomerulus, ukuran pori-pori glomerulus dan terjadi perubahan pada membran
glomerulus. Proteinuri merupakan barometer penentuan prognosis pasien
hipertensi dan penyakit ginjal. Semakin banyak proteinuri, semakin jelek
prognosis dan semakin tinggi risiko kardiovaskuler.1,8

ARB merupakan obat oral aktif dan bekerja spesifik menghambat ikatan
AII dengan reseptor AT1, sedangkan ACEI hanya menghambat pembentukan AII
melalui jalur ACE. Pada data penelotian hewan menunjukkan bahwa ARB lebih
sedikit mengurangi GFR bila dibandingkan dengan ACEI. Jelas bahwa ARB dan
ACEI sama-sama mempunyai sifat renoprotektif pada berbagai jenis gangguan
faal ginjal. ARB mempunyai efek natriuretik yang sama dengan dosis sedang dari
tiasid.1,8
Telah diketahui bahwa reseptor AT, antagonis memiliki potensi untuk
mengurangi proteinuri dan menurunkan tekanan darah tanpa terjadi perubahanperubahan yang dapat mengganggu GFR.1,8
Perlu penelotian jangka panjang untuk menentukan apakah reseptor AT1
antagonis dapat bersifat nefroprotective seperti halnya ACEI. Reseptor AT1
antagonis dapat digunakan pada pasien penyakit ginjal. Pada beberapa studi
berkesimpulan bahwa perlu hati-hati dalam penggunaan reseptor AT1 antagonis
dan ACEI pada penyakit ginjal akut dan bila dipergunakan maka perlu
pengamatan yang vermat fungsi ginjal.1,8
Interaksi Nitric Oxide (NO) dengan Angiotensin II
Angiotensin II juga berperan dalam hal pengaturan GFR melalui spasme
vasa afaren dan eferen. Pada penelitian lanjut menemukan bahwa AII dapat
meningkatkan oksidasi pada otot polos pembuluh darah dan sel-sel mesangial
sehingga sintesis sel yang berlarut-larut dari superoksida anion nitrik oksida dan
selanjutnya dapat menghambat respon sel-sel mesangial yang berakibat terjadinya
hipertrofi dan hiperplasia serta peningkatan produksi matriks. Karena angiostensin

II dan sintesin NO yang dikeluarkan secara lokal, maka terjadi interaksi antara
keduanya yang akhhirnya berperan dalam hal fisiologi dan patologi ginjal. Nitric
oxide mengatur sintesis ACE dan reseptor AT1 pada jaringan vaskular.1,8
Bila terjadi penghambatan sintesis NO yang kronis maka akan
menyebabkan gangguan pada glomerulus dan tubulointerstitial dan terjadi
remodeling koroner, LVH dan hipertensi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
berkurangnya bioaktivitas NO vaskular akibat disfungsi endotel seperti pada
hipertensi akan mempercepat remodeling vaskular akibat berkurangnya kombinasi
NO dengan Angiotensin II lokal.1,8
Nitric Oxide berperan mengatur sirkulasi darah ginjal dan dapat
meningkatkan retensi natrium sehingga bila terjadi gangguan sintesis NO
berakibat terjadi ketidakseimbangan antara pengaturan aliran darah ginjal dan
natrium yang berakibat buruk pada hipertensi yang peka garam. Disimpulkan
bahwa aktifitas sintesis NO lebih berperan pada hipertensi yang peka terhadap
garam. Khususnya pada hipertensi yang peka garam akan lebih cepat terjadi
gangguan pada organ target misalnya ginjal dan jantung. Dapat disimpulkan
bahwa aktifitas sintesis NO dapat terjadi secara genetik dan gangguan respon
sintesis NO vaskular dapat menyebabkan tingkat gangguan target organ yang
berbeda. Sedangkan pada organ tua karena berkurangnya aktivitas NO endotel
yang terjadi pada usia lanjut.1,8
Nonmedikamentosa

The National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) merekomendasikan


perubahan gaya hidup

yang dapat membantu mengontrol tekanan darah.

Seseorang dengan prehipertensi atau tekanan darah tinggi harus :7


1) Mempertahankan berat badan mereka pada tingkat mendekati normal.
2) Makan buah-buahan segar dan sayuran, biji-bijian, dan makanan rendah
lemak.
3) Membatasi garam sehari-hari atau natrium, asupan sampai 2000 mg.
4) Membatasi makanan beku dan makanan cepat saji.
5) Mendapatkan banyak latihan, setidaknya 30 menit aktivitas moderat,
seperti berjalan kaki, bersepeda, atau berenang, hampir setiap hari dalam
seminggu.
6) Menghindari mengkonsumsi alkohol terlalu banyak.

PROGNOSIS

Hipertensi adalah salah satu kondisi kesehatan yang mempengaruhi


mengancam populasi besar di dunia. Jika tekanan darah tinggi tidak terkontrol,
dapat merusak pembuluh darah pada banyak organ, salah satunya adalah ginjal.
Nefropati hipertensi, atau penyakit ginjal hipertensi, mengikuti Diabetes sebagai
penyebab utama kedua stadium akhir penyakit ginjal. Prognosis untuk nefropati
hipertensi tidak cukup baik, ketika didiagnosis sebagai penyakit. Bila lebih awal
dan lebih hati-hati dalam ditatalaksana maka akan lebih baik prognosisnya.7

Aspek lain yang mempengaruhi prognosis pada pasien adalah kombinasi


penyakit pada organ lain. Hipertensi primer dan kronis dapat merusak otak,
jantung dan mata. Di antara komplikasi jantung umum adalah hipertensi ventrikel
kiri hipertrofi, penyakit koroner, angina, gagal jantung, dll. sclerosis arteri retina
sering berkembang bersama-sama dengan kerusakan sclerosing. Maka dari itu
tekanan darah tinggi harus dikontrol untuk membantu mencegah komplikasi
tersebut. Dengan semua masalah di atas, penderita hipertensi harus menyadari
tanda-tanda penyakit ginjal dan mementingkan pengobatan dini untuk hipertensi
pada penyakit ginjal.7

BAB III
KESIMPULAN

Hipertensi pada penyakit ginjal seringkali bersifat menetap dan berkaitan


dengan risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler yang tinggi dibandingkan
dengan hipertensi tanpa disertai penyakit ginjal. Ginjal dan tekanan darah
mempunyai suatu hubungan keterkaitan. Pada satu sisi, disfungsi ginjal dapat
meningkatkan tekanan darah, sementara tekanan darah yang tinggi dapat
mempercepat hilangnya fungsi ginjal. Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi
pada penyakit ginjal akut maupun kronik baik pada kelainan glomerulus maupun
pada kelainan vaskuler. Berdasarkan patogenesis terjadinya hipertensi pada
penyakit ginjal, maka pengobatan sebaiknya disesuaikan pada masing-masing
kelompok. Selain itu perubahan gaya hidup dapat membantu mengontrolkan
tekanan darah. Prognosis untuk nefropati hipertensi tidak cukup baik, ketika
didiagnosis sebagai penyakit. Bila lebih awal dan lebih hati-hati dalam
ditatalaksana maka akan lebih baik prognosisnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo A.W,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Ed.5.
Jakarta:Interna Publishing; 2009.
2. Kasper, Branwauld, et al. Harrisons Principals of Internal Medicine. Ed.16.
McGraww Hill; 2005.
3. Youshauddin M, Bakris GL. The kidney and hypertension. In: EJ
Battegay,editors. Hypertension Principles and Practice. New York. Taylor and
Francis Group; 2005..
4. Toto RD. Management of hypertensive chronic kidney disease: Role of
Calcium Channel Blockers. J Clin Hypertens 2005; 7: 15-20.
5. NHLBI. The Seventh Report of the Joint National Committe on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. New York:U.S
Department of Health and Human Disease; 2004.
6. Epidemiologi Hipertensi sebagai Penyebab Penyakit Ginjal Kronik. (Online).
(Available at http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21480 diakses 20
7.

Januari 2013)
Kidney
Disease-Hyprtension

related(Online).

(Available

at

http://www.medicinenet.com/kidney_disease_hypertension-related diakses 20
Januari 2013)
8. Brenner, BM. Clinical Nephrology. Canada : W. B. Saunders Company. 1987

9. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penterjemah:
Irawati, Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2006

22

Anda mungkin juga menyukai