Anda di halaman 1dari 11

PENERAPAN WAJIB MILITER DI INDONESIA SEBAGAI BENTUK BELA NEGARA

ARGUMENTASI PRO;
OPENING STATEMENT
Saat dideklarasikannya kemerdekaan Indonesia, hal yang sangat esensial adalah dasar
negara dan norma dasar (konstitusi) yang menjadi fondasi negara. Satu hal yang termaktub
dalam pembukaan norma dasar tersebut adalah tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal tersebut merupakan amanah sekaligus janji
kemerdekaan yang harus bersama-sama diupayakan oleh seluruh komponen negara, termasuk
warga negara. Secara ringkas Samuel Huntington dalam The Soldier and yhe State menyatakan
bahwa tidak akan ada negara apabila tidak ada pertahanan/bela negara, dan tidak akan ada
pertahanan/bela negara apabila tidak ada negara.1
Terdapat beberapa argumentasi yang melandasi urgensi pemberlakuan wajib militer
(wamil) di Indonesia dengan ditinjau dari beberapa perspektif. Secara filosofis, bela negara
merupakan suatu naluriah dan kelaziman yang mesti dilakukan oleh suatu bangsa terhadap
negaranya. Wamil dapat memupuk jiwa kepahlawanan dan kebangsaan untuk senantiasa cinta
dan setia terhadap tanah air. Bahkan sebagai negara yang dibangun dengan pilar demokrasi,
wamil merupakan bentuk/pola pembangunan pertahanan negara yang melibatkan partisipasi aktif
warga negara dalam upaya bela negara. Secara yuridis warga negara memiliki hak dan
kewajiban serta dalam kedudukannya sebagai komponen pendukung upaya bela negara. Secara
sosiologis, dengan menerapkan wajib militer dapat meningkatkan kesiap-siagaan terhadap
berbagai kemungkinan ancaman terhadap kedaulatan RI mengingat dan mempertimbangkan
kondisi geografis dan sosiografis RI.

Samuel P. Huntington dalam Makmur Supriyatno, Tentang Ilmu Pertahanan, Jakarta: Pustaka Obor
Indonesia, 2014, hlm.70

PEMBICARA 1
Sistem Pertahanan yang dianut oleh Negara Indonesia adalah Sistem Pertahanan Rakyat
Semesta (Sishankamrata). Sishankamrata berfungsi untuk memelihara dan meningkatkan
ketahanan nasional dengan menanamkan serta memupuk kecintaan pada tanah air,
kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia, menghayati dan mengamalkan Pancasila dan
UUD NRI 1945 sehingga memiliki sikap mental yang meyakini hak dan kewajiban serta
tanggung jawab sebagai warga negara yang rela berkorban untuk membela bangsa dan negara
serta kepentingannya.2 Oleh karena itu, wajib militer merupakan sarana yang tepat untuk
ditempuh oleh negara dalam menjalankan fungsi daripada sishankamrata tersebut.
Wajib Militer atau Conscription merupakan suatu peraturan yang mewajibkan penduduk
suatu negara dalam batasan umur tertentu dan syarat kesehatan tertentu masuk ke dalam militer
dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Hal ini sebagai upaya menjaga dan mempertahankan
kedaulatan negara. Salah satu maksud yang mendasar dari diterapkannya wamil ini adalah upaya
memperkokoh ketahanan nasional. Ketahanan nasional pada hakikatnya adalah pengaturan dan
penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh
aspek kehidupan nasional.3 Oleh karena itu, menerapkan wamil sangat relevan dengan konsepsi
hakikat ketahanan nasional tersebut.
Wajib militer lebih menekankan pada aspek partisipasi warga negara dan pembentukan
karakter. Pada dasarnya, wamil ini secara langsung melibatkan warga negara untuk mengikuti
pendidikan kemiliteran. Tujuan yang paling esensial adalah membangun kesiap-siagaan seluruh
komponen bangsa (terutama warga negara) dan pembentukan karakter soft skill seperti,
pembentukan mental keimanan, kedisiplinan, ketaatan, daya tahan mental, profesionalisme,
loyalitas, komitmen, penghormatan, tanpa pamrih, kehormatan, serta nilai-nilai integritas. Nilainilai dalam institusi pertahanan (negara) berguna agar semua kebijakan dan strategi bahkan
operasional pertahanan dapat dijaga oleh nilai-nilainya sendiri, sehingga dapat berjalan sesuai
dengan peraturan dan perundangan, norma, dan standar yang berlaku. 4 Sehingga dalam hal ini

Ibid, hlm. 400


Rio Armanda Agustian & Fitri Julianti, Pendidikan Kewarganegaraan, Pangkalpinang: UBB Press, 2013,
hlm.41-42
4
Makmur Supriyatno, Tentang Ilmu...,Op cit, hlm. 342
3

negara hadir untuk memberi kesempatan dan pemenuhan terhadap warga negara untuk ikut serta
disiapkan dalam pertahanan/bela negara.
PEMBICARA 2
Wajib militer ini dapat mendorong partisipasi aktif warga negara dalam upaya bela negara.
Hal ini akan memperkokoh sistem demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana salah satu prinsip dalam usaha pertahanan negara yakni berdasarkan prinsip
demokrasi.5 Sebab tidak dapat dipungkiri dalam situasi darurat yang mengancam kedaulatan mau
tidak mau seluruh elemen bangsa termasuk warga negara harus turut serta melakukan upaya bela
negara. Di beberapa negara demokrasi, wajib militer memiliki payung hukum sebagai sumber
daya pertahanan negara dalam menghadapi berbagai ancaman. Oleh karena itu, demi
terwujudnya sistem pertahanan yang optimal maka warga negara harus dilibatkan dengan
disiapkan sebagai bagian komponen pendukung upaya menjaga dan mempertahankan kedaulatan
negara.
Pasal 27 ayat 3 UUD NRI 1945 mengamanahkan bahwa setiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam upaya bela negara. Salah satu konsekuensi yang perlu diperhatikan dengan
seksama adalah setiap warga negara memiliki hak untuk disiapkan dan dibina sebagai bekal bela
negara, baik pembekalan nilai-nilai bela negara, pendidikan nilai patriotisme dan nasionalisme,
maupun pelatihan strategi dan teknis dalam bela negara.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, disebutkan
bahwa komponen kekuatan pertahanan negara terdiri dari : komponen utama, komponen
cadangan dan komponen pendukung untuk dapat terciptanya sistem pertahanan negara yang kuat
dan tangguh. Maka harus dilaksanakan pembentukan, pembinaan dan penggunaan ketiga
komponen pertahanan negara tersebut dengan serasi, seimbang, adil dan merata serta
professional yang dipersiapkan secara dini oleh pemerintah secara bertahap dan berlanjut sesuai
dengan kemampuan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, konsep pemberlakuan wamil merupakan
langkah yang tepat untuk menyiapkan warga negara secara dini.

Lihat Pasal 3 angka 1 UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Nasional

Mempersiapkan warga negara sebagai komponen cadangan secara dini merupakan wujud
implementasi amanah Konstitusi Pasal 30 UUD NRI 1945. Begitupun pasal turunannya dalam
UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, khususnya pada pasal 6-9 UU tersebut. Secara
eksplisit penerapan wajib militer diatur dalam pasal 9 angka 2 UU 3/2002 bahwa keikutsertaan
warga negara dalam upaya bela negara, sebagaimana dimaksud dalam angka (1),
diselenggarakan melalui:
a) pendidikan kewarganegaraan;
b) pelatihan dasar kemiliteran secara wajib;
c) pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara
wajib; dan
d) pengabdian sesuai dengan profesi.
Tinjauan sosiologis urgensi diterapkannya wajib militer adalah terkait kondisi geografis
dan sosiografis Negara Indonesia. Republik Indonesia dengan luas wilayah daratan 1.910.931,32
km2 (Kemendagri,Mei 2010) & luas wilayah lautan 5.800.000,00 km2 (KKP,2013) dengan
jumlah pulau 13.466 pulau (Kepala Badan Informasi Geospasial,2014), serta tingkat keragaman
dan kebudayaan penduduk yang sangat plural menyebabkan peluang kemungkinan-kemungkinan
terjadinya ancaman terhadap keutuhan negara baik secara internal dan eksternal. Ancaman secara
eksternal terkait dengan dimungkinkannya terjadi dalam aspek geografis dan ideologis.6
Sementara ancaman secara internal terkait dengan bidang sosial, ekonomi, politik, pertahanan
dan keamanan. Mengutip apa yang disampaikan Montesquieu dalam The Spirit of Laws, kalau
suatu republik berukuran kecil, ia akan dihancurkan oleh kekuatan asing, jika ia besar, ia akan
runtuh oleh kerusakan dari dalam negeri.7 Oleh karena itu, wajib militer merupakan upaya yang
sangat terpat untuk memperkokoh ketahanan nasional dalam mengatasi ancaman baik dari luar
maupun dari dalam negeri.
Secara konkrit contoh bentuk-bentuk ancaman tersebut antara lain, lepasnya
pulaupulau yang diklaim oleh negara lain karena kurangnya perhatian seluruh komponen
6

Aspek Geografis berkaitan dengan letak geografis negara indonesia dalam posisi silang yang mempunyai
nilai strategis maka dimungkinkan terjadinya gangguan, ancaman, maupun perusakan keutuhan kedaulatan
dari negara lain. Aspek Ideologis berkaitan dengan posisi Indonesia diantara dua ideologi besar dunia
(Komunisme dan Liberalisme) yang dimungkinkan mempengaruhi paham ideologi pancasila negara
Indonesia.
7
Fato potentia, non sua vi nixae. Tacit

negara untuk mempertahankan dan menjaga keberadaanya (Pulau Sipadan dan Ligitan). Selain
itu, ancaman yang sangat merusak eksistensi keutuhan negara adalah adanya disintegrasi
wilayah-wilayah yang berada dalam bingkai NKRI (Gerakan Sparatis).8 Bahkan
konflikkonflik secara horizontal sesama bangsa yang dikarenakan perselisihan SARA juga
dapat memicu retaknya kesatuan dan keutuhan bangsa (Konflik Poso, konflik antar umat
beragama di Sampang Madura), serta konflik secara vertikal yang dimungkinkan terjadi karena
dipicu kesenjangan/krisis perekonomian. Oleh karena memahami kemungkinankemungkinan
berbagai hal yang dapat mengancam keutuhan NKRI baik secara internal maupun
eksternal maka wamil sebagai komponen cadangan pertahanan negara merupakan
kebijakan yang tepat untuk segera disiapkan agar dapat menyokong kekuatan pertahanan
nasional. Wajib Militer juga telah diterapkan di banyak negara, seperti di Filipina, Rusia, China,
Israel, Korea Utara, Korea Selatan, Thailand, Myanmar, Vietnam, Malaysia, Meksiko, Mesir,
Turki, Venezuela, Brazil, Syria, Taiwan, Singapura, Libya, dll.
CLOSING STATEMENT
Dari perspektif Pro, bahwa bela negara merupakan suatu naluriah dan kelaziman yang
mesti dilakukan oleh suatu bangsa terhadap negaranya. Penerapan Wajib Militer dapat memupuk
jiwa kepahlawanan dan kebangsaan untuk senantiasa cinta dan setia terhadap tanah air. Bahkan
sebagai negara yang dibangun dengan pilar demokrasi, wamil merupakan bentuk/pola
pembangunan pertahanan negara yang melibatkan partisipasi aktif warga negara dalam upaya
bela negara. Menerapkan wamil merupakan upaya melaksanakan amanah Pasal 27 dan 30 UUD
NRI 1945, bahwa warga negara memiliki hak dan kewajiban serta dalam kedudukannya sebagai
komponen pendukung upaya bela negara. Dengan menerapkan wajib militer dapat meningkatkan
kesiap-siagaan terhadap berbagai kemungkinan ancaman terhadap kedaulatan RI mengingat dan
mempertimbangkan kondisi geografis dan sosiografis RI. Selain itu, kegunaan dari pada wamil
adalah sebagai preventive action yang mana harus dipersiapkan manakala serangan dari negara
lain akan tiba, baik dari udara, laut, dan darat. Preventive action termasuk juga pada bagian self
defense setiap negara yang telah diakui didepan hukum internasional.
8

Gerakan sparatis yang pernah terjadi di Indonesia seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua
Merdeka (OPM), Republik Maluku Selatan (RMS), dll. Hal tersebut salah satu penyebabnya adalah belum
terpupuknya dengan baik rasa persatuan dan kesatuan seluruh elemen bangsa. Sehingga jika tidak ada upaya
menanamkan rasa nasionalisme/patriotisme hal tersebut dapat diikuti oleh berbagai daerah lain.

ARGUMENTASI KONTRA;
OPENING STATEMENT
Diantaranya ditinjau secara filosofis bahwa bentuk bela oleh warga negara negara tidak
hanya dapat dilakukan melalui wajib militer. Bahkan wamil inipun bukan merupakan suatu hal
yang urgen jika dikaitkan dengan politik luar negeri Indonesia yang lebih mengedepankan
perdamaian dalam mengatasi konflik. Secara yuridis, tanpa menerapkan wamil sejatinya warga
negara telah menjalankan peran dalam upaya bela negara yakni melalui pengabdian sesuai
profesi dalam bidangnya masing-masing yang semata-mata merupakan wujud pengabdian
terhadap bangsa dan negara. Selain itu, menerapkan wamil secara tidak langsung dapat
mengurangi hak asasi warga negara. Secara sosiologis, diberbagai negara yang melaksanakan
wamil cenderung pada kenyataannya tidak efektif dan menuai protes oleh kalangan warga
negaranya karena bersifat memaksa dan dirasa diera kekinian pendidikan bela negara bagi warga
negara tidak tepat jika melalui militer. Selain itu, di Indonesia sendiri yang sebenarnya
menimbulkan masuknya ancaman adalah karena terbuka lebarnya negara asing untuk turut
menguasai negara. Oleh karena itu, solusi mengatasi ancaman tersebut bukan melalui
penerapan wamil melainkan membenahi sistem serta regulasi yang menjadi peluang
masuknya penguasaan asing yang dapat mengancam kedaulatan Negara.
Bahkan Mantan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dalam pengukuhun
gelar Guru Besar dalam Ilmu Ketahanan Nasional di Universitas Pertahanan menyatakan,
untuk mencapai tujuan nasional, Indonesia bisa menggunakan kekuatan militer
(pertahanan), kekuatan ekonomi, serta kekuatan politik dan diplomasi secara efektif dan
terpadu. Jadi bukan semata-mata militer.9
PEMBICARA 1
Konsep wajib militer merupakan konsep yang dibangun dalam rangka upaya pertahanan
negara. Pertahanan Negara ini dilaksanakan dengan menanamkan dan melakukan upaya bela
negara. Namun, bela negara yang perlu kita pahami tidak hanya melalui militer/angkat senjata,
9

Susilo Bambang Yudhoyono, Perdamaian dan Keamanan dalam Dunia yang Berubah : Tantangan
Penyusunan Grand Strategi bagi Indonesia, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Unhan, Sentul 12 Juni
2014, hlm, 10-11

akan tetapi bela negara oleh seluruh komponen negara terkhusus masyarakat sipil (yang
merupakan

target

wamil)

dengan

mengoptimalkan

peran

sebaik

mungkin

sesuai

keahlian/profesinya masing-masing guna membangun dan mempertahankan negara yang


berdaulat.
Apabila tiap-tiap warga negara konsisten dan setia dengan keahlian/profesinya masingmasing maka penulis yakin berbagai ancaman dapat diatasi dan ditanggulangi dalam rangka
membela dan mempertahankan keutuhan dan kedaulatan RI. Asumsi ini dapat dipahami
menggunakan logika sederhana yang mana ketika kemungkinan terjadi ancaman baik eksternal
maupun internal maka setidaknya dapat ditanggulangi oleh warga negara yang memiliki suatu
keahlian. Misal, terjadi penyadapan terhadap sistem jaringan/teknologi pertahanan negara maka
bagi warga negara yang memiliki keahlian dalam hal tersebut harus dan wajib untuk
menanggulanginya. Contoh yang lain, ketika terjadi ancaman berupa bencana alam maka bagi
warga negara yang berprofesi sebagai personil penanggulangan bencana harus optimal
menjalankan tugasnya. Memahami beberapa contoh itulah yang kemudian mengindikasikan
penulis yakin bahwa bela negara tidak sekedar hanya dilakukan melalui wajib militer.
Dalam konteks keindonesiaan, kita pahami bersama bahwa politik luar negeri Indonesia
lebih mengutamakan ketertiban, perdamaian dan keadilan sosial. Sesuai esensi pembukaan UUD
NRI 1945 bahwa salah satu tujuan negara ialah ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam hal ini, nilai filosofis
yang dapat dipetik adalah dalam pergaulan dunia Negara Indonesia lebih mengedepankan
ketertiban,

perdamaian,

serta

keadilan.

Sehingga

jika

memang

hal

buruk

terjadi

(serangan/konflik) Indonesia lebih mengedepankan proses diplomasi/konsolidasi untuk


mengambil jalan tengah. Logika sederhananya, penyelesaian konflik dengan jalan perang/fisik
sangat menelan banyak kerugian. Contoh konkrit adalah negara Israel, dalam sebuah
pemberitaan saluran TV Israel pada hari Selasa (15/7/2014) menyebutkan bahwa Israel
menanggung beban perang terhadap Jalur Gaza sebanyak 110 juta shekel Israel perharinya
(sekitar 32 juta dolar AS atau 377 miliar rupiah). Sejak memulai perang, Pemerintah Israel telah
menghabiskan sekitar 1 miliar shekel atau sekitar 29 miliar dolar AS (1 shekel Israel = 0,29 dolar
AS). Selain itu disebutkan, penurunan tajam nilai perdagangan di wilayah selatan Israel terjadi
mencapai 60-70%, penurunan aktivitas transportasi 20%, dan penurunan jumlah kunjungan

wisatawan hingga 50%, yang tentunya mengganggu perekonomian Israel secara makro. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa solusi penyelesaian konflik melalui jalan militer bukan
merupakan langkah yang tepat dan urgen dalam tertib hidup masyarakat dunia yang saling
menjunjung tinggi perdamaian.10
PEMBICARA 2
Pada dasarnya jika ditinjau secara yuridis, tanpa menerapkan wajib militerpun upaya
pertahanan nasional di Indonesia telah sesuai dengan amanah konstitusi Pasal 27 dan Pasal 30
UUD NRI 1945 mengenai hak dan kewajiban warga negara (sebagai komponen pendukung)
dalam upaya bela negara. Sebab, konsep bela negara yang dipahami dalam arti luas pada status
quo-nya sekarang masyarakat sipil telah menjalankan peran sesuai keahlian/profesinya masingmasing dalam rangka bela negara. Dan hal tersebut telah disiapkan sejak dini sejak pendidikan
dasar, menengah, lanjut dan pendidikan profesi sesuai bidang keahlian masing-masing. Namun
dalam hal ini perlu dorongan/motivasi dari pemerintah terhadap warga negara agar berperan
semaksimalnya dan setia mengabdi kepada bangsa dan negara. Oleh karena itu, hal ini selaras
dengan argumentasi pada tataran filosofis bahwa upaya bela negara tidak hanya dapat dilakukan
melalui wajib militer.
Dalam suatu sistem pertahanan nasional, warga negara yang berprofesi sebagai TNI/POLRI
berperan sebagai komponen utama dalam sistem pertahanan. TNI/POLRI wajib berperan dan
bertugas dengan optimal dengan diperkuat oleh seluruh warga negara sebagai komponen
pendukung yang berprofesi sesuai bidang keahliannya masing-masing. Maka Negara Indonesia
sejatinya sedang membangun Ketahanan Nasional dalam upaya menjaga keutuhan dan
kedaulatan RI. Oleh karena itu, berdasar uraian tersebut menerapkan wamil bukan merupakan
hal yang urgen. Sebab masih terdapat alternatif konsep bela negara lain dengan tanpa
menerapkan wamil sekalipun.
Menerapkan wamil justru akan menghambat proses alami bela negara yang telah berjalan,
bahkan secara tidak langsung terdapat hak asasi warga negara yang terkurangi/terlanggar.
Menerapkan wajib militer, sejatinya negara menerapkan hukum wajib terhadap warga negara.
Suatu kewajiban apabila tidak dilaksanakan pasti ada sanksi bagi pelanggarnya. Secara umum,
10

http://www.dakwatuna.com diakses pada tanggal 9 Juni 2015

sanksi daripada hal ini tidak main-main yaitu pidana penjara. Lantas, dalam keadaan semacam
ini bagaimana dengan warga negara yang hati nuraninya tidak sesuai dengan profesi kemiliteran
sementara dipaksa wajib mengikuti pendidikan militer?. Sehingga, pada dasarnya kebijakan ini
telah melanggar hak kebebasan warga negara. Contoh yang terjadi adalah di Korea Selatan
sebagai salah satu negara yang menerapkan wamil, secara tidak langsung Korea Selatan
melanggar hak dari 388 orang yang menolak dinas militer, semuanya Saksi Yehuwa. Menurut
Butir Pasal 18 ICCPR, hak orang untuk menolak dinas militer atas dasar hati nurani sama
dengan hak untuk memiliki kebebasan berpikir, berhati nurani, dan beragama. Pemerintah Korea
Selatan terus melanggar hak warga negara untuk memiliki kebebasan berpikir, berhati nurani,
dan beragama dari ratusan pemuda yang dipenjarakan, dan itu melanggar peraturan yang
ditetapkan ICCPR.11
Selain itu secara sosiologis, wajib militer dapat menimbulkan dampak-dampak negatif di
dalam masyarakat jika penerapan tidak dengan mekanisme yang jelas. Seperti yang terjadi di
Korea Selatan pada bulan juli 2014 lalu dilansir dari BBC.UK anggota dari wajib militernya
tewas bunuh diri karena tekanan mental secara psikologi, kasus lain juga terjadi di Korea Selatan
dua orang wamilnya melepaskan tembakan kepada kelima anggota lainnya karena konflik yang
sepele.
Bahkan rata-rata kebijakan wamil diberbagai negara mengalami reaksi penolakan oleh
warga negaranya. Sekitar 50 orang pemuda Israel telah mengirimkan petitsi kepada perdana
menteri Israel berisi penolakan masuk wajib militer sebagai protes atas pendudukan Israel di
wilayah Palestina. Penolakan mereka dirancang untuk memprotes penjajahan berkelanjutan dan
intrusi militer ke dalam kehidupan sipil, sesuatu yang berarti menetapkan chauvinisme,
militerisme, kekerasan, ketidakadilan, dan rasisme lebih lanjut.12 Dengan demikian
mengindikasikan bahwa sebenarnya masyarakat dunia tidak sepakat dengan konsep bela negara
melalui militer yang justru akan berdampak negatif.
Di Korea Selatan pun kebijakan wamil ini ditentang oleh warga negaranya. Dalam 4 kasus
yang melibatkan sebanyak 501 orang yang menolak dinas militer, Komite Hak Asasi Manusia
PBB (CCPR) menetapkan bahwa Republik Korea telah melanggar hak orang-orang ini sebab
11
12

http://www.jw.org diakses pada tanggal 12 Juni 2015


http://www.hidayatullah.com diakses pada tanggal 9 Juni 2015

telah menghukum dan memenjarakan mereka. Komite itu menyatakan bahwa hak orang untuk
menolak dinas militer atas dasar hati nurani sama dengan hak untuk memiliki kebebasan
berpikir, berhati nurani, dan beragama. Hak ini memberikan kepada setiap individu pengecualian
dari wajib militer, jika itu tidak selaras dengan agama dan kepercayaan sang individu. Sejumlah
negara memprotes pemerintah Korea Selatan yang tidak mengakui hak asasi manusia untuk
melakukan penolakan atas dasar hati nurani. Pada pertemuan Tinjauan Periodik Universal PBB
belum lama ini, delapan negara Hungaria, Prancis, Jerman, Polandia, Slovakia, Spanyol,
Amerika Serikat, dan Australia mendesak Korea Selatan untuk mengakhiri penindasan orang
yang menolak dinas militer atas dasar hati nurani dan untuk menerapkan dinas sipil non-militer
bagi mereka.
Pada 1998 PBB mengeluarkan resolusi ke-88 yang berisi penolakan terhadap wajib militer.
Istilah yang diberikan PBB yaitu Conscientious Objectors. Harafiahnya berarti penolakan hati
nurani. PBB mencoba mengakui hak asasi manusia yang mempunyai keyakinan agamanya,
bahwa penyelesaian konflik tidak harus dengan senjata. Beberapa negara sudah menerapkan dan
mencabut wajib militer. Republik Ceko mencabut wajib militer sejak Desember 2004. Hongaria
turut membekukan wajib militer pada November 2004. Kemudian Bosnia juga mencabut wajib
militer pada Januari 2006. Jerman baru mencabut wajib militer tahun 2011.
CLOSING STATEMENT
Sedangkan dari persepektif Kontra, bentuk bela negara oleh warga negara negara tidak
hanya melalui wajib militer. Bahkan wamil inipun bukan merupakan suatu hal yang urgen jika
dikaitkan dengan politik luar negeri Indonesia yang lebih mengedepankan perdamaian dalam
mengatasi konflik. Tanpa menerapkan wamil sejatinya warga negara telah menjalankan peran
dalam upaya bela negara yakni melalui pengabdian sesuai profesi dalam bidangnya masingmasing yang semata-mata merupakan wujud pengabdian terhadap bangsa dan negara. Selain itu,
menerapkan wamil justru secara tidak langsung dapat mengurangi hak asasi warga negara.
Bahkan diberbagai negara yang melaksanakan wamil pada kenyataannya tidak efektif dan
menuai protes oleh warga negaranya karena penerapannya bersifat memaksa dan dirasa diera
kekinian pendidikan bela negara bagi warga negara tidak tepat jika melalui militer. Selain itu, di
Indonesia sendiri yang sebenarnya menimbulkan masuknya ancaman adalah karena terbuka
lebarnya negara asing untuk turut menguasai negara. Oleh karena itu, solusi mengatasi ancaman

tersebut bukan melalui penerapan wamil melainkan membenahi sistem serta regulasi yang
menjadi peluang masuknya penguasaan asing yang dapat mengancam kedaulatan Negara.

BAHAN BACAAN
Buku:
Rio Armanda Agustian & Fitri Julianti.2013.Pendidikan Kewarganegaraan, Pangkalpinang:
UBB Press,
Supriyatno, Makmur.2014.Tentang Ilmu Pertahanan, Jakarta: Pustaka Obor Indonesia
Yudhoyono, Susilo Bambang, Perdamaian dan Keamann dalam Dunia yang Berubah :
Tantangan Penyusunan Grand Strategi bagi Indonesia, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar
Unhan, Sentul 12 Juni 2014
Peraturan Perundang-undangan
UUD NRI 1945
UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Nasional
Website:
http://www.dakwatuna.com diakses pada tanggal 9 Juni 2015
http://www.jw.org diakses pada tanggal 12 Juni 2015
http://www.hidayatullah.com diakses pada tanggal 9 Juni 2015

Anda mungkin juga menyukai