Anda di halaman 1dari 3

Realitas Kekuasaan Negara dalam Masyarakat

Dalam pandangan kita sehari-hari bahwa Negara merupakan realitas politik yang selalu
diterima dan dijalankan oleh golongan individu atau kelompok dalam meraih kekuasaan. Hal ini
sebagai bentuk bahwa Negara tidak bisa lepas dari masalah politik, yang mana politik memiliki
peran yang cukup urgent dalam mengatur dan mengontrol urusan Negara. Kecenderungan ini
kita alamai manakala Negara berbenturan dengan kekuasaan, bahwa terdapat amosfir publik atau
golongan tertentu yang ingin memiliki pengaruh dan otoritas penuh, serta dapat berdiri tegak
diatas masyarakat.
Konsep kekuasaan Negara yang telah menjadi debat panjang oleh para filsuf pada zaman
klasik, seperti, Plato dan Aristoteles. Bahwa Negara harus memiliki kekuasaan mutlak diatas
masyarakat tanpa memperhitungkan kelas-kelas sosial, karena kekuasaan mutlak Negara dapat
memberikan pendidikan dan menanamkan nilai-nilai moral kepada warga Negara. Pada zaman
pertengahan ide tersebut telah menjadi perbincangan untuk direkonstruksi dalam teologis gereja.
Pada masa itu Negara dianggap sebagai wakil gereja di dunia dan gereja sebagai wakil tuhan
dalam memberikan nilai-nilai moral di dunia.
Pada abad renaissance, ide-ide yang berhasil diterapkan pada fase abad pertengahan
mendapatkan kritik yang cukup tajam, dan telah terjadi proses sekularisasi, dengan memisahkan
kekuasaan Negara dari gereja. Filsuf yang turut andil dalam hal ini yaitu Thomas Hobbes, John
Locke, Rousseau mereka menawarkan suatu Negara yang mendirikan sistem liberalisme.
Sehingga pada fase tersebut terjadi sebuah kebebasan atas masyarakat untuk bertindak sesuai
dengan keinginannya, tanpa terikat oleh unsur teologis yang memonitoring setiap gerak perilaku
dan sesuatu yang ingin diperoleh. Maka, pada zaman ini muncul pandangan bahwa Negara
merupakan wakil publik. Kelompok yang telah menjadi penguasa bebas mengatur pola
kehidupan Negara sesuai dengan hasrat dan kebutuhannya. Sehingga yang terjadi pada saat itu
Negara merupakan wakil dari kepentingan umum atau publik, sedang masyarakat memiliki
kepentingan pribadi.

Pemikiran yang keluar dan terbentuk pada fase renaissance selanjutnya diperkuat dengan
pandangan Hegel. Bahwa melalui konsep dialektikanya, hegel menyatakan kekuasaan Negara
merupakan perintah dari kehendak individu. Lebih spesifik lagi Negara merupakan ungkapan
(roh objektif), yang mana nasib Negara ditentukan berdasarkan hasrat atas perintah yang
mengalir dalam diri individu (roh subjektif). Sehingga Negara paling paham akan keinginan
rakyat (Nezar Patria-Andi Arief, 2015; 24).
Kekuasaan negara yang menerapkan sistem liberalisme sering dirasakan masyarakat
dewasa ini, merupakan sebagai lahan subur berkembangnya kapitalisme, yang telah muncul pada
akhir abad ke-19 berbagai persoalan ekonomi-politik yang penuh dengan penindasan terhadap si
lemah (proletar) pada saat itu. Sehingga muncul lah seorang pemikir Karl Marx dalam sudut
pandang historis memberikan statement nya yang kritis terhadap sistem kapitalisme. Menurut
marx negara tidak mengabdi kepada masyarakat secara menyeluruh, hanya melayani
kepentingan masyarakat tertentu saja, sehingga yang dirasakan realitas kekuasaan Negara dalam
masyarakat, hanya sebagai alat suatu klas dominan untuk menjaga dan mempertahankan
kedudukan mereka (Nezar Patria-Andi Arief, 2015; 25).
Dengan demikian, menurut marx inti pandangannya adalah bahwa pekembangan
masyarakat ditentukan oleh berkembangnya bidang produksi. Sehingga basis ekonomi menjadi
sangat penting dalam perhitungan manusia dengan klas sosial yang berbeda-beda itu. Maka,
masyarakat lainnya merupakan sebagai instrument kecil yang hanya berguna dalam menopang
bangunan atas super struktur tersebut.
Dampak yang ditimbulkan Negara yang menganut sistem liberalisme sangat dirasakan
oleh masyarakat tanpa klas, namun ada beberapa pengaruh positifnya. Tetapi hal itu tidaklah
mampu memberikan obat terhadap luka yang telah diderita masyarakat tersebut. Maka, benar
yang dikatan oleh Niccolo Machiavelli, didalam bukunya il priciple bahwa seorang pangeran
yang telah memprakktikan sistem liberalisme ini tanpa mengetahui resiko yang akan dilalui
dikemudian hari, tidak boleh menolak jika disebut sebagai miserly. Mereka adalah orang-orang
atau kelompok golongan yang hanya mencari reputasi tertinggi atas kedudukan yang dimilikinya
saat ini.

Padahal sistem liberalisme yang dipakai suatu Negara jauh lalu telah diberlakukan pada
sebuah kerajaan yang diterapkan oleh Giuliano della Rovere (Paus Yulius II). Kerajaan yang
memakai sistem liberalisme ternyata hanya membuat rakyatnya sengsara, yang mana kelompok
golongan yang memiliki otoritas terhadap Negara, seperti yang dijelaskan kekuasaan Negara
sebelumnya, hanya membuat masyarakat semakin ditindas, membebankan pajak yang besar
terhadap rakyatnya, menjadi pemeras dan melakukan segala cara untuk mendapatkan uang. Hal
inilah yang sering terjadi terhadap suatu kekuasaan yang memberlakukan sistem liberalisme
(Niccolo Machiavelli, 2008; 113-116).
Jika kita melihat pada abad saat ini, yang mana masyarakat hidup dalam pola modern.
Kehidupan masyarakat tanpa klas, sedikit demi sedikit telah hilang. Masyarakat yang hidup di
zaman tersebut sedikit banyaknya menghilangkan sistem pembedaan kelas-kelas sosial, yang
hanya memperalat si lemah dan membuat si pemodal semakin kuat. Maka, betul yang dikatakan
Ir. Soekarno bahwa Marx dan Enggel bukanlah dewa-dewa yang mana teorinya akan terpakai
pada seagala zaman, jika zaman ini berubah maka teorinya haruslah berubah, kalau tidak mau
menjadi bangkrut. Begitulah yang diucapkan presiden pertama Indonesia yang memiliki arti
tersirat.
Maka, dalam konteks ke-Indonesian, realitas kekuasaan negara dalam masyarakat
memiliki berbagai macam penafsiran. Ada kelompok yang memandang bahwa negara turut andil
dalam keberlangsungan kesejahteraan rakyat, ada juga yang memandang bahwa rakyat
merupakan elemen terpenting dalam menentukan perkembangan negara. Padahal hasil yang
diperoleh masih jauh dari ekspektasi. Coba kita lihat dibeberapa media saat ini, yang masih
banyak memberikan layanan yang kurang mendidik, lebih kasarnya penuh dengan layanan
sampah.
Padahal media memiliki peranan penting terhadap realitas negara yang marak terjadi,
bukan malah menina bobokan khalayak. Sehingga jika media masih dimonitoring oleh dominan
tertentu. Maka, realitas kekuasaan negara yang dapat memberikan pemahaman moral anak
bangsa seperti yang diharapkan filsuf abad klasik masih belum terealisasikan secara menyeluruh.
Oleh karenanya, regulasi negara sangat menentukan perkembangan masyarakat dalam
menentukan kemajuan bangsa.

Anda mungkin juga menyukai