PENDAHULUAN
1.1.
farmakokinetika
meliputi
absorpsi,distribusi,metabolisme,dan
eksresi.
Pengobatan dengan beberapa obat sekaligus atau dikenal dengan istilah polifarmasi akan
memudahkan terjadinya interaksi obat. Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila
berakibat meningkatnya toksisitas dan mengurangi efektifitas obat yang berinteraksi.
Untuk obat-obatan yang bisa berinteraksi secara farmakokinetik perlu mendapat
perhatian serius sehingga dapat dicegah efek samping yang tidak diharapkan.
Obat yang ada saat ini sangat efektif dan sangat berkhasiat. Interaksi yang terjadi
merupakan masalah yang besar. Sangatlah sulit bagi seorang dokter atau apoteker yang
sibuk untuk meluangkan waktu memantau interaksi obat bagi tiap pasien, walaupun
dokter atau apoteker yang bersangkutan sedang mencari berbagai kemugkinan interaksi.
Bisa kita simak masalah ini dan kenyataan bahwa banyak pasien menerima pengobatan
ganda termasuk pengobatan sendiri serta banyak dokter sendiri tidak menyadari interaksi
berbahaya pada umumnya, dapatlah anda bayangkan gawatnya masalah ini.
Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi respons tubuh terhadap pegobatan
terdapat faktor interaksi obat. Obat dapat berinteraksi dengan makanan, zat kimia yang
masuk dari lingkungan, atau dengan obat lain. Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas
mengenai interaksi obat dalam distribusi yang meliputi waktu transport obat dalam darah
serta efek-efek yang diberikan dari obat-obat yang berinteraksi.
1.2.
Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan interaksi obat?
Bagaimana mekanisme interaksi obat?
Bagaimana penatalaksanaan interaksi obat?
1
1.3.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat (drug-related
problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat
mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika
atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu atau lebih zat yang
berinteraksi (Piscitelli, 2005). Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama
dapat berubah efeknya secara tidak langsung atau dapat berinteraksi. Interaksi bisa bersifat
potensiasi atau antagonis efek satu obat oleh obat lainnya, atau adakalanya beberapa efek
lainnya (BNF 58, 2009). Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran
obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya.
Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat bersaing satu dengan yang
lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir bersama satu dengan yang lainnya (Stockley,
2008). Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas
dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila menyangkut obat
dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung,
antikoagulan, dan obat-obat sitostatik (Setiawati, 2007).
2.2.
Obat obyek
Obat-obat yang kemungkinan besar menjadi obyek interaksi atau efeknya dipengaruhi
oleh obat lain, umumnya adalah obat-obat yang memenuhi ciri :
Obat-obat di mana perubahan sedikit saja terhadap dosis (kadar obat) sudah akan
menyebabkan perubahan besar pada efek klinik yang timbul. Secara farmakologi
obat-obat seperti ini sering dikatakan sebagai obat-obat dengan kurva dosis respons
yang tajam (curam; steep dose response curve). Perubahan, misalnya dalam hal ini
pengurangan kadar sedikit saja sudah dapat mengurangi manfaat klinik (clinical
Obat presipitan
Obat-obat presipitan adalah obat yang dapat mengubah aksi/efek obat lain. Untuk dapat
mempengaruhi aksi/efek obat lain, maka obat presipitan umumnya adalah obat-obat
dengan ciri sebagai berikut:
Obat-obat dengan ikatan protein yang kuat, oleh karena dengan demikian akan
menggusur ikatan-ikatan yang protein obat lain yang lebih lemah. Obat-obat yang
tergusur ini (displaced) kemudian kadar bebasnya dalam darah akan meningkat
dengan segala konsekuensinya, terutama meningkatnya efek toksik. Obat-obat yang
masuk di sini misalnya aspirin, fenilbutazon, sulfa dan lain lain.
Obat-obat
dengan
kemampuan
menghambat
(inhibitor)
atau
merangsang
lain-lain.
Ciri-ciri obat presipitan tersebut adalah pada proses distribusi (ikatan protein),
metabolisme dan ekskresi renal. Masih banyak obat-obat lain diluar ketiga ciri ini
tadi yang dapat bertindak sebagai obat presipitan dengan mekanisme yang berbedabeda.
2.3.
Interaksi Farmakokinetik
Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah obat
terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh nilai
pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter yang terkait
dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih
besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi (Stockley, 2008).
Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek
Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus untuk
pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat
mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik. Antasida juga
dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan. Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dapat
membentuk khelat dengan sejumlah ion logam divalen dan trivalen, seperti kalsium,
bismut aluminium, dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap dan mengurangi
efek antibakteri (Stockley, 2008).
Perubahan motilitas gastrointestinal
Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil, obatobatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi.
Propantelin misalnya, menghambat pengosongan lambung dan mengurangi penyerapan
parasetamol (asetaminofen), sedangkan metoklopramid memiliki efek sebaliknya
(Stockley, 2008).
Induksi atau inhibisi protein transporter obat
Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein transporter obat. Saat
ini, transporter obat yang terkarakteristik paling baik adalah P-glikoprotein. Digoksin
adalah substrat P-glikoprotein, dan obat-obatan yang menginduksi protein ini, seperti
rifampisin, dapat mengurangi ketersediaan hayati digoksin (Stockley, 2008).
Malabsorbsi dikarenakan obat
Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu penyerapan
sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat (Stockley, 2008).
6
endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama,
reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa
yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain
(misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) untuk membuat senyawa
yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450
(Stockley, 2008).
Induksi Enzim
Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus dilakukan
peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik yang sama, alasannya
bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga meningkatkan laju
metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008).
Inhibisi enzim
Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat
terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang mungkin memerlukan
waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim
dapat terjadi dalam waktu 2 sampai 3 hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang
cepat. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh
isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim
tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam
kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis (Stockley, 2008).
2. Interaksi farmakodinamik
9
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki
efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat
terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada
sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan
tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi (BNF 58, 2009).
2.4.
Menyesuaikan dosis
Jika hasil interaksi obat meningkatkan atau mengurangi efek obat, maka perlu
dilaksanakan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi kenaikan
atau penurunan efek obat tersebut.
Memantau pasien
Jika kombinasi obat yang saling berinteraksi diberikan, pemantauan
diperlukan.
2.5.
Interaksi kelas 1
Sebaiknya kombinasi ini dihindari, karena lebih banyak risikonya
dibandingkan keuntungannya.
Interaksi kelas 2
Biasanya kombinasi ini dihindari, sebaiknya penggunaan kombinasi
tersebut hanya pada keadaan khusus.
Interaksi kelas 3
Interaksi kelas 3 ini risikonya minimal, untuk itu perlu diambil tindaka n
yang dibutuhkan untuk mengurangi risiko.
11
2.6.
Definisi Distribusi
Distribusi obat adalah proses-proses yang berhubungan dengan transfer senyawa
obat dari satu lokasi ke lokasi lain di dalam tubuh. Distribusi merupakan perjalanan obat
ke seluruh tubuh. Setelah senyawa obat memasuki sistem sirkulasi melalui absorpsi atau
injeksi, senyawa tersebut akan didistribusikan ke seluruh tubuh.
Setelah melalui proses absorpsi, obat akan di distribusikan keseluruh tubuh
melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga
ditentukan oleh sifat fisika kimianya. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi
membran sel, terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak
akan sulit menembus membran sel, sehingga distribusinya terbatas, terutama dicairan
ekstra sel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas
yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein
plasma ditentukan oleh afinitas obat ( Kemampuan obat untuk mengikat reseptor)
terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sedikit.
2.7.
12
Beberapa obat memiliki karakteristik pengikatan yang tidak lazim. Contoh: tetrasiklin
terikat dengan tulang dan gigi.Obat anti-malaria klorokuin dapat terikat dengan retina
orang dewasa/janin.
4. Aliran darah ke dalam organ dan keadaan sirkulasi
Sebagian jaringan tubuh menerima pasokan darah yang lebih baik daripada lainnya;
contoh: aliran darah ke dalam otak jauh lebih tinggi daripada aliran darah ke tulang.
Kondisi sirkulasi darah ini menentukan distribusi obat. Sirkulasi darah diutamakan
pada jantung, otak, dan paru-paru. Karena volume sirkulasi terbatas, obat akan
terdapat pada konsentrasi tinggi di dalam jaringan yang bisa dijangkaunya.
5. Kondisi penyakit
Contohnya, gagal ginjal dan kegagalan fungsi hati akan mengganggu kemampuan
tubuh dalam mengeliminasi sebagian besar obat. Obat juga akan menumpuk dalam
tubuh jika pasien mengalami dehidrasi. Jika terjadi penumpukan obat, efek
sampingnya akan semakin berat. Keadaan lain yang dapat mempengaruhi distribusi
obat meliputi: gagal jantung, syok, penyakit tiroid, penyakit GI. Karena proses
distribusi obat sangat mempengaruhi transfer senyawa obat ke lokasi-lokasi
pengobatan yang diharapkan, berbagai cara ditempuh dalam pembuatan obat dan jenis
sediaannya untuk meningkatkan efektivitas ditribusi obat.
2.8.
Sebagian obat lebih mudah terikat dari pada yang lainnya. Obat yang terikat
itu, secara farmakologi tidak aktif karena aksi obat tergantung pada absorbsi
(penyerapan) obat bebas pada sisi reseptor yang aktif. Pengikatan obat dapat terjadi
pada beberapa tempat selain aliran darah, seperti jaringan penghubung, adiposa,
ruang antar sel, dan lain-lain. Obat yang terikat ini berperan sebagai cadangan dan
bila obat bebas telah termetabolisme, terakumulasi dalam jaringan lain atau
tereksresi, maka tambahan atau pasokan obat berasal dari pelepasan ikatan tersebut.
Dengan demikian terjadi proses ke-setimbangan dinamik yang terus menerus dengan
bagian obat yang tetap berada dalam keadaan bebas.
kecepatan
eliminasinya.
Interaksi
ini
lebih
nyata
dengan
hipoalbuminemia, gagal ginjal atau penyakit yang berat akibat berkurangnya albumin
plasma ikatan obat bersifat asam dengan albumin, serta menurunya eliminasi obat.
Bagi obat penggeser yang dapat menimbulkan pergeseran protein yang
bermakna adalah yang bersifat sebagai berikut :
1. Berikatan dengan albumin di tempat ikatan yang sama dengan obat yang dapat
digeser (site I atau site II) dengan ikatan yang kuat.
2. Pada dosis terapi kadarnya cukup tinggi untuk mulai menjenuhkan tempat
ikatanya pada albumin sebagai contoh, fenilbutazon akan menggeser warfarin
(ikatan protein 99%, Vd=0,14 L/kg) dan tolbutamid (ikatan protein 96%,
Vd=0,12 L/kg).
Faktor faktor yang mempengaruhi konsentrasi protein plasma :
1. Sintesis protein
2. Katabolisme protein
3. Distribusi albumin antara ruang intra dan ekstra vaskuler
4. Eliminasi protein plasma yang berlebihan terutama albumin
5. Perubahan kualitas protein plasma afinitas obat terhadap protein berubah
Contoh penyakit hati/ginjal kualitas protein plasma berubah kapasitas
protein plasma terhadap obat berubah.
Faktor faktor yang mempengaruhi ikatan protein plasma :
1. Sifat fisikokimia obat
2. Konsentrasi obat dalam tubuh
3. Jumlah protein plasma
4. Afinitas antara obat dengan protein
5. Kompetisi obat dengan zat lain pada ikatan protein
6. Kondisi patofisiologis penderita
15
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Contoh Interaksi Obat Dalam Proses Distribusi (Transport Dalam Darah)
Beberapa contoh obat yang berinteraksi di dalam proses distribusi yang
memperebutkan ikatan protein adalah sebagai berikut :
no Obat
Objek
(A)
1 warfari
n
Obat Praesipitan
(B)
Mekanisme
interaksi
Efek yang
timbul
Fenilbutazon,oksif
enilbutazon,salisila
t,klofibrat,fenitoin,
sulfinilpirazon,asa
m mefenamat
pendarahan
kloralhidrat
Obat B menggeser
obat A dari
ikatannya dengan
protein
plasmeefek
/toksisitas obat
Ameningkat
Metabolit utama
dari kloralhidrat
adalah asam
trikloro asetat
yang sangat kuat
terikat pada
protein
plasma.kloralhidra
t mendesak
warfarin dari
ikatan protein
plasma
warfari
n
Meningkatk
an respon
koagulan
Level
Penangana
signifikas n IO
i
Terapi yang
menggunak
an obat ini
sebaiknya
dihindari
Terapi
pemberian
obat tidak
boleh
bersamaan,
digunakan
obat
hipnotik
yang
lain,bila
terlihat
adanya
interaksi
diganti
diazepam
atau
17
warfari
n
simetidin
Simetidin terikat
oleh
cytokromp450
sehingga
menurunkan
aktivtas enzim
mikrosom
hati,sehingga obat
lain akan
terakumulasi bila
diberikan bersama
simetidin
Meningkatk
an respon
antikoagula
n
Antiko
agulan
(warfar
in)
metronidazol
Metronidazol
menghambat
metabolisme
warfarin,juga
meningkatkan
hypoprotombinemi
a
Efek
antikoagula
n
meningkat,a
kibatnya
resiko
pendarahan
meningkat
flurazepam
Interaksi
ini yaitu
dapat
dilakukan
dengan
pemeriksaa
n nilai
INR(intern
asional
Normalized
Ratio)
secara rutin
dan bila
mungkin
mengurangi
dosis
warfarin
Sebaiknya
kombinasi
obat
tersebut
dihindari,
bila
digunakan
pasien
harus
dimonitor.
Apakah
efek
antikoagula
n
meningkat
pada awal
pemberian
metronidaz
ole,sampai
saat
penghentia
n
18
warfari
n
allopurinol
Efek warfarin
meningkat atau
antikoagulan
meningkat
Pendarahan
meningkat
Tolbuta
mid,
klorpr
opami
d
Fenilbutazon,
oksifenbutazon,sal
isilat
Pemberian
klorpropamid
dengan
Fenilbutazon
akan
meningkatkan
distribusi dari
Klorpropamid. Hal
ini dikarenakan
didalam darah
senyawa obat dari
klorpropamid
berinteraksi
dengan protein
plasma, sehingga
senyawa asam
HIPOGLIK
EMIA
Biasanya
dosis
antikoagula
n diperkecil
dahulu
pada sat
memulai
terapi
dengan
obat lain
tersebut,da
n baru
ditingkatka
n lagi
setelah
pengobatan
dengan
obat6 itu
selesai
Diamati
apakah
terjadi
hypoproto
mbinameia
bila terjadi
Dosis
antikoagula
n
diperkecil.
19
metotre
ksat
Salisilat,sulfonami
d
akan berikatan
dengan albumin
dan yang basa
berikatan dengan
1-glikoprotein,
sehingga
klorpropamid dan
fenilbutazon
bersaing beriktatan
dengan protein
plasma, sehingga
proses distribusi
dari fenilbutazon
akan terhambat.
Obat B menggeser Pansitopeni
Obat A dari
ikatannya dengan
protein plasma
efek/toksisitas
Obat A
Salisilat
menggeser
Metrotreksat dari
ikatannya dengan
albumin dan
menurunkan
sekreseinya ke
dalam nephron
oleh kompetisi
dengan anion
secretory carrier.
Jika ikatan
obatalbumin
Pansitopeni
a adalah
penguranga
n signifikan
jumlah
eritrosit,
semua jenis
sel darah
putih, dan
trombosit di
sirkulasi
darah.
subnormal,
maka dosis
obat
pada
pemberian
single dose
harus kecil
Obat yang
memiliki
afinitas
tinggi
terhadap
albumin
dan
memiliki
Vd kecil
maka dosis
obat pada
pemberian
kronik
20
Fenitoi
Fenilbutazon,
Obat B menggeser
Toksisitas
harus
disesuaikan
Bila
oksifenbutazon,
Obat A dari
Fenitoin
dimungkin
salisilat
ikatannya dengan
kan
protein plasma
hindarkan
efek/toksisitas
penggunaa
Obat A
n
keduanya.
Antiko
Rifampicin
agulan
Menurunkan
Kadar obat
Rifampicin
bioavailabilitas
dalam darah
diberikan
rifampicin
menurun,
beberapa
efek
jam
antikoagula
sebelum
sediaan
dapat
Asam valporat
berkurang
Efek
tersebut.
Tidak boleh
Valpor
mendesak fenitoin
fenitoin
diberikan
at
meningkat
berbarenga
plasma
terjadi
n.
10 Asam
Fenitoin
reaksi efek
samping
Banyak obat yang terikat protein plasma sehingga hanya obat dalam bentuk bebas di
dalam plasma yang menghasilkan efek farmakologi. Biasanya obat terikat albumin namun
sebagian obat (seperti kuinin) terikat ke -globulin dan asam glikoprotein. Obat-obat yang
bersifat asam seperti walfarin dan analgetik non steroid (NSAID) memiliki afinitas yang
tinggi terhadap albumin plasma, namun sebagian obat basa seperti antidepresan dapat
berikatan juga.
21
Pembahasan Tabel
1. Walfarin Fenilbutazon
Warfarin adalah golongan obat antikoagulan untuk mencegah terjadinya pembekuan
darah. Warfarin merupakan obat pilihan utama untuk pengobatan tromboemboli
sistemik pada anak-anak (bukan neonatus) setelah heparinisasi awal.
Warfarin mempengaruhi sintesisVitamin-K yang berperan dalam pembekuan darah
sehingga terjadi deplesi faktor II, VII, IX dan X. Ia bekerja di hati dengan
menghambat karboksilasi vitamin K dari protein perkursornya.
Fenilbutazon adalah obat anti-inflamasi non-steroid (AINS) yang bekerja sebagai
anti-inflamasi melalui penghambatan enzim siklooksigenase dan penghambatan
terhadap pembentukan mediator inflamasi, seperti prostaglandin.
Mekansime Interaksi Obatnya :
Fenilbutazon dapat menggeser warfarin (ikatan protein 99%, Vd = 0,14 l/kg)
dan
tolbutamid (ikatan protein 96%, Vd = 0,12 l/kg), sehingga kadar plasma warfarin dan
tolbutamid bebas meningkat. Selain itu fenilbutazon juga menghambat metabolisme
warfarin dan tolbutamid. (Farmakologi dan Terapi Edisi 5, 2012).
Kedua obat ini terikat kuat pada protein plasma, tetapi fenilbutazon memiliki afinitas
lebih besar, sehingga mampu menggeser warfarin dan dalam jumlah/kadar warfarin
bebas meningkat sehingga aktivitas antikoagulan meningkat dan terjadi resiko
pendarahan.
Penanganan, sebaiknya penanganan terapi yang menggunakan obat ini wajib untuk
dihindari.
2. Walfarin Kloralhidrat
Warfarin merupakan antikoagulan oral. Lebih dari 90% dari warfarin terikat
pada albumin plasma, yang
mungkin
menjadi
penyebab
kenapa
volume
22
distribusinya kecil (ruang albumin), jika albumin plasma rendah maka obat
bebas dari warfarin ini akan meningkat,
oleh
karenanya
ia
disebut
obat
mungkin
menjadi
penyebab
kenapa
volume
distribusinya kecil (ruang albumin), jika albumin plasma rendah maka obat
bebas dari warfarin ini akan meningkat,
oleh
karenanya
ia
disebut
obat
sitokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas enzim mikrosom hati, sehingga obat
lain akan terakumulasi bila diberikan bersama Cimetidin. Contohnya: warfarin,
fenitoin, kafein, fenitoin, teofilin, fenobarbital, karbamazepin, diazepam, propanolol,
metoprolol dan imipramin. (Interaksi Obat, Retno Gitawati).
23
mungkin
menjadi
penyebab
kenapa
volume
distribusinya kecil (ruang albumin), jika albumin plasma rendah maka obat
bebas dari warfarin ini akan meningkat,
oleh
karenanya
ia
disebut
obat
dengan indeks terapi sempit (Katzung, 2004; Jaffer, Bragg, 2003). Allopurinol
24
Diamati
apakah
terjadi
hypoprotrombinaemia,
bila
terjadi
25
distribusi
klorpropamid
asam
akan
dengan
1-glikoprotein,
Fenilbutazon
akan
dengan
berikatan dengan
sehingga
dengan
albumin
protein
dan
plasma,
yang
basa
sehingga
berikatan
beriktatan dengan protein plasma, sehingga proses distribusi dari fenilbutazon akan
terhambat.
Penanganan : sebaiknya untuk dosis antikoagulannya diperkecil.
7. Metotreksat dan Salisilat
Metotreksat : Pengobatan untuk neoplasma trofoblatik, leukemia, psoriasis,
reumatoid artritis, termasuk terapi poliartikular juvenile reumatoid artritis (JDR);
karsinoma payudara, karsinoma leher dan karsinoma kepala,karsinoma paru,
osteosarkoma, sarcoma jaringan lunak, karsinoma saluran gastrointestinal, karsinoma
esofagus, karsinoma testes, karsinoma limfoma.
Mekanisme Interaksi Obat : Obat B menggeser Obat A dari ikatannya dengan
protein plasma efek/toksisitas Obat A. Salisilat menggeser Metrotreksat dari
ikatannya dengan albumin dan menurunkan sekreseinya ke dalam nephron oleh
kompetisi dengan anion secretory carrier. (Interaksi Obat, Heni Suprapti)
Efek : Efek Metotreksat ditingkatkan oleh Salisilat, Efek meningkatkan/toksisitas
contohnya Pansitopenia. (Farmakolofi dan Terapi, Edisi V. 2005).
Pengobatan bersama dengan NSAID telah menghasilkan supresi sum-sum tulang
berat, anemia aplastik dan toksisitas pada saluran gastrointestinal. NSAID tidak boleh
digunakan selama menggunakan metotreksat dosis sedang atau tinggi karena dapat
meningkatkan level metotreksat dalam darah (dapat menaikkan toksisitas). Salisilat
bisa meningkatkan level metotreksat, bagaimanapun penggunaan salisilat untuk
profilaksis dari kejadian kardiovaskular tidak mendapat perhatian.
Penanganan : Jika ikatan obat-albumin subnormal, maka dosis obat pada pemberian
single dose harus kecil. Obat yang memiliki afinitas tinggi terhadap albumin dan
memiliki Vd kecil maka dosis obat pada pemberian kronik harus disesuaikan.
8. Fenitoin Dan Fenilbutazon
26
Fenitoin merupakan obat epilepsi, fenitoin menstabilkan membran sel saraf terhadap
depolarisasi dengan cara mengurangi masuknya ion ion natrium dalam neutron pada
keadaan istirahat atau selama depolarisasi. Fenitoin juga menekan dan mengurangi
infulks ion kalsium selama depolarisasi dan menekan perangsangan sel msaraf yang
berulang ulang. Absorbsi
oral
fenitoin
lambat,
tetapi
sekali
diabsorbsi
plasma
kira
kira
kontrasepsi oral, fraksi bebasnya kira kira 10%, sedangkan diketahui bahwa efek
farmakologi fenitoin hanya bergantung dari bentuk
bebasnya.
Pasien
dengan
neonatal fraksi
bebasnya rata rata diatas 15%. Pada pasien epilepsi fraksi bebas berkisar antara
5,8-12,6%
Distribusi obat ke berbagai bagian tubuh ternyata tidak sama, misalnya konsentrasi
fenitoin di otak ternyata 1-3 kali dari konsentrasi di plasma. Interaksi antara fenitoin
dan
fenilbutazon
terikat
dengan
protein
plasma,
sehingga
akan
terjadi
kompetisi untuk mengikat albumin, tergantung afinitas terhadap albumin mana yang
lebih kuat. Keadaan ini akan
mengakibatkan
peningkatan bentuk
bebas
dari
fenitoin, akibat ikatan dengan albumin diduduki oleh fenilbutazon. Volume distribusi
fenitoin lebih berkurang 64% dari berat badan tapi sekitar tujuh kali lebih
besar
bila
dihitung dengan
kadar
obat
bebas.
Waktu
paruh
pemberian
fenitoin peroral 18-24 jam sedangkan mencapai kadar optimal adalah 5-10 hari.
9. Antikoagulan dan Rifampicin
27
Antikoagulan : adalah at-zat yang dapat mencegah pembekuan darah dengan jalan
menghambat pembentukan fibrin.
Rifampicin : Rifampisina adalah antibiotika oral yang mempunyai aktivitas
bakterisida terhadap Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium leprae.
Mekanisme kerja rifampisina dengan jalan menghambat kerja enzim DNA-dependent
RNA polymerase yang mengakibatkan sintesa RNA mikroorganisme dihambat. Untuk
mempercepat penyembuhan dan mencegah resistensi kuman selama pengobatan,
rifampisina sebaiknya dikombinasikan dengan antituberkulosis lain seperti INH atau
Etambutol. Dengan antibiotika lain rifampisina tidak menunjukkan resistensi silang.
Mekanisme Interaksi Obat : Rifampicin dapat menginduksi enzim mikrosomosal,
sehingga mempercepat inaktivasi beberapa macam obat lain, seperti obat antikoagulan
oral golongan kumarin, obat kontrasepsi oral. Sehingga Kadar obat dalam darah
menurun, efek antikoagulan dapat berkurang.
Penanganan : sebaiknya jangan diberikan obat secara berbarengan.
10. Fenitoin dan Asam Valproat
Fenitoin dan Asam Valproat Asam valproat mendesak fenitoin dari ikatan protein
plasma sehingga kadar fenitoin bebas meningkat dengan nyata yang mengakibatkan
terjadinya reaksi sampingan. Dosis Phenytoin disesuaikan dengan
kadar dalam plasma, tetapi pengukuran ini tidak membedakan antara phenytoin yang
terikat ataupun yang bebas, tapi merupakan kadar total obat.
Sehingga Efek fenitoin meningkat terjadi reaksi efek samping, penanganannya tidak
boleh diberikan berbarengan.
28
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Salah satu factor yang mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan ialah
interaksi
farmakokinetika
meliputi
absorpsi,distribusi,metabolisme,dan
eksresi.
Pengobatan dengan beberapa obat sekaligus atau dikenal dengan istilah polifarmasi akan
memudahkan terjadinya interaksi obat. Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila
berakibat meningkatnya toksisitas dan mengurangi efektifitas obat yang berinteraksi.
Untuk obat-obatan yang bisa berinteraksi secara farmakokinetik perlu mendapat
perhatian serius sehingga dapat dicegah efek samping yang tidak diharapkan.
Distribusi merupakan perjalanan obat ke seluruh tubuh. Proses ini dipengaruhi
oleh : Pengikatan protein plasma, kelarutan obat dalam lipid (yaitu, apakah obat tersebut
larut dalam jaringan lemak), sifat-keterikatan obat, aliran darah ke dalam organ dan
keadaan sirkulasi, stadium dalam siklus kehidupan, misalnya kehamilan, masa bayi,
kondisi penyakit, misalnya preeklampsia atau gagal jantung.
Prinsip Distribusi obat yang mendasari adalah interaksi dalam ikatan protein
plasma, serta transport obat di dalam plasma.
29
DAFTAR PUSTAKA
Press ...
Anonim. 2007. Farmakologi. BPK Penabur. Jakarta.
Mutschler, E., 1985, Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi, 88-93, Penerbit ITB,
Bandung
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Informatorium Obat Nasional Indonesia
Jakarta
Harkness Richard, R. PH. 1984. Interaksi Obat. Penerbit ITB : Bandung
Syamsudin. Interaksi Obat Konsep Dasar dan Klinis. Penerbit Universitas Indonesia :
Jakarta
Ira, Oktaviani. 2012. Aspek Farmakokinetika Klinik Obat- Obat yang digunakan pada
pasien sirosis hati di Bangsal interne RS UP DR. M.Djamil Padang Periode Oktober
30