Anda di halaman 1dari 26

1.

MM Demam
1.1.
Definisi
Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan langsung
dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai
rangsang, misalnya terhadap toksin bakteri, peradangan, dan rangsangan pirogenik
lain. Bila produksi sitokin pirogen secara sistemik masih dalam batas yang dapat
ditoleransi maka efeknya akan menguntungkan tubuh secara keseluruhan, tetapi
bila telah melampaui batas kritis tertentu maka sitokin ini membahayakan tubuh.
(sherwood,2001)
1.2.

Jenis
1. Demam septik : pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat
yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal
pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam
yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan juga demam hektik.
2. Demam remiten : pada tipe demam remiten, suhu badan apat turun setiap hari
tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin
tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat
pada demam septik.
3. Demam intermiten : pada tipe demam ini, suhu badan turun ke tingkat yang
normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap
dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas demam diantara dua
serangan demam disebut kuartana.
4. Demam kontinyu : pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak
berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi
sekali disebut hiperpireksia.
5. Demam siklik : pada tipe demam ini terjadi kenaikan suhu badan selama
beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang
kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.

1.3.

Etiologi
Demam dapat disebabkan oleh:

Adanya infeksi bakteri dan virus, seperti influenza

Radang

Efek samping obat dan imunisasi

Faktor lain seperti siklus menstruasi atau olahraga berat


(prodia.co.id)
1.4.
Patogenesis
Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh akibat dari peradangan atau infeksi.
Proses perubahan suhu yang terjadi saat tubuh dalam keadaan sakit lebih
dikarenakan oleh zat toksin yang masuk kedalam tubuh.

Umumnya, keadaan sakit terjadi karena adanya proses peradangan


(inflamasi) di dalam tubuh. Proses peradangan itu sendiri sebenarnya merupakan
mekanisme pertahanan dasar tubuh terhadap adanya serangan yang mengancam
keadaan fisiologis tubuh. Proses peradangan diawali dengan masuknya zat toksin
(mikroorganisme) kedalam tubuh kita. Mikroorganisme (MO) yang masuk
kedalam tubuh umumnya memiliki suatu zat toksin tertentu yang dikenal sebagai
pirogen eksogen.


Dengan masuknya MO tersebut, tubuh akan berusaha melawan dan
mencegahnya dengan pertahanan tubuh antara lain berupa leukosit, makrofag, dan
limfosit untuk memakannya (fagositosit). Dengan adanya proses fagositosit ini,
tubuh akan mengeluarkan senjata, berupa zat kimia yang dikenal sebagai pirogen
endogen (khususnya IL-1) yang berfungsi sebagai anti infeksi. Pirogen endogen
yang keluar, selanjutnya akan merangsang sel-sel endotel hipotalamus untuk
mengeluarkan suatu substansi yakni asam arakhidonat. Asam arakhidonat dapat
keluar dengan adanya bantuan enzim fosfolipase A2. Asam arakhidonat yang
dikeluarkan oleh hipotalamus akan pemacu pengeluaran prostaglandin (PGE2).

Pengeluaran prostaglandin dibantu oleh enzim siklooksigenase (COX).


Pengeluaran prostaglandin akan mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus.
Sebagai kompensasinya, hipotalamus akan meningkatkan titik patokan suhu tubuh
(di atas suhu normal). Adanya peningkatan titik patokan ini dikarenakan termostat
tubuh (hipotalamus) merasa bahwa suhu tubuh sekarang dibawah batas normal.
Akibatnya terjadilah respon dingin/ menggigil. Selain itu vasokontriksi kulit juga
berlangsung untuk mengurangi pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut
mendorong suhu naik. Adanya proses menggigil ( pergerakan otot rangka) ini
ditujukan untuk menghasilkan panas tubuh yang lebih banyak. Dan terjadilah
demam.
( Sherwood, 2004)
2. MM Salmonella
2.1.
Struktur
Berbentuk batang, tidak berspora, bersifat negatif pada pewarnaan Gram.
Ukuran Salmonella bervariasi 13,5 m x 0,50,8 m.
Besar koloni rata-rata 24 mm.
Sebagian besar isolat motil dengan flagel peritrik.
Tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 1541 C (suhu
pertumbuhan optimal 37,5 C) dan pH pertumbuhan 68.
Mudah tumbuh pada medium sederhana, misalnya garam empedu.
Tidak dapat tumbuh dalam larutan KCN.
Membentuk asam dan kadang-kadang gas dari glukosa dan manosa.
Menghasikan H2S.
Antigen O: bagian terluar dari lipopolisakarida dinding sel dan terdiri dari unit
polisakarida yang berulang. Beberapa polisakarida O-spesifik mengandung gula
yang unik. Antigan O resisten terhadap panas dan alkohol dan biasanya terdeteksi
oleh aglutinasi bakteri. Antibodi terhadap antigen O terutama adalah IgM.
Antigen Vi atau K: terletak di luar antigen O, merupakan polisakarida dan yang
lainnya merupakan protein. Antigen K dapat mengganggu aglutinasi dengan
antiserum O, dan dapat berhubungan dengan virulensi. Dapat diidentifikasi dengan
uji pembengkakan kapsul dengan antiserum spesifik.
Antigen H: terdapat di flagel dan didenaturasi atau dirusak oleh panas dan
alkohol. Antigen dipertahankan dengan memberikan formalin pada beberapa
bakteri yang motil. Antigen H beraglutinasi dengan anti-H dan IgG. Penentu dalam
antigen H adalah fungsi sekuens asam amino pada protein flagel (flagelin). Antigen
H pada permukaan bakteri dapat mengganggu aglutinasi dengan antibodi antigen
O.
Organisme dapat kehilangan antigen H dan menjadi tidak motil.
Kehilangan antigen O dapat menimbulkan perubahan bentuk koloni yang halus
menjadi kasar.

Antigen Vi atau K dapat hilang sebagian atau seluruhnya dalam proses transduksi.
2.2.

Klasifikasi
Berikut klasifikasi dari bakteri Salmonella :
Kerajaan : Bacteria
Filum : Proteobakteria
Kelas : Gamma proteobakteria
Ordo : Enterobakteriales
Family : Enterobakteriaceae
Genus : Salmonella
Spesies : Salmonella enterica, Salmonella Arizona, Salmonella typhi,
Salmonella choleraesuis, Salmonella enteritidis
Secara praktis salmonella dapat dibagi menjadi:
Salmonella tifoid yaitu Salmonella typhi, S.paratyphi A, B, dan C penyebab
demam enteric (typhoid) pada manusia . Kelompok ini telah beradaptasi pada
manusia.
Salmonella non-tifoid yaitu S. Dublin (sapi), S. cholera suis (babi) ,
S.gallinarum dan S.pullarum (unggas), S.aborius equi (kuda) dan S. aborius ovis
(domba). Salmonella sp yang beradaptasi pada jenis hewan tertentu jarang
menimbulkan penyakit pada manusia.
Sifat Bakteri Salmonella
Host reservoar: unggas, babi, hewan pengerat, hewan ternak, binatang piaraan,
dsb.
Menghasilkan hasil positif terhadap reaksi fermentasi manitol dan sorbitol.
Memberikan hasil negatif pada reaksi indol, DNase, fenilalanin deaminase,
urease, Voges Proskauer, reaksi fermentasi terhadap sukrosa, laktosa, dan
adonitol.
Pada agar SS, Endo, EMB, dan McConkey, koloni kuman berbentuk bulat, kecil,
dan tidak berwarna. Pada agar Wilson-Blair, koloni kuman berwarna hitam.
Dapat masuk ke dalam tubuh secara oral, melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi.xDosis infektif rata-rata untuk menimbulkan infeksi klinis atau
subklinis pada manusia pada manusia adalah 105108 organisme.
Faktor pejamu yang menimbulkan resistensi terhadap infeksi Salmonella adalah
keasaman lambung, flora mikroba normal usus, dan kekebalan usus setempat.
Dapat bertahan dalam air yang membeku untuk waktu yang lama (+ 4 minggu).
Mati pada suhu 56oC, juga pada keadaan kering.
Hidup subur dalam medium yang mengandung garam empedu.
Resisten terhadap zat warna hijau brilian, natrium tetrationat, dan natrium
deoksikolat yang menghambat pertumbuhan kuman koliform sehingga senyawasenyawa tersebut dapat digunakan untuk inklusi isolat Salmonella dari feses pada
medium.

2.3.

Transmisi
Penyebaran dan Siklus hidup:
Infeksi terjadi dari memakan makanan yang tercontaminasi dengan feses yang
terdapat bakteri Sal. typhimurium dari organisme pembawa (hosts).
Setelah masuk dalam saluran pencernaan maka Sal. typhimurium menyerang
dinding usus yang menyebabkan kerusakan dan peradangan.

Infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah karena dapat
menembus dinding usus tadi ke organ-organ lain seperti hati, paru-paru, limpa,
tulang-tulang sendi, plasenta dan dapat menembusnya sehingga menyerang fetus
pada wanita atau hewan betina yang hamil, dan ke membran yang menyelubungi
otak.
Subtansi racun diproduksi oleh bakteri ini dan dapat dilepaskan dan
mempengaruhi keseimbangan tubuh.
Di dalam hewan atau manusia yang terinfeksi Sal. typhimurium, pada fesesnya
terdapat kumpulan Sal. typhimurium yang bisa bertahan sampai bermingguminggu atau berbulan-bulan.
Bakteri ini tahan terhadap range yang lebar dari temperature sehingga dapat
bertahan hidup berbulan-bulan dalam tanah atau air.
Makanan yang mengandung Salmonella belum tentu menyebabkan infeksi
Salmonella, tergantung dari jenis bakteri, jumlah dan tingkat virulensi (sifat racun
dari suatu mikroorganisma, dalah hal ini bakteri Salmonella).
Misalnya saja Salmonella enteriditis baru menyebabkan gejala bila sudah
berkembang biak menjadi 100 000. Dalam jumlah ini keracunan yang terjadi bisa
saja menyebabkan kematian penderita. Salmonella typhimurium dengan jumlah
11.000 sudah dapat menimbulkan gejala. Jenis Salmonella lain ada yang
menyebabkan gejala hanya dengan jumlah 100 sampai 1000, bahkan dengan
jumlah 50 sudah dapat menyebabkan gejala. Perkembangan Salmonella pada
tubuh manusia dapat dihambat oleh asam lambung yang ada pada tubuh kita.
Disamping itu dapat dihambat pula oleh bakteri lain. Gejala dapat terjadi dengan
cepat pada anak-anak, bagaimanapun pada manusia dewasa gejala datang dengan
perlahan. Pada umumnya gejala tampak setelah 1-3 minggu setelah bakteri ini
tertelan. Gejala terinfeksi diawali dengan sakit perut dan diare yang disertai juga
dengan panas badan yang tinggi, perasaan mual, muntah, pusing-pusing dan
dehidrasi. Gejala yang timbul dapat berupa: tidak menunjukkan gejala (long-term
carrier), adanya perlawanan tubuh dan mudah terserang penyakit denga gejala:
inkubasi (7-14 hari setelah tertelan) tidak menunjukkan gejala, lalu terjadi diare.
3. MM Demam Typhoid
3.1.
Definisi
Demam typhoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan
oleh salmonella typhi.
3.2.
Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi enteritica serovar/
Salmonella typhi yang menular dari manusia ke manusia melalui makanan atau air
minum yang terkontaminasi. Ketika bakteri melewati bagian bawah usus besar,
mereka menembus melalui mukosa usus ke jaringan di bawahnya. Jika sistem
kekebalan tubuh tidak dapat menghentikan infeksi di sini, bakteri akan
berkembang biak dan kemudian menyebar ke aliran darah, setelah itu tanda-tanda
pertama dari penyakit diamati dalam bentuk demam. Bakteri kemudian menembus
lebih lanjut ke sumsum tulang, hati dan empedu, dari mana bakteri diekskresikan
ke dalam isi usus. Pada tahap kedua penyakit, bakteri menembus jaringan
kekebalan tubuh dari usus kecil, dan gejala kerusakan usus kecil dimulai.
3.3.
Patogenesis

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh


manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung, dan sebagiannya lagi lolos masuk ke dalam usus
dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA)
usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M)
dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui
duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam mikrofag ini masuk ke dalam
sirkulasi darah (menyebabkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di
organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tandatanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Kuman bisa masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu dieksresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, karena makrofag
yang telah teraktivasi, hiperaktif; maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan
gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialga, sakit kepala,
sakit perut, gangguan vaskular, mental, dan koagulasi.
3.4.

Epidemiologi
Demam tifoid menyerang penduduk di semua negara. Seperti penyakit menular
lainnya, tifoid banyak ditemukan di negara berkembang di mana higine pribadi dan
sanitasi lingkungannya kurang baik. Prevelensi kasus bervariasi tergantung lokasi,
kondisi lingkungan setempat, dan perilaku masyarakat. Angka insidensi di seluruh
dunia sekitar 17juta per tahun dengan 600.000 orang meninggal karena penyakit ini.
WHO memperkirakan 70% kematian terjadi di Asia.
Indonesia merupakan negara endemic demam tifoid. Diperkirakan terdapat 800
penderita per 100.000 penduduk setiap tahun yang ditemukan sepanjang tahun.
Penyakit ini tersebar di seluruh wilayah dengan insidensi yang tidak berbeda jauh
antar daerah. Serangan penyakit lebih bersifat sporadic dan bukan epidemic. Dalam
suatu daerah terjadi kasus yang berpencar-pencar dan tidak mengelompok. Sangat
jarang ditemukan beberapa kasus pada satu keluarga pada saat yang bersamaan.
3.5.

Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
Komplikasi Intestinal:

A. Perdarahan Usus Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami


perdarahan minor yang
Tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga
penderita
mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila
terdapat
perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
B. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam
tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah
kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut.
Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan
sampai syok

Komplikasi Ekstraintestinal
A.Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok,sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
B. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
C. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
D. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
E. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
F. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
G. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis,
polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia

3.6.

Diagnosis dan diagnosis banding


DIAGNOSIS
DIAGNOSIS KLINIS
Diagnosis klinis adalah kegiatan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
mendapatkan sindrom klinis demam tifoid.
Diagnosis klinis demam tifoid diklasifikasikan atas 3:
1. Possible case
Dengan anamnesis/pemeriksaan fisik di dapatkan gejala demam, gangguan
saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan hepato/spenomegali. Sindrom
demam tifoid yang didapatkan belum lengkap. Diagnosis possible case hanya
dibuat pada pelayanan kesehatan dasar
2. Probable case
Telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung oleh
gambaran laboratorium yang menyokong demam tifoid (titer Widal O > 1/160
atau H > 1/160 satu kali pemeriksaan
3. Definite case
Diagnosis pasti, ditemukan S.typhi pada pemeriksaan biakan atau positif S.typhi
pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titer Widal 4 kali lipat ( pada
pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer Widal O > 1/320, H > 1/640 yang menetap
pada pemeriksaan ulang.
DIAGNOSIS BANDING
Pada tahap diagnosis klinis ini, beberapa penyakit dapat menjadi diagnosis
banding demam tifoid, diantaranya:
. Abses dalam
. Malaria
. Sepsis Gram negatif
. Demam dengue/DBD

. Leptospirosis
. Influenza
. Tuberculosis
. Meningoensephalitis
. Typhus
. Endokarditis

3.7.

Tatalaksana

Kloramfenikol (Chloromycetin) Mengikat 50S ribosomal subunit-bakteri dan


menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesis protein. Efektif
terhadap bakteri gram negatif dan gram positif. Sejak diperkenalkan pada 1948,
telah terbukti sangat efektif untuk seluruh dunia demam enterik. Untuk strain
sensitif, masih paling banyak digunakan antibiotik untuk mengobati demam
tifoid. Pada tahun 1960, S typh i strain dengan plasmid-mediated resistensi
terhadap kloramfenikol mulai muncul dan kemudian menjadi tersebar luas di
negara-negara endemik di Amerika dan Asia Tenggara, menyoroti kebutuhan
untuk agen alternatif.
Menghasilkan peningkatan yang cepat dalam kondisi umum pasien, diikuti oleh
penurunan suhu badan sampai yg normal dalam 3-5 d. Mengurangi preantibiotic
era fatalitas kasus tarif dari 10% -15% menjadi -4% 1%. Cures sekitar 90%
pasien. Diperintah PO kecuali pasien adalah diare atau mengalami mual, dalam
kasus tersebut, IV rute harus digunakan pada awalnya. IM rute harus dihindari
karena dapat menyebabkan darah tidak memuaskan, menunda penurunan suhu
badan sampai yg normal.

Amoksisilin (Trimox, Amoxil, Biomox) Mengganggu sintesis dinding sel


mucopeptides selama multiplikasi aktif, sehingga aktivitas bakterisidal terhadap
bakteri rentan. Setidaknya seefektif kloramfenikol dalam percepatan penurunan
suhu badan sampai yg normal dan tingkat kambuh. Kereta pemulihan lebih
jarang terjadi dibandingkan dengan agen lain ketika organisme sepenuhnya
rentan. Biasanya diberikan PO dengan dosis harian 75-100 mg / kg tid selama
14 d.
Trimetoprim dan sulfametoksazol (Bactrim DS, Septra) Menghambat
pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesis asam dihydrofolic. Aktivitas
antibakteri TMP-SMZ termasuk patogen saluran kemih biasa, kecuali
Pseudomonas aeruginosa. Sama efektifnya dengan kloramfenikol dalam
penurunan suhu badan sampai yg normal dan tingkat kambuh. Trimetoprim
sendiri telah efektif dalam kelompok kecil pasien.
Ciprofloxacin (Cipro) Fluorokuinolon dengan aktivitas terhadap pseudomonad,
streptokokus, MRSA, Staphylococcus epidermidis, dan sebagian gram negatif
organisme namun tidak ada aktivitas terhadap anaerob. Menghambat sintesis
DNA bakteri dan, akibatnya, pertumbuhan. Teruskan pengobatan untuk minimal
2 d (7-14 d khas) setelah tanda dan gejala hilang. Terbukti sangat efektif untuk
tifoid dan demam paratifoid. Penurunan suhu badan sampai yg normal terjadi
pada 3-5 d, dan kereta sembuh dan kambuh jarang terjadi. Kuinolon lain
(misalnya, ofloksasin, norfloksasin, pefloxacin) biasanya efektif. Jika muntah
atau diare hadir, harus diberikan IV. Fluoroquinolones sangat efektif terhadap
strain multiresisten dan memiliki aktivitas antibakteri intraseluler.
Tidak direkomendasikan untuk digunakan pada anak-anak dan wanita hamil
karena potensi diamati untuk menyebabkan kerusakan tulang rawan pada hewan
berkembang. Namun, arthropathy belum dilaporkan pada anak-anak setelah
penggunaan asam nalidiksat (sebuah kuinolon sebelumnya dikenal untuk
menghasilkan kerusakan sendi yang sama pada hewan muda) atau pada anak
dengan fibrosis kistik, meskipun dosis tinggi pengobatan.
Sefotaksim (Claforan) Penangkapan dinding sel bakteri sintesis, yang
menghambat pertumbuhan bakteri. Generasi ketiga sefalosporin dengan
spektrum gram negatif. Lebih rendah efikasi terhadap organisme gram positif.
Sangat baik dalam kegiatan vitro terhadap S typhi dan salmonella lain dan
memiliki khasiat yang dapat diterima pada demam tifoid. Hanya IV formulasi
yang tersedia. Baru-baru munculnya negeri diperoleh ceftriaxone tahan infeksi
Salmonella telah dijelaskan.
Azitromisin (Zithromax) Dapat diberikan pada infeksi mikroba ringan sampai
sedang. DPemberian PO 10 mg / kg / hari (tidak melebihi 500 mg), tampaknya
efektif untuk mengobati demam tipus tanpa komplikasi pada anak 4-17 tahun .
Konfirmasi hasil ini bisa memberikan alternatif bagi pengobatan demam tifoid
pada anak di negara berkembang, di mana sumber daya medis yang langka.
Ceftriaxone (Rocephin) Generasi ketiga sefalosporin dengan spektrum luas
gram negatif aktivitas terhadap organisme gram positif; Bagus aktivitas in vitro
terhadap S typhi dan salmonella lainnya.

Cefoperazone (Cefobid) Dihentikan di Amerika Serikat. Generasi ketiga


sefalosporin dengan spektrum gram negatif. Lebih rendah efikasi terhadap
organisme gram positif.
Ofloksasin (Floxin) Suatu asam turunan piridin karboksilat dengan spektrum
luas efek bakterisidal.
Levofloksasin (Levaquin) Untuk infeksi pseudomonas dan infeksi karena
resistan terhadap organisme gram negatif.
Kortikosteroid Deksametason dapat mengurangi kemungkinan kematian pada
kasus demam tifoid berat rumit oleh delirium, obtundation, stupor, koma, atau
syok jika bakteri meningitis telah definitif dikesampingkan oleh penelitian
cairan cerebrospinal. Untuk saat ini, percobaan yang paling sistematis ini telah
menjadi studi terkontrol secara acak pada pasien berusia 3-56 tahun dengan
demam tifoid berat yang menerima terapi kloramfenikol. Penelitian ini
membandingkan hasil pada 18 pasien diberikan plasebo dengan hasil pada 20
pasien diberikan deksametason 3 mg / kg IV selama 30 menit diikuti dengan
deksametason 1 mg / kg setiap 6 jam selama 8 dosis. Tingkat kematian pada
kelompok deksametason adalah 10% dibandingkan 55,6% pada kelompok
plasebo (P = .003) [52].
Meskipun demikian, hal ini masih diperdebatkan. Sebuah pernyataan 2003,
WHO mendukung penggunaan steroid seperti dijelaskan di atas, tapi review
oleh penulis terkemuka dalam New England Journal of Medicine (2002) [6] dan
British Medical Journal (2006) tidak mengacu pada steroid sama sekali. Sebuah
uji coba 1991 dibandingkan pasien yang diobati dengan 12 dosis deksametason
400 mg atau 100 mg sampai kohort retrospektif di antaranya steroid tidak
diberikan. Percobaan ini tidak menemukan perbedaan hasil antara kelompokkelompok. [54]
Data adalah jarang, tetapi penulis artikel ini setuju dengan WHO deksametason
yang harus digunakan dalam kasus-kasus demam tifoid berat.
Deksametason (Decadron) Pemberian dosis tinggi deksametason mengurangi
mortalitas pada pasien dengan demam tifoid berat tanpa meningkatnya insiden
komplikasi, menyatakan pembawa, atau kambuh antara korban.
Pencegahan
Pencegahan demam tifoid adalah dengan memperhatikan kualitas makanan
dan minuman yang dikonsumsi. Salmonella Typhi akan mati di dalam air jika
dipanasi setinggi 57C untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi dan
klorinasi. Untuk makanan pemanasan hingga suhu 57C beberapa menit juga
dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Pengadaan sarana air dan
pengaturan pembuangan sampah serta imunisasi aktif dapet membantu
menekan angka kejadian demam tifoid.

Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung tepatnya terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas < 1 %. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya > 10% biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Prognosis juga menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang
berat seperti :
a.
Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinu
b.
Kesadaran menurun sekali yaitu stupor, koma, atau delirium
c.
Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein)
4. MM antibiotik untuk demam typhoid
KLORAMFENIKOL

Asal dan Kimia

Kloramfenikol merupakan kristal putih yang sukar larut dalam air


dan rasanya pahit

CH 2

OH
Rumus umum molekul

OH
C

Kloramfenikol : R = -

NO2

Tiamfenikol

CH 3 SO 2

:R=-

O
CCl2

1.1. Farmakodinamik
Efek anti mikroba
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein
kuman. Obat ini terikat pada ribosom sub unit 50s dan
menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptida

tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman.

Kloramfenikol bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi


kloramfenikol kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kumankuman tertentu.
Spektrum anti bakteri :
- D.pneumoniae, - S. Pyogenes,
- S.viridans,

- Neisseria,

- Haemophillus, - Bacillus spp,


- Listeria,

- Bartonella,

- Brucella,

- P. Multocida,

- C.diphteria,

- Chlamidya,

- Mycoplasma,

- Rickettsia,

- Treponema,
(dan kebanyakan kuman anaerob)

Resistensi
Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui
inaktivasi obat oleh asetil transferase yang diperantarai oleh
faktor-R (dikendalikan oleh plasmid). Resistensi terhadap
P.aeruginosa. Proteus dan Klebsiella terjadi karena perubahan
permeabilitas membran yang mengurangi masuknya obat ke dalam
sel bakteri.

Beberapa strain D. Pneumoniae, H. Influenzae, dan N.


Meningitidis bersifat resisten; S. Aureus umumnya sensitif, sedang
enterobactericeae banyak yang telah resisten.

Obat ini juga efektif terhadap kebanyakan strain E.Coli, K.

Pneumoniae, dan P. Mirabilis,

kebanyakan strain Serratia, Providencia dan Proteus


rettgerii resisten,

kebanyakan strain P. Aeruginosa dan S. Typhi

1.2. Farmakokinetik
1. Pemberian oral kloramfenikol diserap dengan cepat ( dalam
darah 2 jam ) bentuk ester kloramfenikol palmitat atau
stearat ( untuk anak-tidak pahit ) mengalami hidrolisis
dalam usus dan membebaskan kloramfenikol

2. Parenteral (IV) kloramfenikol suksinat dihidrolisis dalam


jaringan dan membebaskan kloramfenikol.

Masa paruh eliminasinya pada orang dewasa kurang lebih 3 jam,


pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Kira-kira
50% kloramfenikol dalam darah terikat dengan albumin. Obat ini
didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh, termasuk
jaringan otak, cairan serebrospinal dan mata.

( kloramfenikol ) konjugasi ( pasien


gangguan faal haI-waktu paruh memanjang )
Dosis dikurangi bila terdapat gangguan
fungsi hepar.

sebagian di reduksi jadi arilamin ( tidak aktif ) 24 jam, 8090% kloramfenikol ( secara oral ) diekskresikan ginjal.

kloramfenikol 5-10% aktif diekskresi melalui filtrat


glomerulus sedangkan metaboltnya dengan sekresi
tubulus.

Sisanya terdapat dalam bentuk glukoronat atau hidrolisat


lain yang tidak aktif.

( gagal ginjal ) masa paruh kloramfenikol aktif


tidak banyak tidak perlu pengurangan dosis.

Interaksi

Kloramfenikol menghambat botransformasi tolbutamid fenitoin,


dikumarol dan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim mikrosom
hepar. Dan toksisitas tinggi bila diberikan bersama kloramfenikol.
Interaksi obat dengan fenobarbital dan rifampisin
memperpendek waktu paruh kloramfenikol ( kadar obat menjadi
subterapeutik )

1.3. Farmakoterapi
Demam Tifoid

1. Pengobatan demam tifoid Kloramfenikol diberikan dosis 4


kali 500 mg sehari sampai 2 minggu bebas demam

Bila relaps diatasi dengan memberikan terapi ulang. Untuk


anak-anak diberikan dosis 50-100mg/kg BB/sehari dibagi
dalam beberapa dosis selama 10 hari.

2. Pengobatan tifoid tiamfenikol dengan dosis 50 mg/kg


BBsehari pada minggu pertama lalu diteruskan 1-2 minggu lagi
dengan dosis separuhnya.
Dosis
a. Kloramfenikol

Terbagi dalam bentuk sediaan :

Kapsul 250 mg dan 500 mg Dengan cara pakai untuk


dewasa 50 mg/kg BBsehari per oral 3-4 dosis atau 1-2
kapsul 4 kali sehari

Infeksi berat dosis dapat ditingkatkan 2 x pada awal terapi


sampai didapatkan perbaikan klinis.

Salep mata 1 %

Obat tetes mata 0,5 %

Salep kulit 2 %

Obat tetes telinga 1-5 %

b. Kloramfenikol palmitat atau stearat


Biasanya berupa botol berisi 60 ml suspensi (tiap 5 l
mengandung Kloramfenikol palmitat atau stearat setara
dengan 125 mg kloramfenikol).
Dosis :
o Bayi prematur : 25mg/kgBB sehari per oral ( 2 dosis )
o Bayi aterm (<2mgg) : 25mg/kgBB per oral ( 4 dosis )
o Bayi aterm (2mgg) : 50mg/kgBB per oral (3-4 dosis )
c. Kloramfenikol natrium suksinat
Vial berisi bubuk kloramfenikol natrium suksinat setara
dengan 1 g kloramfenikol yang harus dilarutkan dulu dengan
10 ml aquades steril atau dektrose 5 % (mengandung 100
mg/ml).
Dosis : Dewasa dan Anak, 50 mg/kgBB sehari (IV dengan 4

dosis )

d. Tiamfenikol
Terbagi dalam bentuk sediaan :

1.4.

Kapsul 250 dan 500 mg


Dosis : Dewasa 1-2 g sehari ( 4 dosis )

Botol berisi pelarut 60 ml dan bubuk Tiamfenikol 1.5 g


yang setelah dilarutkan mengandung 125 mg/5 ml
Dosis : Anak, 25-50 mg/kgBB sehari ( 4 dosis )

Efek samping

Reaksi Hematologik
Terdapat dalam 2 bentuk :
1. Reaksi toksik depresi sumsum tulang belakang.
Berhubungan dengan dosis, progresif dan pulih bila
pengobatan dihentikan.
o Kelainan darah anemia, retikulositopenia, peningkatan
serum iron, dan iron binding capacity serta vakuolisasi
seri eritrosit muda. ( terlihat bila kadar kloramfenikol
dalam serum melampaui 25 g/ml )

2. Anemia aplastik dengan pansitopenia tidak tergantung dari


dosis atau lama pengobatan. Insiden 1: 24000 50000.

efek diduga idiosinkrasi dan mungkin disebabkan oleh


kelainan genetik.

Kloramfenikol dapat menimbulkan hemolisis pada pasien


defisiens enzim G6PD bentuk mediteranean.

Timbulnya nyeri tenggorok dan infeksi baru selama


pemberian
kloramfenikol
menunjukkan
adanya

kemungkinan leukopeni.

Reaksi Saluran Cerna


Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare, dan
enterokolitis
Sindromm Gray
Pada neonatus, terutama pada bayi prematur dosis tinggi
(200mg/kg BB) sindrom Gray

Bayi muntah, tidak mau menyusu, pernapasan cepat dan


tidak teratur, perut kembung, sianosis, dan diare tinja
berwarna hijau

Tubuh bayi lemas dan berwarna keabu-abuan; terjadi


pula hipotermi kematian ( 40% )

Efek toksik disebabkan :


(1) sistem konjugasi oleh enzim glukoronil transferase
belum sempurna
(2) kloramfenikol yang tidak terkonjugasi belum dapat
diekskresi dengan baik oleh ginjal.

Mengurangi efek samping dosis kloramfenikol untuk


bayi (<1bln ) tidak boleh melebihi 25 mg/kgBB sehari.

Setelah ini dosis 50 mgKg/BB tidak menimbulkan efek


samping.

Reaksi Neurologik
Dapat terlihat dalam bentuk depresi, bingung, delirium dan sakit

kepala.
1.5.

Kontraindikasi
o Tidak dianjurkan penggunaan untuk wanita hamil dan
menyusui
o Pada pemakaian jangka panjang perlu
pemeriksaan hematologi secara berkala.

dilakukan

o Perlu dilakukan pengawasan terhadap kemungkinan


timbulnya superinfeksi oleh bakteri dan jamur.
o Hati-hati bila dipergunakan pada penderita dengan
gangguan fungsi ginjal dan hati
o Bayi yang lahir prematur dan bayi baru lahir (2 minggu
pertama).
o Tidak untuk pencegahan infeksi, pengobatan influenza,
batuk dan pilek.
o Penderita yang hipersensitif terhadap kloramfenikol

AMOXYCILIN
1. Farmakokinetik
Amoxicillin (alpha-amino-p-hydoxy-benzyl-penicillin) adalah derivat dari
6 aminopenicillonic acid, merupakan antibiotika berspektrum luas yang
mempunyai daya kerja bakterisida.Amoxicillin, aktif terhadap bakteri gram
positif maupun bakterigram negatif.
Bakteri gram positif: Streptococcus pyogenes, Streptococcus viridan,
Streptococcus faecalis, Diplococcus pnemoniae, Corynebacterium sp,
Staphylococcus aureus, Clostridium sp, Bacillus anthracis. Bakteri gram
negatif: Neisseira gonorrhoeae, Neisseriameningitidis, Haemophillus
influenzae, Bordetella pertussis, Escherichia coli, Salmonella sp, Proteus
mirabillis, Brucella sp.

2. Farmakodinamik
Amoxicillin diserap secara baik sekali oleh saluran pencernaan.
Kadar bermakna didalam serum darah dicapai 1 jam setelah pemberian per-oral.
Kadar puncak didalam serum darah 5,3 mg/ml dicapai 1,5-2 jam setelah
pemberian per-oral. Kurang lebih 60% pemberian per-oral akan diekskresikan
melalui urin dalam 6 jam.

3. Indikasi
Infeksi saluran pernafasan atas: Tonsillitis, pharyngitis (kecuali pharyngitis
gonorrhoae), Sinusitis, laryngitis, otitis media.
Infeksi saluran pernafasan bawah: Acute dan chronic bronchitis,
bronchiectasis, pneumonia.
Infeksi saluran kemih dan kelamin: gonorrhoeae yang tidak terkomplikasi,
cystitis, pyelonephritis.
Infeksi kulit dan selapu lendir: Cellulitis, wounds, carbuncles,
furunculosis.
4. Kontraindikasi
Keadaan peka terhadap penicillin.

5. Efek samping
Diare, gangguan tidur, rasa terbakar di dada, mual, gatal, muntah, gelisah, nyeri
perut, perdarahan dan reaksi alergi lainnya.

FLOROKUINOLON
1. Farmakokinetik
Fluorokuinolon diserap lebih baik melalui saluran cerna.

Bioavailablitasnya pada pemberian oral sama dengan pemberian parenteral.


Fluorokuinolon hanya sedikit terikat dengan protein.

Golongan obat ini hanya didistribusi dengan baik pada berbagai organ.

Golongan obat ini mampu mencapai kadar tinggi dalam jaringan prostat dan masa
paruh eliminasinya panjang sehingga obat cukup diberikan 2 kali sehari.

Kebanyakan fluorokuinolon dimetabolisme di hati dan di ekskresikan melalui


ginjal.

Daya antibakteri fluirokuinolon jauh lebih kuat dibandingkan kuinolon


lama.Selain itu diserap dengan baik pada pemberian oral, dan beberapa derivatnya
parenteral sehingga dapat digunakan untuk infeksi berat khususnya yang disebabkan

oleh kuman gram-negatif.Daya antibakterinya terhadap kuman gram-positif relatif


lemah.Yang termasuk golongan ini ialah siprofloksasin, pefloksasin, ofloksasin,
norfloksasin, enoksasin, levofloksasin, fleroksasin, dll.Terdapat golongan kuinolon
baru yaitu moksifloksasin, gatifloksasin, dan gemifloksasin.

2. Mekanisme kerja
Fluorokuinolon bekerja dengan mekanisme yang sama dengan kelompok
kuinolon terdahulu. Fluorokuinolon baru menghambat topoisomerase II (=DNA
Girase) dan IV pada kuman.
3. Resistensi
Mekanisme resistensi melalui plasmid tidak dijumpai pada golongan kuinolon,
namun resistensi terhadap kuinolon dapat terjadi melalui 3 mekanisme yaitu:

Mutasi gen gyr A yang menyebabkan subunit A dari DNA girase kuman
berubah sehingga tidak dapat diduduki molekul obat lagi
Perubahan pada permukaan sel kuman yang mempersulit penetrasi obat ke
dalam sel c.Peningkatan mekanisme pemompaan obat keluar sel (efflux)

4. Indikasi
Fluorokuinolon digunakan untuk indikasi yang jauh lebih luas antara lain:
Infeksi Saluran Kemih (ISK): Fluorokuinolon efektif untuk ISK dengan atau tanpa
penyulit. Siprofloksasin, norfloksasin, dan ofloksasin dapat mencapai kadar yang
cukup tinggi di jaringan prostat dan dapat digunakan untuk terapi prostatitis
bakterial akut maupun kronik.

Infeksi Saluran Cerna: Fluorokuinolon juga efektif untuk diare yang disebabkan
oleh Shigella, Salmonella, E.coli dan Campylobacter. Siprofloksasin dan
ofloksasin mempunyai efektivitas yang baik terhadap demam tifoid.

Infeksi Saluran Napas (ISN): Secara umum efektivitas flurokuinolon generasi


pertama untuk infeksi bakterial saluran napas bawah adalah cukup baik. Namun
perlu diperhatikan bahwa kuman S.pneumoniae dan S.aureus yang sering menjadi
penyebab ISN kurang peka terhadap golongan obat ini.

Penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual : Siprofloksasin oral dan


levofloksasin oral merupakan obat pilihan utama disamping seftriakson dan
sefiksim untuk pengobatan uretris dan servitis oleh gonokokus.

Infeksi tulang dan sendi : Siprofloksasin oral yang diberikan selama 4-6 minggu
efektif untuk mengatasi infeksi pada tulang dan sendi yang disebabkan oleh
kuman yang peka.

Infeksi kulit dan jaringan lunak: Fluorokuinolon oraal mempunyai efektivitas


sebanding dengan sefalosporin parenteral generasi ketiga untuk pengobatan
infeksi berat pada kulit atau jaringan lunak.

5. Efek samping
Beberapa efek samping yang dihubungkan dengan penggunaan obat ini ialah:

Saluran cerna : Paling sering timbul pada penggunan golongan


kuinolon dan bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, dan rasa
tidak enak di perut.
Susunan saraf pusat : Yang paling sering dijumpai ialah sakit kepala
dan pusing.
Bentuk yang jarang timbul ialah halusinasi, kejang dan delirium.
Kardiototoksitas : Beberpa fluorokuinolon antara lain sparfloksasin
dan grepafloksasin (kedua obat ini sekarang tidak dipasarkan lagi)
dapat memperpanjang interval QTc (corrected QT interval).
Lain-lain: Golongan kuinolon hingga sekarang tidak diindikasikan
untuk anak (sampai 18 tahun) dan wanita hamil karena data dari
penelitian hewan menunjukkan bahwa golongan ini dapat
menimbulkan kerusakan sendi.
6. Interaksi obat
Golongan kuinolon dan fluorokuinolon berinteraksi dengan beberapa
obat, misalnya:
Antasid dan preparat besi (Fe)
Teofilin
Obat-obat yang memperpanjang interval QTc
(Setiabudy, Rianto. 2009)

SEFALOSPORIN GOLONGAN KETIGA


Sefalosporin golongan ketiga umumnya kurang aktif dibandingkan dengan
generasi pertama terhadap kokus Gram-positif, tetapi jauh lebih aktif terhadap
Enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil penisilinase. Seftazidim dan
sefoperazon aktif terhadap P. Aeruginosa.Hingga saat ini sefalosproin generasi
ketiga yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson. (Widodo D.
2009)
1. Farmakokinetik
Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya sefuroksim, seftriakson, sefepim,
sefotaksim dan seftizoksim mencapai kadar yang tinggi di cairan serebrospinal (CSS),
sehingga dapat bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Selain itu
sefalosporin juga melewati sawar darah uri, mencapai kadar tinggi di cairan sinovial
dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik, kadar sefalosporin generasi ketiga
di cairan mata relatif tinggi, tetapi tidak mencapai vitreus. Kadar sefalosporin dalam
empedu umumnya tinggi, terutama sefoperazon.
Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh melalui ginjal, dengan
proses sekresi tubuli, kecuali sefoperazon yang sebagian besar diekskresi melalui
empedu. Karena itu dosis sefalosporin umumnya harus dikurangi pada pasien
insufisiensi ginjal.Probenesid mengurangi ekskresi sefalosporin, kecuali moksalaktam

dan beberapa lainnya.Sefalotin, sefapirin dan sefotaksim mengalami deasetilasi;


metabolit yang aktivitas antimikrobanya lebih rendah juga diekskresi melalui ginjal.
2. Efek samping
Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi, gejalanya mirip
dengan reaksi alergi yang ditimbulkan oleh penisilin.Reaksi mendadak yaitu
anafilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi.Reaksi silang umumnya
terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi penisilin
ringan atau sedang kemungkinannya kecil.Dengan demikian pada pasien dengan
alergi penisilin berat, tidak dianjurkan penggunaan sefalosporin atau kalau sangat
diperlukan harus diawasi dengan sungguh-sungguh.Reaksi Coombs sering timbul
pada penggunaan sefalosporin dosis tinggi.Depresi sumsum tulang terutama
granulositopenia dapat timbul meskipun jarang.
Sefalosporin bersifat nefrotoksik, meskipun jauh lebih ringan dibandingkan
aminoglikosida dan polimiksin.Nekrosis ginjal dapat terjadi pada pemberian
sefaloridin 4 g/hari (obat ini tidak beredar di Indonesia). Sefalosporin lain pada dosis
terapi jauh kurang toksik dibandingkan dengan sefaloridin. Kombinasi sefalosporin
dengan gentamisin atau tobramisin mempermudah terjadinya nefrotoksisitas.Diare
dapat timbul terutama pada pemberian sefoperazon, mungkin karena ekskresinya
terutama melalui empedu, sehingga mengganggu flora normal usus.Selain itu dapat
terjadi perdarahan hebat karena hipoprotrombinemia, dan/atau disfungsi trombosit,
khususnya pada pemberian moksalaktam.
3. Indikasi
Sefalosporin generasi ketiga tunggal atau dalam kombinasi dengan aminoglikosida
merupakan obat pilihan utama untuk infeksi berat oleh Klebsiella, Enterobacter,
Proteus, Provedencia, Serratia dan Haemophillus spesies.Seftriakson dewasa ini
merupakan obat pilihan untuk semua bentuk gonore dan infeksi berat penyakit Lyme.
(Istiantoro YH & Gan VHS. 2009)
NORFLOXACIN
Farmakokinetik: Infeksi saluran kemih akut tidak berkomplikasi, infeksi saluran
kemih berkomplikasi, infeksi saluran pencernaan, gonore akut tidak berkomplikasi.
Kontraindikasi: Hipersensitifitas, Insufisiensi ginjal berat.
Perhatian:
Hamil & menyusui.
Anak-anak yang belum puber.
Diketahui atau diduga lesi susunan saraf pusat.
Interaksi obat :

Probenesid.

Bisa meningkatkan kadar Teofilin.

Sukralfat dan antasida bisa mengganggu absorpsi Norfloksasin.

Efeksamping :
Efek saluran pencernaan, manifestasi kulit & neuropsikiatrik.
Indeks keamanan pada wanita hamil :
Penelitian pada hewan menunjukkan efek samping pada janin ( teratogenik atau
embriosidal atau lainnya) dan belum ada penelitian yang terkendali pada wanita atau
penelitian pada wanita dan hewan belum tersedia. Obat seharusnya diberikan bila
hanya keuntungan potensial memberikan alasan terhadap bahaya potensial pada janin.

Kemasan :
Tablet salut selaput 400 mg x 3 x 10 biji.
Dosis:
Infeksi saluran kemih akut tidak berkomplikasi : 2 kali sehari 200 mg.
Infeksi saluran kemih berkomplikasi : 2 kali sehari 400 mg.
Infeksi saluran pencernaan : 2-3 kali sehari 400 mg.
Gonore akut tidak berkomplikasi : 2 kali sehari 600 mg atau 800 mg dalam dosis
tunggal.
Penyajian
Dikonsumsi pada perut kosong (1 atau 2 jam sebelum/sesudah makan)
CEFTRIAXONE
1.Farmakodinamik
Ceftriaxone adalah golongan cefalosporin dengan spektrum luas, yang
membunuh bakteri dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri.Ceftriaxone
secara relatif mempunyai waktu paruh yang panjang dan diberikan dengan injeksi
dalam bentuk garam sodium.

2.Farmakokinetik
Ceftriaxone secara cepat terdifusi kedalam cairan jaringan, diekskresikan
dalam bentuk aktif yang tidak berubah oleh ginjal (60%) dan hati (40%).Setelah
pemakaian 1 g, konsentrasi aktif secara cepat terdapat dalam urin dan empedu dan hal
ini berlangsung lama, kira-kira 12-24 jam.Rata-rata waktu paruh eliminasi plasma
adalah 8 jam. Waktu paruh pada bayi dan anak-anak adalah 6,5 dan 12,5 jam pada
pasien dengan umur lebih dari 70 tahun. Jika fungsi ginjal terganggu, eliminasi biliari
terhadap Ceftriaxone meningkat.

3.Indikasi

Sepsis
Meningitis
Infeksi abdominal
Infeksi tulang, persendian, jaringan lunak, kulit, dan luka-luka
Pencegah infeksi prabedah
Infeksi dengan pasien gangguan mekanisme daya tahan tubuh
Infeksi ginjal dan saluran kemih
Infeksi saluran pernafasan
Infeksi kelamin termasuk gonorrhea

4..Kontra Indikasi
Hipersensitif terhadap Cefalosporin
Hipersensitif terhadap penisilin/antibiotika -lactam

5.Dosis
Dewasa dan anak-anak > 12 tahun: 1x12 g, setiap 24 jam
Pada infeksi berat dapat ditingkatkan sampai 4 g (1x sehari)

AZITROMISIN
1.Farmakologi
Azitromisin adalah antibiotik golongan makrolida pertama yang termasuk
dalam kelas azalide.Azitromisin diturunkan dari eritromisin dengan menambahkan
suatu atom nitrogen ke cincin lakton eritromisin A. Pemberian azitromisin secara oral
diserap secara cepat dan segera didistribusi ke seluruh tubuh. Distribusi azitromisin
yang cepat ke dalam jaringan dan konsentrasi yang tinggi dalam sel mengakibatkan
kadar azitromisin dalam jaringan lebih tinggi dari plasma atau serum. Sebuah studi
memperlihatkan bahwa makanan meningkatkan kadar maksimum (Cmax ) hingga
23%
tapi
tidak
ada
perubahan
pada
nilai
AUC.
2.Mikrobiologi
Azitromisin beraksi menghambat sintesis protein mikroorganisme dengan
mengikat ribosom subunit 50S. Azitromisin tidak mengusik pembentukan asam
nukleat.Azitromisin aktif terhadap mikroorganisme berikut berdasarkan in vitro dan
infeksi klinis.

Bakteri aerob gram positif :Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae,


Streptococcus pneumoniae, dan Streptococcus pyogenes.
Bakteri aerob gram negatif :Haemophilus ducreyi, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis, dan Neisseria gonorrhoeae.
Mikroorganisme lainnya :Chlamydia pneumoniae, Chlamydia trachomatis, dan
Mycoplasma pneumoniae.
Azitromisin memperlihatkan resistensi silang dengan galur gram positif resisten
eritromisin.Sebagian besar galur Enterococcus faecalis dan methicillin-resistant
staphylococci resisten terhadap azitromisin.
3.Indikasi
Infeksi saluran napas bawah dan atas, kulit, dan penyakit hubungan seksual.

4.Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap azitromisin atau makrolida lainnya.

5.Dosis& Cara PemberianDewasa dan lansia : 500 mg per hari selama 3 hari
Anak > 6 bulan : dosis tunggal 10 mg/kg selama 3 hari.

6.Efek samping :
Mual, rasa tidak nyaman di perut, muntah, kembung, diare, gangguan pendengaran,
nefritis interstisial, gangguan ginjal akut, fungsi hati abnormal, pusing/vertigo, kejang,
sakit kepala, dan somnolen.

7.Interaksi
Antasid yang mengandung aluminium dan magnesium mengurangi kadar puncak
plasma (rate of absorption) azitromisin, namun nilai AUC (extent of absorption)
tak berubah.Azitromisin mengurangi klirens triazolam sehingga meningkatkan
efek farmakologinya.

Anda mungkin juga menyukai