Anda di halaman 1dari 6

BAHAN POSTER DIFTERI

TITLE & AUTHORS


KENALI BAHAYA DIFTERI
KELOMPOK A13: Afif Baarid K (1102016009), Amelinda Fortuna D (1102016022), Anggun Kusuma D
(1102014026), Arifera Fajrin (1102015034), Arly Fadhillah A (1102014039), Deandra Salma A
(1102016047), Lena Fitriyana (1102016102), Lulu Lukyati (1102016105), Marinda Batuul R
(1102016110).
ABSTRACK

Difteri sangat menular melalui droplet (udara) dan penularan dapat terjadi tidak hanya dari penderita saja,
namun juga dari karier (pembawa) baik anak maupun dewasa yang tampak sehat kepada orang-orang di
sekitarnya. Droplet yang mengandung bakteri C. diphteriae masuk melalui sistem pernafasan atas yang
kemudian basil tumbuh pada membrane mukosa dan menghasilkan toksin, toksin difteri kemudian
diabsorpsi ke dalam membrane mukosa dan menyebabkan destruksi (kerusakan) epitel dan respon
inflamasi superfisial. Pada penderita akan timbul gejala berupa nyeri tenggorok, demam tidak tinggi,
sesak, lesu, sekret hidung kuning kehijauan dan disertai darah, selaput kelabu di tenggorokan/hidung,
serta leher bengkak. Difteri dapat didiagnosis dengan cepat melalui pemeriksaan kultur bakteri
menggunakan pewarnaan methylene blue, pewarnaan gram dan imunofluoresens serta diagnosis pasti
dengan pemeriksaan kultur dari lesi yang dicurigai.

INTRODUCTION
Difteri merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae yang
mudah menular dan berbahaya karena dapat menyebabkan kematian akibat obstruksi laring atau miokarditis
akibat aktivasi eksotoksin. Semua golongan umur dapat terkena difteri, terutama pada usia anak 5-7 tahun,
jarang ditemukan pada usia di bawah 6 bulan dikarenakan, adanya imunitas pasif melaui plasenta dari
ibunya. Pada tahun 2017 di Indonesia kembali mengalami peningkatan jumlah kasus difteri sebanyak 948
kasus di Indonesia dengan jumlah kasus terbanyak berada pada Provinsi Jawa Timur sebanyak 271 kasus
dengan 11 kematian; Provinsi Banten 81 kasus dengan 3 kematian; Provinsi Jawa Barat sebanyak 95 kasus
dengan 10 kematian; Provinsi Aceh sebanyak 76 kasus dengan 3 kematian.
TUJUAN: kajian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai penyakit difteri kepada
masyarakat agar dapat mengetahui bagaimana cara melakukan pencegahan dan penanganan pada difteri.
DISSCUSION
Pathogenesis
Droplet yang mengandung bakteri C. diphteriae masuk melalui SPA kemudian basil tumbuh pada
membrane mukosa dan menghasilkan toksin, toksin difteri kemudian diabsorpsi ke dalam membrane
mukosa dan menyebabkan destruksi epitel dan respon inflamasi superfisial. Epitel yang nekrotik terbenam
di dalam fibrin dan sel darah merah da putih bereksudasi sehingga membentuk pseudomembran keabu-
abuan yang biasanya menutupi tonsil, faring, atau laring. Apabila pseudomembran diangkat maka akan
merobek kapiler sehinnga menyebabkan pendarahan. KGB regional membesar, dpt tjd edema di seluruh
leher. Basil difteri di dalam memberan terus menerus menghasilkan toksin yang diserap dan dapat
menyebabkan degenerasi parenkkimatosa, infiltrasi lemak, nekrosis pada otot jantung, gnjal, hati dan
adrenal, kerusakan saraf shg mengakibatkan paralisis palatum mole, otot mata dan ekstremitas
Difteri kulit atau luka dapat terjadi dan membentuk membrane tp, absorpsi toksin biasanya sedikit dan efek
sistemiknya dapat diabaikan.

Droplet yang
mengandung basil difteri

Masuk melalui SPA

Basil tumbuh pada membrane


mukosa dan menghasilkan toksin
yang diabsorbsi ke dalam membran
menyebabkan destruksi epitel dan
respon inflamasi superfisial

Epitel yang nekrotik terbenam di dalam


fibrin dan sel darah merah dan sel darah
putih bereksudasi → PSEUDOMEMBRAN
PSEUDOMEMBRAN dapat terjadi
di tonsil, faring atau laring.

Diangkat → kapiler robek →


perdarahan

Paralisis palatum
Nekrosisi otot Infiltrasi lemak parenkimatosa mole, otot mata
jantung
dan ekstremitas

GEJALA DIFTERI
1. nyeri tenggorok
2. demam tidak tinggi
3. dyspnea
4. lesu
5. secret hidung kuning kehijauan dan disertai darah
6. selaput kelabu di tenggorokan/hidung
7. leher bengkak (bull neck)

1. diagnosis awal cepat (presumptive diagnosis): dapat dilakukan dengan menggunakan pewarnaan
methylene blue, pewarnaan gram dan imunofluoresens.
2. diagnosis definitive dan identifikasi basil: diagnosis pasti didasarkan atas ditemukannya C. diphteriae
dengan melakukan pemeriksaan kultur dari lesi yang dicurigai.
3. pemeriksaan produksi toksin dengan melakukan elek plate test dan polymerase pig inoculation.
4. pemeriksaan serum terhadap antibody untuk toksin difteri, dengan shick test.
CONCLUSION
Difteri merupakan penyakit yang sangat menular dan dapat mengenai berbagai usia. Usia yang rentan
terkena adalah usia 5 – 7 tahun. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri C. diphteriae. Gejala yang ditimbulkan
antara lain terdapat membrane ke abu-abuan di tonsil, faring atau laryng, dyspnea, dan demam yang tidak
terlalu tinggi. Adanya kuman difteri dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan kultur bakteri dari
lesi yang dicurigai. Pencegahan terhadap penyakit ini dapat dilakukan vaksin difteri.
REFERENCES
G.F., Janet, S.B., Stephen A.M. 2001. Jawetz, Melnick and Adelbergs, Mikrobiologi Kedokteran, Alih
Bahasa oleh Mudihardi, E., Kuntaman, Wasito, E.B., Mertaniasih, N.M., Harsono, S., dan Alimsardjono,
L. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.
A.F., Isnaniyanti., & P.I., Corie. (2016. “Faktor yang Berhubungan dengan Kasus Difteri Anak Di
Puskesmas Bangkalan Tahun 2016”. Jurnal Berkala Epidemiologi, 5, 26 – 27.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. “PENDAPAT KEJADIAN LUAR BIASA DIFTERI”.
http://www.idai.or.id/about-idai/idai-statement/pendapat-ikatan-dokter-anak-indonesia-kejadian-luar-
biasa-difteri. (diakses tanggal 3 maret 2018)
H.P., Rudi, Sunamo, S., Kambang. 2014. “Diphteria-like Disease, Penyakit Zoonosis sejenis Difteri yang
disebabkan oleh Corynebacterium ulcerans yang harus diwaspadai”. Jurnal Buski, 5, 53.

Anda mungkin juga menyukai