Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

DIFTERI

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Anak


Dosen Pengajar: Ns. Siti Riskika, M. Kep

Oleh :
Aryanto Rahmat Ramadhan
NIM: 22.14401.0008

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN


UNIVERSITAS BONDOWOSO
2023
LEMBAR KONSULTASI

Nama : ..................................................................
NIM : ..................................................................

NO TANGGAL MATERI YANG PARAF


DIKONSULTASIKAN DOSEN

2
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Definisi
Difteri adalah penyakit infeksi akut yang terjadi pada saluran
pernapasan bagian atas Biasanya, penyakit ini banyak menginfeksi anak-
anak (terutama yang masih berusia di bawah 15 tahun), dan bagian tubuh
yang diserang ialah tonsil, faring, dan laring yang merupakan saluran
pernapasan bagian atas (Putri Mahayu, 2019).
Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
Diphtheria, suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini
ditandai dengan sakit tenggorokan, demam, malaise dan pada
pemeriksaanditemukan pseudomembran pada tonsil, faring, dan / atau
rongga hidung (Rismayana, 2023).
Difteri adalah penyakit yang sangat tak menular, dapat dicegah
dengan vaksinasi, dan disebabkan oleh bakteri gram positif
Corynebacterium Diptheriae strain racun. Penyakit ini digambarkan
dengan adanya iritasi pada tempat penyakit, terutama pada lapisan mukosa
faring, laring, tonsil, hidung dan bahkan kulit (Kemenkes RI, 2017).

2. Etiologi
Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diphtheria, yang
dapat menyebar dari orang ke orang. Seseorang bisa tertular difteri bila
tidak sengaja menghirup atau menelan percikan air liur yang dikeluarkan
penderita saat batuk atau bersin. Penularan juga bisa terjadi jika
menyentuh benda yang sudah terkontaminasi air liur penderita, seperti
gelas atau sendok.
Difteri dapat dialami oleh siapa saja. Namun, menurut Kemenkes
(2022) risiko terserang difteri akan lebih tinggi pada orang yang tidak
mendapat vaksin difteri secara lengkap. Selain itu, difteri juga lebih
berisiko terjadi pada orang yang:
1. Tinggal di area padat penduduk atau buruk kebersihannya.

3
2. Bepergian ke wilayah yang sedang terjadi wabah difteri.
3. Memiliki daya tahan tubuh lemah, misalnya karena menderita AIDS.

3. Klasifikasi
Penyakit ini dapat membuat kerusakan pada jaringan jantung, otak dan
saraf di area tenggorokan setelah beberapa jam masuk ke dalam tubuh.
Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae, yang
menyerang saluran pernapasan pada umumnya. Klasifikasi dari Difteri
dapat dibedakan berdasarkan tanda dan gejalanya menurut Kemenkes
(2022) adalah sebagai berikut:
a. Difteri hidung
Difteri hidung menginfeksi organ hidung dengan gejala pilek
ringan dan adanya lendir ingus yang bewarna. Terdapat membran
putih di selaput dalam hidung.
b. Difteri faring
Gejala difteri yang menyerang organ faring, antara lain demam
ringan, lemas, dan nyeri menelan. Setelah dua hari terinfeksi
kuman bakteri, muncul selaput bewarna putih/kelabu yang
menutup amandel dan faring. Jika tidak segera ditangani, akan
timbul gejala bengkaknya kelenjar di area leher (bullneck). Kondisi
ini dapat mengganggu saluran pernapasan menjadi sesak, gagal
napas, dan berujung kematian.
c. Difteri laring
Jika sudah menderita difteri faring dan tidak segera ditangani,
maka akan berlanjut kepada difteri laring. Gejala yang muncul
antara lain suara serak, batuk kering, gangguan pernapasan dan
kematian mendadak.
d. Difteri kulit
Difteri kulit jarang terjadi dengan gejala adanya luka di area kulit
dan terdapat selaput bewarna putih atau kelabu di atas lukanya
e. Difteri mata

4
Difteri mata mempunyai gejala mata memerah, bengkak, dan
adanya selaput bewarna putih pada area mata.

4. Manifestasi Klinis
Gejala difteri akan muncul 2-5 hari setelah seseorang terinfeksi
bakteri Corynebacterium diphteriae. Selanjutnya, bakteri akan menyebar
ke aliran darah dan menimbulkan beberapa gejala, seperti:
1. Terdapat lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi amandel
dan tenggorokan
2. Demam dan menggigil
3. Batuk
4. Gangguan penglihatan
5. Kulit pucat, berkeringat dingin, dan jantung berdebar cepat
6. Kesulitan bernapas
7. Mudah merasa lemas dan lelah
8. Lendir dari mulut atau hidung terkadang bercampur darah
9. Nyeri tenggorokan
10. Suara menjadi serak
11. Kebingungan saat berbicara hingga melantur
12. Kelenjar getah bening yang membesar
13. Edema pada leher yang disebut “Bull Neck”

5. Patofisiologi
Bakteri Corynebacterium Diphtheriae akan tumbuh di membrane
mukosa atau kulit yang mengalami abrasi dan kemudian bakteri akan
mulai
menghasilkan toksin. Toksin akan diserap ke dalam membran mukosa
yangakan mengakibatkan kerusakan epitelium dan juga respon inflamasi
superficial. Epitel yang cedera akan menempel pada fibrin, sel darah
merahdan putih sehingga membentuk "pseudomembran" berwarna kelabu
yang seringnya akan menutupi tonsil, faring, atau laring. Jika ingin

5
mencoba mengambil pseudomembran ini, malah akan membuka dan
merusak kapiler sehingga akan terjadi perdarahan. Di ikuti dengan kelenjar
getah bening regional dileher membesar lalu kemungkinan akan muncul
edema pada bagian leher yang mengakibatkan gangguan saluran napas
yang dikenal dengan "Bull Neck"
Bakteri ini akan terus aktif menghasilkan toksin dan akan
terusdiabsorbsi lalu dapat mengakibatkan kerusakan toksik ditempat
yangjauhsalah satunya degenerasi parenkim, infiltrasi lemak, nekrosis
pada jantung, hati, ginjal, dan kelenjar adrenal. Terkadang akan disertai
dengan perdarahan hebat. Toksin ini juga mampu menyebabkan kerusakan
saraf yang berujung pada paralisis palatum mole, otot-otot mata, dan
ekstrimitas (Rismayana, 2023).

6
6. Pathway
Corynebacterium Diphtheria Menutup saluran Suplai oksigen
Peningkatan Reaksi inflamasi
pernapasan menurun
aliran darah ke Kontak dengan orang/benda terkontaminasi
Peradangan
tempat infeksi Obstruksi Pembentukan
mukosa hidung Masuk ke saluran pernapasan pernapasan ATP menurun
Permeabilitas membran
Peningkatan sekret Menghasilkan enzim penghambat Sesak Intoleransi
Kebocoran Aktivitas
Bersihan Jalan Terdapat eksudat di saluran napas Pola Napas
pembuluh darah
Napas Tidak Efektif Tidak Efektif

Penyempitan Infeksi pada Sal. Pernapasan atas


Menyebar melalui
saluran napas Risiko Infeksi
Nafsu makan menurun Proses infeksi pembuluh darah
Nyeri telan
Risiko Defisit Nutrisi Peningkatan suhu Masuk ke jaringan syaraf perifer
Nyeri Akut
Hipertemia Gangguan fungsi syaraf perifer
Fungsi pita suara menurun Intake cairan menurun
Kelemahan anggota gerak paralisis
Serak Hipovolemia
Risiko Cedera
Gangguan Komunikasi
7
Verbal
7. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit
yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah
penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. (Hartoyo,
2018)
1. Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya, pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selamakurang lebih
2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada
difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas sertadijaga kelembaban
udara dengan menggunakan humidifier. (Hartoyo, 2018)
2. Antitoksin: Anti difteri serum (ADS).
Antitoksin harus diberikansegera setelah dibuat diagnosis difteria,
dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderitakurang dari 1%. Dosis ADS ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat
badan pasien. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam
fisiologis atau 100 ml glukosa 5%dalam1-2jam. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat/reaksi sakali dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula
perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum
sickness).
3. Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan
produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin(40-
50 mg/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 6 jamPOatauIV, maksimum 2
gram per hari), Penisilin V Oral 125-250 mg, 4kali sehari, kristal
aqueous pensilin G (100.000 – 150.000 U/kg/hari, dosis terbagi setiap

8
6 jam IV atau IM), atau Penisilin prokain(25.000-50.000
IU/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 12 jam IM). Terapi diberikan untuk
14 hari. Beberapa pasien dengan difteriakutaneus sembuh dengan
terapi 7-10 hari
4. Pengobatan kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai
tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorokserta
gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui,
pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telahmendapat
imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria. (Hartoyo, 2018).

8. Pencegahan
Menurut Kemenkes (2022) cara untuk mencegah difteri adalah
sebagai berikut:
1. Imunisasi DPT
Pastikan anak menerima imunisasi DPT, yaitu pemberian vaksin
difteri yang dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan batuk rejan
(pertusis). Imunisasi DPT merupakan salah satu imunisasi wajib di
Indonesia yang diberikan pada usia 2, 3, 4, dan 18 bulan, serta usia 5
tahun.
2. Konsultasi dengan Dokter
Konsultasikan dengan dokter jika anak belum mendapatkan vaksin
DPT, terutama jika sudah berusia lebih dari 7 tahun
3. Antibiotik
Selain untuk mengatasi difteri, antibiotik juga dapat diberikan pada
orang yang kontak dekat dengan penderita sebagai pencegahan.

9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada difteri bertujuan untuk
menentukan diagnosis definitif difteri melalui pemeriksaan bakteriologis

9
dan kultur Penting juga untuk dilakukan pemeriksaan EKG sedini
mungkin untuk melihat ada tidaknya miokarditis akibat difteri
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan
bakteriologis, kultur, pemeriksaan toksigenisitas, dan pemeriksaan
laboratorium lainnya. Walau demikian, perlu diingat bahwa tata
laksana difteri harus segera dilakukan pada pasien tanpa menunggu
hasil pemeriksaan laboratorium terlebih dahulu.
2. Pemeriksaan bakteriologis
Pewarnaan gram menunjukkan gambaran kuman gram positif,
berbentuk hasil seperti tongkat, tidak berkapsul, dan nonmotil dalam
kelompok-kelompok
3. Kultur
Sampel dapat diambil dengan menggunakan apusan dari hidung.
pseudomembran, kripta tonsil, ulkus, atau diskolorasi. Kuman difteri
yang terisolasi harus diperiksa lebih lanjut untuk menilai produksi
toksin. Apus tenggorokan dan faring juga perlu dilakukan pada
orang yang sering kontak dengan pasien
4. Toksigenisitas
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan apakah terdapat
produksi toksin. Pemeriksaan Elek menilai terbentuknya
immunoprecipitin band pada kertas saring yang sudah diberikan
antitoksin dan diletakkan di agar yang terdapat hasil kultur kuman
yang ingin dinilai. Selain itu dapat dilakukan Polymerase Chain
Reaction (PCR) untuk mendeteksi sekuens DNA yang mengkode
subunit A toksin. Pemeriksaan ini bersifat cepat dan sensitif
sehingga sangat bermanfaat untuk skrining dan untuk konfirmasi
bakteriologis.

10. Pengkajian Keperawatan


1. Identitas Klien

10
Berisi tentang biodata pasien dan penanggung jawab meliputi nama,
umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan dan pekerjaan. Pada tahap ini
dilakukan untuk menghindari kesalahan pada saat melakuan tindakan
keperawatan. Selain itu terdapat bagian diagnose medis untuk
mengetahui penyakit yang diderita oleh klien, pada bagian ini akan
terisi difteri baik difteri pernapasan, difteri faring, difteri laring
maupun difteri kulit ataupun difteri mata.
2. Keluhan Utama
Ditanyakan untuk mendukung diagnosa dan untuk mengetahui apa
yang dialami oleh anak, pada pengkajian keluarga klien mengatakan
nyeri pada tenggorokan, terdapat lapisan putih pada bagian amandel,
demam, batuk dan dapat mengeluhkan bahwa anak mengalami sesak
napas.
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada tahap ini akan diisi dengan keluhan yang dirasakan oleh klien
pada saat dilakukan pengkajian, keluarga dapat mengatakan bahwa
klien mengalami demam, gangguan penglihatan, sesak napas, mudah
merasa lemah dan lelah, lender dari mulut ataupun hidung yang dapat
disertai darah, nyeri tenggorokan, serak, bengkak pada leher juga
dapat terjadi pada anak dengan difteri.
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pada tahap ini menanyakan apakah klien pernah mengalami keluhan
yang serupa dan mengkaji riwayat obat – obatan yang pernah
dikonsumsi oleh klien. Serta mengetahui apakah klien sudah
dilakukan imunisasi.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat Kesehatan Keluarga dikaji untuk mengetahui apakah ada
penyakit keturunan bawaan yang memungkinkan anak mengalami
difteri dan mengetahui apakah keluarga mempunyai Riwayat penyakit
menular.
6. Pemeriksaan Fisik

11
1) Keadaan umum: keadaan umum pada anak dengan difteri adalah
lemas dikarenakan anak mudah lelah pada saat beraktivitas.
2) Tingkat kesadaran : Kesadaran composmentis, latergi, strupor,
koma, apatis.
3) Tanda-tanda Vital
a. Tekanan darah: pada anak dengan diagnose difteri tekanan
darah normal bergantung terhadap gejala yang dialami oleh
anak.
b. Frekuensi nadi akan mengalami peningkatan atau tacicardi
pada kasus difteri yang merupakan dampak dari nyeri yang
dirasakan oleh anak
c. Frekuensi napas biasanya mengalami peningkatan pada kasus
difteri karena klien mengalami sesak napas.
d. Suhu tubuh: pada kasus difteri biasanya akan mengalami
hipertermi.
e. Tinggi badan dan Berat badan: dilakukan pemeriksaan ini
untuk mengetahui dosis yang tepat dalam pemberian obat
pada klien. Selain itu juga untuk mengetahui apakah keadaan
difteri tersebut mempengaruhi pertumbuhan anak.
4) Kepala dan rambut
Inpeksi: kaji bentuk kepala warna rambut, kebersihan, persebaran
warna rambut dan adanya lesi atau tidak. Apakah terjadi
hidrosefalus, mikrosefalus ataupun anansefal
Palpasi: Raba adanya massa dan nyeri tekan
5) Wajah
Inspeksi: Klien lemas dengan kulit wajah yang terlihat pucat.
Mengkaji apakah terdapat lesi pada bagian wajah ataupun ruam
yang mungkin terdapat di wajah.
6) Mata
Inpeksi: Mengkaji adanya kelainan kongenital seperti katarak
kongenital dan melihat adanya strabismus. Mengetahui apakah

12
terdapat secret pada bagian mata. Pada anak dengan difteri dapat
terdapat secret pada bagian mata, gangguan penglihatan.
Palpasi: meraba apakah terdapat nyeri tekan
7) Hidung
Inpeksi: Kaji bentuk hidung, lubang hidung, persebaran warna
kulit, kesimetrisan dan adanya pernafasan cuping hidung.
Pastikan bayi dapat bernapas dengan hidung bukan menggunakan
mulut, jika menggunakan mulut lihat apakah terdapat obstruksi
jalan napas. Pada anak dengan difteri terdapat secret pada bagian
hidung,
Palpasi: kaji ada tidaknya nyeri tekan pada sinus.
8) Mulut
Inpeksi: mengkaji apakah bibir pasien pucat, apakah terjadi
sianosis. Pada anak dengan difteri terdapat selaput keputihan pada
amandel dan tenggorokan yang menutupinya.
Palpasi: mengakji apakah ada benjolan atau neri tekan.
9) Telinga
Inpeksi: kaji kesimetrisan telinga, terdapat serumen atau tidak,
terdapat benjolan atau tidak. Memperhatikan pembentukan daun
telinga apakah sudah terbentuk dengan baik.
Palpasi: kaji apakah ada nyerimtekan dan benjolan atau tidak.
10) Leher
Inpeksi: kaji apakah ada pembesaran pada kelenjar tiroid, apakah
terdapat benjolan, dan apakah terdapat lesi. Melihat pergerakan
dari leher dan melihat apakah terdapat kemerahan pada leher.
Pada klien dengan difteri terjadi pembengkakan pada kelenjar
getah bening dan edema yang disebut dengan bull neck.
Palpasi: kaji apakah ada nyeri tekan dan apakah ada benjolan.
11) Torax
a. Paru-paru

13
Inpeksi: kaji bentuk dada mengalami ke abnormalan atau
tidak seperti barrel chest, pigeon chest dan funnel chest, kaji
warna dada, kesimetrisan kembang kempis dada, biasanya
pasien akan mengtalami sesak napas.
Palpasi: raba kembang kempis paru saat bernapas.
Perkusi; kaji suara paru-paru, normalnya adalah sonor.
Auskultasi: ada atau tidaknya suara napas tambahan seperti
whezing, ronchi, di semua lapang paru.
b. Jantung
Inpeksi: kaji bentuk dada mengalami ke abnormalan atau
tidak seperti barrel chest, pigeon chest dan funnel chest, kaji
warna dada, apakah apex jantung terlihat atau tidak .
Palpasi: teraba atau tidaknua ictus cordis di ICS 5
midclavikula sinistra.
Perkusi: pada ICS 3 hingga ICS 5 terdengar pekak.
Auskultasi: bunyi jantung S1 dan S2 terdengar tunggal, tidak
ada suara jantung tambahan.
12) Abdomen
Inpeksi: warna kulit merata, ada atau tidaknya lesi, bentuk
abdomen apakah datar, cembung, atau cekung. Serta melihat
apakah terdapat pembesaran pembuluh darah pada bagian
abdomen dan apakah terdapat lesi.
Auskultasi: kaji bisisng usus selama 1 menit, normalnya pada
anak-anak 5-15X/mnt.
Palpasi: mengetahui apakah terjadi pembengkakan pada hepar
ataupun limpa. Pada anak dengan difteri dapat terjadi nyeri tekan
ataupun nyeri lepas.
Perkusi: Dilakukan untuk mengetahui adanya nyeri ketuk dan
mengetahui bunyi dari abdomen pada saat diperkusi.
13) Genetalia

14
Kaji apakah terdapat keputihan pada daerah genetalia atau tidak,
ada atau tidaknya tanda-tanda peradangan pada genetalia. Melihat
letak uretra apakah terjadi epispadias atau hipsopadia. Klien juga
dapat mengalami produksi urine yang sedikit.
14) Ekstermitas
Inpeksi: kaji persebaran warna kulit, turgor kulit Kembali >2
detik, akral hangat, sianosis, produksi keringat (menurun atau
tidak) pada dilihat adanya luka pada extremitas, kedalaman luka,
luas luka, adanya nekrosis (jaringan mati atau tidak ) adanya
edema, adanya pus dan bau luka serta nyeri atau baal. Serta gejala
lain seperti cepat lelah, lemah, kesemutan dan nyeri pada
ektremitas. Pada anak dengan difteri dapat penurunan kekuatan
otot karena anak tidak mempunyai tenaga untuk melakukan
sebuah aktivitas.
Palpasi: adanya edema pada ekstermitas bawah
15) Kulit dan kuku
Inspeksi: lihat adanya luka, warna luka, dan edema, kedalaman
luka, ada tidaknya nekrosis, adanya pus atau tidak. Pada anak
dengan difteri kulit pucat.
Palpasi: kaji apakah akral teraba dingin, kulit pecah-pecah, pucat,
kulit kering. Kulit teraba dingin.

11. Diagnosa Keperawtan


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan
difteri berdasarkan Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (TIM
POKJA SDKI DPP PPNI, 2017) adalah:
1. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif (D.0001) berhubungan
dengan spasme jalan napas dan sekresi yang tertahan ditandai
dengan dispnea dan sputum berlebih
Kategori : Fisiologis
Subkategori : Respirasi

15
Definisi
ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan nafas
untuk mempertahankan jalan nafas tetap paten.
Penyebab
Fisiologis
1. Spasme jalan napas.
2. Hipersekresi jalan napas.
3. Disfungsi neuromuskuler.
4. Benda asing dalam jalan napas.
5. Adanya jalan napas buatan.
6. Sekresi yang tertahan.
7. Hiperplasia dinding jalan napas.
8. Proses infeksi .
9. Respon alergi.
10. Efek agen farmakologis (mis. anastesi).
Situasional :
1. Merokok aktif.
2. Merokok pasif.
3. Terpajan polutan.
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif Objektif
(Tidak Tersedia) 1. Batuk tidak efektif
2. Tidak mampu batuk.
3. Sputum berlebih.
4. Mengi, wheezing dan /
atau ronkhi kering.
5. Mekonium di jalan nafas
pada neonatus.

Gejala dan Tanda Minor


Subjektif Objektif

16
1. Dispnea. 1. Gelisah.
2. Sulit bicara. 2. Sianosis.
3. Ortopnea. 3. Bunyi napas menurun.
4. Frekuensi napas berubah.
5. Pola napas berubah.
Kondisi Klinis Terkait
1. Gullian barre syndrome.
2. Sklerosis multipel.
3. Myasthenia gravis.
4. Prosedur diagnostik (mis. bronkoskopi, transesophageal
echocardiography [TEE] ).
5. Depresi sistem saraf pusat.
6. Cedera Kepala
7. Stroke
8. Kuadriplegia
9. Sindron aspirasi mekonium
10. Infeksi saluran Napas.
2. Hipertermia (D.0130) berhubungan dengan proses penyakit
ditandai dengan suhu tubuh diatas nilai normal.
Kategori : Lingkungan
Subkategori : Keamanan dan Proteksi
Definisi
Suhu tubuh meningkat di atas rentang normal tubuh
Penyebab
1. Dehidrasi
2. Terpapar lingkungan panas
3. Proses penyakit (mis. infeksi, kanker)
4. Ketidaksesuaian pakaian dengan suhu lingkungan
5. Peningkatan laju metabolism
6. Respon trauma
7. Aktivitas berlebihan

17
8. Penggunaan inkubator
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif Objektif
(Tidak Tersedia) 1. Suhu tubuh diatas nilai normal
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif Objektif
(Tidak Tersedia) 1. Kulit merah
2. Kejang
3. Takikardi
4. Takipnea
5. Kulit terasa hangat
Kondisi Klinis Terkait
1. Proses infeksi
2. Hipertiroid
3. Stroke
4. Dehidrasi
5. Trauma
6. Prematuritas
3. Nyeri Akut (D.0077) berhubungan dengan agen pencedera
fisiologis ditandai dengan klien meringis.
Kategori : Psikologis
Subkategori : Nyeri dan Keamanan
Definisi
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak
atau lamat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung
kurang 3 bulan.
Penyebab
1. Agen pencedera fisiologis (mis. infarmasi, lakemia, neoplasma)
2. Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan)

18
3. Agen pencedera fisik (mis.abses, amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik
berlebihan)
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif Objektif
(Tidak tersedia) 1. Tampak meringis
2. Bersikap protektif (mis.
waspada, posisi menghindari
nyeri)
3. Gelisah
4. Frekuensi nadi meningkat
5. Sulit tidur
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif Objektif
(Tidak tersedia) 1. Tekanan darah meningkat
2. pola napas berubah
3. nafsu makan berubah
4. proses berpikir terganggu
5. Menarik diri
6. Berfokus pada diri sendiri
7. Diaforesis
Kondisi Klinis Terkait
1. Kondisi pembedahan
2. Cedera traumatis
3. Infeksi
4. Sindrom koroner akut
5. Glaukoma

19
12. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)
Keperawatan (SDKI)
1 Bersihan Jalan Tujuan : Latihan Batuk Efektif (I.01006)
Napas Tidak Efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
(D.0001) berhubungan 1x24 jam diharapkan sputum klien dapat 1. Identifikasi kemampuan batuk
dengan spasme jalan berkurang, dengan kriteria hasil : 2. Monitor adanya retensi sputum
napas dan sekresi yang Bersihan jalan napas ( L.01002) 3. Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
tertahan ditandai 1. Batuk efektif meningkat (5) 4. Monitor input dan output cairan (misal: jumlah
dengan dispnea dan 2. Produksi sputum menurun (5) dan karakteristik)
sputum berlebih. 3. Mengi menurun (5) Terapeutik
4. Wheezing menurun (5) 5. Atur posisi semi-fowler dan fowler
5. Mekonium (pada neonatus) menurun 6. Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
(5) 7. Buang sekret pada tempat sputum
Edukasi
8. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
9. Anjurkan Tarik napas dalam melalui hidung
selama 4 detik, ditahan selama 2 detik, kemudian
keluarkan dari mulut dengan bibir mencucu

20
(dibulatkan) selama 8 detik
10. Anjurkan mengulangi Tarik napas dalam hingga 3
kali
11. Anjutkan batuk dengan kuat langsung setelah
Tarik napas dalam yang ke-3
Kolaborasi
12. Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran,
jika perlu.
2 Hipertermia (D.0130) Tujuan : Manajemen Hipertermia (I.15506)
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
proses penyakit 3x24 jam diharapkan suhu badan klin 1. Identifikasi penyebab hipertermia (mis, dehidrasi,
ditandai dengan suhu menurun, dengan kriteria hasil : terpapar lingkungan panas)
tubuh diatas nilai Termoregulasi (L.14134) 2. Monitor suhu tubuh
normal. Indikator : 3. Monitor kadar elektrolit
1. Menggigil menurun (1) 4. Monitor komplikasi akibat hipertermia
2. Kulit merah menurun (1) Terapeutik
3. Kejang menurun (1) 5. Sediakan lingkungan yang dingin
4. Pucat menurun (1) 6. Longgarkan atau lepaskan pakaian
5. Suhu tubuh membaik (5) 7. Basahi dan kipasi permukaan tubuh

21
6. Suhu kulit membaik (5) 8. Berikan cairan oral
Edukasi
9. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
10. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu.
3 Nyeri Akut (D.0077) Tujuan: Manajemen Nyeri (I. 08238)
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
agen pencedera selama 3 x 24 jam diharapkan tingkat 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
fisiologis ditandai nyeri menurun dengan kriteria hasil: kualitas, intensitas nyeri
dengan klien meringis. Tingkat Nyeri (L.08066) 2. Identifiksi skala nyeri
1. Keluhan nyeri menurun ( 5 ) 3. Identifikasi factor yang memperberat dan
2. Meringis menurun ( 5 ) meringankan nyeri
3. Gelisah menurun ( 5 ) 4. Identifikasi pengarug nyeri terhadap kualitas hidup
4. Kesulitan tidur menurun ( 5 ) Terapeutik
5. Frekuensi nadi membaik ( 5 ) 5. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
6. Kontrol lingkungan yang memperberat nyeri
Edukasi

22
7. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
8. Jelaskan strategi meredakan nyeri
9. Anjurkan memoniitor nyeri secara mandiri
10. Ajarkan teknik non farmakologis
Kolaborasi
11. Kolaborasi pemberian analgetic

23
DAFTAR PUSTAKA

dr. Kevin Adrian. (2020). Mengenal Gejala Difteri pada Anak serta Cara
Mengobatinya. Alodokter. Diakses pada 26 Agustus 2023 melalyi
https://www.alodokter.com/mengenali-gejala-difteri-pada-anak-serta-cara-
mengobatinya.
Puri Mahayu. (2019). Buku Lengkap Perawatan Bayi & Balita. DivaPress;
Surabaya, Jawa Timur. Diakses melalui https://www.google.co.id/books
/edition/Buku_Lengkap_Perawatan_Bayi_Balita/FXlVEAAAQBAJ?
hl=id&gbpv=0.
Rismayana, Nurmiaty., Ni Wayan Armini., & Lisda Widianti Longgupa. (2023).
Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Global Eksekutif Teknologi;
Padang. Diakses melalui https://www.google.co.id/books/edition/Ilmu_
Kesehatan_Anak_Dalam_Kebidanan/28ilEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=0.
TIM EduNers. (2022). Buku pengayaan uji kompetensi keperawatan anak. UM
Surabaya Publishing; Surabaya, Jawa Timur. Diakses melalui
https://www.google.co.id/books/edition/Buku_pengayaan_uji_kompetensi
_keperawata/PRR_EAAAQBAJ?
hl=id&gbpv=1&dq=difteri+pada+anak&pg=PA53&printsec=frontcover,
TIM POKJA SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia.
Definisi dan Indikator Diagnostik. DPD PPNI, Jakarta Selatan.
TIM POKJA SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Definisi dan Tindakan Keperawatan. DPD PPNI, Jakarta Selatan.
TIM POKJA SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. DPD PPNI, Jakarta Selatan.
Tim Promkes RSST - RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. (2022). Difteri.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Diakses pada 26 Agustus 2023
melalui https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1814/difteri.

24

Anda mungkin juga menyukai