PENDAHULUAN
BAB II
1
PEMBAHASAN
Kesamaan semua anggota masyarakat sebagai manusia dan sebagai warga negara,
serta hak setiap orang untuk menen-tukan dirinya sendiri, dan untuk turut serta
dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut seluruh masyarakat;
Keyakinan bahwa tidak ada orang atau kelompok orang yang begitu saja berhak
untuk memerintahi orang lain.
Namun kedaulatan rakyat tidak berarti tidak perlu ada kekuasaan di atas para warga
negara (seperti yang dikemukakan Rousseau). Ini bukan maksud dari kedaulatan rakyat,
dan karena itu, bukan tuntutan dasar kedaulatan rakyat. Sebaliknya, kedaulatan rakyat
dalam sistem pemerintahan demokratis lebih dalam arti bahwa :
1
2
Demokrasi absolut dan demokrasi langsung tidak hanya tidak dapat direalisasikan,
lebih-lebih dalam negara modern dewasa ini, melainkan juga secara etis tidak perlu.
Alasannya antara lain, karena jumlah rakyat yang menjadi warga negara dalam suatu
negara modern dewasa ini sudah sangat banyak dan beragam, dan banyak pula
persoalan kehidupan bernegara yang harus diperhatikan negara, termasuk di dalamnya
hubungan saling-tergantung antar negara yang semakin rumit.
2.3 Prinsip-prinsip Demokrasi
prinsip-prinsip demokrasi yang berfungsi sebagai pilar-pilar penyanggah sistem
pemerintahan demokratis: kedaulatan rakyat (popular sovereignty), kesamaan politik
(political equality), kesamaan kedudukan di muka hukum (equality before the law),
pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil (general election), konsultasi rakyat
(popular consultation), kekuasaan mayoritas (majority rule), pembatasan pemerintahan
secara konstitusional (contitutional restriction of government), pluralisme sosial,
ekonomi, dan politik (social, economic, and political pluralism), dan nilai-nilai
toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
Prinsip-prinsip yang dikemukakan di atas selaras dengan apa yang oleh United State
Information Agency (USIA) disebut sebagai 11 pilar demokrasi:
1 Kedaulatan rakyat
2 Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
3 Kekuasaan mayoritas;
4 Hak-hak minoritas;
5 Jaminan hak-hak asasi manusia;
6 Pemilihan (umum) yang bebas, adil, dan jujur;
7 Persamaan di depan hukum;
4
8
9
10
11
Pengertian Hukum
Hukum adalah sebuah aturan yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita
sehari-hari. Setiap sudut dalam kehidupan kita pasti terkait atau ada dalam
5
naungan hukum. Hukum memiliki pengertian yang sangat luas. Hukum adalah
aturan yang memayungi kita dari adanya penyalahgunaan terhadap kekuasaan.
Dan hukum juga adalah alat yang bisa digunakan untuk menegakan atau mencari
keadilan. Indonesia adalah salah satu dari yang termasuk sebagai negara hukum.
Hukum Menurut Para Ahli
Achmad Ali
Hukum adalah norma yang mengatur mana yang benar dan mana yang salah,
yang eksistensi atau pembuatannya dilakukan oleh pemerintah, baik itu
secara tertulis ataupun tidak tertulis, dan memiliki ancaman hukuman bila
terjadi pelanggaran terhadap norma tersebut.
Plato
Hukum merupakan sebuah peraturan yang teratur dan tersusun dengan baik
serta juga mengikat terhadap masyarakat maupun pemerintah.
Tullius Cicerco : Hukum merupakan sebuah hasil pemikiran atau akal yang
tertinggi yang mengatur mengenai mana yang baik dan mana yang tidak.
Thomas Aquinas
Hukum adalah petunjuk akal untuk kepentingan umum, yang dikeluarkan
oleh mereka yang dipercayakan untuk memimpin dan mengatur kehidupan
bersama. Dalam bukunya, On Law, and Politics (2002), Thomas menegaskan
bahwa hukum adalah peraturan dan ukuran tindakan yang mendorong untuk
melakukan atau mencegah tindakan. Hukum sebagai petunjuk akal adalah
perintah atau aturan. Jadi, hukum itu mene-tapkan kewajiban, tidak sekadar
sebagai nasihat. Ia mewajibkan orang untuk bertindak.
2.6 Ciri-ciri Hukum
Dari ciri-ciri hukum disebutkan bahwa sanksi terhadap pelanggaran hukum adalah
tegas, maka dari itu setiap orang wajib mentaati hukum, agar senantiasa tercipta
kehidupan yang aman dan damai. Ciri-ciri hukum, diantaranya adalah
1. Adanya perintah dan/ atau larangan.
Bahwa hukum itu merupakan aturan yang berisi perintah atau larangan yang ditujukan
kepada objek hukum.
2. Perintah dan/ atau larangan itu harus dipatuhi oleh setiap orang.
Bahwa hukum itu harus dipatuhi setiap orang, karena telah menjadi kesepakatan
bersama di dalam kontrak social. Dan bagi objek hukum yang melanggarnya akan
mendapat sanksi berdasarkan hukum yang berlaku. Setiap orang wajib bertindak
sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata tertib dalam masyarkat itu tetap
terpelihara dengan sebaik-baiknya.
2.7 Kekhususan Norma-norma Hukum
2.7.1 Norma-norma Hukum dan Norma-norma Lain
Bersama dengan norma-norma sopan-santun dan moral, norma-norma hukum
termasuk dalam kelompok norma umum kelakuan manusia. Di samping normanorma umum itu terdapat juga pelbagai macam norma khusus, seperti misalnya
6
aturan-aturan permainan atau segala macam norma teknis. Disebut khusus, karena
hanya berlaku dalam wilayah atau pada waktu yang tertentu saja. Misalnya,
peraturan kampus sebuah universitas hanya berlaku di kampus; ketika
meninggalkan kampus, aturan itu tidak lagi berlaku. Lain halnya dengan 3 macam
norma umum, yaitu sopan-santun, moral, dan hukum. Disebut umum, karena di
mana pun dan kapan pun, tak seorang pun bisa menghindari tuntutan aturan
sopan-santun, kewajiban moral, dan ketentuan hukum. Walaupun norma-norma itu
berbeda dari masyarakat ke masyarakat, namun di mana-mana tiga sistem norma
itu ada, dan kalau kita bosan dengan negara kita dan lari ke negara lain, peraturanperaturan sopan-santun, moral, dan hukum lain sudah menantikan kita.
Apa yang membedakan norma-norma hukum dari norma-norma umum
lainnya? Jawabannya sangat sederhana, yaitu SANKSI, HUKUMAN,
PUNISHMENT. Kalau kita berlaku tidak/ kurang sopan, kita barangkali akan
dipukul orang. Kalau kita berlaku amoral, misalnya selalu mengejek orang yang
cacat fisiknya, kita akan ditegur atau dijauhi orang. Tetapi kalau kita melanggar
hukum, kita akan ditangkap, dihadapkan ke pengadilan dan dijatuhi hukum-an.
Jadi, perbedaan antara norma hukum dan norma-norma lain tidak terletak
dalam isinya, melainkan dalam sanksi yang akan dikenakan atas
pelanggarannya.
2.8 Keabsahan Hukum
Uraian tentang kekhususan norma hukum di atas membawa kita kepada beberapa
kriteria mengenai keabsahan hukum dalam suatu masyarakat. Keabsahan hukum
mempertegas bahwa hukum itu eksis dan berlaku dalam masyarakat itu. Di bawah ini
dikemukakan lima kriteria keabsahan hukum :
1. Persetujuan masyarakat akan berlakunya suatu peraturan hukum.
Persetujuan meng-andaikan bahwa masyarakat diikutsertakan dalam proses
pembuatan hukum. Sekurang-kurangnya apa yang diperundangkan diumumkan agar
ditanggapi oleh masyarakat luas. Suatu peraturan hukum menuntut ketaatan
masyarakat disertai dengan sanksi bagi pelang-garannya. Apabila suatu peraturan
hukum yang diundangkan tidak menyebabkan bahwa masyarakat menaatinya dalam
berperi laku (behavioral criteria), maka peraturan itu de facto tidak berlaku. Atau
kalau peraturan tertentu tidak disertai dengan sanksi yang mengikat, dengan kata lain
tidak efektif, maka norma hukum itu tidak valid.
2. Suatu peraturan hukum yang berlaku mensyaratkan, bahwa masyarakat
paham akan apa yang mewajibkannya. Dengan begitu, menaati kewajiban hukum
tidak menghilangkan kebe-basan individu dan tidak merusak martabatnya sebagai
manusia. Sebaliknya, menaati hukum yang baik membebaskan orang dari
kesewenang-wenangan kekuasaan yang korup, yang justru merendahkan
martabatnya sebagai manusia.
3. Hukum yang valid menuntut pelaksanaan oleh semua orang, disertai sanksi
terhadap semua pelanggarannya. Hukum yang membeda-bedakan warga negara dari
kewajiban hu-kum tanpa alasan yang kuat melawan hakikat hukum itu sendiri, yaitu
bahwa kewajiban hukum mengikat semua anggota masyarakat dengan sanksi yang
7
sahih. Kewajiban terhadap norma hukum adalah kekhasan hukum dan hal itu
merupakan tuntutan formal bagi pem-buatan hukum.
4. Hukum yang valid tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, dan
karena itu mengikat, sebab masyarakat mengetahui bahwa kewajiban itu tidak
bertentangan perasaan moral mereka. Dengan menaati hukum, mereka mewujudkan
nilai-nilai moral seperti keru-kunan, solidaritas, kebebasan, dll. Dalam hubungan ini
berlaku dengan terpenuhinya tuntut-an moral minimum (minimum content),
misalnya hukum melarang kejahatan yang dilakukan secara bebas dalam masyarakat.
5. Berdasarkan pandangan deontologis mengenai negara, validnya hukum
ditentukan oleh kenyataan, bahwa ada pembagian kekuasaan di mana hukum atau
peraturan hukum secara hukum ditetapkan oleh lembaga yang berwewenang.
2.9 Fungsi Hukum dalam Kehidupan Masyarakat
Masyarakat Indonesia sangat beraneka ragam sehingga fungsi hukum di dalam
masyarakat juga beraneka ragam tergantung keadaan masyarakat tersebut. Fungsi
hukum di dalam kelompok masyarakat yang belum maju tentu saja berbeda dengan
fungsi hukum pada masyarakat yang sudah maju.
Fungsi hukum secara umum dalam masyarakat, diantaranya :
a. Fungsi Menfasilitasi, yaitu hukum berfungsi menfasilitasi pihak-pihak tertentu
sehingga tercipta suatu ketertiban.
b. Fungsi Represif, yaitu hukum digunakan oleh penguasa elite sebagai alat untuk
mencapai tujuan mereka.
c.
Fungsi Ideologis, yaitu hukum berfungsi menjamin pencapaian legitimasi,
dominasi, hegemoni, kemerdekaan maupun keadilan dalam hidup bermasyarakat.
d. Fungsi Reflektif, yaitu hukum berfungsi merefleksi keinginan bersama di dalam
masyarakat sehingga hukum menjadi bersifat netral.
Fungsi hukum dalam masyarakat menurut Aubert, yaitu :
a. Hukum berfungsi sebagai pengatur
b. Hukum berfungsi sebagai distributor sumber daya
c. Hukum berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik
d. Hukum berfungsi sebagai safeguart terhadap ekspektasi masyarakat
e. Hukum berfungsi sebagai ekpresi dari cita-cita dan nilai-nilai di dalam masyarakat.
Fungsi hukum dalam masyarakat menurut Podgorecki , adalah :
a
Fungsi hukum menurut masyarakat bahwa hukum menjadi sarana perubahan sosial
yang ada di dalam masyarakat. Hukum hanya berfungsi sebagai ratifikasi dan legitimasi
saja bukan hukum yang mengubah masyarakat, tetapi perkembangan masyarakat yang
mengubah hukum.
2.10 Pengakuan Masyarakat
Walaupun ada tidaknya suatu norma hukum tergantung dari apakah penguasa yang
sah menjamin pelaksanaannya, namun kita bertanya: apakah sembarang tatanan
normatif yang dipaksakan kepada rakyat sudah boleh disebut hukum? Atau dengan kata
lain, apakah sebuah sistem peraturan sudah cukup untuk menyebutkan sebuah sistem
peraturan tertentu sebagai hukum, asal saja seorang penguasa memaksakannya kepada
masyarakat? Ataukah suatu sistem peraturan baru boleh disebut hukum, apabila juga
diakui sebagai sah oleh masyarakat sendiri?
Perbedaan antara dua sistem aturan itu besar. Yang satu hanya ditaati masyarakat
karena takut ditindak. Yang kedua, karena dibenarkan oleh masyarakat sendiri. Tatanan
pertama diterima hanya karena terpaksa oleh sebab takut, dll.; akibatnya, begitu
ancaman penguasa dikendorkan, masyarakat tidak akan menaatinya lagi. Sedangkan
tatanan kedua ditaati karena masyarakat menyetujuinya; di sini ancaman sanksi hanya
berfungsi sebagai penunjang: kesediaan masyarakat sendiri untuk tidak melanggar
tatanan diamankan terhadap rongrongan nafsu atau kepentingan egois. Masyarakat
sudah menyetujui tatanan ini dan memahami ancaman hukuman sebagai pengimbang
terhadap kekuatan asosial gelap yang diketahui selalu mengancam ketekatannya yang
sebenarnya baik.
Kembali kepada hukum, kita dapat bertolak dari pertimbangan bahwa masyarakat
tidak menghendaki hukum, karena ingin kebebasannya dibatasi dengan segala macam
peraturan, melainkan karena tatanan hukum itu menjamin nilai-nilai bersama yang
dianggap paling vital. Jadi, hukum berkembang dari kesadaran masyarakat, bahwa
hukum dibutuhkannya demi suatu kehidupan yang dinilai baik dan bermutu. Jadi, dasar
adanya hukum adalah penilaian masyarakat bahwa hukum itu diperlukan. Walaupun
hukum membawa pelba-gai pembatasan dan pengurbanan, namun tetap dinilai baik,
kalau dibandingkan dengan keadaan tanpa hukum. Dan karena itu, masyarakat bersedia
untuk menerima hukum. Dan karena masyarakat juga sadar, bahwa kadang-kadang
kepentingan individual lebih kuat daripada penilaian itu, tatanan normatif itu
dikokohkan dengan sistem sanksi yang, kalau itu perlu, memaksakan ketaatan anggota
masyarakat yang tidak mau. Karena tatanan itu hanya berguna kalau semua terikat
olehnya.
Maka jelas bahwa bukan sembarang tatanan normatif yang dipaksakan boleh
disebut hukum. Adanya akseptasi dan legitimasi (sosiologis) masyarakat termasuk
hakikat hukum. Hukum adalah tatanan norma-norma yang dipastikan pelaksanaannya
oleh negara, seperlunya dengan paksaan fisik, dan yang sebagai itu diakui sah oleh
masyarakat. Penentuan ini sangat penting. Nilai hukum tidak terletak dalam pembatasan
9
terhadap kebebasan masyarakat sendiri, melainkan dalam nilai positif yang dicapai
melalui pembatasan itu. Secara tradi-sional, hal itu diungkapkan dalam tuntutan bahwa
hukum secara hakiki harus adil.
Pengakuan masyarakat adalah hakiki bagi hukum sebagai keseluruhan, tetapi tidak
bagi masing-masing norma hukum sendiri. Karena, pengakuan terhadap hukum sebagai
lembaga normatif menyeluruh memuat kesediaan untuk juga menerima ketetapanketetapan hukum yang pada dirinya sendiri tidak disetujui. Seakan-akan dengan
komentar undang-undang ini buruk dan saya benci padanya, tetapi karena sudah
menjadi bagian hukum kita, maka saya wajib untuk menaatinya dan saya bersedia.
2.11 Prinsip prinsip Negara Hukum
Negara hukum Indonesia menurut UUD 1945 mengandung prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1. Norma hukumnya bersumber pada Pancasila sebagai dasar dan adanya hierarki
jenjang norma hukum.
2. Sistem konstitusional, yaitu UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan di
bawahnya membentuk kesatuan sistem hukum.
3. Kedaulatan rakyat atau prinsip demokrasi. Hal ini tampak pada Pembukaan UUD
1945: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan dan pasal 1A ayat 2 UUD 1945: kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar.
4. Prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan (pasal 27A ayat (1)
UUD 1945).
5. Adanya organ pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden).
6. Sistem pemerintahannya adalah presidensiil.
7. Kekuasaan kehakiman yang bebas dari kekuasaan lain (eksekutif).
8. Hukum bertujuan melindungi untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
9. Adanya jaminan akan hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia (pasal 28A
28J UUD 1945).
2.12 Demokrasi Pancasila
2.12.1
Definisi Demokrasi pancasila
Demokrasi pancasila merupakan demokrasi yang konstitusional
berdasarkan mekanisme kedaulatan rakyat di setipa penyelenggaraan negara
dan penyelenggaraan pemerintahan menurut konstitusi yaitu UUD 1945.
Sebagai demokrasi Pancasila terikat dengan UUD 1945 dan implementasinya
(pelaksanaannya) wajib sesuai dengan apa yang terdapat dalam UUD 1945.
2.12.2
10
GBHN Tahun 1978 dan Tahun 1983: Menurut Gari Besar Haluan Negara
Tahun 1978 dan Tahun 1983 yang menetapkan bahwa pembangunan politik
diarahkan untuk lebih memantapkan perwujudan demokrasi Pancasila.
Dalam rangka memantapkan stabiltias politik dinamis serta pelaksanaan
mekanisme Pancasila, maka diperlukan pemantapan kehidupan
kosntitusional kehidupan demokrasi dan tegaknya hukum.
Adanya penghargaan atas Hak Asasi Manusia dan perlindungan untuk hak minoritas
Merupakan kompetisi dari berbagai ide dan cara dalam menyelesaikan masalah
Pelaksanaan UUD 1945 dan penjabarannya dituangkan Batang Tubuh dan Penjelasan
UUD 1945
Sebagai sendi dari hukum yang dijelaskan dalam UUD 1945, yaitu negara hukum
yang demokrastif
11
Menjamin adanya hubungan yang sama, serasi dan simbang mengenai lembaga
negara
12
Asas Kerakyatan: Pengertian asas kerakyatan adalah asas kesadaran untuk cinta
kepada rakyat, manunggal dengan nasip dan cita-cita rakyat, serta memiliki jiwa kerakyatan
atau menghayati keasadaran senasib dan secita-cita dengan rakyat.
13
Mengubah undang-undang.
14
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hubungan antara negara hukum dan demokrasi tidak dapat dipisahkan. Demokrasi
tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa
demokrasi akan kehilangan makna. Menurut Magnis Suseno,demokrasi yang bukan
hukum bukan demokrasi dalam arti yang sesungguhnya. Demokrasi merupakan cara
paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum. Dengan demikian,
negara hukum yang bartopang pada sistem demokrasi dapat disebut sebagai negara
hukum demokratis (democratische rechtsstaat)
3.2 Saran
Adapun kiranya agar makalah ini dapat dijadikan suatu referensi bagi pembaca terutama
mahasiswa agar lebih memahami apa itu sebenarnya Negara Hukum Demokratis.
16
DAFTAR PUSTAKA
https://sutrisnodoswar.wordpress.com/2009/09/30/bab-iv-negara-hukum-demokratis/
http://rafi-thegunners.blogspot.co.id/2010/11/negara-hukum-demokratis.html
17