PENDAHULUAN
Pada umumnya, pengolahan air limbah rumah sakit menggunakan bangunan pengolahan
untuk mengurangi konsentrasi pencemar sebelum dibuang ke badan air. Namun bangunan
tersebut memiliki batasan umur konstruksi. Ketika umur konstruksi habis, bahan bangunan
terpakai akan terakumulasi dan mengakibatkan berbagai masalah lingkungan
(Mangkoedihardjo, 2008). Untuk itu, diperlukan cara untuk memaksimalkan kondisi
konstruksi yang sudah ada. Salah satunya dengan memaksimalkan debit limbah yang diolah
dengan penambahan sistem tumbuhan di dalamnya. Limbah pada penelitian ini berasal dari
inlet Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Adapun
tumbuhan yang digunakan berdasarkan keragaman akar adalah jenis tumbuhan air, seperti
Melati Air (Echinodorus palaefolius var. Latifolius), Ki Ambang (Salvinia molesta Mitchell),
dan Tapak Kuda (Ipomoea pes-caprae (L) Sweet). Dimana pada setiap akar tumbuhan
terdapat mikroba akar yang mengkonsumsi eksudat tumbuhan untuk menyerap polutan.
Untuk dapat menambah kemampuan tumbuhan dalam menyerap polutan, maka air
limbah dikombinasikan dengan kompos tidak stabil dalam upaya peningkatan
biodegradabilitas limbah. Penelitian terdahulu menjelaskan bahwa campuran lindi toksik dan
kompos tidak stabil dapat menghasilkan bahan yang biodegradable. Hasil tersebut
ditunjukkan dengan adanya peningkatan rasio BOD/COD dari 0,2 menjadi 0,5 pada sampel
campuran tersebut (Mangkoedihardjo dkk., 2009). Penelitian ini memiliki nilai tambah yaitu
menggunakan diversitas tumbuhan air untuk mereduksi polutan. Selain itu, diversitas
tumbuhan yang digunakan belum banyak diteliti lebih lanjut dalam hal pengolahan limbah
rumah sakit. Diharapkan kombinasi penggunaan kompos tidak stabil dan eksudat tumbuhan
air untuk meningkatkan biodegradabilitas limbah cair rumah sakit. Hal ini ditunjukkan dengan
besarnya penurunan konsentrasi pencemar dan laju evapotranspirasi masing- masing
tumbuhan air.
Air limbah yang digunakan berasal dari inlet IPAL RSUD Dr. Soetomo Surabaya,
kompos tidak stabil yang digunakan berasal dari Rumah Kompos Bratang. Penggunaan
kompos tidak stabil ditunjukkan dengan umur kompos 5 10 hari, rasio C/N 20 25, serta
rasio BOD/COD > 0,5. Penelitian dilakukan dalam skala laboratorium (Laboratorium
Ekotoksikologi Teknik Lingkungan ITS). Analisa laboratorium dilakukan setelah tumbuhan
uji pada reaktor mencapai hari ke 2.Parameter penelitian ini sebagian besar mengacu pada
parameter yang diacu oleh RSUD Dr. Soetomo Surabaya yaitu KepGub Jatim 61/1999 (Baku
Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit di Propinsi Daerah Tingkat I Jatim), yaitu
BOD/COD kompos dan limbah, TSS, pH, Suhu, DO, deterjen anionik, phenol, orthophospat,
sisa klor, NH3 bebas, dan aspek fitoteknologi seperti laju evapotranspirasi dan kadar air
tumbuhan.
METODE
Penelitian ini menggunakan reaktor uji (20 cm x 15 cm x 10 cm) sebanyak 4 buah dan 1
reaktor kontrol yang berisi limbah dan tumbuhan, tetapi tidak menggunakan kompos. Setiap
reaktor berisi 1 liter limbah dan tumbuhan hingga menutupi sebagian besar permukaan
reaktor. Reaktor yang digunakan yaitu 8 buah sesuai dengan variasi dalam penelitian ini,
yaitu 4 buah reaktor dengan tumbuhan dan 4 buah reaktor tanpa tumbuhan. Reaktor berisi
tumbuhan dengan masing- masing variasi kompos dan jenis tumbuhan akan diukur penurunan
konsentrasi pencemar dan laju evapotranspirasinya. Namun, 4 bua h reaktor tanpa tumbuhan
digunakan sebagai pembanding evaporasi untuk mengukur indeks pompa tumbuhan. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui besaranya kemampuan tumbuhan dalam menyerap air pada
pengolahan air limbah. Analisis parameter mengacu pada Standard Methods for Water and
Wastewater Examination (APHA, 2005). Adapun susunan reaktor penelitian dapat dilihat
pada Gambar 1.
1%
5%
1%
5%
Gambar 1. Susunan Reaktor Penelitian
10%
10%
panjang
Gambar 2. Pengukuran Laju Evapotranspirasi
Hari 5
57.46
64.09
41.99
39.78
41.99
41.99
44.2
48.62
50.83
55.25
83.98
33.15
46.41
39.78
53.04
108.29
55.25
88.4
83.98
90.61
121.55
86.19
95.03
103.87
97.24
Total Gas
(mg CO2 )
236.47
249.73
256.36
426.53
503.88
Uji statistik dilakukan untuk mengetahui signifikansi data yang diperoleh. Uji
statistik yang digunakan berupa one way ANOVA dengan selang kepercayaan 95%.
Dalam uji statistik semua perlakuan pada reaktor akan diuji secara signifikan berbeda atau
tidak, dengan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Perlakuan pada reaktor memberikan pengaruh yang tidak signifikan terhadap tingkat
biodegradabilitas sampel.
H1 : Perlakuan pada reaktor memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
biodegradabilitas sampel.
Berdasarkan output software SPSS, pada pengujian ANOVA, didapatkan nilai p
value = 0,00. Jika dibandingkan dengan taraf signifikansi () = 0.05 maka nilai p-value <
, sehingga H0 ditolak atau pemberian perlakuan yang berbeda pada reaktor memberikan
pengaruh yang signifikan. Karena H0 ditolak, maka dilanjutkan dengan uji perbandingan
berganda untuk mengetahui perlakuan mana yang memberikan perbedaan terhadap hasil
pengamatan. Berdasarkan hasil uji perbandingan berganda, diperoleh kesimpulan bahwa
antara treatment 1 (limbah), treatment 2 (kompos), dan treatment 3 (limbah + kompos 1
%) memberikan hasil yang relatif sama. Treatment 5 memberikan hasil yang signifikan
dibandingkan treatment 4, yang berarti penambahan kompos 10% memberi peningkatan
biodegradabilitas secara nyata dibandingkan treatment lainnya. Sesuai dengan hasil RFT,
maka konsentrasi kompos yang digunakan adalah 1 %, 5 %, dan 10 %. Hal ini
ditunjukkan dengan banyaknya gas CO 2 yang terbentuk pada setiap variasi campuran
limbah dan kompos.
Menurunnya konsentrasi pencemar dapat disebabkan adanya kompetisi antara
tumbuhan dan mikroba (baik dari akar tumbuhan maupun dari kompos). Senyawa organik
pada limbah akan digunakan sebagai sumber karbon bagi mikroba dan tumbuhan sendiri.
Hal ini menyebabkan kadar kontaminan organik menurun (Pivetz, 2001). Setelah
dilakukan peningkatan biodegradabilitas limbah rumah sakit dengan menggunakan
kompos tidak stabil dan eksudat pada tumbuhan air, maka diperoleh hasil penurunan
konsentrasi pencemar dan peningkatan biodegradabilitas limbah. Adapun hasilnya dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Penelitian pada Reaktor Uji
Paramete r
Satuan
Awal
BOD
mg/liter
32.18
mg/liter
mg/liter
O2
280
pH
Suhu
T SS
Sisa Klor
COD
DO
orthofosfat
ammonium
surfaktan
phenol
rasio
BOD/COD
Konsentrasi Kompos
1%
5%
10%
(gr/l)
(gr/l)
(gr/l)
Melati Air
Konsentrasi Kompos
1%
5%
10%
K
(gr/l)
(gr/l)
(gr/l)
Tapak Kuda
67.7
10.87
37.83
31.13
7
83.3
96.67
18.67
50.67
3
15.87
27
14.13
61.43
40
50
21.33
80
0.2
1.67
0.13
0.1
3.7
3.4
3.2
7.37
7.15
7.2
7.14
7.21
7.66
7.57
7.57
27.2
27
26.3
26
26
26.33
26.33
25.33
mg/liter
240.4
168
138.7
180.7
148
16
16
mg/liter
0
0.14
0.48
0.59
0.78
0
3.1
1.6
2.3
3.6
0.2
0.38
0.38
0.37
0.023
0.057
0.40
0.54
mg/liter
7.05
mg/liter
147.39
mg/liter
1.01
mg/liter
0.08
0.11
(Hasil Pengukuran)
Konsentrasi Kompos
1%
5%
10%
(gr/l)
(gr/l)
(gr/l)
Kiambang
32.9
67.1
53.2
20.1
73.33
130
90
25.33
4.3
5.4
5.1
4.9
4.7
7.67
7.81
7.85
7.89
26.67
26.33
26.33
26.33
32
7.53
25.3
3
40
90.67
73.33
56
132
0.31
0.23
5.22
6.12
5.35
32.43
2.59
12.27
13.43
32.23
6.81
6.57
0.44
0.43
0.35
0.46
0.14
0.2
0.25
0.1
0.061
0.043
0.01
0.008
0.012
0.62
17.0
3
0.39
0.00
3
0
3.56
0.067
0.069
0.012
0.036
0.66
0.77
0.32
0.58
0.75
0.45
0.52
0.59
0.79
0.81
2. Laju Evapotranspirasi
Fitoremediasi merupakan teknologi remediasi ramah lingkungan yang menggunakan
tumbuhan dalam mendegradasi dan meremoval polutan (Toyama dkk., 2011). Laju
evapotranspirasi berkaitan dengan besarnya kemampuan tumbuhan dalam menyerap air
limbah. Semakin banyak yang diserap tumbuhan, maka debit air yang diolah dapat
berkurang, sehingga hal ini dapat menambah kapasitas debit pengolahan. Hasil
pengukuran laju evapotranspirasi diperlihatkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Pengukuran Laju Evapotranspirasi
Konsentrasi Kompos
Satuan
Parameter
Evapotranspirasi
24 jam
Evapotranspirasi
48 jam
Evapotranspirasi
Total
Kontrol
1%
5%
Konsentrasi Kompos
10%
Kontrol
Melati Air
3
1%
5%
Konsentrasi Kompos
10%
Kontrol
Tapak Kuda
1%
5%
10%
Kiambang
cm /hari
270
300
240
210
120
120
120
90
60
60
60
60
cm3 /hari
180
180
180
150
60
60
60
60
60
60
60
60
cm3 /hari
450
480
420
360
180
180
180
150
120
120
120
120
Evaporasi24jam
cm /hari
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
Evaporasi48 jam
cm3 /hari
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
60
EvaporasiTotal
cm /hari
(Hasil Pengukuran)
Berdasarkan Tabel 3., terlihat bahwa laju evapotranspirasi terbesar ditunjukkan oleh
tumbuhan Melati Air, terutama pada penambahan kompos 1% (gr/liter). Kemudian
tumbuhan Tapak Kuda dan Kiambang memiliki nilai evapotranspirasi lebih kecil dari
tumbuhan Melati Air tersebut. Hal ini berkaitan dengan indeks pompa tumbuhan dan
kadar air pada tumbuhan uji. Indeks pompa tumbuhan disebut juga faktor transpirasi
tumbuhan (TF), dimana TF menyatakan kemampuan tumbuhan untuk menyerap air dari
media tumbuhnya dan ditranspirasi ke udara dengan perbandingan evaporasi lingkungan
sekitarnya. Pada praktiknya, TF mengukur kemampuan tumbuhan sebagai pompa alam.
ET/E > 1 berarti tumbuhan tersebut mampu bertindak sebagai pemompa air tercemar
(Priambodo dkk., 2011). Tumbuhan bertindak sebagai pemompa zat organik untuk
mengambil kontaminan pada limbah sebagai salah satu elemen transpirasi (Susarla dkk.,
2002). Adapun besarnya nilai indeks pompa tumbuhan dan kadar air dapat dilihat pada
Tabel 4 dan 5.
Tabel 4. Besarnya nilai Indeks Pompa Tumbuhan Uji
Tumbuhan
Melati Air
Tapak
Kuda
Ki ambang
Parameter
Satuan
IPT24 jam
IPT48 jam
IPTTotal
IPT 24 jam
Kontrol
Konsentrasi Kompos
1%
5%
10%
9
6
7.5
10
6
8
8
6
7
7
5
6
IPT48 jam
IPTTotal
2.5
IPT24 jam
IPT48 jam
IPTTotal
(Hasil Pengukuran)
Melati Air
Tapak Kuda
Salvin ia
Parameter
Berat
Basah
Berat
Kering
Kadar Air
Berat
Basah
Berat
Kering
Kadar Air
Berat
Basah
Berat
Kering
Kadar Air
Satuan
Gram
Gram
%
Gram
Gram
%
Gram
Gram
%
Kontrol
60.07
162.3
3
66.60
5%
481.6
7
137.3
3
71.49
10%
466.6
7
114.6
7
75.43
74
75.86
75.64
73.74
10.7
10.7
10.87
10.15
85.54
85.90
85.63
86.24
82.67
82.96
85.87
80.39
2.06
2.03
1.97
1.94
97.51
97.55
97.71
97.59
483.33
193
1%
486
(Hasil Pengukuran)
Kadar air pada tumbuhan uji berkaitan dengan indeks pompa tumbuhan. Dalam hal
ini, banyaknya air yang diserap dapat diketahui dengan mengukur berat basah maupun
berat kering tumbuhan. Semakin berat tumbuhan, maka kemampuannya mengambil air
akan lebih banyak, artinya laju evapotranspirasi dan indeks pompa tumbuhannya akan
semakin besar.
Berdasarkan hasil penelitian, pendekatan fitoteknologi dengan kombinasi limbah
rumah sakit, kompos tidak stabil dan eksudat tumbuhan air dapat menurunkan konsentrasi
pencemar. Dari seluruh parameter penelitian, konsentrasi pencemar setelah diolah
mengalami penurunan. Untuk parameter BOD, terdapat beberapa variasi yang mengalami
peningkatan sehingga perlu dilakukan proses aerasi sebagai suplai oksigen bagi mikroba.
Artinya, fungsi fitoteknologi selain meningkatkan biodegradabilitas dan menambah laju
evapotranspirasi, juga dapat menambah efisiensi pengolahan pada IPAL.
KESIMPULAN
Kombinasi antara kompos tidak stabil dan tumbuhan air dapat meningkatkan
biodegradabilitas limbah. Hal ini ditunjukkan bahwa rasio BOD/COD awal limbah yaitu 0,11
kemudian dengan pencampuran kompos tidak stabil maka rasio BOD/COD limbah dapat
mencapai 0,32-0,81. Demikian halnya terhadap penurunan konsentrasi pencemar pada limbah,
dimana efisiensi removal parameter berkisar antara 14% hingga 98% terhadap parameter yang
ada. Kemudian, variasi yang paling tepat terhadap variasi yang digunakan adalah Tumbuhan
Tapak Kuda dan Kompos 10% (10 gr/liter) karena memiliki rasio BOD/COD tertinggi yaitu
0,81. Dalam hal laju evapotranspirasi, variasi terbaik dalam penelitian ini adalah Tumbuhan
Melati Air dan Kompos 1% (1 gr/liter).
Saran
Adanya peningkatan biodegradabilitas juga meningkatkan kadar BOD pada limbah.
Kemudian dilakukan percobaan lanjutan terhadap sampel yang mengalami peningkatan nilai
BOD, terutama pada reaktor berisi 10% kompos. Percobaan yang dilakukan yaitu pemberian
aerasi pada sampel hasil dari reaktor uji, kemudian dilakukan pengukuran nilai BOD. Aerasi
tersebut dilakukan selama 5 hari dan diperoleh nilai BOD pada setiap sampel mencapai 7
mg/liter O 2 . Artinya, setelah unit fitoteknologi, lebih baik dilakukan pengolahan lanjutan
berupa aerasi.