ternak mulai ditinggalkan penggunaannya sejak ditemukan produk-produk sintetis yang manfaatnya
jauh lebih baik. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi pula yang semakin meningkatkan
kesadaran manusia terhadap dampak negatif produk-produk sintetis akibat sulitnya terdekomposisi
secara alami. Hal ini mengakibatkan manusia untuk berpikir back to nature melalui pemanfaatan
limbah peternakan (kulit, bulu, wool, kotoran, tulang, lemak, dan organ dalam) secara optimal. Hal ini
mampu meningkatkan nilai ekonomis limbah ternak sekaligus upaya dalam memelihara
keseimbangan lingkungan. Pemanfaatan limbah ternak secara efisien dan ekonomis akan mampu
mencegah dahsyatnya pencemaran lingkungan, nilai estetis, dan berbagai masalah kesehatan
terhadap kehidupan manusia. Keberadaan limbah kotoran dan tulang ternak di Indonesia cukup
tinggi akibat tingginya total konsumsi daging sapi, ayam, dan babi di Indonesia yang mencapai 3.572
dan 4.092 kg/kapita/tahun pada tahun 2009 dan 2010 (BPS 2011). Mengingat cukup tingginya
keberadaan limbah kotoran dan tulang ternak di Indonesia dan belum tercapainya pengolahan
secara optimal, maka berbagai penelitian untuk mengetahui alternatif pengolahan limbah ternak
untuk meningkatkan nilai ekonomis, mencegah pencemaran lingkungan yang sekaligus mampu
meminimalkan masalah-masalah kesehatan sangat perlu untuk ditingkatkan baik kuantitas maupun
kualitasnya. Penelitian ini bertujuan mengkaji pemanfaatan kotoran dan tulang ternak (sapi, babi,
dan ayam) sebagai material untuk produk bahan non-pangan. Penelitian ini dibagi menjadi 2
tahapan: 1) Penelitian terhadap kotoran ternak yang bertujuan mengetahui pengaruh pupuk kandang
babi, sapi, dan ayam dengan campuran kotoran cacing (kascing) terhadap pertumbuhan, produksi,
dan kualitas Tanaman Bayam, 2) Penelitian terhadap tulang ternak yang bertujuan mengkaji potensi
arang tulang sapi, ayam, dan babi untuk menurunkan kandungan F (defluoridation) pada air tanah di
Indonesia serta deteksi bahan baku arang tulang dan karbon aktif penyaring air komersial melalui
tes DNA. Penelitian tahap pertama menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 10 perlakuan
dan 3 ulangan. Pembuatan pupuk kandang mengaplikasikan sistem windrow, merupakan proses
sederhana dan paling murah karena tidak membutuhkan wadah dekomposisi spesifik dan sistem
pengaturan udara khusus melainkan memanfaatkan sirkulasi udara alami, meski aplikasinya
memerlukan areal lahan cukup luas. Aplikasi pupuk kandang dan kascing pada 2 minggu setelah
penaburan benih. Jumlah plot 30 dengan jumlah sampel tanaman 20 per plot. Pemanenan tanaman
pada 28 hari setelah tanam. Pengamatan pertumbuhan dilakukan terhadap tinggi tanaman (cm),
diameter batang (mm), dan jumlah daun terbentuk (helai). Pengamatan produksi pada bobot segar
(g) dan kering (g). Pengamatan kualitas dilakukan pada kandungan protein (%), Fe (mg), Ca (mg),
klorofil (mg), vitamin A (mg), dan vitamin C (mg). Pupuk kandang ayam mengandung NPK relatif
lebih baik dibandingkan pupuk kandang babi dan sapi. Pupuk kandang ayam dan babi memiliki hara
makro (total NPK minimal 4%) sedangkan pupuk kandang sapi belum memenuhi persyaratan teknis
minimal pupuk organik padat (Permentan 2011). Pupuk kandang ayam mengandung N tertinggi
yaitu 5,89%, diikuti oleh pupuk kandang babi (3,27%) dan sapi (1.56%). Kandungan unsur hara NPK
pada kotoran ayam tertinggi dibandingkan kotoran sapi, kuda, babi, dan domba. Pupuk kandang
ayam 20 ton ha-1 menghasilkan pertumbuhan dan produksi bayam terbaik dibandingkan dengan
pupuk kandang babi dan sapi. Kualitas bayam terbaik dicapai dengan menggunakan kombinasi
pupuk kandang sapi 10 ton ha-1 dan kascing 10 ton ha-1. Penelitian tahap kedua menggunakan
tulang sapi, babi, dan ayam. Proses pembuatan arang tulang menggunakan tanur suhu 600 oC.
Arang tulang berwarna hitam keabu-abuan, rapuh, dan tidak berbau dengan ukuran sekitar 1-2 mm.
Pengujian terhadap kemampuan arang tulang menyerap F dan Fe pada air sintetis serta F pada air
tanah. Air tanah yang dikonsumsi oleh masyarakat, diambil dari wilayah Bogor dengan tiga
ketinggian berbeda. Peubah yang diamati adalah kandungan F dan Fe air tanah, kualitas arang
tulang sapi, ayam, dan babi, serta prosentase penyerapan arang tulang terhadap F dan Fe. Hasil
analisis terhadap parameter yang diamati disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa arang tulang sapi memiliki prosentase penyerapan paling tinggi sebesar 77% terhadap F
pada air tanah, diikuti oleh ayam (67%) dan babi (43%). Semakin banyak arang tulang semakin
tinggi prosentase penyerapan terhadap F yang cenderung meningkat hingga 12 jam. Arang tulang
sapi juga memiliki prosentase penyerapan paling tinggi terhadap Fe pada air tanah. Selama
pengamatan 2 jam, arang tulang sapi mampu menyerap Fe hingga 100 %, diikuti oleh arang tulang
ayam sebesar 99,7 %, dan babi 87 %. Arang tulang mengandung kalsium hidroksiapatit
[Ca10(PO4)6(OH)2] yang bersifat biomaterial keramik dengan permukaan memiliki pori-pori.
Berdasarkan strukturnya dan akibat adanya gaya adhesi maka kalsium hidroksiapatit dapat
mengadsorpsi zat-zat lain ke dalam pori-pori di permukaannya sehingga mampu menjadi penyerap
(adsorbent). Foto SEM membuktikan pori-pori arang tulang tertutupi oleh suatu material berwarna
putih yang diyakini adalah F yang terserap ke dalam pori-pori material kalsium hidroksiapatit. DNA
arang tulang dapat diisolasi secara kuantitatif meski dengan konsentrasi sangat kecil, yaitu arang
tulang sapi tertinggi sebesar 30.5 ng/l diikuti oleh arang tulang ayam (16.7 ng/l) dan babi (7.5
ng/l). Kemurnian arang tulang sapi, ayam, babi, dan penyaring komersial, masing-masing sebesar
1,29, 1,38, 1,32, dan 1,46. Kemurnian DNA rendah karena masih jauh di bawah kemurnian DNA
yang baik (1,8-2). Penggunaan suhu 600 oC mengakibatkan sebagian besar DNA rusak. Karbon
aktif pada penyaring komersial tidak berasal dari bahan alami seperti arang tulang ternak sapi, babi,
dan ayam melainkan berasal dari bahan sintetis yang memerlukan pengujian lebih lanjut.
URI
HIDROKSILAPATIT DAN
KEGUNAANNYA DALAM MEDIS
JANUARY 10, 2014 ANSARIKIMIA LEAVE A COMMENT
Dalam proses industri, biasanya digunakan material yang berukuran tertentu dan
seragam. Untuk memperoleh ukuran yang seragam, maka perlu dilakukan pengayakan.
Pada proses pengayakan zat padat itu dijatuhkan atau dilemparkan ke permukaan
pengayak. Partikel yang di bawah ukuran atau yang kecil (undersize), atau halusan
(fines), lulus melewati bukaan ayak, sedang yang di atas ukuran atau yang besar
(oversize), atau buntut (tails) tidak lulus. Pengayakan lebih lazim dalam keadaan kering.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengayakan, yaitu:
Jenis ayakan
Cara pengayakan
Kecepatan pengayakan
Ukuran ayakan
Waktu pengayakan
Sifat bahan yang akan diayak
umumnya sebuk tabur harus melewati ayakan dengan derajat halus 100 mesh agar
tidak menimbulkan iritasi pada bagian yang peka.
Jika serbuk mengadung lemak, harus diayak dengan pengayak no 44
Pengayakan untuk pengujian adalah anyaman kawat, bukan tenunan. Kecuali untuk
ukuran nomor 230, nomor 270, nomor 325 dan nomor 400, ayakan terbuat dari
kuningan, perunggu, baja tahan karat atau kawat lain yang sesuai, dan tidak dilapisi
atau disepuh.
Tabel. Lubang pengayakan baku
Nomor nominal
9,5 mm
3,5
5,6 mm
4,75 mm
2,36 mm
10
2,00 mm
14
1,40 mm
16
1,18 mm
18
1,00 mm
20
850 m
25
710 m
30
600 m
35
500 m
40
425 m
45
355 m
50
300 m
60
250 m
70
212 m
80
180 m
100
150 m
120
125 m
200
75 m
230
63 m
270
53 m
325
45 m
400
38 m
Derajat kehalusan serbuk dinyatakan dengan nomor pengayak yang digunakan. Jika
Klasifikasi serbuk
Sangat kasar
Bahan kim
Nomor no
k
Nomor pengayak
20
60
Kasar
10
40
60
20
Setengah kasar
40
40
80
40
Halus
60
40
100
80
Sangat halus
80
100
80
120
Material yang mempunyai diameter yang sama dengan panjangnya akan memiliki
kecepatan dan kesempatan masuk yang berbeda bila posisinya berbeda, yaitu yang satu
melintang dan lainnya membujur.
3. Pantulan dari material
Pada waktu material jatuh ke screen maka material akan membentur kisi-kisi screen
sehingga akan terpental ke atas dan jatuh pada posisi yang tidak teratur.
4. Kandungan air
Kandungan air yang banyak akan sangat membantu tapi bila hanya sedikit akan menyu
mbat screen.
Contoh alat pengayakan
Introduction
Hydroxyapatite (HAP), the main component of teeth and bones has received considerable attention as suitable
material for bone tissue engineering because it is both biocompatible and osteoconductive1. Reported synthesis of
hydroxyapatite using various reactants among others, the precursor used is calcium hydroxide and acid phosphate,
calcium oxide and diammonium hydrogen phosphate, calcium nitrate 4-hydrateand diammonium hydrogen
phosphate2-4.Source of calcium as precursors can be found in nature, such as corals, animal bones, shells of snails,
and of limestone5-8. They have been grinded to produce smaller size. After calcining, they can turn into calcium
oxide8.Techniques used are the sol-gel, hydrothermal technique, and precipitation9-12. Some synthesis techniques are
used to synthesize hydroxyapatite in a way that is economical, environmentally friendly, and safe from the bilologiand
simplify the complexity of the synthesis of hydroxyapatite13.
In the present work, calcium nitrate 4-hydrate [Ca(NO3)2.4H2O] from limestone is used to synthesize hydroxyapatite
(HAP) with precipitation method. Firing temperature variations will be observed to determine the best temperature
conditions that can form hydroxyapatite nanoparticles. The results of the synthesis of hydroxyapatite are
characterized by using X-ray Difraction (XRD) to see the formation of crystals and crystal size and Scanning Electron
Microscopy (SEM) to see at the morphology of the material and also Energy Dispersive X-ray Spectroscopy (EDS) to
determine the value of the molar ratio of Ca/P hydroxyapatite.
Experimental
Synthesis of Hydroxyapatite, Limestone was calcinated with 900oC for 5 h, in which limestone changed the phase of
calcium carbonate (CaCO3) into calcium oxide (CaO). Calcium oxide (CaO) 5.6 g were added to 100 mL of 2 M
nitrate acid (HNO3) to change them into calcium nitrate hidrate (Ca(NO3)2.4H2O). The filtrate was taken, then added a
solution of 100 ml 0.6 M ((NH4)2HPO4) slowly while stirring for 1 hour at 90C at pH 11. The addition of ammonium
hydroxide (NH4OH) was for pH adjustment. The solution formed was precipitated for 1 day or +15 hours until a
precipitate was formed. The precipitate formed was filtered and dried at a temperature of + 110oC aiming to eliminate
solvents that are still contained. The precipitate which has been dried and then grinded into powder, was then
calcinated at 600, 700, 800 and 900oC for 2 hours. Nanopowder formed was then characterized.
Result and Discussion
Analysis FTIR
The results of FTIR measurements at different firing temperatures are shown in the Fig 1. Infrared spectra of HAP
(Fig. 1) that informsabout the hydroxyl (OH-) functional group by absorption band at 600, 700, 800 and 900C,
respectively at around 3453, 3571, 3571 and 3571 cm-1. FTIR spectrum is found in the PO stretching asymmetric
adsorption coming from the PO43-on 1150 1000 cm1, and known as the characteristics of bands for hydroxyapatite.
The absorption bands of functional groups are presence at around 1069, 1011, 1043, and 1016 cm-1.These results
are consistent with those reported14.
Analysis of XRD
Fig. 2 shows the X-ray diffraction pattern of hydroxyapatite with firing temperature variations during the firing of
hidroxyapatite. While at 600C, it has many forms of hydroxyapatite. It can be seen from the results of XRD suitability
standard temperature 600C with ICSD 16742 (Fig. 3). The presence of noise contained in the spectrum indicates the
presence of amorphous hydroxyapatite while the sharp spectrum indicates the formation of hydroxyapatite crystals.
From the XRD data, the size of the crystals formed can be seen by using the Scherrer equation, where a large crystal
size is indicated by a sharp peak with a narrow peak width, while the small crystal size is indicated by the peak width.
It is done by entering the value of FWHM (Full Width at Maximum) Scherrer equation to the known size of
hydroxyapatite crystals15,16.
Where t is the particle size, is the wavelength used, is the value of FWHM and is the Bragg diffraction angle. As
for determining the specific surface area, the following formula is used:
Where S is the specific surface area (m2/g), is the size of the crystal and dis (3,16 g/cm3) the theoretical density of
hydroxyapatite [15]. This equation can be determined based on the crystal size and specific surface areaformed at
the mixing temperature variations and this can be seen in the following Table 1. Table 1 shows that the sizes of the
smallest particles and the largest surface area of firing temperature are obtained at 600oC, with a particle size of
13.36 to 85.15 nm and a surface area from 22.30 to 142.08 m2/g. Thus the best firing temperature is 600oC
Table 1: The Measurements of Crystal size and Specific Surface Area Based on results of
Firing Temperature Variations
Temperature (oC)
Crystal size
(nm)
(m2/g)
600
13,36 85,15
22,30 142,08
700
21,90 74,40
25,52 86,71
800
900
22,5 68,5
16,68 68,04
27,7 84,3
27,91 113,85
Analysis of SEM
Fig. 4 shows that the SEM images of the synthesis of hydroxyapatite are in the form of powder when the firing
temperature of the treatment is 600C. Magnification shows formed rod of nano-sized grains. Figure 4 shows that the
measurement of particle size obtained by SEM at a temperature of 600oC is 0.09 m 0.71 m
Analysis of EDS
EDS analysis results indicate that the ratio of Ca/P on hydroxyapatite powder at a temperature of 600C is more than
1.67. It indicates that the presence of other compounds such as CaO contained in the hydroxyapatite powder has
been synthesized17.
Conclusion
The results of this study present an alternative method in the synthesis of hydroxyapatite namely through precipitation
technique, it can be synthesized from limestone. By using the firing temperature of 600C on calcium phosphate,
nano-sized crystals are formed and a large surface area is provided. SEM results show the spherical nano-sized
grains. The ratio of EDS analysis results is greater than 1.67 and it indicates the presence of other compounds are
formed.
Acknowledgements
The authors thank Andalas University, Republic of Indonesia, because several parts of this work are supported by
LPPM andalas University, that is under HKRGB, and Research Grant No.46//UN.16/HKRGB/LPPM/2016.
Refference
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.