Anda di halaman 1dari 16

Seiring dengan perkembangan teknologi, produk pangan maupun non pangan yang berasal dari

ternak mulai ditinggalkan penggunaannya sejak ditemukan produk-produk sintetis yang manfaatnya
jauh lebih baik. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi pula yang semakin meningkatkan
kesadaran manusia terhadap dampak negatif produk-produk sintetis akibat sulitnya terdekomposisi
secara alami. Hal ini mengakibatkan manusia untuk berpikir back to nature melalui pemanfaatan
limbah peternakan (kulit, bulu, wool, kotoran, tulang, lemak, dan organ dalam) secara optimal. Hal ini
mampu meningkatkan nilai ekonomis limbah ternak sekaligus upaya dalam memelihara
keseimbangan lingkungan. Pemanfaatan limbah ternak secara efisien dan ekonomis akan mampu
mencegah dahsyatnya pencemaran lingkungan, nilai estetis, dan berbagai masalah kesehatan
terhadap kehidupan manusia. Keberadaan limbah kotoran dan tulang ternak di Indonesia cukup
tinggi akibat tingginya total konsumsi daging sapi, ayam, dan babi di Indonesia yang mencapai 3.572
dan 4.092 kg/kapita/tahun pada tahun 2009 dan 2010 (BPS 2011). Mengingat cukup tingginya
keberadaan limbah kotoran dan tulang ternak di Indonesia dan belum tercapainya pengolahan
secara optimal, maka berbagai penelitian untuk mengetahui alternatif pengolahan limbah ternak
untuk meningkatkan nilai ekonomis, mencegah pencemaran lingkungan yang sekaligus mampu
meminimalkan masalah-masalah kesehatan sangat perlu untuk ditingkatkan baik kuantitas maupun
kualitasnya. Penelitian ini bertujuan mengkaji pemanfaatan kotoran dan tulang ternak (sapi, babi,
dan ayam) sebagai material untuk produk bahan non-pangan. Penelitian ini dibagi menjadi 2
tahapan: 1) Penelitian terhadap kotoran ternak yang bertujuan mengetahui pengaruh pupuk kandang
babi, sapi, dan ayam dengan campuran kotoran cacing (kascing) terhadap pertumbuhan, produksi,
dan kualitas Tanaman Bayam, 2) Penelitian terhadap tulang ternak yang bertujuan mengkaji potensi
arang tulang sapi, ayam, dan babi untuk menurunkan kandungan F (defluoridation) pada air tanah di
Indonesia serta deteksi bahan baku arang tulang dan karbon aktif penyaring air komersial melalui
tes DNA. Penelitian tahap pertama menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 10 perlakuan
dan 3 ulangan. Pembuatan pupuk kandang mengaplikasikan sistem windrow, merupakan proses
sederhana dan paling murah karena tidak membutuhkan wadah dekomposisi spesifik dan sistem
pengaturan udara khusus melainkan memanfaatkan sirkulasi udara alami, meski aplikasinya
memerlukan areal lahan cukup luas. Aplikasi pupuk kandang dan kascing pada 2 minggu setelah
penaburan benih. Jumlah plot 30 dengan jumlah sampel tanaman 20 per plot. Pemanenan tanaman
pada 28 hari setelah tanam. Pengamatan pertumbuhan dilakukan terhadap tinggi tanaman (cm),
diameter batang (mm), dan jumlah daun terbentuk (helai). Pengamatan produksi pada bobot segar
(g) dan kering (g). Pengamatan kualitas dilakukan pada kandungan protein (%), Fe (mg), Ca (mg),
klorofil (mg), vitamin A (mg), dan vitamin C (mg). Pupuk kandang ayam mengandung NPK relatif
lebih baik dibandingkan pupuk kandang babi dan sapi. Pupuk kandang ayam dan babi memiliki hara
makro (total NPK minimal 4%) sedangkan pupuk kandang sapi belum memenuhi persyaratan teknis
minimal pupuk organik padat (Permentan 2011). Pupuk kandang ayam mengandung N tertinggi
yaitu 5,89%, diikuti oleh pupuk kandang babi (3,27%) dan sapi (1.56%). Kandungan unsur hara NPK
pada kotoran ayam tertinggi dibandingkan kotoran sapi, kuda, babi, dan domba. Pupuk kandang
ayam 20 ton ha-1 menghasilkan pertumbuhan dan produksi bayam terbaik dibandingkan dengan
pupuk kandang babi dan sapi. Kualitas bayam terbaik dicapai dengan menggunakan kombinasi
pupuk kandang sapi 10 ton ha-1 dan kascing 10 ton ha-1. Penelitian tahap kedua menggunakan
tulang sapi, babi, dan ayam. Proses pembuatan arang tulang menggunakan tanur suhu 600 oC.
Arang tulang berwarna hitam keabu-abuan, rapuh, dan tidak berbau dengan ukuran sekitar 1-2 mm.

Pengujian terhadap kemampuan arang tulang menyerap F dan Fe pada air sintetis serta F pada air
tanah. Air tanah yang dikonsumsi oleh masyarakat, diambil dari wilayah Bogor dengan tiga
ketinggian berbeda. Peubah yang diamati adalah kandungan F dan Fe air tanah, kualitas arang
tulang sapi, ayam, dan babi, serta prosentase penyerapan arang tulang terhadap F dan Fe. Hasil
analisis terhadap parameter yang diamati disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa arang tulang sapi memiliki prosentase penyerapan paling tinggi sebesar 77% terhadap F
pada air tanah, diikuti oleh ayam (67%) dan babi (43%). Semakin banyak arang tulang semakin
tinggi prosentase penyerapan terhadap F yang cenderung meningkat hingga 12 jam. Arang tulang
sapi juga memiliki prosentase penyerapan paling tinggi terhadap Fe pada air tanah. Selama
pengamatan 2 jam, arang tulang sapi mampu menyerap Fe hingga 100 %, diikuti oleh arang tulang
ayam sebesar 99,7 %, dan babi 87 %. Arang tulang mengandung kalsium hidroksiapatit
[Ca10(PO4)6(OH)2] yang bersifat biomaterial keramik dengan permukaan memiliki pori-pori.
Berdasarkan strukturnya dan akibat adanya gaya adhesi maka kalsium hidroksiapatit dapat
mengadsorpsi zat-zat lain ke dalam pori-pori di permukaannya sehingga mampu menjadi penyerap
(adsorbent). Foto SEM membuktikan pori-pori arang tulang tertutupi oleh suatu material berwarna
putih yang diyakini adalah F yang terserap ke dalam pori-pori material kalsium hidroksiapatit. DNA
arang tulang dapat diisolasi secara kuantitatif meski dengan konsentrasi sangat kecil, yaitu arang
tulang sapi tertinggi sebesar 30.5 ng/l diikuti oleh arang tulang ayam (16.7 ng/l) dan babi (7.5
ng/l). Kemurnian arang tulang sapi, ayam, babi, dan penyaring komersial, masing-masing sebesar
1,29, 1,38, 1,32, dan 1,46. Kemurnian DNA rendah karena masih jauh di bawah kemurnian DNA
yang baik (1,8-2). Penggunaan suhu 600 oC mengakibatkan sebagian besar DNA rusak. Karbon
aktif pada penyaring komersial tidak berasal dari bahan alami seperti arang tulang ternak sapi, babi,
dan ayam melainkan berasal dari bahan sintetis yang memerlukan pengujian lebih lanjut.
URI

HIDROKSILAPATIT DAN
KEGUNAANNYA DALAM MEDIS
JANUARY 10, 2014 ANSARIKIMIA LEAVE A COMMENT

Hidroksilapatit, juga disebut hidroksiapatit (HA), adalah bentuk mineral


alami kalsium apatit dengan rumus Ca5(PO4)3(OH), tetapi biasanya ditulis
Ca10 (PO4)6 (OH)2 untuk menunjukkan bahwa sel satuan kristal terdiri dari dua
entitas. Hidroksilapatit adalah anggota terakhir hidroksil kelompok apatit
kompleks. Ion OH dapat digantikan oleh fluorida, klorida atau karbonat,
memproduksi fluorapatit atau klorapatit. Ini mengkristal dalam sistem kristal
heksagonal. Bubuk hidroksilapatit murni berwarna putih. Namun, apatit
alami juga bisa, berwarna coklat, kuning, atau hijau, sebanding dengan
perubahan warna dari fluorosis gigi.
Hingga 50% dari berat tulang adalah bentuk modifikasi dari hidroksilapatit
(dikenal sebagai mineral tulang). Hidroksiapatit yang kekurangan kalsium
berkarbonasi adalah mineral utama yang menyusun email gigi dan dentin.
Kristal hidroksilapatit juga ditemukan dalam kalsifikasi kecil (dalam kelenjar
pineal dan struktur lainnya) dikenal sebagai corpora arenacea atau pasir
otak.

Hidroksilapatit termasuk kategori kelompok Apatit minela Fosfat dengan


berat molekul 502,31 gr dengan specific gravity, SG 3,143,21
(pwngukuran), 3,16 (perhitungan).
Kegunaan Medis
Hidroksilapatit dapat ditemukan dalam gigi dan tulang dalam tubuh manusia.
Dengan demikian, mineral ini biasanya digunakan sebagai filler untuk
menggantikan tulang amputasi atau sebagai pelapis untuk mem-promosikan
dalam pertumbuhan tulang ke implan prostetik.
Meskipun banyak fase lain ada dengan susunan kimiawi serupa atau bahkan
identik, tubuh merespon jauh berbeda terhadap hidrosilapatit. Kerangka
karang dapat diubah menjadi hidroksilapatit dengan suhu tinggi, struktur
berpori mereka memungkinkan dalam pertumbuhan relatif cepat dengan
mengorbankan kekuatan mekanik awal. Suhu yang tinggi juga membakar
habis setiap molekul organik seperti protein, mencegah respon imun dan
penolakan.
Banyak implan modern, misalnya penggantian pinggul dan implan gigi, yang
dilapisi dengan hidroksilapatit. Apatit ini telah menunjukkan bahwa hal ini
dapat meningkatkan osseointegration.
Implan hidroksilapatit berpori digunakan untuk pengiriman obat lokal di
tulang.
Patologi
Deposit hidroksiapatit dalam tendon sekitar sendi dalam kondisi medis
calcific tendinitis.
Sebagai Suplemen

Hidroksilapatit mikrokristal (Microcrystalline hydroxylapatite MH) dipasarkan


sebagai suplemen pembangunan tulang dengan penyerapan sangat kuat
dibandingkan dengan kalsium. Suplemen kalsium-generasi kedua berasal
dari bovin tulang.
Pada 1980-an, suplemen kalsium tepung tulang ditemukan berkontaminasi
dengan logam berat, dan meskipun produsen mengklaim MH mereka bebas
dari kontaminan, orang disarankan untuk menghindari hal itu karena belum
diuji dengan baik. Namun, uji terbatas tampaknya menunjukkan hasil yang
positif. Sebuah studi (1999) plasebo-terkontrol acak dari 40 orang di Eropa
menemukan bahwa itu lebih efektif daripada kalsium karbonat dalam
memperlambat kehilangan tulang.
Sebuah studi acak terkontrol double-blind tahun 2007 dari suplemen MH
disebut Pembangun tulang ditemukan efek positif yang signifikan dalam
kepadatan mineral tulang (BMD) dibandingkan dengan kontrol.
Hidroksilapatit telah digunakan oleh Noel Fitzpatrick untuk memfasilitasi
pengembangan bionik pada hewan, dengan pelapisan batang baja di dalam
hidroksilapatit untuk mendorong pertumbuhan alami dari kulit di sekitarnya.
Sebagai komponen dari nanocomposites, hidroksilapatit adalah menemui
penggunaan sebagai potensi bahan pengganti tulang baru.***

PENGAYAKAN PULVIS DAN PULVERES


Penyusun :
Gina Bayyina Hayatunnufus G1F008011
Iska Natalia Br Nababan G1F008017
Nadia Primalia G1F008047
ABSTRAK
Pengayakan merupakan pemisahan berbagai campuran partikel padatan yang
mempunyai berbagai ukuran bahan dengan menggunakan ayakan. Pengayakan
sangat penting dalam proses pembuatan sediaan farmasi seperti pulvis dan pulveres
untuk mendapatkan derajat halus serbuk yang diinginkan dengan menggunakan no
ayakan yang sesuai. Pada proses pengayakan zat padat itu dijatuhkan atau
dilemparkan ke permukaan pengayak. Partikel yang di bawah ukuran atau yang kecil
(undersize), atau halusan (fines), lulus melewati bukaan ayak, sedang yang di atas
ukuran atau yang besar (oversize), atau buntut (tails) tidak lulus.
Keyword : Pengayakan, Pulvis, Pulveres
Pengayakan Pulvis Dan Pulveres
Pengayakan merupakan pemisahan berbagai campuran partikel padatan yang
mempunyai berbagai ukuran bahan dengan menggunakan ayakan. Pengayakan sangat
penting dalam proses pembuatan sediaan farmasi seperti pulvis dan pulveres untuk
mendapatkan derajat halus serbuk yang diinginkan dengan menggunakan no ayakan
yang sesuai.
Pengayakan atau penyaringan adalah proses pemisahan secara mekanik berdasarkan
perbedaan ukuran partikel. Pengayakan (screening) dipakai dalam skala industri,
sedangkan penyaringan (sieving) dipakai untuk skala laboratorium.
Produk dari proses pengayakan/penyaringan ada 2 (dua), yaitu :

Ukuran lebih besar daripada ukuran lubang-lubang ayakan (oversize).


Ukuran yang lebih kecil daripada ukuran lubang-lubang ayakan (undersize).

Dalam proses industri, biasanya digunakan material yang berukuran tertentu dan
seragam. Untuk memperoleh ukuran yang seragam, maka perlu dilakukan pengayakan.
Pada proses pengayakan zat padat itu dijatuhkan atau dilemparkan ke permukaan
pengayak. Partikel yang di bawah ukuran atau yang kecil (undersize), atau halusan
(fines), lulus melewati bukaan ayak, sedang yang di atas ukuran atau yang besar
(oversize), atau buntut (tails) tidak lulus. Pengayakan lebih lazim dalam keadaan kering.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengayakan, yaitu:
Jenis ayakan
Cara pengayakan
Kecepatan pengayakan
Ukuran ayakan
Waktu pengayakan
Sifat bahan yang akan diayak
umumnya sebuk tabur harus melewati ayakan dengan derajat halus 100 mesh agar
tidak menimbulkan iritasi pada bagian yang peka.
Jika serbuk mengadung lemak, harus diayak dengan pengayak no 44

Pengayakan untuk pengujian adalah anyaman kawat, bukan tenunan. Kecuali untuk
ukuran nomor 230, nomor 270, nomor 325 dan nomor 400, ayakan terbuat dari
kuningan, perunggu, baja tahan karat atau kawat lain yang sesuai, dan tidak dilapisi
atau disepuh.
Tabel. Lubang pengayakan baku
Nomor nominal

Ukuran lubang pengayak

9,5 mm

3,5

5,6 mm

4,75 mm

2,36 mm

10

2,00 mm

14

1,40 mm

16

1,18 mm

18

1,00 mm

20

850 m

25

710 m

30

600 m

35

500 m

40

425 m

45

355 m

50

300 m

60

250 m

70

212 m

80

180 m

100

150 m

120

125 m

200

75 m

230

63 m

270

53 m

325

45 m

400

38 m

Derajat kehalusan serbuk dinyatakan dengan nomor pengayak yang digunakan. Jika

derajat kehalusan suatu serbuk dinyatakan dengan 1


nomor, artinya adalah semua serbuk dapat melewati pengayakan dengan nomor
tersebut. Jika derajat kehalusan suatu serbuk tersebut dinyatakan dengan 2 nomor
maka artinya yaitu semua serbuk dapat melalui pengayakan dengan nomor terendah
dan tidak lebih dari 40% serbuk tersebut melewati pengayakan dengan nomor tertinggi.
Contoh : serbuk 40/60, artinya serbuk
dapat melalui pengayak no 40 seluruhnya dan tidak lebih dari 40 % melalui pengayak n
omor 60.
Simplisia nabati dan simplisia hewani

Klasifikasi serbuk

Nomor nominal serbu


k

Sangat kasar

Bahan kim

Batas derajat halus

Nomor no
k

Nomor pengayak

20

60

Kasar

10

40

60

20

Setengah kasar

40

40

80

40

Halus

60

40

100

80

Sangat halus

80

100

80

120

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan material untuk menerobos ukuran ayakan


adalah :
1. Ukuran bahan ayakan
Semakin besar diameter lubang bukaan akan semakin banyak material yang lolos.
2. Ukuran relatif partikel

Material yang mempunyai diameter yang sama dengan panjangnya akan memiliki
kecepatan dan kesempatan masuk yang berbeda bila posisinya berbeda, yaitu yang satu
melintang dan lainnya membujur.
3. Pantulan dari material
Pada waktu material jatuh ke screen maka material akan membentur kisi-kisi screen
sehingga akan terpental ke atas dan jatuh pada posisi yang tidak teratur.
4. Kandungan air
Kandungan air yang banyak akan sangat membantu tapi bila hanya sedikit akan menyu
mbat screen.
Contoh alat pengayakan

Effect of Firing for Synthesis of


Hydroxyapatite by Precipitation Method
Volume 32, Number 4
Novesar Jamarun*, Zefri Azharman, Zilfa and Upita Septiani
Department of Chemistry, Andalas University, Padang, West Sumatera.
Corresponding Author E-mail: novesar@unand.ac.id
DOI : http://dx.doi.org/10.13005/ojc/320437
ABSTRACT:
Hydroxyapatite (HAP) nano-powder was synthesized in a used precipitation reaction, in which calcium
nitrate 4-hydrate [Ca(NO3)2.4H2O] and diammonium hydrogen phosphate [(NH4)2HPO4] were used as
precursors and ammonia was used as the agent for PH adjustment. Hydroxyapatite powder has been
studied at different firing temperature i.e 600, 700, 800, and 900 oC to achieve high degree of
crystallinity and purity. The synthesized samples were characterized by Fourier Transform Infra-red
Spectroscopy (FT-IR), X-ray Diffraction (XRD), Scanning Electron Microscopy (SEM) and Energy
Dispersive X-ray Spectroscopy (EDS) techniques. The result shows that, high purity of nanohydroxyapatite powders can be obtained at 600oC, and the crystallinity and Magnification showformed
rod of nano-sized grain.
KEYWORDS:
Firing; Hydroxyapatite; Precipitation; Heat Treatment

Download this article as:

Copy the following to cite this article:

Jamarun N, Azharman Z, Zilfa Z, Septiani U. Effect of Firing for Synthesis of Hydroxyapatite by


Precipitation Method. Orient J Chem 2016;32(4).

Copy the following to cite this URL:

Jamarun N, Azharman Z, Zilfa Z, Septiani U. Effect of Firing for Synthesis of Hydroxyapatite by


Precipitation Method. Orient J Chem 2016;32(4).Available from: http://www.orientjchem.org/?
p=20959

Introduction
Hydroxyapatite (HAP), the main component of teeth and bones has received considerable attention as suitable
material for bone tissue engineering because it is both biocompatible and osteoconductive1. Reported synthesis of
hydroxyapatite using various reactants among others, the precursor used is calcium hydroxide and acid phosphate,
calcium oxide and diammonium hydrogen phosphate, calcium nitrate 4-hydrateand diammonium hydrogen
phosphate2-4.Source of calcium as precursors can be found in nature, such as corals, animal bones, shells of snails,
and of limestone5-8. They have been grinded to produce smaller size. After calcining, they can turn into calcium
oxide8.Techniques used are the sol-gel, hydrothermal technique, and precipitation9-12. Some synthesis techniques are
used to synthesize hydroxyapatite in a way that is economical, environmentally friendly, and safe from the bilologiand
simplify the complexity of the synthesis of hydroxyapatite13.
In the present work, calcium nitrate 4-hydrate [Ca(NO3)2.4H2O] from limestone is used to synthesize hydroxyapatite
(HAP) with precipitation method. Firing temperature variations will be observed to determine the best temperature
conditions that can form hydroxyapatite nanoparticles. The results of the synthesis of hydroxyapatite are
characterized by using X-ray Difraction (XRD) to see the formation of crystals and crystal size and Scanning Electron
Microscopy (SEM) to see at the morphology of the material and also Energy Dispersive X-ray Spectroscopy (EDS) to
determine the value of the molar ratio of Ca/P hydroxyapatite.
Experimental
Synthesis of Hydroxyapatite, Limestone was calcinated with 900oC for 5 h, in which limestone changed the phase of
calcium carbonate (CaCO3) into calcium oxide (CaO). Calcium oxide (CaO) 5.6 g were added to 100 mL of 2 M
nitrate acid (HNO3) to change them into calcium nitrate hidrate (Ca(NO3)2.4H2O). The filtrate was taken, then added a
solution of 100 ml 0.6 M ((NH4)2HPO4) slowly while stirring for 1 hour at 90C at pH 11. The addition of ammonium
hydroxide (NH4OH) was for pH adjustment. The solution formed was precipitated for 1 day or +15 hours until a
precipitate was formed. The precipitate formed was filtered and dried at a temperature of + 110oC aiming to eliminate

solvents that are still contained. The precipitate which has been dried and then grinded into powder, was then
calcinated at 600, 700, 800 and 900oC for 2 hours. Nanopowder formed was then characterized.
Result and Discussion
Analysis FTIR
The results of FTIR measurements at different firing temperatures are shown in the Fig 1. Infrared spectra of HAP
(Fig. 1) that informsabout the hydroxyl (OH-) functional group by absorption band at 600, 700, 800 and 900C,
respectively at around 3453, 3571, 3571 and 3571 cm-1. FTIR spectrum is found in the PO stretching asymmetric
adsorption coming from the PO43-on 1150 1000 cm1, and known as the characteristics of bands for hydroxyapatite.
The absorption bands of functional groups are presence at around 1069, 1011, 1043, and 1016 cm-1.These results
are consistent with those reported14.

Figure 1: FTIR spectra of hydroxyapatite synthesized at


(a) 600, (b) 700, (c) 800, and (d) 900oC.
Click here to View table

Analysis of XRD
Fig. 2 shows the X-ray diffraction pattern of hydroxyapatite with firing temperature variations during the firing of
hidroxyapatite. While at 600C, it has many forms of hydroxyapatite. It can be seen from the results of XRD suitability
standard temperature 600C with ICSD 16742 (Fig. 3). The presence of noise contained in the spectrum indicates the
presence of amorphous hydroxyapatite while the sharp spectrum indicates the formation of hydroxyapatite crystals.
From the XRD data, the size of the crystals formed can be seen by using the Scherrer equation, where a large crystal
size is indicated by a sharp peak with a narrow peak width, while the small crystal size is indicated by the peak width.
It is done by entering the value of FWHM (Full Width at Maximum) Scherrer equation to the known size of
hydroxyapatite crystals15,16.

Figure 2: X-ray diffraction patterns of hydroxyapatite


synthesized at (a) 600, (b) 700, (c) 800,and (d) 900oC

Click here to View table

Figure 3: X-ray diffraction patterns of hydroxyapatite


synthesized at 90oC with standart 16742

Click here to View table

Where t is the particle size, is the wavelength used, is the value of FWHM and is the Bragg diffraction angle. As
for determining the specific surface area, the following formula is used:

Where S is the specific surface area (m2/g), is the size of the crystal and dis (3,16 g/cm3) the theoretical density of
hydroxyapatite [15]. This equation can be determined based on the crystal size and specific surface areaformed at
the mixing temperature variations and this can be seen in the following Table 1. Table 1 shows that the sizes of the
smallest particles and the largest surface area of firing temperature are obtained at 600oC, with a particle size of
13.36 to 85.15 nm and a surface area from 22.30 to 142.08 m2/g. Thus the best firing temperature is 600oC
Table 1: The Measurements of Crystal size and Specific Surface Area Based on results of
Firing Temperature Variations

Temperature (oC)

Crystal size

Specific Surface Area

(nm)

(m2/g)

600

13,36 85,15

22,30 142,08

700

21,90 74,40

25,52 86,71

800

900

22,5 68,5

16,68 68,04

27,7 84,3

27,91 113,85

Analysis of SEM
Fig. 4 shows that the SEM images of the synthesis of hydroxyapatite are in the form of powder when the firing
temperature of the treatment is 600C. Magnification shows formed rod of nano-sized grains. Figure 4 shows that the
measurement of particle size obtained by SEM at a temperature of 600oC is 0.09 m 0.71 m

Figure 4: SEM images of hydroxyapatite


powders of firing temperature at 600oC (a) 50.000X, and
(b) 100.000X

Click here to View table

Analysis of EDS
EDS analysis results indicate that the ratio of Ca/P on hydroxyapatite powder at a temperature of 600C is more than
1.67. It indicates that the presence of other compounds such as CaO contained in the hydroxyapatite powder has
been synthesized17.
Conclusion

The results of this study present an alternative method in the synthesis of hydroxyapatite namely through precipitation
technique, it can be synthesized from limestone. By using the firing temperature of 600C on calcium phosphate,
nano-sized crystals are formed and a large surface area is provided. SEM results show the spherical nano-sized
grains. The ratio of EDS analysis results is greater than 1.67 and it indicates the presence of other compounds are
formed.
Acknowledgements
The authors thank Andalas University, Republic of Indonesia, because several parts of this work are supported by
LPPM andalas University, that is under HKRGB, and Research Grant No.46//UN.16/HKRGB/LPPM/2016.
Refference
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.

KrishnamurithyG.;J. Heal. & Trans. Med.,2013, 16, 1-6.


Ansari M.; Naghib S M.; Moztarzadeh F.;J. Ceramics-Silikty., 2011, 55, 123-126.
AdzilaS.; Sopyan I.; Hamdi M.;Int. Fed.Med. & Biol.Eng., 2011, 35, 97-101.
Sergey V.; Dorozhkin.;Materials., 2009, 2, 1975-2045.
ChouJ B.; Ben-Nissan.; Choi a H.; Wuhrer R and Green D.;J. Aust. Ceram. Soc., 2007, 43: 44-48.
Xiao Ying L.; Yong Bin Fan.; Dachun Gu.; Wei Cui.;Key Eng. Mater.,2007, 342-343, 213-216
AdakM.D, K.M. Purohit., Trends Biomater. Artif. Organs., 2011, 25, 101-106 .
Jamarun N.;Juita R and Rahayuningsih J.Research Journal of Pharmaceutical, Biological and
Chemical Sciences.,2015, 6(5), 136-140
Sari T. P.; Jamarun N.; Syukri.; Azharman Z.; Asregi A.; Orient. J. Chem., 2014, 30, 1799-1804.
Bingl O. R and Durucan C.;Americ. J. Bio. Sci., 2012, 4, 50-59.
Eslami H.; Solati-Hashjin M.T.; reza M.; Iran. J. Pharm. Sci.,2008, 4, 127-134.
Jamarun N.; Zefri A.; Syukri A.; Tika P. S.; Asregi A.; Elfina S.; Rasayan J. Chem., 2015, 8.
Sobczak S.; Zygmunt Kowalski, and Zbigniew Wzorek.; Act. Bioeng. & Biomech., 2009, 11, 2328 .
Aziz Y.; Jamarun N.; Arief S an Nur H.; Orient. J. Chem., 2015, 31, 1099-1105.
Meza D.; Figueroa I A.; Flores-Morales C and Pina-Barb M C.;Rev. Mex. Fis., 2011, 57, 471474.
Palanivelu R A.: Rubankumar.;Int. ChemTech. Res.,2013, 5, 2965-2969.
Abidi S A and Murtaza Q.;J. Mater. Sci. & Technol,.2014, 30, 307-310.

Anda mungkin juga menyukai