MAKALAH
Disusun Oleh:
Yossy Yoanita Ariestiana
16011125 0012
Pembimbing:
Prof. Sunardi Widyaputra, drg. Ms.,Ph.D
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit
neurodegeneratif juga merupakan penyakit yang sangat mahal bagi masyarakat dan
pemerintah, serta memberikan beban fisik dan emosional yang besar pada keluarga.
Penyakit neurodegeneratif pada sistem saraf matang menyebabkan kerusakan
progresif dari fungsi saraf dan yang paling parah dapat menyebabkan kematian sel.
Struktur yang dinamik dan kompleksitas fisiologis yang menjadi bagian tetap dari
perkembangan dan fungsi dari sistem saraf pusat manusia yang sangat membuat
sesuatu yang simple dari definisi umum dari proses ini dan berbagai macam
patofisiologi menjadi rumit.
Neurodegenerasi mungkin berbeda dari proses yang terbatas dan tinggi
melibatkan baik itu jalur neural terpilih atau grup neural diantaranya regio spesifik
organ ke sel yang rusak dan hilang dari sistem saraf pusat. Sedangkan kerentanan dan
neural selektif dari kerusakan anoxic/iskemik, neurotoksin/neurointoksikasi dan bahan
yang infeksius, penjelasan dari fisiologi spesifik dan selektif patogenesis dari
kerusakan selular trlah diketahui.
Yang termasuk penyakit neurodegeneratif banyak sekali jenisnya, tetapi yang
akan dibicarakan disini hanya penyakit neurodegeneratif SSP yang paling sering
ditemukan, yaitu penyakit Huntington, penyakit Parkinson penyakit Alzheimer dan
human prion disease. Angka kejadian dari ke empat penyakit itu dilaporkan semakin
meningkat setiap tahunnya.
Hal demikian disebabkan karena kesadaran masyarakat untuk memeriksakan
diri semakin baik, sehingga banyak yang terdiagnosis dan juga dikarenakan sudah
semakin tingginya usia harapan hidup.
BAB II
ISI
Apoptosis atau programmed cell death untuk pertama kalinya digambarkan oleh
Kerr dkk. yang menyimpulkan bahwa apoptosis dapat terjadi secara lokal tanpa
mengakibatkan kerusakan pada sel yang berdekatan (sel tetangga). Keadaan tersebut
berbeda dengan nekrosis yang merupakan kematian sel sebagai respons patologis
yang mengakibatkan peradangan jaringan. Apoptosis bertujuan mengatur proses
pendewasaan organisme yaitu dalam tahap embriogenesis, homeostasis, serta untuk
menghilangkan sel yang tidak berguna termasuk sel tua atau rusak, tanpa mengubah
struktur anatomi organ.
Kematian neuron akan memunculkan beberapa penyakit pada sistem saraf
termasuk penyakit Alzheimer, penyakit Parkinson, penyakit Huntington, stroke, dan
amiotropic lateral sclerosis. Dalam konteks fisiologis, apoptosis terjadi kalau ada
kerusakan pada sel atau sel yang tidak membutuhkan pertumbuhan serta remodeling.
Dalam hal pertumbuhan dan remodeling, sel membutuhkan berupa neurotrofik.
baik dalam jumlah dan besar sel pada jaringan yang berproliferasi seperti kulit,
mukosa intestinal, dan sistem imun, akan tetapi juga berperan dalam proses
pertumbuhan sistem saraf baik perifer maupun sentral. Peran apoptosis dalam
sistem saraf dimulai dari saat genesis sinapsis dan selanjutnya pada masa
pertumbuhan maupun pada proses degenerasi. Pada penyakit degenerasi
seperti penyakit Alzheimer dan penyakit Parkinson, apoptosis merupakan
proses yang tidak patologis. Apoptosis pada penyakit neurodegeneratif seperti
penyakit Alzheimer terjadi secara lokal dan selektif hanya pada neuron yang
mengakibatkan kehilangan konektivitas antar sinapsis. Diperkirakan kejadian
tersebut yang mengawali proses degenerasi. Apoptosis juga berperan dalam
mengatur pertumbuhan serta menginduksi kematian jaringan embrio dan
pertumbuhan jaringan spesifik seperti peningkatan sensivitas kearah
pembentukan tumor. Stimulasi apoptosis pada tumor sangat penting diketahui
sebagai dasar strategi terapi.
Apoptosis dapat dipicu oleh berbagai ragam stimuli termasuk aktivitas jaras
death receptor (DR) oleh sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF-a) dan protein
Fas, insufisiensi hormon pertumbuhan growth hormone (GH), toksin, stres oksidatif,
influks kalsium melalui kanal ion di selaput membran, atau keluarnya kalsium dari
RE.7
Proses apoptosis terjadi melalui dua jalur utama yakni: jalur ekstrinsik atau
death receptor pathway, dan jalur intrinsik atau jalur mitokondria. Pada jalur
ekstrinsik, apoptosis dimulai setelah DR pada membran plasma berikatan dengan
protein Fas, suatu glycocylated cell-surface protein dengan berat molekul 42-52 kDa
atau dengan TNF- yang diproduksi oleh limfosit T atau makrofag yang mengalami
sensitisasi. Reaksi tersebut akan diikuti oleh apoptotic pathway yang terdiri atas
seperangkat enzim seperti Fas- associated death domain (FAAD), tumor necrosis
factor receptor (TNFR)-associated death domain (TRADD), kaspase 8 dan 10,
sebagai penggerak efektor apoptosis. Sebagian induksi yang berasal dari TNF- 38
juga akan menstimulasi mitokondria. Pada jalur intrinsik yang terjadi intraselular,
akan muncul inisiasi apoptosis oleh produksi biokimia yang berasal dari stres
intraselular, seperti stres oksidatif, perubahan redoks, ikatan kovalen dan peroksidasi
lipid.12 Pada beberapa penelitian hewan coba ditemukan relevansi sinyal intrinsik
terhadap apoptosis pada sel saraf. Kerusakan DNA baik terjadi herediter maupun
karena induksi mengakibatkan peningkatan supresi ekspresi tumor p53 (protein yang
berfungsi menekan tumor, dan mengatur bagian-bagian sel untuk mencegah sel
berkembang dan membagi terlalu cepat dengan cara yang tidak terkontrol),
peningkatan influks kalsium akibat stimulasi berlebihan terhadap reseptor glutamat,
kerusakan komponen membran plasma, formasi radikal bebas (stres oksidatif), dan
stres metabolik (hipoksia dan hipoglikemia). Keadaan itu menyebabkan kerusakan
membran mitokondria yang mengakibatkan keluarnya sitokrom C dan apoptosisinducing factor yang berakhir pada kematian sel. Kalsium akan memberikan sinyal
terhadap mitokondria yang menyebabkan perubahan pada mitokondria, dimulai
dengan terbukanya membran bagian luar, diikuti pembengkakan matriks, dan
hilangnya potensial membran hingga keluarnya berbagai jenis protein mitokondria
termasuk sitokrom C sebagai aktivator kaspase. Selanjutnya sitokrom C mengaktivasi
kaspase 9 yang menggerakkan efektor apoptosis. Pada proses tersebut terjadi
kerusakan membran RE hingga kalsium keluar dari RE yang mengakibatkan
mencapai target maksimum dalam hal terapi baik memperlambat proses (misalnya
pada penyakit degeneratif) maupun menghentikan proses pertumbuhan seperti terapi
tumor. Kalsium berfungsi sebagai pembawa pesan kedua sehingga konsentrasinya di
beberapa
komponen sel harus dikontrol secara tepat. Jika konsentrasi Ca2+ sitosol meningkat,
maka masuknya ion Ca2+ ke mitokondria juga meningkat, sementara kecepatan untuk
keluar dari sel stabil. Sebaliknya jika konsentrasi Ca2+ sitosol menurun, maka
pemasukan juga menurun hingga laju pengeluaran melebihi laju pemasukan.
Mitokondria seperti halnya dengan RE, juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan
kalsium.
Peran kalsium begitu penting terutama karena bertanggungjawab dalam
pengaturan berbagai proses fisiologis serta terlibat dalam mempertahankan
homeostasis pada keadaan patologis penyakit kardiovaskular, sistem imun, dan
susunan saraf. Disebutkan juga bahwa mitokondria berfungsi sebagai dapar terhadap
konsentrasi ion kalsium. Hasil penelitian membuktikan bahwa keluarnya kalsium dari
RE bersamaan dengan keluarnya sitokrom C dari mitokondria yang merupakan
fenomena apoptosis. Boehning et al., mengidentifikasi Kalsium sebagai pembawa
pesan yang mengatur mitokondria dan ER untuk berinteraksi atas terjadinya apoptosis
melalui aktivitas kaspase dan sitokhrom C serta enzim lain seperti nuklease.
Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram dan bertujuan mengatur
homeostasis kehidupan sel, yaitu mengatur keseimbangan penyesuaian masa
pertumbuhan akibat kerusakan ataupun penuaan sel, dan tidak terbatas pada satu jenis
penyakit. Peran mitokondria dalam pengaturan sekresi protein sitokrom C, dan peran
RE sebagai sumber kalsium menentukan saat terjadinya apoptosis . Kerusakan DNA
baik secara herediter maupun akibat induksi akan menyebabkan influks kalsium yang
timbulnya penyakit. Namun, jenis kelamin bukan merupakan predileksi dari HD.
Dalam sebuah studi besar, pneumonia dan penyakit kardiovaskular adalah penyebab
utama kematian yang paling umum. 2,3
2.2.3 Etiologi
HD disebabkan oleh peningkatan jumlah polyglutamine (CAG) dengan repetisi > 40
di coding sequence Huntington gene yang terletak pada lengan pendek kromosom 4.
Semakin besar jumlah repetisi, semakin cepat onset penyakit.
Juvenile HD
(timbulnya HD pada pasien lebih muda dari 20 tahun) berkisar sekitar 5-10% dari
semua pasien HD. Kebanyakan pasien dengan juvenile HD mewarisi penyakit itu dari
ayah mereka, sedangkan pasien dengan timbulnya penyakit setelah usia 20 tahun lebih
mungkin mewarisi gen dari ibu mereka. Inheritance dari ayah dapat menyebabkan
onset lebih awal pada generasi seterusnya, suatu fenomena disebut anticipation. Hal
ini disebabkan oleh ketidakstabilan yang lebih besar dari alel HD selama
spermatogenesis. CAG repeat length berkorelasi terbalik dengan usia onset.3
10
11
12
tetapi biasanya peningkatan. Pada intermediate alleles, terjadi mutasi spontan yang
meningkatkan kemungkinan mutasi sehingga terjadinya Huntingtons Disease. Ibu
yang menderita HD menurunkan gen mutant ke generasi seterusnya kurang lebih
dengan jumlah repetisi yang sama, namun apabila dari pihak ayah, jumlah repetisi
lebih tinggi karena sperm DNA kurag stabil berbanding DNA sel lain. Offspring yang
mendapat gen mutant dari ayah seringkali menderita juvenile HD (onset HD pada
umur < 20 tahun). Lebih tinggi frekuensi repetisi, lebih awal onset simptom HD dan
lebih tinggi kadar degenerasi di basal ganglia.5
Pada HD, usia onset adalah sama bagi homozigot dan heterozigot. Namun pada
homozigot, gejala klinis dan progresivitas penyakit lebih cepat, dikatakan karena
doubling dari jumlah protein mutant dan aggregat yang meyebabkan apoptosis sel
yang lebih banyak dan cepat. Kelainan genetik lain dengan expanded trinucleotide
repeats CAG adalah Fragile X Syndrome, Kennedy syndrome (X-linked spinal and
bulbar muscular atrophy), myotonic dystrophy, spinocerebellar atrophies, and
dentatorubropallidoluysian atrophy. Patogenesis sama bagi semua kelainan ini telah
disetujui sebagai proposed mechanism, namun masih belum pasti adakah aggregasi
protein di dalam sel neuron adalah faktor toksik atau protektif. Sepertiga individual
penderita HD mempunyai haplotype yang sama, justru menunjukkan ancestor yang
sama. Dua pertiga individual lain kemungkinan besar menderita HD dari mutasi
spontan. Diagnosis HD dapat ditegakkan secara pasti dari DNA/genetic testing,
namun diingat bahwa konseling genetik harus dilakukan pre dan post DNA testing
tersebut. Selain itu, diagnosis prenatal dan preclinical dapat dilakukan sekiranya ada
indikasi seperti faktor risiko dari HD. Hasil dari DNA testing masih tidak dapat
dipastikan untuk repetisi CAG borderline (di antara 30 -35), justru diagnosis dianggap
inconclusive.5
2.2.5. Faktor risiko
14
Huntingtons Disease adalah kelainan autosomal dominant, maka faktor risiko dari
penyakit ini adalah riwayat penyakit HD dalam keluarga. Adanya riwayat penyakit
memberi kemungkinan 50% untuk menderita HD. 2-5
2.2.6 Gambaran klinis
Gejala biasanya muncul antara 35 dan 40 tahun. Kisaran usia saat onset luas, namun
terdapat kasus yang terjadi sejak usia 5 dan hingga akhir usia 70. Tiga manifestasi
karakteristik penyakit adalah gangguan gerakan, gangguan kepribadian, dan
deteriorasi mental. Ketiga mungkin terjadi bersama-sama di awal atau satu mungkin
mendahului satu dengan yang lain dengan pertambahan waktu. Secara umum,
timbulnya gejala insidious, dimulai dengan kecanggungan, menjatuhkan benda,
keresahan, lekas marah, kecerobohan, dan mengabaikan tugas, dan pada
perkembangan lanjut ke arah chorea dan dementia. Episode psikotik yang jelas,
depresi, dan perilaku yang tidak bertanggung jawab dapat terjadi. Penurunan berat
badan adalah umum. Penyakit ini cenderung berjalan selama periode 15 tahun, lebih
cepat pada mereka dengan usia yang lebih muda saat onset.5
HD ditandai gerakan choreiform yang cepat, nonpatterned/random, dan involunter.
Pada tahap awal chorea cenderung menjadi fokal atau segmental, tetapi berkembang
dari waktu ke waktu untuk melibatkan multiple body regions. Dysarthria, gangguan
cara berjalan, dan kelainan oculomotor adalah gejala umum. Dengan perkembangan
penyakit, ada penurunan chorea dan munculnya distonia, kekakuan, bradykinesia,
myoclonus, dan spasticity. Pada pasien yang lebih muda (sekitar 10% kasus), HD
dapat timbul sebagai sindrom rigid-akinetic atau parkinsonian (Westphall varian).
Pasien HD akhirnya mengalami gangguan perilaku dan kognitif yang dapat menjadi
sumber utama kecacatan. depresi dengan kecenderungan bunuh diri, perilaku agresif,
dan psikosis dapat menonjol, dan mayoritas pasien mengalami demensia.1,6
Pergerakan chorea:
15
Gejala yang paling mencolok dan ke arah diagnostik penyakit adalah munculnya
gerakan tidak terkendali yang tampak tanpa tujuan dan tiba-tiba, tetapi tidak secepat
yang terlihat pada mioklonus. Otot-otot somatik dipengaruhi secara acak, dan gerakan
chorea mempunyai flow dari satu bagian tubuh ke bagian lain. Otot proksimal, distal,
dan aksial yang terlibat. Pada tahap awal dan dalam bentuk yang kurang severe, ada
sedikit ekspresi meringis pada wajah, gerakan intermiten dari alis dan dahi,
mengangkat bahu dari bahu, dan gerakan menyentak anggota badan. Gerakan
pseudopurposeful (parakinesia) terjadi umum dalam upaya untuk kompensasi gerakan
menyentak. Dengan perkembangan penyakit, berjalan dikaitkan dengan pergerakan
lengan dan kaki lebih intens, yang menyebabkan pergerakan seakan-akan menari,
berjingkrak, stuttering gait. kelainan yang sangat karakteristik dengan HD. Motor
impersistence atau inhibitory pauses selama kontraksi volunter mungkin merupakan
penyebab dari milkmaid grip, menjatuhkan benda, dan ketidakmampuan untuk
menjelirkan lidah. Gerakan mata menjadi terganggu dengan pengurangan saccades
dan hilangnya gerakan mulus bola mata. Gerakan choreic meningkat dengan
rangsangan emosional, hilang selama tidur, dan menjadi superimposed pada gerakan
volunter menjadi sulit. Dengan meningkatnya keparahan, kegiatan rutin sehari-hari
hidup menjadi sulit, seperti berbicara dan menelan. Pada stadium terminal, gerakan
choreic dapat menghilang dan digantikan oleh rigiditas dan distonia.5
Gejala mental:
Secara karakteristik, ada demensia organik dengan gangguan memori progresif,
kehilangan kapasitas intelektual/fungsi kognitif, apatis, dan tidak memperhatikan
kebersihan pribadi. Pada awal penyakit, kelainan profound dapat terdiri dari
iritabilitas, perilaku impulsif, dan depresi atau fits of violence. Pada beberapa pasien,
gejala psikotik yang mendominasi adalah skizofrenia, dan penyebab tidak jelas
sampai gerakan choreic berkembang. Gejala psikotik dan dementia biasanya
16
menyebabkan penderita mebutuhkan bantuan dan terapi lebih lanjut di rumah sakit
jiwa.5
Manifestasi neurologis lain:
Saraf kranial tetap utuh kecuali untuk gerakan mata yang cepat dan selanjutnya
dysarthria, yang terganggu pada sebagian besar pasien. Refleks tendon biasanya
normal tetapi mungkin hiperaktif, respon plantar mungkin abnormal. Tonus otot yang
hipotonik pada kebanyakan pasien kecuali bagi mereka dengan rigid-akinetic (varian
Westphal). Dengan onset masa kanak-kanak (sekitar 10% kasus), rigid-akinetic state
yang biasanya terjadi, bukan chorea dan terjadi kelainan mental dan kejang kejang.
Bentuk penyakit ini cepat progresif dengan hasil yang fatal dalam waktu kurang dari
10 tahun. Pengamatan bahwa 90% dari semua pasien dengan onset masa kanak-kanak
mewarisi penyakit itu dari ayah mereka berasal dari kemungkinan bahwa peningkatan
pengulangan CAG pada sel sperma lebih tinggi. Pada tahap terminal dari bentuk HD
lebih klasik, rigiditas otot dan distonia cenderung menggantikan chorea, dan kejang
juga dapat terjadi.5
Hemiballismus:
Hemiballismus adalah bentu chorea yang lebih violent, dengan gerakan seperti
melemparkan, dengan amplitudo besar pada satu sisi tubuh. Otot ekstremitas
proksimal cenderung didominasi terpengaruh. Gerakan tersebut dapat memberikan
efek severe sehingga menyebabkan kelelahan, dehidrasi, lokal cedera, dan, dalam
kasus yang ekstrim, kematian. Penyebab paling umum adalah lesi parsial (infark atau
perdarahan) di STN, tetapi kasus-kasus juga dapat terlihat dengan lesi di putamen.
Untungnya, hemiballismus biasanya self limiting dan cenderung untuk hilang secara
spontan setelah minggu atau bulan. Kondisi ini sulit untuk diobati secara
farmakologis. Obat yang paling konsisten menguntungkan adalah tetrabenazine (tidak
17
Pemeriksaan
kemungkinan
diagnosa
laboratorium
lain
seperti
lebih
digunakan
untuk
menyingkirkan
SLE
(systemic
lupus
erythematosus),
18
studi neuroimaging pada tahap tengah dan akhir dari penyakit. Atrofi kortikal lebih
difus/menyebar dapat dilihat di akhir penyakit. Radiografi/rontgen dari cranium
terlihat normal, namun pada CT scan dan MRI menunjukkan pembesaran ventrikel
dengan karakteristik butterfly appearance dari venrikel lateralis, hasil dari degenerasi
nucleus caudatum. Penderita dengan akinetic-rigid form menunjukkan striatal
hyperintensity
pada
T2-weighted
magnetic
resonance
imaging.
PET
scan
Gambar 4: Pembagian
dari
neostriatum dan
striatum
http://hopes.stanford.edu/sites/hopes/files/f_ah00_hdcascade.gif
19
Grade
Deskripsi
Striatal atrophy is most severe, and the medial surface of the caudate
nucleus is concave
Tabel 1: Grading Huntingtons Disease.4
2.2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan melibatkan pendekatan multidisiplin dengan medis, neuropsikiatri,
konseling sosial, dan genetik untuk pasien dan keluarga mereka. Sampai sekarang,
belum ada cara mengubah proses penyakit atau kejadian fatal. Upaya untuk
menggantikan kekurangan dalam GABA dengan menggunakan agen GABA-mimesis
atau inhibitor metabolisme GABA telah gagal. Pengobatan simtomatik depresi dan
psikosis dapat dicapai dengan antidepresan dan agen antipsikotik atipikal yang khas
atau (yaitu, clozapine dan quetiapine). Gerakan choreic dapat dikontrol dengan
penggunaan agen neuroleptik termasuk dopamin receptor blocker, seperti haloperidol
dan perphenazine, dan depleters dopamin presynaptic, seperti reserpin dan
tetrabenazine. Penggunaan dopamin receptor blocker kurang diinginkan daripada
depleters karena risiko mengembangkan tardive dyskinesia. Menggunakan obat ini
dikombinasikan dengan pengawasan pasien dalam aktivitas sehari-hari, justru
memungkinkan manajemen di rumah selama tahap awal gangguan ini. Dengan
kemajuan penyakit, bagaimanapun, konsul ke fasilitas psikiatri sering diperlukan.4-6
Tetrabenazine, obat yang mengganggu dengan penyimpanan vesikular amina
biogenik, secara luas digunakan untuk mengobati tardive tersebut. Dosis awal adalah
12,5 mg dua atau tiga kali sehari secara lisan, meningkat sebesar 12,5 mg setiap 5 hari
tergantung pada respon dan toleransi. Dosis pemeliharaan biasa adalah 25 mg tiga kali
21
sehari. Efek samping termasuk depresi, hipotensi postural, mengantuk, dan gejala
parkinsonian. Tetrabenazine seharusnya tidak diberikan dalam waktu 14 hari
mengambil monoamine oxidase inhibitor dan tidak diindikasikan untuk pengobatan
levodopa-induced dyskinesias. Reserpin dapat mendeplesi central monoamines tetapi
memiliki efek samping lebih buruk, membuat penggunaannya bermasalah di Penyakit
Huntington. Jika digunakan, dosis dibangun secara bertahap antara 2 mg dan 5 mg
oral setiap hari, tergantung pada respon. Pengobatan dengan obat memblokir dopamin
reseptor, seperti fenotiazin atau haloperidol, dapat mengontrol dyskinesia dan
gangguan perilaku. Pengobatan haloperidol biasanya dimulai dengan dosis 1 mg
sekali atau dua kali sehari secara oral, yang kemudian meningkat setiap 3 atau 4 hari
tergantung pada respon. Sebagai alternatif, agen antipsikotik atipikal seperti
quetiapine (meningkat dari 25 mg sehari oral sampai 100 mg dua kali sehari secara
oral seperti ditoleransi) dapat diberikan. Amantadine dalam dosis 200 mg sampai 400
mg sehari oral kadang-kadang membantu untuk chorea. Gangguan perilaku dapat
dikurangkan dengan clozapine. Upaya untuk mengkompensasi kekurangan GABA
relatif dengan meningkatkan aktivitas GABA pusat atau untuk mengkompensasi yang
kolinergik underactivity relatif dengan memberikan kolin klorida belum membantu.
Strategi neuprotective masih dalam tahapan penelitian. Offspring harus ditawarkan
konseling genetik. Tes genetik memungkinkan deteksi presymptomatic dan definitif
diagnosis penyakit.1
22
http://journals.cambridge.org/fulltext_content/ERM/ERM5_20/S1462399403006549s
up003.gif
23
Huntington
sering
mengalami
kesulitan
mempertahankan berat badan yang sehat. Kesulitan makan terjadi dan untuk
mendapatkan nutrisi yang cukup, lebih dari tiga kali sehari mungkin
diperlukan. Kesulitan mengunyah, menelan dan keterampilan motorik halus
dapat membatasi jumlah makanan yang dimakan dan meningkatkan risiko
tersedak. Masalah dapat diminimalkan dengan menghilangkan distractions
selama makan dan memilih makanan yang mudah untuk makan. Peralatan
dirancang untuk orang dengan keterampilan motorik halus terbatas dan
cangkir ditutupi dengan sedotan atau spouts minum juga dapat membantu.
Namun pada akhirnya, orang dengan penyakit Huntington akan memerlukan
24
Untuk anak-anak usia sekolah atau remaja, konsultasi dengan staf sekolah
untuk mengembangkan rencana pendidikan individu yang sesuai, dan
memberikan kesempatan bagi seseorang untuk mempertahankan interaksi
sosial dan persahabatan sebanyak mungkin.
25
26
autosomal bawaan dan penetrasi yang tinggi. Jadi, bentuk hubungan kekerabatan pada
penyakit Alzheimer yang diwariskan pada autosomal secara dominan amatlah jarang;
akan
tetapi demi
dibolehkan sebagai bagian dari upaya untuk mengenali jalur patogenik pada penyakit.
Mutasi missense yang mengubah asam amino tunggal dan oleh karena itu
dikenal adanya tiga jenis gen dalam satu jalur kekerabatan tertentu memiliki potensi
sebagai pencetus timbulnya Alzheimer. Kajian mengenai hubungan kekerabatan dan
DNA sequencing menunjukkan bahwa mutasi yang bertanggung jawab atas pewarisan
Alzheimer adalah penyandian prekursor protein -amyloid pada kromosom 21
(gambar 2.) dan dua gen yang satu sama lainnya mirip yaitu presenilin 1 (PSEN1)
pada kromosom 14 dan presenelin 2 (PSEN2) pada kromosom 1. Mutasi pada PSEN1
lebih banyak dibandingkan dengan mutasi di PSEN2. Sebagai contoh penelitian pada
sebuah keluarga di Perancis, separuh dari keluarga yang menderita Alzheimer karena
faktor keturunan disebabkan oleh mutasi pada PSEN 1, 16% oleh mutasi pada
prekursor protein -amyloid (APP). Mutasi pada PSEN 2 tidak ditemukan dan
sisanya 30% merupakan faktor genetik atau dalam beberapa kasus tidak diketahui.
27
Gambar 8. Perubahan Residu Asam Amino pada Suatu Segmen Protein Prekursor amyloid Berbatasan dengan Domain Transmembran Dihasilkan dari Mutasi Missense
dan Menyebabkan Penyakit Alzheimer Familial Early-Onset
Mutasi pada PSEN dan APP ditemukan pada pasien Alzheimer yang
disebabkan oleh keturunan menunjukkan adanya peningkatan produksi A42. A42
merupakan bahan neurotoksik penyebab Alzheimer secara patogen (gambar 3). Dalam
bentuk penyakit Alzheimer, mutasi terjadi pada APP atau PSEN dapat mengganti
fragmen pada situs - sekretase dan secara khusus meningkatkan produksi toksin
peptida A42 yang lebih pendek, peptida A40 yang kurang toksik. Presenilin 1
sebenarnya adalah -sekretase itu sendiri atau kofaktor pada aktifitas -sekretase.
Peptida toksik meningkat dalam serum penderita dengan berbagai mutasi pada APP,
PESN1 dan PSEN2 menyababkan timbulnya potensi Alzheimer. Kultur transfeksi sel
28
yang dapat menunjukkan aktifitas normal APP menghasilkan toksik peptida A42
mendekati 10%. Ekspresi dari berbagai mutan APP atau gen PSEN 1 berhubungan
dengan potensi timbunya Alzheimer yang hasilnya dapat berupa meningkatnya
produksi A42 yang nilainya lebih dari 10%. Identifikasi mutasi APP dan PSEN
pada potensi Alzheimer tidak hanya disarankan untuk menelaah pada mekanisme
yang umum saja, akan tetapi juga pada faktor gen yang memungkinkan timbulnya
gangguan (sebagai contoh meningkat atau menurunnya bersihan A42 dan
pembentukan agregat protein berupa amyloid plaque) tapi juga dapat juga disebabkan
oleh sifat A42 dan PSEN secara patogenetik. Pada kedaan sebaliknya, mutasi pada
gen tau, yang melakukan pengkodean protein megandung struktur neuropatologi
Alzheimer yang lain, penanda serat neuron, tidak dapat mengenali faktor pencetus
Alzheimer melalui jalur hereditas, meskipun hal ini dilihat pada sisi yang lain, jarang
ditemukan kekeliruan neurodegeneratif seperti pada penderita Parkinsom yang
mengalami degenerasi fronto temporal (gambar 3)
Sama pentingnya seperti penyakit Alzheimer bentuk early-onset familial yang
jarang ditemui telah digunakan untuk memahami patogenesis penyakit, mayoritas
pasien berbagai usia mengalami penyakit secara sporadis (nonfamilial) dimana tidak
ada mutasi pada gen APP
atau presenilin
yang
teridentifikasi.
Bagaimanapun, faktor risiko lain, variasi dari APOE, yaitu gen yang menyandi
apolipoprotein E, sebuah konstituen dari low-density lipoprotein, telah dihubungkan
dengan penyakit Alzheimer. Tiga varian gen dan protein ditemukan pada populasi
manusia dan hasil dari perubahan asam amino
tunggal
pada
apolipoprotein
(mengacu pada alel APOE2, 3, dan 4). Memiliki satu alel APOE4 menggandakan
risiko waktu hidup penyakit Alzheimer (dari 15% menjadi 29%), sementara tidak
memiliki alel APOE4 menurunkan risiko sebanyak 40%. Awalnya, kurva
29
30
presimtomatik harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan hanya dilakukan setelah
konseling sebelum tes yang mendalam sehingga orang yang meminta uji waspada
terhadap potensial komplikasi fisiologis parah dari hasil uji positif terhadap penyakit
yang tak terobati dan menghancurkan ini. Terdapat pula masalah serius pada
pekerjaan dan dalam menyikapi hidup, perawatan jangka panjang, ketidakmampuan,
atau asuransi kesehatan. Juga penting bahwa hasil uji positif akan mengindikasikan
anggota keluarga lain, yang tidak berpartisipasi dalam konseling atau menyetujui uji,
akan juga teridentifikasi secara substansial meningkatkan risiko penyakit Alzheimer
early-onset karena hubungannya dengan orang yang hasil ujinya positif.
Kegunaan uji terhadap alel APOE4 juga terbatas. Menemukan 1 atau 2 alel
APOE4 pada orang yang mengalami gejala demensia secara pasti meningkatkan
kemungkinan seseorang berhadapan dengan penyakit Alzheimer dan dapat digunakan
sebagai tambahan pada diagnosa klinis. Di sisi lain, 50% pasien yang terbukti dengan
otopsi mengidap penyakit Alzheimer tidak memiliki alel APOE4, ini merupakan nilai
prediksi negatif pada orang dengan gejala sangat terbatas. Uji APOE4 terhadap
pasien tanpa gejala memiliki nilai prediksi positif dan negatif yang sangat lemah dan
tidak dapat digunakan.
31
dengan
mengurangi
transgenik
dari
penyakit
Alzheimer.
32
33
34
35
dekade menunjukkan tidak ada Lewy bodies dan Lewy neurit pada otopsi. Pemetaan
genetik
sindrom
pada
6q25-27
menutun
untuk
identifikasi
mutasi
yang
36
37
polimorfis kompleks pengulangan DNA yang terletak sekitar 10 kilobase yang selalu
digunakan bersama-sama ke hulu oleh gen - synuclein menunjukkan hubungan
dengan penyakit Parkinson sporadis dalam beberapa populasi, tetapi tidak pada yang
lain. Identifikasi positif gen pada lokus/letak tersebut seperti membuktikan gen
tambahan dan protein yang dapat dipelajari perannya dalam patogenesis suatu
penyakit.
Karena mutasi -synuclein yang amat sangat jarang didapat, tes genetik pada
mutasi ini seharusnya hanya dilakukan pada penelitian yang mendasar saat sejarah
keluarga yang kuat autosomal dominan penyakit Parkinson ditemui. Mutasi parkin
yang homozigot diperoleh pada hampir setengah dari pasien yang menunjukkan
penyakit Parkinson pada anak-anak dan masa remaja dan mungkin 5% orang dewasa
muda dengan penyakit Parkinson. Ada kejadian kecil yang mendukung suatu peran
mutasi dalam gen parkin pada jenis penyakit Parkinson late-onset, dan bahkan
pengujian -synuclein ataupun gen parkin yang saat ini dilakukan dalam pelayanan
klinis rutin.
Gambar 11. normal and abnormal histology of substansia nigra from Parkinson
disease
38
39
40
41
Sapi dan domba sangat dekat kerabat evolusioner. Mereka termasuk dalam
keluarga Bovidae, dan berbagi satu nenek moyang yang hidup mungkin tidak lebih
dari 20 juta tahun yang lalu. Jadi, tidak mengherankan - di belakang - bahwa sapi bisa
kontrak penyakit prion ketika makan dengan sisa dari domba terkontaminasi dengan
scrapie, sebuah endemik ensefalopati spongiform untuk domba. Bahwa ratusan ribu
sapi telah disembelih sejak kontaminasi awal menunjukkan betapa mudahnya untuk
protein prion bisa ditularkan dari ternak domba.
Tetapi manusia kerabat sangat jauh dari bovids seperti sapi dan domba. nenek
moyang kami yang paling umum baru-baru ini masih hidup sekitar 70 juta tahun yang
lalu, ketika mamalia semua tampak seperti tikus, dan dinosaurus masih menguasai
bumi. Karena pemisahan ini evolusi, prion manusia tidak mungkin sama dengan baik
domba atau sapi. Jarak ini tampaknya harus ditanggung oleh pengalaman - domba
memiliki scrapie selama lebih dari 200 tahun, namun tidak ada hubungan dikenal
antara scrapie pada domba dan CJD pada manusia. Dengan argumen ini, tampaknya
ada alasan kuat mengapa manusia harus kontrak CJD dari daging sapi.
Prion penyakit atau ensefalopati spongiform menular (TSEs) adalah suatu keluarga
yang jarang terjadi gangguan neurodegenerative progresif yang mempengaruhi
manusia dan hewan. Mereka dibedakan dengan periode inkubasi yang panjang,
perubahan spongiform karakteristik yang terkait dengan kerugian saraf, dan kegagalan
untuk menginduksi respon inflamasi.
Penyakit Prion milik kelompok kondisi progresif yang mempengaruhi sistem
saraf pada manusia dan hewan. I Pada orang, penyakit prion mengganggu fungsi otak,
menyebabkan perubahan memori, perubahan kepribadian, penurunan fungsi
intelektual (demensia), dan masalah dengan gerakan yang memburuk dari waktu ke
waktu. Tanda-tanda dan gejala dari kondisi ini biasanya dimulai di usia dewasa, dan
42
gangguan ini menyebabkan kematian dalam beberapa bulan untuk beberapa tahun.
Penyakit prion Keluarga manusia termasuk penyakit klasik Creutzfeldt-Jakob
(CJD), Gerstmann-Strussler-Scheinker sindrom (SSU), dan insomnia fatal (FI).
Kondisi ini membentuk sebuah spektrum penyakit dengan tanda-tanda dan gejala
yang tumpang tindih.
Hanya sebagian kecil kasus penyakit prion berjalan dalam keluarga.
Kebanyakan kasus sporadis, yang berarti mereka terjadi pada orang tanpa faktor risiko
atau mutasi gen. Jarang, penyakit prion dapat ditularkan melalui paparan kecelakaan
pada jaringan prion-terkontaminasi selama suatu prosedur medis.
Salah satu jenis penyakit prion pada manusia, varian penyakit Creutzfeldt-Jakob
(vCJD), diperoleh dengan makan produk daging sapi yang diperoleh dari ternak
dengan penyakit prion. Dalam sapi, bentuk penyakit ini dikenal sebagai bovine
spongiform encephalopathy (BSE) atau lebih umum, "sapi gila" penyakit. Contoh
lain dari penyakit prion yang diperoleh manusia adalah kuru, yang diidentifikasi
dalam suku Fore Selatan di Papua Nugini. gangguan itu menular ketika anggota suku
makan jaringan orang yang terkena selama ritual pemakaman makan daging manusia.
Keluarga bentuk penyakit prion disebabkan oleh mutasi gen yang diwariskan di
PRNP. gen ini memberikan petunjuk untuk membuat suatu protein yang disebut prion
protein (PRP). Normalnya, protein ini kemungkinan terlibat dalam pengangkutan
tembaga ke dalam sel. Mungkin juga berperan dalam melindungi sel-sel otak dan
membantu mereka berkomunikasi. Dalam kasus keluarga penyakit prion, mutasi pada
sel gen menyebabkan PRNP untuk menghasilkan bentuk yang tidak normal dari
protein prion yang dikenal sebagai PRP Sc. Dalam kasus iatrogenik dan diakuisisi,
orang yang terkena penyakit prion berkembang dari paparan ini protein abnormal.
Dalam sebuah proses yang tidak sepenuhnya dipahami, PRP Sc memiliki
43
kemampuan untuk mengubah protein prion normal, PRP C, ke Sc PRP lebih. Ini
terbentuk protein abnormal di otak, membentuk gumpalan yang merusak atau
menghancurkan sel-sel saraf. Hilangnya sel-sel ini menciptakan lubang spons-seperti
mikroskopik di otak, yang mengarah ke tanda-tanda dan gejala penyakit prion.
44
dimulai.Gemetar, gerakan tubuh yang janggal dan aneh juga bisa terjadi. Penglihatan
bisa kabur atau suram.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kemunduran fungsi mental yang terjadi
dengan cepat atau disertai oleh kedutan otot. Pemeriksaan sistem saraf dan motorik
menunjukkan kedutan otot dan kejang (mioklonus). Ketegangan otot meningkat atau
bisa terjadi kelemahan dan penyusutan otot.
Bisa terjadi refleks abnormal atau peningkatan respon dari refleks yang normal.
Pemeriksaan lapang pandang menunjukkan adanya daerah kebutaan yang mungkin
tidak disadari oleh penderitanya.
Terdapat gangguan koordinasi yang berhubungan dengan perubahan persepsi visualspasial dan perubahan di dalam serebelum (bagian otak yang mengendalikan
koordinasi). Pemeriksaan EEG (rekaman aktivitas listrik otak) menunjukkan adanya
perubahan yang khas untuk penyakit ini. Pemeriksaan khusus terhadap jaringan otak
untuk memperkuat diagnosis, hanya dapat dilakukan jika penderita sudah meninggal
dan diambil contoh otaknya untuk diperiksa.
Penyakit ini tidak dapat disembuhkan, dan progresifitasnya tidak dapat
diperlambat.
Bisa diberikan obat-obatan untuk mengendalikan perilaku yang agresif (misalnya obat
penenang, anti-psikosa).
Prognosis biasanya sangat jelek. Demensia total biasanya terjadi dalam waktu
6 bulan atau lebih, dimana penderita menjadi benar-benar tidak mampu merawat
dirinya sendiri. Dalam waktu yang singkat penyakit ini berakibat fatal, biasanya
dalam waktu 7 bulan. Kematian biasanya terjadi akibat infeksi, gagal jantung atau
kegagalan pernafasan. Beberapa penderita bertahan hidup sampai 1-2 tahun setelah
penyakitnya terdiagnosis. Menghindari pencangkokan jaringan manusia yang
46
Gerstmann-straussler-scheinker
adalah
penyakit
prion
yang
C. Kuru
Kuru adalah penyakit prion yang menyebabkan merosotnya fungsi mental
yang cepat dan kehilangan koordinasi otot. Penyakit ini terjadi pada penduduk asli
Fore pada dataran New Guinea dan berhubungan dengan ritual endocannibalism.
Sampai awal 1960-an, kuru cukup sering terjadi di New Guinea. Prion
47
48
BAB III
SIMPULAN
Keempat penyakit neurodegenerative yang dibahas dalam bab ini bukan daftar
komplit dari penyakit degeneratif yang menyerang sistem saraf pusat. Masing-masing
penyakit menggambarkan gambaran patofisiologi yang khusus yang berhubungan
dengan beberapa fungsi neural atau diduga beberapa patogenesis.
49
DAFTAR PUSTAKA
50