Anda di halaman 1dari 50

PATOBIOLOGI PENYAKIT DEGENERATIF PADA

SISTEM SARAF PUSAT

MAKALAH

Disusun Oleh:
Yossy Yoanita Ariestiana

16011125 0012

Pembimbing:
Prof. Sunardi Widyaputra, drg. Ms.,Ph.D

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS


ILMU BEDAH MULUT DAN MAKSILOFASIAL
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2016

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit neurodegeneratif adalah penyakit progresif dari sistem saraf yang


berhubungan dengan kerusakan dari sel sel saraf, yang mempunyai banyak fungsi
mulai dari pengendalian gerakan, akuisisi pengolahan informasi sensorik,
pengambilan memori dan dalam membuat keputusan. Neurodegenerasi atau kematian
sel saraf adalah masalah utama dalam berbagai penyakit saraf seperti, Alzheimer,
Parkinson, penyakit Huntington, atau Human Prion Disease dll. Penyakit
neurodegeneratif adalah penyakit yang fatal dan mematikan, karena sampai saat ini
tidak ada obat atau penanganan untuk mengatasi penyakit ini.

Penyakit

neurodegeneratif juga merupakan penyakit yang sangat mahal bagi masyarakat dan
pemerintah, serta memberikan beban fisik dan emosional yang besar pada keluarga.
Penyakit neurodegeneratif pada sistem saraf matang menyebabkan kerusakan
progresif dari fungsi saraf dan yang paling parah dapat menyebabkan kematian sel.
Struktur yang dinamik dan kompleksitas fisiologis yang menjadi bagian tetap dari
perkembangan dan fungsi dari sistem saraf pusat manusia yang sangat membuat
sesuatu yang simple dari definisi umum dari proses ini dan berbagai macam
patofisiologi menjadi rumit.
Neurodegenerasi mungkin berbeda dari proses yang terbatas dan tinggi
melibatkan baik itu jalur neural terpilih atau grup neural diantaranya regio spesifik
organ ke sel yang rusak dan hilang dari sistem saraf pusat. Sedangkan kerentanan dan
neural selektif dari kerusakan anoxic/iskemik, neurotoksin/neurointoksikasi dan bahan

yang infeksius, penjelasan dari fisiologi spesifik dan selektif patogenesis dari
kerusakan selular trlah diketahui.
Yang termasuk penyakit neurodegeneratif banyak sekali jenisnya, tetapi yang
akan dibicarakan disini hanya penyakit neurodegeneratif SSP yang paling sering
ditemukan, yaitu penyakit Huntington, penyakit Parkinson penyakit Alzheimer dan
human prion disease. Angka kejadian dari ke empat penyakit itu dilaporkan semakin
meningkat setiap tahunnya.
Hal demikian disebabkan karena kesadaran masyarakat untuk memeriksakan
diri semakin baik, sehingga banyak yang terdiagnosis dan juga dikarenakan sudah
semakin tingginya usia harapan hidup.

BAB II
ISI

2.1 Apoptosis pada penyakit neurodegeneratif

Apoptosis atau programmed cell death untuk pertama kalinya digambarkan oleh
Kerr dkk. yang menyimpulkan bahwa apoptosis dapat terjadi secara lokal tanpa
mengakibatkan kerusakan pada sel yang berdekatan (sel tetangga). Keadaan tersebut
berbeda dengan nekrosis yang merupakan kematian sel sebagai respons patologis
yang mengakibatkan peradangan jaringan. Apoptosis bertujuan mengatur proses
pendewasaan organisme yaitu dalam tahap embriogenesis, homeostasis, serta untuk
menghilangkan sel yang tidak berguna termasuk sel tua atau rusak, tanpa mengubah
struktur anatomi organ.
Kematian neuron akan memunculkan beberapa penyakit pada sistem saraf
termasuk penyakit Alzheimer, penyakit Parkinson, penyakit Huntington, stroke, dan
amiotropic lateral sclerosis. Dalam konteks fisiologis, apoptosis terjadi kalau ada
kerusakan pada sel atau sel yang tidak membutuhkan pertumbuhan serta remodeling.
Dalam hal pertumbuhan dan remodeling, sel membutuhkan berupa neurotrofik.

2.1.1 Peran Apoptosis dalam Mengatur Homeostasis

Proses apoptosis diawali di mitokondria sebagai sumber protein seperti


sitokrom C dan retikulum endoplasmik (RE) sebagai sumber Kalsium.
Kalsium berperan untuk pengaturan homeostasis serta pertahanan tubuh atau
sistem imun. Apoptosis tidak hanya terjadi dalam mempertahankan stabilitas
4

baik dalam jumlah dan besar sel pada jaringan yang berproliferasi seperti kulit,
mukosa intestinal, dan sistem imun, akan tetapi juga berperan dalam proses
pertumbuhan sistem saraf baik perifer maupun sentral. Peran apoptosis dalam
sistem saraf dimulai dari saat genesis sinapsis dan selanjutnya pada masa
pertumbuhan maupun pada proses degenerasi. Pada penyakit degenerasi
seperti penyakit Alzheimer dan penyakit Parkinson, apoptosis merupakan
proses yang tidak patologis. Apoptosis pada penyakit neurodegeneratif seperti
penyakit Alzheimer terjadi secara lokal dan selektif hanya pada neuron yang
mengakibatkan kehilangan konektivitas antar sinapsis. Diperkirakan kejadian
tersebut yang mengawali proses degenerasi. Apoptosis juga berperan dalam
mengatur pertumbuhan serta menginduksi kematian jaringan embrio dan
pertumbuhan jaringan spesifik seperti peningkatan sensivitas kearah
pembentukan tumor. Stimulasi apoptosis pada tumor sangat penting diketahui
sebagai dasar strategi terapi.

2.1.2 Beberapa Faktor yang Berperan dalam Apoptosis Neuron

Apoptosis dapat dipicu oleh berbagai ragam stimuli termasuk aktivitas jaras
death receptor (DR) oleh sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF-a) dan protein
Fas, insufisiensi hormon pertumbuhan growth hormone (GH), toksin, stres oksidatif,
influks kalsium melalui kanal ion di selaput membran, atau keluarnya kalsium dari
RE.7
Proses apoptosis terjadi melalui dua jalur utama yakni: jalur ekstrinsik atau
death receptor pathway, dan jalur intrinsik atau jalur mitokondria. Pada jalur
ekstrinsik, apoptosis dimulai setelah DR pada membran plasma berikatan dengan

protein Fas, suatu glycocylated cell-surface protein dengan berat molekul 42-52 kDa
atau dengan TNF- yang diproduksi oleh limfosit T atau makrofag yang mengalami
sensitisasi. Reaksi tersebut akan diikuti oleh apoptotic pathway yang terdiri atas
seperangkat enzim seperti Fas- associated death domain (FAAD), tumor necrosis
factor receptor (TNFR)-associated death domain (TRADD), kaspase 8 dan 10,
sebagai penggerak efektor apoptosis. Sebagian induksi yang berasal dari TNF- 38
juga akan menstimulasi mitokondria. Pada jalur intrinsik yang terjadi intraselular,
akan muncul inisiasi apoptosis oleh produksi biokimia yang berasal dari stres
intraselular, seperti stres oksidatif, perubahan redoks, ikatan kovalen dan peroksidasi
lipid.12 Pada beberapa penelitian hewan coba ditemukan relevansi sinyal intrinsik
terhadap apoptosis pada sel saraf. Kerusakan DNA baik terjadi herediter maupun
karena induksi mengakibatkan peningkatan supresi ekspresi tumor p53 (protein yang
berfungsi menekan tumor, dan mengatur bagian-bagian sel untuk mencegah sel
berkembang dan membagi terlalu cepat dengan cara yang tidak terkontrol),
peningkatan influks kalsium akibat stimulasi berlebihan terhadap reseptor glutamat,
kerusakan komponen membran plasma, formasi radikal bebas (stres oksidatif), dan
stres metabolik (hipoksia dan hipoglikemia). Keadaan itu menyebabkan kerusakan
membran mitokondria yang mengakibatkan keluarnya sitokrom C dan apoptosisinducing factor yang berakhir pada kematian sel. Kalsium akan memberikan sinyal
terhadap mitokondria yang menyebabkan perubahan pada mitokondria, dimulai
dengan terbukanya membran bagian luar, diikuti pembengkakan matriks, dan
hilangnya potensial membran hingga keluarnya berbagai jenis protein mitokondria
termasuk sitokrom C sebagai aktivator kaspase. Selanjutnya sitokrom C mengaktivasi
kaspase 9 yang menggerakkan efektor apoptosis. Pada proses tersebut terjadi
kerusakan membran RE hingga kalsium keluar dari RE yang mengakibatkan

penumpukan kalsium di area intraselular. Apoptosis akan menghasilkan apoptotic


bodies yang terdiri atas fragmen sisa sel, dan akan difagosit oleh sistem
retikuloendotelial di sekitarnya. Proses apoptosis terdiri atas tiga tahapan dan sangat
sulit dibedakan satu dengan yang lainnya, yakni tahap induksi, efektor, dan degradasi.
Tahap induksi tergantung pada death-inducing signal untuk mengaktifkan proapototic
signal transduction cascade. Sinyal yang menginduksi apoptosis antara lain reactive
oxygen species (ROS), nitrogen intermediate, Ca. TNF-a, protein famili Bcl-2 (Bax
dan Bad). Tahapan efektor atau eksekusi dilaksanakan oleh cysteinyl aspartatespecific proteinases (Caspases), keluarga protease yang mengandung sistein pada sisi
aktifnya. Pada degradasi, komponen sel yang sudah hancur akan mengalami
autofagi termasuk vakuolisasi, degradasi isi sitoplasma dan kondensasi kromatin.

2.1.3 Peran Kalsium pada Apoptosis

Strategi penanggulangan penyakit pada umumnya bersifat simptomatik,


karena etiologi yang bervariasi sehingga target utama sangat sulit untuk ditemukan
dan diketahui. Pada penelitian molekular ditemukan bahwa apoptosis, berkontribusi
terhadap kehilangan neuron pada penyakit neurodegeneratif.7 Apoptosis pada
penyakit neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer dapat dipicu oleh keberadaan
amiloid yang dianggap sebagai bahan toksik. Bahan toksik itu memicu terbentuknya
stres oksidatif intraselular yang berlanjut pada peningkatan Ca2+ terutama pada sel
yang sangat peka terhadap toksin.18 Dengan demikian pengetahuan tentang proses
apoptosis ini penting untuk mengatur strategi pengobatan melalui interupsi sinyal
jaringan yang mengarah pada kerusakan sel, baik sel saraf, sel sistem imun, maupun
yang lainnya. Pengendalian proses apoptosis secara mendasar diharapkan dapat

mencapai target maksimum dalam hal terapi baik memperlambat proses (misalnya
pada penyakit degeneratif) maupun menghentikan proses pertumbuhan seperti terapi
tumor. Kalsium berfungsi sebagai pembawa pesan kedua sehingga konsentrasinya di
beberapa
komponen sel harus dikontrol secara tepat. Jika konsentrasi Ca2+ sitosol meningkat,
maka masuknya ion Ca2+ ke mitokondria juga meningkat, sementara kecepatan untuk
keluar dari sel stabil. Sebaliknya jika konsentrasi Ca2+ sitosol menurun, maka
pemasukan juga menurun hingga laju pengeluaran melebihi laju pemasukan.
Mitokondria seperti halnya dengan RE, juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan
kalsium.
Peran kalsium begitu penting terutama karena bertanggungjawab dalam
pengaturan berbagai proses fisiologis serta terlibat dalam mempertahankan
homeostasis pada keadaan patologis penyakit kardiovaskular, sistem imun, dan
susunan saraf. Disebutkan juga bahwa mitokondria berfungsi sebagai dapar terhadap
konsentrasi ion kalsium. Hasil penelitian membuktikan bahwa keluarnya kalsium dari
RE bersamaan dengan keluarnya sitokrom C dari mitokondria yang merupakan
fenomena apoptosis. Boehning et al., mengidentifikasi Kalsium sebagai pembawa
pesan yang mengatur mitokondria dan ER untuk berinteraksi atas terjadinya apoptosis
melalui aktivitas kaspase dan sitokhrom C serta enzim lain seperti nuklease.
Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram dan bertujuan mengatur
homeostasis kehidupan sel, yaitu mengatur keseimbangan penyesuaian masa
pertumbuhan akibat kerusakan ataupun penuaan sel, dan tidak terbatas pada satu jenis
penyakit. Peran mitokondria dalam pengaturan sekresi protein sitokrom C, dan peran
RE sebagai sumber kalsium menentukan saat terjadinya apoptosis . Kerusakan DNA
baik secara herediter maupun akibat induksi akan menyebabkan influks kalsium yang

berdampak pada kerusakan mitokondria serta sekresi sitokrom C sebagai penggerak


apoptosis. Pada keadaan kalsium berlebihan atau kerusakan kompartemen sel, kalsium
intraselular menyebabkan sitotoksisitas sebagai pemicu apoptosis maupun nekrosis.
Hal itu yang terjadi pada penyakit neurodegeneratif, penyakit autoimun, tumor
berbasis pada resistensi terhadap apoptosis, infeksi dan beberapa penyakit lainnya.
2.2 Huntingtons Disease
2.2.1. Definisi
Huntingtons Disease adalah kelainan autosomal dominant yang progresif dan fatal,
ditandai oleh disfungsi motorik, kognitif, dan perilaku. Huntingtons Disease pertama
kali dikenali secara klinis oleh Waters pada tahun 1842 dan dinamakan dari Dr.
George Huntington yang menggambarkan gejala-gejala secara komprehensif
Huntingtons Disease di Long Island, New York pada 1872.1
2.2.2 Epidemiologi
HD terjadi di seluruh dunia dan dalam semua kelompok etnis. Beberapa penduduk
terpencil asal Eropa Barat memiliki prevalensi yang sangat tinggi dari HD yang
dikatakan akibat dari founder effect, ditambah faktor daerah geografis terisolasi di
mana keturunan dari penderita telah tinggal generasi demi generasi. Ini termasuk
kawasan Lake Maracaibo di Venezuela (700 per 100.000 orang), pulau Mauritius di
Afrika Selatan (46 per 100.000 orang), dan Tasmania (17,4 per 100.000 orang).
Prevalensi di sebagian besar negara-negara Eropa berkisar 1,63-9,95 per 100.000
orang. Prevalensi HD di Finlandia dan Jepang kurang dari 1 per 100.000 orang.2
HD bersifat progresif, menyebabkan kecacatan dan kematian, biasanya dari
intercurrent diseases. Usia onset rata-rata berkisar 25 - 45 tahun, tetapi jangkauan
mungkin lebih luas. Onset pada pasien lebih muda dari 10 tahun dan pada pasien yang
lebih tua dari 70 tahun jarang terjadi. Durasi penyakit bervariasi, dengan rata-rata
sekitar 19 tahun. Kebanyakan pasien bertahan hidup selama 10-25 tahun setelah

timbulnya penyakit. Namun, jenis kelamin bukan merupakan predileksi dari HD.
Dalam sebuah studi besar, pneumonia dan penyakit kardiovaskular adalah penyebab
utama kematian yang paling umum. 2,3
2.2.3 Etiologi
HD disebabkan oleh peningkatan jumlah polyglutamine (CAG) dengan repetisi > 40
di coding sequence Huntington gene yang terletak pada lengan pendek kromosom 4.
Semakin besar jumlah repetisi, semakin cepat onset penyakit.

Juvenile HD

(timbulnya HD pada pasien lebih muda dari 20 tahun) berkisar sekitar 5-10% dari
semua pasien HD. Kebanyakan pasien dengan juvenile HD mewarisi penyakit itu dari
ayah mereka, sedangkan pasien dengan timbulnya penyakit setelah usia 20 tahun lebih
mungkin mewarisi gen dari ibu mereka. Inheritance dari ayah dapat menyebabkan
onset lebih awal pada generasi seterusnya, suatu fenomena disebut anticipation. Hal
ini disebabkan oleh ketidakstabilan yang lebih besar dari alel HD selama
spermatogenesis. CAG repeat length berkorelasi terbalik dengan usia onset.3

Gambar 1: Repetisi CAG pada Huntington Gene


http://hopes.stanford.edu/sites/hopes/files/f_s03repeats.jpg
2.2.4 Patofisiologi

10

Huntington gene mengkode highly conserved protein Huntington yang didistribusi


meluas di neuron dalam CNS, namun fungsi nya tidak diketahui. Biasanya protein
Huntington terletak di dalam sitoplasma, dan diasosiasikan dengan permukaan
organelles seperti vesicles, synaptic vesicles, microtubules, dan mitochondria.3,4

11

Gambar 2: Patofisiologi Huntingtons Disease


http://ars.els-cdn.com/content/image/1-s2.0-S1357272510003742-gr1.jpg
HD disebabkan oleh mutasi gen Huntington pada kromosom 4. Terjadinya repetisi
CAG (polyglutamine) yang mengakibatkan transkripsi dan translasi mutant protein
strand yang dinamakan misfolded mutant Htt, seterusnya menyebabkan aggregasi
di dalam sel.

12

Terdapat beberapa teori atau proposed mechanisms yang menyebabkan neuronal


dysfunction dan cell death dari Huntingtons Disease 4,5:
1) Caspase activation
Translokasi mutant Htt di nucleus meregulasi expresi caspase yaitu suatu tipe
cell death gene yang meregulasi apoptosis sel. Pada penderita HD, caspase
diaktivasi di bagian otak, menyebabkan proteolytic cleavage dari sel target,
seterusnya mengakibatkan disfungsi sel dan kematian sel neuron (gliosis) di
basal ganglia (caudate nuclei, putamen, globus pallidus).
2) Cell excitoxicity
Excitotoxic agents seperti kainic acid (pada animal trials) dan 3nitroproprionic acid yang menyebabkan influx calcium ke dalam sel yang
menyebabkan kerusakan mitochondria (impaired energy metabolism),
mengakibatkan excitotoxicity oleh neurotransmitter yaitu glutamate dan
NMDA (N-methyl-D-aspartate), seterusnya mengakibatkan apoptosis sel.
Kerusakan mitochondria juga menyebabkan oxidative stress pada sel-sel
neuron.
3) Decreased inhibition
Apoptosis sel-sel neuron di basal ganglia tersebut menyebabkan pengurangan
produksi inhibitory neurotransmitter, GABA (gamma-aminobutyric acid),
selanjutnya mengakibatkan penurunan inhibisi/peningkatan aktivasi dari
thalamus. Output thalamus yang meningkat menyebabkan pergerakan
hiperkinetik berlebihan dan tidak teratur, ataupun nama lainnya chorea.
Secara genetika, Huntingtons Disease adalah suatu trinucelotide repeat disorder.
Trinucleotide repeat ini tidak stabil di dalam gametogenesis, frekuensi repetisi
ditransmisi ke generasi seterusnya, dapat terjadi penurunan atau peningkatan repeats,
13

tetapi biasanya peningkatan. Pada intermediate alleles, terjadi mutasi spontan yang
meningkatkan kemungkinan mutasi sehingga terjadinya Huntingtons Disease. Ibu
yang menderita HD menurunkan gen mutant ke generasi seterusnya kurang lebih
dengan jumlah repetisi yang sama, namun apabila dari pihak ayah, jumlah repetisi
lebih tinggi karena sperm DNA kurag stabil berbanding DNA sel lain. Offspring yang
mendapat gen mutant dari ayah seringkali menderita juvenile HD (onset HD pada
umur < 20 tahun). Lebih tinggi frekuensi repetisi, lebih awal onset simptom HD dan
lebih tinggi kadar degenerasi di basal ganglia.5
Pada HD, usia onset adalah sama bagi homozigot dan heterozigot. Namun pada
homozigot, gejala klinis dan progresivitas penyakit lebih cepat, dikatakan karena
doubling dari jumlah protein mutant dan aggregat yang meyebabkan apoptosis sel
yang lebih banyak dan cepat. Kelainan genetik lain dengan expanded trinucleotide
repeats CAG adalah Fragile X Syndrome, Kennedy syndrome (X-linked spinal and
bulbar muscular atrophy), myotonic dystrophy, spinocerebellar atrophies, and
dentatorubropallidoluysian atrophy. Patogenesis sama bagi semua kelainan ini telah
disetujui sebagai proposed mechanism, namun masih belum pasti adakah aggregasi
protein di dalam sel neuron adalah faktor toksik atau protektif. Sepertiga individual
penderita HD mempunyai haplotype yang sama, justru menunjukkan ancestor yang
sama. Dua pertiga individual lain kemungkinan besar menderita HD dari mutasi
spontan. Diagnosis HD dapat ditegakkan secara pasti dari DNA/genetic testing,
namun diingat bahwa konseling genetik harus dilakukan pre dan post DNA testing
tersebut. Selain itu, diagnosis prenatal dan preclinical dapat dilakukan sekiranya ada
indikasi seperti faktor risiko dari HD. Hasil dari DNA testing masih tidak dapat
dipastikan untuk repetisi CAG borderline (di antara 30 -35), justru diagnosis dianggap
inconclusive.5
2.2.5. Faktor risiko

14

Huntingtons Disease adalah kelainan autosomal dominant, maka faktor risiko dari
penyakit ini adalah riwayat penyakit HD dalam keluarga. Adanya riwayat penyakit
memberi kemungkinan 50% untuk menderita HD. 2-5
2.2.6 Gambaran klinis
Gejala biasanya muncul antara 35 dan 40 tahun. Kisaran usia saat onset luas, namun
terdapat kasus yang terjadi sejak usia 5 dan hingga akhir usia 70. Tiga manifestasi
karakteristik penyakit adalah gangguan gerakan, gangguan kepribadian, dan
deteriorasi mental. Ketiga mungkin terjadi bersama-sama di awal atau satu mungkin
mendahului satu dengan yang lain dengan pertambahan waktu. Secara umum,
timbulnya gejala insidious, dimulai dengan kecanggungan, menjatuhkan benda,
keresahan, lekas marah, kecerobohan, dan mengabaikan tugas, dan pada
perkembangan lanjut ke arah chorea dan dementia. Episode psikotik yang jelas,
depresi, dan perilaku yang tidak bertanggung jawab dapat terjadi. Penurunan berat
badan adalah umum. Penyakit ini cenderung berjalan selama periode 15 tahun, lebih
cepat pada mereka dengan usia yang lebih muda saat onset.5
HD ditandai gerakan choreiform yang cepat, nonpatterned/random, dan involunter.
Pada tahap awal chorea cenderung menjadi fokal atau segmental, tetapi berkembang
dari waktu ke waktu untuk melibatkan multiple body regions. Dysarthria, gangguan
cara berjalan, dan kelainan oculomotor adalah gejala umum. Dengan perkembangan
penyakit, ada penurunan chorea dan munculnya distonia, kekakuan, bradykinesia,
myoclonus, dan spasticity. Pada pasien yang lebih muda (sekitar 10% kasus), HD
dapat timbul sebagai sindrom rigid-akinetic atau parkinsonian (Westphall varian).
Pasien HD akhirnya mengalami gangguan perilaku dan kognitif yang dapat menjadi
sumber utama kecacatan. depresi dengan kecenderungan bunuh diri, perilaku agresif,
dan psikosis dapat menonjol, dan mayoritas pasien mengalami demensia.1,6
Pergerakan chorea:

15

Gejala yang paling mencolok dan ke arah diagnostik penyakit adalah munculnya
gerakan tidak terkendali yang tampak tanpa tujuan dan tiba-tiba, tetapi tidak secepat
yang terlihat pada mioklonus. Otot-otot somatik dipengaruhi secara acak, dan gerakan
chorea mempunyai flow dari satu bagian tubuh ke bagian lain. Otot proksimal, distal,
dan aksial yang terlibat. Pada tahap awal dan dalam bentuk yang kurang severe, ada
sedikit ekspresi meringis pada wajah, gerakan intermiten dari alis dan dahi,
mengangkat bahu dari bahu, dan gerakan menyentak anggota badan. Gerakan
pseudopurposeful (parakinesia) terjadi umum dalam upaya untuk kompensasi gerakan
menyentak. Dengan perkembangan penyakit, berjalan dikaitkan dengan pergerakan
lengan dan kaki lebih intens, yang menyebabkan pergerakan seakan-akan menari,
berjingkrak, stuttering gait. kelainan yang sangat karakteristik dengan HD. Motor
impersistence atau inhibitory pauses selama kontraksi volunter mungkin merupakan
penyebab dari milkmaid grip, menjatuhkan benda, dan ketidakmampuan untuk
menjelirkan lidah. Gerakan mata menjadi terganggu dengan pengurangan saccades
dan hilangnya gerakan mulus bola mata. Gerakan choreic meningkat dengan
rangsangan emosional, hilang selama tidur, dan menjadi superimposed pada gerakan
volunter menjadi sulit. Dengan meningkatnya keparahan, kegiatan rutin sehari-hari
hidup menjadi sulit, seperti berbicara dan menelan. Pada stadium terminal, gerakan
choreic dapat menghilang dan digantikan oleh rigiditas dan distonia.5
Gejala mental:
Secara karakteristik, ada demensia organik dengan gangguan memori progresif,
kehilangan kapasitas intelektual/fungsi kognitif, apatis, dan tidak memperhatikan
kebersihan pribadi. Pada awal penyakit, kelainan profound dapat terdiri dari
iritabilitas, perilaku impulsif, dan depresi atau fits of violence. Pada beberapa pasien,
gejala psikotik yang mendominasi adalah skizofrenia, dan penyebab tidak jelas
sampai gerakan choreic berkembang. Gejala psikotik dan dementia biasanya

16

menyebabkan penderita mebutuhkan bantuan dan terapi lebih lanjut di rumah sakit
jiwa.5
Manifestasi neurologis lain:
Saraf kranial tetap utuh kecuali untuk gerakan mata yang cepat dan selanjutnya
dysarthria, yang terganggu pada sebagian besar pasien. Refleks tendon biasanya
normal tetapi mungkin hiperaktif, respon plantar mungkin abnormal. Tonus otot yang
hipotonik pada kebanyakan pasien kecuali bagi mereka dengan rigid-akinetic (varian
Westphal). Dengan onset masa kanak-kanak (sekitar 10% kasus), rigid-akinetic state
yang biasanya terjadi, bukan chorea dan terjadi kelainan mental dan kejang kejang.
Bentuk penyakit ini cepat progresif dengan hasil yang fatal dalam waktu kurang dari
10 tahun. Pengamatan bahwa 90% dari semua pasien dengan onset masa kanak-kanak
mewarisi penyakit itu dari ayah mereka berasal dari kemungkinan bahwa peningkatan
pengulangan CAG pada sel sperma lebih tinggi. Pada tahap terminal dari bentuk HD
lebih klasik, rigiditas otot dan distonia cenderung menggantikan chorea, dan kejang
juga dapat terjadi.5
Hemiballismus:
Hemiballismus adalah bentu chorea yang lebih violent, dengan gerakan seperti
melemparkan, dengan amplitudo besar pada satu sisi tubuh. Otot ekstremitas
proksimal cenderung didominasi terpengaruh. Gerakan tersebut dapat memberikan
efek severe sehingga menyebabkan kelelahan, dehidrasi, lokal cedera, dan, dalam
kasus yang ekstrim, kematian. Penyebab paling umum adalah lesi parsial (infark atau
perdarahan) di STN, tetapi kasus-kasus juga dapat terlihat dengan lesi di putamen.
Untungnya, hemiballismus biasanya self limiting dan cenderung untuk hilang secara
spontan setelah minggu atau bulan. Kondisi ini sulit untuk diobati secara
farmakologis. Obat yang paling konsisten menguntungkan adalah tetrabenazine (tidak

17

tersedia di Amerika Serikat), haloperidol, propranolol, fenitoin, clonazepam, dan


baclofen. Dalam kasus ekstrim, pallidotomy bisa sangat efektif.6

Gambar 3: Grafik perkembangan Huntingtons Disease dengan pertambahan usia dari


onset
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1357431098013719
2.2.7 Laboratorium
Pada pemeriksaan rutin darah, urin, dan cairan serebrospinal tidak menunjukkan
kelainan.

Pemeriksaan

kemungkinan

diagnosa

laboratorium
lain

seperti

lebih

digunakan

untuk

menyingkirkan

SLE

(systemic

lupus

erythematosus),

hyperthyroidism, dan infeksi HIV.4,5


2.2.8 Radiologis
Secara neuropatologis, penyakit ini terutama menyerang striatum. Atrofi nucleus
caudatus, yang membentuk margin lateral ventrikel lateral, bisa divisualisasikan pada

18

studi neuroimaging pada tahap tengah dan akhir dari penyakit. Atrofi kortikal lebih
difus/menyebar dapat dilihat di akhir penyakit. Radiografi/rontgen dari cranium
terlihat normal, namun pada CT scan dan MRI menunjukkan pembesaran ventrikel
dengan karakteristik butterfly appearance dari venrikel lateralis, hasil dari degenerasi
nucleus caudatum. Penderita dengan akinetic-rigid form menunjukkan striatal
hyperintensity

pada

T2-weighted

magnetic

resonance

imaging.

PET

scan

menggunakan fluorodeoxyglucose menunjukkan hypometabolism di caudatus dan


putamen penderita HD. Abnormalitas pada striatal metabolism dapat mendahului
atrofi nucleus caudate, tetapi positron emission tomography tidak cukup sensitif untuk
mendeteksi kelainan tersebut pada penderita yang pre-simptomatik.

Gambar 4: Pembagian

dari

neostriatum dan

striatum

http://hopes.stanford.edu/sites/hopes/files/f_ah00_hdcascade.gif

19

Gambar 5: MRI coronal penderita Huntingtons Disease


Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Edition
Kelainan neuropatologis paling dominan pada Huntingtons Disease terjadi pada
neostriatum, di mana atrofi nucleus caudatu, dan putamen disertai dengan selective
neuronal loss dan astrogliosis. Neuronal loss juga dideteksi di korteks serebri. Daerah
lain seperti globus pallidus, thalamus, subthalamic nucleus, substantia nigra, dan
cerebellum mempunyai derajat atrophy yang bervariasi tergantung kepada
perkembangan penyakit.5,6
Extent dari gross striatal pathology, neuronal loss, dan gliosis dapat memberikan basis
untuk grading severity Huntingtons Disease (grades 0-4).

Grade

Deskripsi

No gross striatal atrophy


No detectable histologic neuropathology in the presence of a typical
clinical picture and positive family history suggesting HD

No gross striatal atrophy


Neuropathologic changes that can be detected microscopically but
20

without gross atrophy


2

Striatal atrophy is present, but the caudate nucleus remains convex.

Striatal atrophy is more severe, and the caudate nucleus is flat.

Striatal atrophy is most severe, and the medial surface of the caudate
nucleus is concave
Tabel 1: Grading Huntingtons Disease.4

2.2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan melibatkan pendekatan multidisiplin dengan medis, neuropsikiatri,
konseling sosial, dan genetik untuk pasien dan keluarga mereka. Sampai sekarang,
belum ada cara mengubah proses penyakit atau kejadian fatal. Upaya untuk
menggantikan kekurangan dalam GABA dengan menggunakan agen GABA-mimesis
atau inhibitor metabolisme GABA telah gagal. Pengobatan simtomatik depresi dan
psikosis dapat dicapai dengan antidepresan dan agen antipsikotik atipikal yang khas
atau (yaitu, clozapine dan quetiapine). Gerakan choreic dapat dikontrol dengan
penggunaan agen neuroleptik termasuk dopamin receptor blocker, seperti haloperidol
dan perphenazine, dan depleters dopamin presynaptic, seperti reserpin dan
tetrabenazine. Penggunaan dopamin receptor blocker kurang diinginkan daripada
depleters karena risiko mengembangkan tardive dyskinesia. Menggunakan obat ini
dikombinasikan dengan pengawasan pasien dalam aktivitas sehari-hari, justru
memungkinkan manajemen di rumah selama tahap awal gangguan ini. Dengan
kemajuan penyakit, bagaimanapun, konsul ke fasilitas psikiatri sering diperlukan.4-6
Tetrabenazine, obat yang mengganggu dengan penyimpanan vesikular amina
biogenik, secara luas digunakan untuk mengobati tardive tersebut. Dosis awal adalah
12,5 mg dua atau tiga kali sehari secara lisan, meningkat sebesar 12,5 mg setiap 5 hari
tergantung pada respon dan toleransi. Dosis pemeliharaan biasa adalah 25 mg tiga kali
21

sehari. Efek samping termasuk depresi, hipotensi postural, mengantuk, dan gejala
parkinsonian. Tetrabenazine seharusnya tidak diberikan dalam waktu 14 hari
mengambil monoamine oxidase inhibitor dan tidak diindikasikan untuk pengobatan
levodopa-induced dyskinesias. Reserpin dapat mendeplesi central monoamines tetapi
memiliki efek samping lebih buruk, membuat penggunaannya bermasalah di Penyakit
Huntington. Jika digunakan, dosis dibangun secara bertahap antara 2 mg dan 5 mg
oral setiap hari, tergantung pada respon. Pengobatan dengan obat memblokir dopamin
reseptor, seperti fenotiazin atau haloperidol, dapat mengontrol dyskinesia dan
gangguan perilaku. Pengobatan haloperidol biasanya dimulai dengan dosis 1 mg
sekali atau dua kali sehari secara oral, yang kemudian meningkat setiap 3 atau 4 hari
tergantung pada respon. Sebagai alternatif, agen antipsikotik atipikal seperti
quetiapine (meningkat dari 25 mg sehari oral sampai 100 mg dua kali sehari secara
oral seperti ditoleransi) dapat diberikan. Amantadine dalam dosis 200 mg sampai 400
mg sehari oral kadang-kadang membantu untuk chorea. Gangguan perilaku dapat
dikurangkan dengan clozapine. Upaya untuk mengkompensasi kekurangan GABA
relatif dengan meningkatkan aktivitas GABA pusat atau untuk mengkompensasi yang
kolinergik underactivity relatif dengan memberikan kolin klorida belum membantu.
Strategi neuprotective masih dalam tahapan penelitian. Offspring harus ditawarkan
konseling genetik. Tes genetik memungkinkan deteksi presymptomatic dan definitif
diagnosis penyakit.1

Gambar 6: Target terapeutik berdasarkan proposed mechanism Huntingtons Disease

22

http://journals.cambridge.org/fulltext_content/ERM/ERM5_20/S1462399403006549s
up003.gif

23

Menangani Huntingtons Disease secara suportif merupakan suatu pada penderita,


anggota keluarga dan individu yang terlibat. Dengan perkembangan penyakit,
penderita akan lebih bergantung kepada perawat dan orang di sekitarnya untuk
survival dan kualitas hidup yang baik. Beberapa isu yang dipertimbangkan 4,7:

Makanan dan gizi:


Orang dengan penyakit

Huntington

sering

mengalami

kesulitan

mempertahankan berat badan yang sehat. Kesulitan makan terjadi dan untuk
mendapatkan nutrisi yang cukup, lebih dari tiga kali sehari mungkin
diperlukan. Kesulitan mengunyah, menelan dan keterampilan motorik halus
dapat membatasi jumlah makanan yang dimakan dan meningkatkan risiko
tersedak. Masalah dapat diminimalkan dengan menghilangkan distractions
selama makan dan memilih makanan yang mudah untuk makan. Peralatan
dirancang untuk orang dengan keterampilan motorik halus terbatas dan
cangkir ditutupi dengan sedotan atau spouts minum juga dapat membantu.
Namun pada akhirnya, orang dengan penyakit Huntington akan memerlukan

bantuan dengan makan dan minum.


Mengelola gangguan kognitif dan kejiwaan:
Keluarga dan perawat dapat membantu menciptakan lingkungan yang dapat
membantu seseorang dengan penyakit Huntington menghindari stres dan
mengelola tantangan kognitif dan perilaku.
Strategi ini termasuk: Menggunakan kalender dan jadwal untuk membantu
menjaga kegiatan rutin, mengidentifikasi dan menghindari stres yang bisa
memicu ledakan, lekas marah, depresi atau masalah lain, menciptakan
lingkungan yang setenang, sederhana dan terstruktur mungkin, memulai tugas
dengan reminder, memprioritaskan atau mengorganisir pekerjaan atau
kegiatan.

24

Untuk anak-anak usia sekolah atau remaja, konsultasi dengan staf sekolah
untuk mengembangkan rencana pendidikan individu yang sesuai, dan
memberikan kesempatan bagi seseorang untuk mempertahankan interaksi
sosial dan persahabatan sebanyak mungkin.

2.3 Penyakit Alzheimer

Merupakan penyakit neurodegeneratif yang paling sering terjadi, penyakit


Alzheimer merupakan penyebab dua pertiga dari keseluruhan gejala pikun (berkisar
pada berbagai studi dari 42 sampai 81%), dengan kasus lain sisanya disebabkan
penyakit jantung dan neurodegeneratif yang lain seperti penyakit Picks dan diffuse
Lewy-body dementia.
Penyakit Alzheimer adalah penyakit pada syaraf yang sifatnya irreversible
akibat penyakit ini berupa kerusakan ingatan, penilaian, pengambilan keputusan,
orientasi fisik secara keselurahan dan pada cara berbicara. Diagnosa yang didasarkan
pada ilmu syaraf akan penyebab kepikunan hanya dapat dilakukan dengan cara otopsi.
Tanda-tanda umum yang muncul berupa hilangnya neuron, pikun, cairan ektraseluler
yang mengandung peptida amyloid dan kusutnya neurofibril serta terjadinya
hiperfosforilasi dari mikrotubular protein tau. Amyloid pada senile plaques adalah
hasil dari potongan-potongan protein yang lebih besar, prekursor protein -amyloid,
tiga seri enzim protease yaitu -,- dan -sekretase. - sekretase secara khas muncul
dan bertanggung jawab dalam pembentukan peptida -amyloid -A42- yaitu 42 gugus
asam amino yang memiliki arti patogenetik penting karena berupa serat toksik yang
tak larut dan terakumulasi dalam bentuk senile plaques berupa massa serabut amyloid

25

pada korteks celebral yang diisolasi dari pasien Alzheimer.


Pengukuran prevalensi penyakit Alzheimer dapat berbeda tergantung dari
kriteria diagnosa yang digunakan. Kriteria ini dapat berupa umur populasi yang
disurvey dan faktor lain termasuk geografi dan etnik. Tidak termasuk pada pasien
yang masih diragukan akan tingkat kepikunannya kira-kira 1% pada usia 65-69 tahun
dan meningkat 40-50% pada umur 95 tahun atau lebih.

Gambar 7. prevalensi penyakit Alzheimer pada pria dan wanita

Meskipun rata-rata umur serangan pikun kira-kira 80 tahun, onset penyakit


menggambarkan bahwa hal ini sebenarnya telah terjadi pada usia 60-65 tahun, ini
dapat terjadi akan tetapi jarang. Suatu komunitas di Perancis telah diteliti bahwa
serangan terjadi pada usia sebelum 61 tahun dengan prevalensi 41 pasien tiap
100.000. Kira-kira 6-7% berhubungan dengan faktor keturunan dengan pola

26

autosomal bawaan dan penetrasi yang tinggi. Jadi, bentuk hubungan kekerabatan pada
penyakit Alzheimer yang diwariskan pada autosomal secara dominan amatlah jarang;
akan

tetapi demi

untuk memperluas kepentingan penyelidikan hal ini masih

dibolehkan sebagai bagian dari upaya untuk mengenali jalur patogenik pada penyakit.
Mutasi missense yang mengubah asam amino tunggal dan oleh karena itu
dikenal adanya tiga jenis gen dalam satu jalur kekerabatan tertentu memiliki potensi
sebagai pencetus timbulnya Alzheimer. Kajian mengenai hubungan kekerabatan dan
DNA sequencing menunjukkan bahwa mutasi yang bertanggung jawab atas pewarisan
Alzheimer adalah penyandian prekursor protein -amyloid pada kromosom 21
(gambar 2.) dan dua gen yang satu sama lainnya mirip yaitu presenilin 1 (PSEN1)
pada kromosom 14 dan presenelin 2 (PSEN2) pada kromosom 1. Mutasi pada PSEN1
lebih banyak dibandingkan dengan mutasi di PSEN2. Sebagai contoh penelitian pada
sebuah keluarga di Perancis, separuh dari keluarga yang menderita Alzheimer karena
faktor keturunan disebabkan oleh mutasi pada PSEN 1, 16% oleh mutasi pada
prekursor protein -amyloid (APP). Mutasi pada PSEN 2 tidak ditemukan dan
sisanya 30% merupakan faktor genetik atau dalam beberapa kasus tidak diketahui.

27

Gambar 8. Perubahan Residu Asam Amino pada Suatu Segmen Protein Prekursor amyloid Berbatasan dengan Domain Transmembran Dihasilkan dari Mutasi Missense
dan Menyebabkan Penyakit Alzheimer Familial Early-Onset

Mutasi pada PSEN dan APP ditemukan pada pasien Alzheimer yang
disebabkan oleh keturunan menunjukkan adanya peningkatan produksi A42. A42
merupakan bahan neurotoksik penyebab Alzheimer secara patogen (gambar 3). Dalam
bentuk penyakit Alzheimer, mutasi terjadi pada APP atau PSEN dapat mengganti
fragmen pada situs - sekretase dan secara khusus meningkatkan produksi toksin
peptida A42 yang lebih pendek, peptida A40 yang kurang toksik. Presenilin 1
sebenarnya adalah -sekretase itu sendiri atau kofaktor pada aktifitas -sekretase.
Peptida toksik meningkat dalam serum penderita dengan berbagai mutasi pada APP,
PESN1 dan PSEN2 menyababkan timbulnya potensi Alzheimer. Kultur transfeksi sel

28

yang dapat menunjukkan aktifitas normal APP menghasilkan toksik peptida A42
mendekati 10%. Ekspresi dari berbagai mutan APP atau gen PSEN 1 berhubungan
dengan potensi timbunya Alzheimer yang hasilnya dapat berupa meningkatnya
produksi A42 yang nilainya lebih dari 10%. Identifikasi mutasi APP dan PSEN
pada potensi Alzheimer tidak hanya disarankan untuk menelaah pada mekanisme
yang umum saja, akan tetapi juga pada faktor gen yang memungkinkan timbulnya
gangguan (sebagai contoh meningkat atau menurunnya bersihan A42 dan
pembentukan agregat protein berupa amyloid plaque) tapi juga dapat juga disebabkan
oleh sifat A42 dan PSEN secara patogenetik. Pada kedaan sebaliknya, mutasi pada
gen tau, yang melakukan pengkodean protein megandung struktur neuropatologi
Alzheimer yang lain, penanda serat neuron, tidak dapat mengenali faktor pencetus
Alzheimer melalui jalur hereditas, meskipun hal ini dilihat pada sisi yang lain, jarang
ditemukan kekeliruan neurodegeneratif seperti pada penderita Parkinsom yang
mengalami degenerasi fronto temporal (gambar 3)
Sama pentingnya seperti penyakit Alzheimer bentuk early-onset familial yang
jarang ditemui telah digunakan untuk memahami patogenesis penyakit, mayoritas
pasien berbagai usia mengalami penyakit secara sporadis (nonfamilial) dimana tidak
ada mutasi pada gen APP

atau presenilin

yang

teridentifikasi.

Bagaimanapun, faktor risiko lain, variasi dari APOE, yaitu gen yang menyandi
apolipoprotein E, sebuah konstituen dari low-density lipoprotein, telah dihubungkan
dengan penyakit Alzheimer. Tiga varian gen dan protein ditemukan pada populasi
manusia dan hasil dari perubahan asam amino

tunggal

pada

apolipoprotein

(mengacu pada alel APOE2, 3, dan 4). Memiliki satu alel APOE4 menggandakan
risiko waktu hidup penyakit Alzheimer (dari 15% menjadi 29%), sementara tidak
memiliki alel APOE4 menurunkan risiko sebanyak 40%. Awalnya, kurva

29

kelangsungan hidup menganalisa efek alel APOE4 pada timbulnya penyakit


Alzheimer menyatakan 70-90% orang tanpa alel ini bebas penyakit pada usia 80
tahun, sementara 30- 60% orang dengan 1 alel APOE4 dan hanya 10% orang
homozygot yang bebas penyakit pada usia 80 tahun.
Pada penelitian terkini juga membuktikan bahwa APOE4 berperan pada
penyakit Alzheimer, tetapi efeknya kurang nyata, dengan rata-rata bebas penyakit
sebanyak 70% pada orang-orang homozigot.
Meskipun besarnya efek alel APOE4 berbeda pada tiap penelitian, dimana
tampaknya merupakan efek dosis, pada kelompok bebas penyakit lebih rendah pada
orang- orang homozigot dibandingkan dengan orang-orang heterozigot. Penelitian ini
telah mengarahkan pada kesimpulan bahwa efek utama dari alel APOE4 adalah
untuk perubahan usia pada onset rata-rata sekitar 5-10 tahun lebih cepat pada
kemunculan 1 alel dan 10-20 tahun lebih cepat dengan adanya 2 alel pada orang yang
rentan terhadap penyakit Alzheimer. Mekanisme molekular dimana variasi alel APOE
mengubah usia timbulnya penyakit dan, bagaimanapun, risiko waktu hidup pada
penyakit Alzheimer tidak diketahui. Sejumlah hubungan penyakit dengan variasi gen
selain APOE juga telah dilaporkan tetapi masih perlu untuk dikonfirmasi dan
merupakan subjek pada penelitian yang sedang berlangsung.
Karena relatif jarangnya mutasi APP, PSEN1, dan PSEN2 pada pasien dengan
penyakit Alzheimer yang lambat muncul (late-onset), uji molekuler pada mutasi gen
ini harus dibatasi terhadap mereka yang memiliki probabilitas meningkat
mendapatkan mutasi yaitu, orang-orang dengan penyakit early-onset atau memiliki
sejarah penyakit dalam keluarga. Kemungkinan, hubungan gejala orang-orang dengan
dokumentasi mutasi pada APP atau seseorang dengan presenilin juga dapat meminta
uji untuk kepentingan keluarga, keuangan, atau rencana pribadi. Uji orang

30

presimtomatik harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan hanya dilakukan setelah
konseling sebelum tes yang mendalam sehingga orang yang meminta uji waspada
terhadap potensial komplikasi fisiologis parah dari hasil uji positif terhadap penyakit
yang tak terobati dan menghancurkan ini. Terdapat pula masalah serius pada
pekerjaan dan dalam menyikapi hidup, perawatan jangka panjang, ketidakmampuan,
atau asuransi kesehatan. Juga penting bahwa hasil uji positif akan mengindikasikan
anggota keluarga lain, yang tidak berpartisipasi dalam konseling atau menyetujui uji,
akan juga teridentifikasi secara substansial meningkatkan risiko penyakit Alzheimer
early-onset karena hubungannya dengan orang yang hasil ujinya positif.
Kegunaan uji terhadap alel APOE4 juga terbatas. Menemukan 1 atau 2 alel
APOE4 pada orang yang mengalami gejala demensia secara pasti meningkatkan
kemungkinan seseorang berhadapan dengan penyakit Alzheimer dan dapat digunakan
sebagai tambahan pada diagnosa klinis. Di sisi lain, 50% pasien yang terbukti dengan
otopsi mengidap penyakit Alzheimer tidak memiliki alel APOE4, ini merupakan nilai
prediksi negatif pada orang dengan gejala sangat terbatas. Uji APOE4 terhadap
pasien tanpa gejala memiliki nilai prediksi positif dan negatif yang sangat lemah dan
tidak dapat digunakan.

31

gambar 9. Serebrum yang diwarnai dengan poliklonal antibodi


Wawasan yang diketahui dari identifikasi mutasi pada keluarga yang jarang
terjadi dengan penyakit Alzheimer early-onset membuktikan kegunaan identifikasi
target terapi dan membuat model hewan untuk mengevaluasi terapi. Contohnya,
inhibitor -sekretase telah dikembangkan dan terbukti berguna untuk pengobatan
penyakit Alzheimer

dengan

mengurangi

produksi A42. Tikus

transgenik

mengekspresikan protein prekursor -amyloid mutan memiliki peningkatan


tergantung usia terhadap jumlah pembentukan A42, meningkatkan pembentukan
plaque, dan defisit memori spasial; mereka bagaimanapun, hanya kehilangan neuron
minimal. Sebagai tambahan, tikus transgenik untuk mutasi APP dan PSEN1
memperlihatkan akselerasi deposisi A42, dibandingkan dengan tikus yang hanya
mengekspresikan transgen. Pada tikus transgenik dengan protein prekursor -amyloid
mutan, imunisasi dengan A42 menghasilkan penurunan pembentukan plaque dan
perbaikan dari kehilangan memori. Bagaimanapun, uji klinis fase 2 menyelidiki terapi
imunisasi dengan A42 harus ditunda karena akan meningkatkan risiko aseptik
meningoensefalitis. Sebagai tambahan, obat-obat lain seperti statin, kliokuinol, dan
obat-obat NSAID tertentu sedang dievaluasi pada model tikus terhadap bentuk
menurun

dari

penyakit

Alzheimer.

32

Gambar 10 .normal and abnormal neuron from Alzheimer disease

2.4 Penyakit Parkinson

Penyakit Parkinson merupakan gangguan neurodegeneratif kedua terbanyak,


setelah penyakit Alzheimer. Dikarakterisasi secara klinis oleh parkinsonisme (resting
tremor, bradikinesia, rigiditas, dan ketakstabilan postural) dan secara patologis dengan
kehilangan neuron pada substantia nigra, dan dimana saja yang berhubungan dengan
adanya deposit protein ubiquinated pada sitoplasma neuron (Lewy bodies) dan inklusi
pada proteinaseus seperti benang dalam neurit (Lewy neurites). Kejadian penyakit
Parkinson sekitar 0,5-1% pada orang usia 65-69 tahun, meningkat 1-3% pada orang
usia 80 tahun atau lebih. Diagnosa secara klinis, meskipun gangguan lain dengan

33

gejala menyolok dan tanda parkinsonisme, seperti postencephalitis, drug-induced, dan


parkinsonisme arteriosklerotik, dapat rancu dengan penyakit Parkinson sampai
diagnosa dipastikan dengan otopsi.
Komponen genetik pada penyakit Parkinson telah lama dibicarakan, karena
kebanyakan pasien memiliki penyakit sporadis dan penelitian awal pada orang
kembar memperlihatkan persamaan rata-rata rendah dari concordance pada kembar
monozigot dan dizigot. Pandangan bahwa genetik terlibat pada beberapa bentuk
penyakit Parkinson telah diperkuat, bagaimanapun, dengan penelitian bahwa kembar
monozigot dengan onset penyakit sebelum usia 50 tahun memiliki pembawa genetik
yang sangat tinggi, lebih tinggi dari kembar dizigot dengan penyakit early-onset.
Lebih jauh, tanpa memperhatikan usia onset, hal yang nyata terlihat antara kembar
monozigot dapat ditingkatkan secara signifikan jika uptake dopaminergik striatial
abnormal pada kembar tanpa gejala dari pasangan yang tidak harmonis, sebagai
pernyataan oleh tomografi emisi positron dengan fluorodopa F18, digunakan sebagai
tanda penyakit Parkinson presimtomatik. Peningkatan risiko penyakit Parkinson juga
dapat dilihat pada hubungan tingkat-pertama pasien, biasanya ketika hasil tomografi
emisi positron hubungan asimtomatik diambil untuk dihitung, memenuhi bukti lebih
lanjut dari adanya komponen genetik terhadap penyakit.
Bagaimanapun, keuntungan nyata muncul ketika sejumlah kecil keluarga
dengan early-onset, Lewy body penyakit Parkinson didomiasi oleh faktor autosomal
positif teridentifikasi. Penelitian pada keluarga ini, dari Mediterania dan Jerman,
mengarahkan identifikasi dari 2 mutasi missense (Ala53Thr dan Ala30Pro) pada gen
penyandi -synuclein, protein presinaps kecil yang tidak diketahui fungsinya.
Meskipun mutasi pada -synuclein terbukti jarang pada pasien penyakit
Parkinson, mereka telah memenuhi petunjuk pertama bahwa protein ini dapat terlibat

34

dalam rantai molekuler kejadian yang menyebabkan penyakit. Pentingnya -synuclein


telah ditingkatkan oleh penemuan bahwa Lewy-bodies dan Lewy neurit yang
ditemukan pada penyakit Parkinson pada umumnya mengandung agregat - synuclein
(gambar 4). Molekul protein -synuclein cenderung untuk menjadi oligomer in vitro;
protein dengan mutasi missense Ala53Thr dan Ala30Pro tampaknya lebih cenderung
seperti ini.
Meskipun penelitian pada keluarga dengan penyakit Parkinson early-onset
membuktikan bahwa -synuclein abnormal dapat menyebabkan penyakit, hal ini
masih belum jelas apakah fibril dari agregat -synuclein, yang terlihat pada Lewybodies dan Lewy neurit, berperan penting sebagai penyebab pada bentuk umum
penyakit Parkinson atau hanya merupakan penanda untuk proses patogenetik yang
terjadi. Positif Lewy-bodies pada - synuclein tidak hanya ditemukan pada berbagai
subnuklei pada substantia nigra, locus ceruleus, dan brain-stem lain dan thalamic
nuclei pada pasien penyakit Parkinson, tetapi juga pada distribusi yang lebih
menyebar, termasuk korteks pada beberapa pasien penyakit Parkinson seperti pada
pasien demensia jenis diffuse Lewy-bodies . -synuclein teragregasi pada glia juga
merupakan gambaran atropi berbagai sistem, menyebabkan penciptaan terhadap
terminologi nosologic baru, synucleinopathy, untuk mengacu pada kelas penyakit
neurodegeneratif yang berhubungan dengan -synuclein teragregasi.
Autosomal recessive juvenile parkinsonism adalah sindrom neurologi genetik
lain yang telah memenuhi pandangan penting terhadap penyakit parkinson. Autosomal
recessive juvenile parkinsonism merupakan sindrom yang relatif jarang yang
memberikan banyak gambaran parkinsonisme, termasuk ketidakresponsifan terhadap
levodopa dan hilangnya nigrostriatal dan neuron lokus ceruleus, tetapi ini memiliki
onset yang sangat dini (sebelum usia 40 tahun), penelitian klinis selama beberapa

35

dekade menunjukkan tidak ada Lewy bodies dan Lewy neurit pada otopsi. Pemetaan
genetik

sindrom

pada

6q25-27

menutun

untuk

identifikasi

mutasi

yang

bertanggungjawab terhadap terhadap Autosomal recessive juvenile parkinsonism pada


gen penyandi protein yang disebut parkin. Parkin diekspresikan utamanya di sistem
saraf dan merupakan salah satu anggota keluarga protein yang dikenal sebagai E3
ubiquitin ligase, yang menempel pada rantai peptida ubiquitin pendek pada protein,
suatu proses yang disebut ubiquination, dengan cara demikian menandai mereka
untuk degradasi melalui jalur degradasi proteosomal.
Autosomal recessive juvenile parkinsonism yang dihasilkan dari hilangnya
fungsi pada kedua kopi gen parkin, mengakibatkan keturunan autosomal resesif,
sebagai kebalikan dari mutasi missense yang mengubah -synuclein dan
menyebabkan gangguan yang dominan diturunkan. Saat ini, bagaimanapun, spektrum
penyakit yang diketahui disebabkan oleh mutasi parkin telah tersebar luas, dengan
penyakit Parkinson rupanya muncul sporadis pada orang dewasa, pada dekade ke-5
dan 6 kehidupan, yang berhubungan dengan mutasi gen parkin. Telah ada beberapa
pasien dengan penyakit Parkinson sporadis klasik dengan onset pada orang dewasa
yang hanya memiliki 1 alel parkin mutan, meskipun demonstrasi yang lengkap bahwa
alel lain normal dan tidak mengandung mutasi tidak biasa diluar sekuens penyandian
dan sekitarnya masih kurang. Tepatnya peran apa yang dimiliki oleh mutasi parkin
pada mayoritas kasus penyakit Parkinson dan adanya heterozigot (dimana lebih umum
pada populasi dibandingkan homozigositas terhadap 2 alel mutan) menunjukkan
faktor risiko penting yang tak dapat dipungkiri.
Table 2. mutasi gen tunggal yang mengarah pada penyakit parkinson

36

Bukti terkini menunjukkan bahwa ubiquinasi oleh parkin mungkin penting


dalam pergantian normal -synuclein. Penemuan 1 keluarga dengan beberapa anggota
mengidap penyakit Parkinson yang memiliki mutasi missense mengganggu pada gen
yang menyandi neuron hidrolase ubiquitin c-terminal spesifik, yaitu gen lain yang
terlibat dalam metabolisme ubiquitin. Kesimpulan yang jelas dari bagian yang
berbeda dari data ini adalah agregasi protein abnormal, disfungsi ubiquitin yang
memediasi mesin degradasi, atau keduanya mungkin merupakan langkah penting
dalam patogenesis penyakit Parkinson.
Demikian juga pada gen -synuclein, parkin, dan ubiquitin C-hydrolase,
setidaknya lima tempat-tempat (lokus) lain sedang diusulkan untuk autosomal
dominan dan autosomal resesif pada penyakit Parkinson (tabel 1). Analisis genetik
secara umum, bentuk sporadis penyakit Parkinson menunjukkan bahwa ada suatu
komponen yang dapat diturunkan dalam bentuk yang tidak jelas diturunkan sebagai
autosomal dengan sifat dominan atau resesif. Sebagai contoh, alel tertentu pada suatu

37

polimorfis kompleks pengulangan DNA yang terletak sekitar 10 kilobase yang selalu
digunakan bersama-sama ke hulu oleh gen - synuclein menunjukkan hubungan
dengan penyakit Parkinson sporadis dalam beberapa populasi, tetapi tidak pada yang
lain. Identifikasi positif gen pada lokus/letak tersebut seperti membuktikan gen
tambahan dan protein yang dapat dipelajari perannya dalam patogenesis suatu
penyakit.
Karena mutasi -synuclein yang amat sangat jarang didapat, tes genetik pada
mutasi ini seharusnya hanya dilakukan pada penelitian yang mendasar saat sejarah
keluarga yang kuat autosomal dominan penyakit Parkinson ditemui. Mutasi parkin
yang homozigot diperoleh pada hampir setengah dari pasien yang menunjukkan
penyakit Parkinson pada anak-anak dan masa remaja dan mungkin 5% orang dewasa
muda dengan penyakit Parkinson. Ada kejadian kecil yang mendukung suatu peran
mutasi dalam gen parkin pada jenis penyakit Parkinson late-onset, dan bahkan
pengujian -synuclein ataupun gen parkin yang saat ini dilakukan dalam pelayanan
klinis rutin.

Gambar 11. normal and abnormal histology of substansia nigra from Parkinson
disease

38

2.5 Human Prion disease


Prion adalah pembawa penyakit menular yang hanya terdiri dari protein. Prion
tidak dapat dimusnahkan dengan panas, radiasi, atau formalin. Prion menyebabkan
berbagai penyakit degenerasi seperti kuru, scrapie, Creutzfeldt-Jakob disease (CJD),
dan bovine spongiform encephalopathy (BSE atau sapi gila). Semua penyakit ini
menyerang otak atau sistem saraf lainnya, mematikan, dan belum dapat disembuhkan.
Namun sebuah vaksin telah dikembangkan untuk tikus dan sedang dikembangkan
lebih lanjut untuk manusia.
Dikisahkan, pada tahun 1997, ilmuwan Amerika Serikat, Stanley B. Prusiner
meraih Hadiah Nobel atas penelitiannya terhadap prion ini. Tidak seperti viroid, prion
merupakan protein yang tidak dapat bereplikasi namun dapat mengubah protein inang
menjadi protein versi prion. Secara hipotetis prion merupakan versi "salah lipat" dari
suatu protein yang umumnya terdapat pada sel otak. Jika prion melakukan kontak
dengan protein "kembarannya" (yang normal) prion dapat menginduksi protein
normal menjadi bentuk abnormal. Reaksi ini terus berlanjut hingga prion terakumulasi
dalam jumlah yang membahayakan, lalu menyebabkan malafungsi seluler dan
akhirnya menyebabkan terjadinya degenerasi otak.

39

Gambar 12. Histology dari prion disease


Prion merupakan A-agen yang menyebabkan penyakit yang bukan bakteri atau
jamur atau virus dan tidak mengandung bahan genetik. Prion adalah protein yang
terjadi biasanya dalam bentuk yang tidak berbahaya. Dengan lipat menjadi bentuk
yang menyimpang, yang prion normal berubah menjadi agen jahat. Kemudian prion
normal lainnya menjadi prion jahat.
Prion telah bertanggung jawab untuk sejumlah penyakit degeneratif otak,
termasuk scrapie (penyakit fatal domba dan kambing), penyakit sapi gila, penyakit
Creutzfeldt-Jacob, insomnia familial fatal, kuru , bentuk yang tidak biasa turuntemurun demensia dikenal sebagai Gertsmann- Straeussler-Scheinker penyakit, dan
mungkin beberapa kasus penyakit Alzheimer's.
Penelitian yang diterbitkan dalam edisi April 25 Alam berasal dari tim peneliti yang
berbasis di Oxford, di Inggris, termasuk Profesor TRE Southwood, mantan penasehat
pemerintah Inggris pada BSE. Prion adalah protein yang terjadi di otak semua
mamalia sejauh dipelajari. Fungsi normal dari protein prion tidak dipahami, tetapi
penelitian baru-baru ini pada tikus yang tidak memiliki gen PRP, yang mengkodekan
protein prion, menunjukkan bahwa melindungi otak terhadap demensia dan masalah
degeneratif lain yang terkait dengan usia tua. .Kadang-kadang prion dihasilkan oleh
mutasi genetik. Hal ini menjelaskan mengapa beberapa kasus CJD pada manusia
yang diwariskan.

40

Gambar13. mutasi Prp dan perkembangan dari penyakit prion


Penyakit prion lain yang diwarisi manusia disebut Fatal Familial Insomnia.
Ada beberapa bukti bahwa ini hasil dari kekurangan protein prion normal, kekurangan
yang terjadi karena mutan prion tidak dapat memenuhi fungsi-fungsi normal.
Selain menyebabkan penyakit melalui mutasi genetik mewarisi, prion mutan mampu
berubah menjadi agen penyakit. Menular dari hewan yang terinfeksi atau manusia
untuk host baru, mereka mengkonversi 'normal' prion yang mereka hadapi dalam
salinan mereka sendiri. Proses konversi hasil akhirnya di ensefalopati spongiform
seperti BSE dan CJD.

41

Sapi dan domba sangat dekat kerabat evolusioner. Mereka termasuk dalam
keluarga Bovidae, dan berbagi satu nenek moyang yang hidup mungkin tidak lebih
dari 20 juta tahun yang lalu. Jadi, tidak mengherankan - di belakang - bahwa sapi bisa
kontrak penyakit prion ketika makan dengan sisa dari domba terkontaminasi dengan
scrapie, sebuah endemik ensefalopati spongiform untuk domba. Bahwa ratusan ribu
sapi telah disembelih sejak kontaminasi awal menunjukkan betapa mudahnya untuk
protein prion bisa ditularkan dari ternak domba.
Tetapi manusia kerabat sangat jauh dari bovids seperti sapi dan domba. nenek
moyang kami yang paling umum baru-baru ini masih hidup sekitar 70 juta tahun yang
lalu, ketika mamalia semua tampak seperti tikus, dan dinosaurus masih menguasai
bumi. Karena pemisahan ini evolusi, prion manusia tidak mungkin sama dengan baik
domba atau sapi. Jarak ini tampaknya harus ditanggung oleh pengalaman - domba
memiliki scrapie selama lebih dari 200 tahun, namun tidak ada hubungan dikenal
antara scrapie pada domba dan CJD pada manusia. Dengan argumen ini, tampaknya
ada alasan kuat mengapa manusia harus kontrak CJD dari daging sapi.
Prion penyakit atau ensefalopati spongiform menular (TSEs) adalah suatu keluarga
yang jarang terjadi gangguan neurodegenerative progresif yang mempengaruhi
manusia dan hewan. Mereka dibedakan dengan periode inkubasi yang panjang,
perubahan spongiform karakteristik yang terkait dengan kerugian saraf, dan kegagalan
untuk menginduksi respon inflamasi.
Penyakit Prion milik kelompok kondisi progresif yang mempengaruhi sistem
saraf pada manusia dan hewan. I Pada orang, penyakit prion mengganggu fungsi otak,
menyebabkan perubahan memori, perubahan kepribadian, penurunan fungsi
intelektual (demensia), dan masalah dengan gerakan yang memburuk dari waktu ke
waktu. Tanda-tanda dan gejala dari kondisi ini biasanya dimulai di usia dewasa, dan

42

gangguan ini menyebabkan kematian dalam beberapa bulan untuk beberapa tahun.
Penyakit prion Keluarga manusia termasuk penyakit klasik Creutzfeldt-Jakob
(CJD), Gerstmann-Strussler-Scheinker sindrom (SSU), dan insomnia fatal (FI).
Kondisi ini membentuk sebuah spektrum penyakit dengan tanda-tanda dan gejala
yang tumpang tindih.
Hanya sebagian kecil kasus penyakit prion berjalan dalam keluarga.
Kebanyakan kasus sporadis, yang berarti mereka terjadi pada orang tanpa faktor risiko
atau mutasi gen. Jarang, penyakit prion dapat ditularkan melalui paparan kecelakaan
pada jaringan prion-terkontaminasi selama suatu prosedur medis.
Salah satu jenis penyakit prion pada manusia, varian penyakit Creutzfeldt-Jakob
(vCJD), diperoleh dengan makan produk daging sapi yang diperoleh dari ternak
dengan penyakit prion. Dalam sapi, bentuk penyakit ini dikenal sebagai bovine
spongiform encephalopathy (BSE) atau lebih umum, "sapi gila" penyakit. Contoh
lain dari penyakit prion yang diperoleh manusia adalah kuru, yang diidentifikasi
dalam suku Fore Selatan di Papua Nugini. gangguan itu menular ketika anggota suku
makan jaringan orang yang terkena selama ritual pemakaman makan daging manusia.
Keluarga bentuk penyakit prion disebabkan oleh mutasi gen yang diwariskan di
PRNP. gen ini memberikan petunjuk untuk membuat suatu protein yang disebut prion
protein (PRP). Normalnya, protein ini kemungkinan terlibat dalam pengangkutan
tembaga ke dalam sel. Mungkin juga berperan dalam melindungi sel-sel otak dan
membantu mereka berkomunikasi. Dalam kasus keluarga penyakit prion, mutasi pada
sel gen menyebabkan PRNP untuk menghasilkan bentuk yang tidak normal dari
protein prion yang dikenal sebagai PRP Sc. Dalam kasus iatrogenik dan diakuisisi,
orang yang terkena penyakit prion berkembang dari paparan ini protein abnormal.
Dalam sebuah proses yang tidak sepenuhnya dipahami, PRP Sc memiliki

43

kemampuan untuk mengubah protein prion normal, PRP C, ke Sc PRP lebih. Ini
terbentuk protein abnormal di otak, membentuk gumpalan yang merusak atau
menghancurkan sel-sel saraf. Hilangnya sel-sel ini menciptakan lubang spons-seperti
mikroskopik di otak, yang mengarah ke tanda-tanda dan gejala penyakit prion.

2.5.1 Penyakit yang disebabkan oleh Prion


A. Penyakit Creutzfeldt-Jakob (Sapi Gila)
Penyakit Creutzfeldt-Jakob (Ensefalopati Spongiform Subakut) adalah suatu
kelainan otak yang ditandai dengan penurunan fungsi mental yang terjadi dengan
cepat, disertai kelainan pergerakan. Penyakit ini terutama menyerang dewasa, diatas
50 tahun.
Penyakit yang mirip Creutzfeldt-Jakob terjadi pada domba (Skrepi) dan sapi (Penyakit
Sapi Gila). Penularan infeksi bisa terjadi karena memakan jaringan hewan yang
terinfeksi.
Penularan antar binatang masih belum jelas dan kasus pada manusia terjadi jika
memakan daging hewan yang terinfeksi.

44

Gambar 14. Histology of Penyakit Creutzfeldt-Jakob (Sapi Gila)


Penyebab dari berkembangnya penyakit ini adalah terjadi kerusakan jaringan
otak oleh suatu organisme yang menyerupai virus (protein yang bisa ditularkan, yang
disebut prion). Beberapa kasus terjadi pada dewasa yang menerima hormon
pertumbuhan yang berasal dari kadaver (mayat yang diawetkan). Agen penyebabnya
(prion) diduga telah ditularkan melalui hormon pertumbuhan (yang berasal dari
kelenjar hipofisa kadaver). Resiko terkena penyakit ini sedikit meningkat pada orangorang yang menjalani pembedahan otak.
Beberapa ahli patologi tertular oleh penyakit ini dari kadaver.
Gejala yang timbul dalam beberapa bulan atau beberapa tahun setelah terinfeksi, tidak
timbul gejala. Secara perlahan, kerusakan otak bertambah dan penderita mengalami
demensia (penurunan kemampuan intelektual). Pada awalnya, gejalanya mirip
demensia lainnya, yaitu tidak peduli akan kebersihan badannya, apatis, mudah marah,
pelupa dan bingung. Beberapa penderita merasakan mudah lelah, mengantuk, tidak
bisa tidur atau kelainan tidur lainnya. Kemudian gejala-gejalanya dipercepat, biasanya
jauh lebih cepat dari pada penyakit Alzheimer, sampai penderita betul-betul pikun.
Kedutan/kejang pada otot biasanya muncul dalam 6 bulan pertama setelah gejala
45

dimulai.Gemetar, gerakan tubuh yang janggal dan aneh juga bisa terjadi. Penglihatan
bisa kabur atau suram.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kemunduran fungsi mental yang terjadi
dengan cepat atau disertai oleh kedutan otot. Pemeriksaan sistem saraf dan motorik
menunjukkan kedutan otot dan kejang (mioklonus). Ketegangan otot meningkat atau
bisa terjadi kelemahan dan penyusutan otot.
Bisa terjadi refleks abnormal atau peningkatan respon dari refleks yang normal.
Pemeriksaan lapang pandang menunjukkan adanya daerah kebutaan yang mungkin
tidak disadari oleh penderitanya.
Terdapat gangguan koordinasi yang berhubungan dengan perubahan persepsi visualspasial dan perubahan di dalam serebelum (bagian otak yang mengendalikan
koordinasi). Pemeriksaan EEG (rekaman aktivitas listrik otak) menunjukkan adanya
perubahan yang khas untuk penyakit ini. Pemeriksaan khusus terhadap jaringan otak
untuk memperkuat diagnosis, hanya dapat dilakukan jika penderita sudah meninggal
dan diambil contoh otaknya untuk diperiksa.
Penyakit ini tidak dapat disembuhkan, dan progresifitasnya tidak dapat
diperlambat.
Bisa diberikan obat-obatan untuk mengendalikan perilaku yang agresif (misalnya obat
penenang, anti-psikosa).
Prognosis biasanya sangat jelek. Demensia total biasanya terjadi dalam waktu
6 bulan atau lebih, dimana penderita menjadi benar-benar tidak mampu merawat
dirinya sendiri. Dalam waktu yang singkat penyakit ini berakibat fatal, biasanya
dalam waktu 7 bulan. Kematian biasanya terjadi akibat infeksi, gagal jantung atau
kegagalan pernafasan. Beberapa penderita bertahan hidup sampai 1-2 tahun setelah
penyakitnya terdiagnosis. Menghindari pencangkokan jaringan manusia yang

46

terinfeksi atau menghindari makan jaringan hewan yang terinfeksi.


B. Penyakit Gerstmann-straussler-scheinker
Penyakit

Gerstmann-straussler-scheinker

adalah

penyakit

prion

yang

menyebabkan tidak berkoordinasinya otot disertai kemunduran fungsi mental yang


lambat. Penyakit tersebut fatal, biasanya terjadi sekitar 5 tahun.
Seperti penyakit creutzfeldt-jakob, penyakit gerstmann-straussler-scheinker
bisa terjadi dimana saja di seluruh dunia. Meskipun begitu, hal ini tidak sering terjadi
dibandingkan penyakit creutzfekdt-jakob, dimulai diawal kehidupan (mempengaruhi
orang di usia 40-an dibandingkan pada usia 50-an dan 60-an), dan berjalan lebih
lambat (dengan rata-rata harapan hidup 5 tahun hingga 6 tahun).
Biasanya, gejala awal adalah janggal dan tidak tenang ketika berjalan. Otot
kejang lebih sering terjadi dibandingkan penyakit creutzfeldt-jakob. Berbicara
menjadi sulit, dan terbentuk demensia. Nystagmus (gerakan cepat pada mata dalam
satu arah, diikuti dengan lambat kembali ke posisi awal), kebutaan, dan tuli bisa
terjadi. Kehilangan koordinasi otot. Otot bisa bergetar dan kaku. biasanya, otot yang
mengendalikan pernafasan dan batuk menjadi rusak, akibatnya berada dalam resiko
tinggi pneumonia, dimana umumnya menyebabkan kematian.
Diagnosa ditentukan dengan gejala khas dan sejarah keluarga pada penyakit
tersebut dan bisa dipastikan dengan tes genetika. Tidak ada pengobatan yang tersedia.

C. Kuru
Kuru adalah penyakit prion yang menyebabkan merosotnya fungsi mental
yang cepat dan kehilangan koordinasi otot. Penyakit ini terjadi pada penduduk asli
Fore pada dataran New Guinea dan berhubungan dengan ritual endocannibalism.
Sampai awal 1960-an, kuru cukup sering terjadi di New Guinea. Prion

47

kemungkinan diperoleh selama ritual cannibalistic menghadirii upacara agama


memakamkan orang mati dan terlibat dalam memakan jaringan keluarga yang
meninggal sebagai tanda penghormatan. Kuru kemungkinan dimulai dari konsumsi
jaringan prion-yang terkontaminasi dari seseorang yang terkena penyakit creutzfeldtjakob. Kuru lebih sering terjadi pada wanita dan anak-anak karena mereka
memberikan otak untuk dimakan. Banyak dari ritual ini yang telah ditinggalkan, dan
kuru hampir tidak ada.
Gejala-gejala termasuk kehilangan koordinasi otot dan kesulitan berjalan.
Tangan dan kaki menjadi kaku, dan otot kejang. Gerakan tanpa sengaja yang tidak
normal, seperti gerakan yang berulang-ulang, menggeliat lambat atau menghentak
keras pada anggota gerak dan badan, bisa terjadi (kuru berarti menggigil). Emosi bisa
berubah tiba-tiba dari sedih sekali sampai senang sekali dengan tiba-tiba tertawa
meledak-ledak. Orang dengan kuru menjadi gila dan kadangkala tenang, tidak bisa
bicara, dan tidak bereaksi terhadap sekelilingnya. Kebanyakan orang meninggal
sekitar 3 sampai 24 bulan setelah gejala-gejalanya terlihat, biasanya sebagai sebab
dari pneumonia atau infeksi yang menyebabkan luka baring (luka tekan).

48

BAB III
SIMPULAN

Keempat penyakit neurodegenerative yang dibahas dalam bab ini bukan daftar
komplit dari penyakit degeneratif yang menyerang sistem saraf pusat. Masing-masing
penyakit menggambarkan gambaran patofisiologi yang khusus yang berhubungan
dengan beberapa fungsi neural atau diduga beberapa patogenesis.

49

DAFTAR PUSTAKA

1.Garrod A. The lessons of rare maladies. Lancet 1928;1:1055-1060.


2.Martin JB. Molecular basis of the neurodegenerative disorders. N Engl J Med
1999;340:1970-1980. [Erratum, N Engl J Med 1999;341:1407.]
3.Helmer C, Joly P, Letenneur L, Commenges D, Dartigues JF. Mortality with
dementia: results from a French prospective community-based cohort. Am J
Epidemiol 2001;154:642-648.
4.Aronson MK, Ooi WL, Geva DL, Masur D, Blau A, Frishman W. Dementia:
age- dependent incidence, prevalence, and mortality in the old old. Arch Intern
Med 1991;151:989-992.
5.McKhann G, Drachman D, Folstein M, Katzman R, Price D, Stadlan EM.
Clinical diagnosis of Alzheimer's disease: report of the NINCDS-ADRDA
Work Group under the auspices of Department of Health and Human Services
Task Force on Alzheimer's Disease. Neurology 1984;34:939-944.
6.Clark CM, Ewbank D, Lee VM-Y, Trojanowski JQ. Molecular pathology of
Alzheimer's disease: neuronal cytoskeletal abnormalities. In: Growdon JH,
Rossor MN, eds. The dementias. Vol. 19 of Blue books of practical neurology.
Boston: ButterworthHeinemann, 1998:285-304.
7.Hutton M, Perez-Tur J, Hardy J. Genetics of Alzheimer's disease. Essays
Biochem 1998;33:117-131.
8.Alphonse E. Sirica, M.s., Ph.D. Cellular and Molecular Pathogenesis. Library of
Congress Cataloging in Publication Data. 1996;501-533

50

Anda mungkin juga menyukai