Anda di halaman 1dari 11

TETANUS

I. DEFINISI
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk
klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan
gangguan neurologis lokal.
Masa inkubasi adalah interval antara waktu terjadi luka dan gejala awal
tetanus.Period of onset adalah interval antara gejala awal dengan kejang
pertama, sedangkan periode gejala klinis adalah waktu dari gejala awal sampai
gejala kejang/kekakuan terakhir meliputi period of onset, progresifitas penyakit
dan kesembuhan sampai remisi kejang.
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama)
rata-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari.Onset (rentang waktu antara gejala
pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset
yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat.
Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak dari tempat masuknya kuman
C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum semakin
besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama.
Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya
kematian.
II.ETIOLOGI
Clostridium tetani adalah basillus anaerobik bakteri Gram positif anaerob
yang ditemukan di tanah dan kotoran binatang.Berbentuk batang dan
memproduksi spora, memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak
selalu terlihat.C.tetani merupakan bakteri yang motile karena memiliki flagella,
dimana menurut antigen flagella nya, dibagi menjadi 11 strain. Namun ke
sebelas strain tersebut memproduksi neurotoksin yang sama. Spora yang
diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen desinfektan baik agen
fisik maupun agen kimia. Spora, C.tetani dapat bertahan dari air mendidih

selama beberapa menit (meski dengan autoclave pada suhu 121 0C selama 15-20
menit).

Gambar 1.Clostridium tetani, dengan bentukan khas drum stik pada bagian
bakteri yang berbentuk bulat tersebut spora dari C.tetani dibentuk. (dengan pembesaran
mikroskop 3000x).

Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Ketika
menempati tempat yang cocok (anaerob) bakteri akan berkemang dan
melepaskan toksin tetanus. Dengan konsentrasi sangat rendah, toksin ini dapat
mengakibatkan penyakit tetanus (dosis letal minimum adalah 2,5 ng/kg). Sel
yang terinfeksi oleh bakteri dengan mudah dapat diinaktivasi dan bersifat sensitif
terhadap beberapa antibiotik (mentronidazol, penisilin dan lainnya). Bakteri ini
jarang dikultur, karena diagnosanya berdasarkan klinis.
III.

PATOGENESIS
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif
anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah
inokulasi bentuk spora ke dalam tubuh yang mengalami cedera atau luka (masa
inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi
klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas
ganggren, dipteri, botulisme). Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa
luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal,
tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang

dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari
tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada
pembedahan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril.
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel
vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan
yang rendah. Selanjutnya, toksinakan diproduksi dan menyebar ke seluruh
bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan
beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak.
Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan
neuromuscular junction serta saraf autonom. Toksin dari tempat luka menyebar
ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara
intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang
belakang. Akhirnya menyebar ke Sistem Saraf Pusat (SSP).Gejala klinis yang
ditimbulakan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat tersebut
adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi
kontraksi otot yang tidak terkontrol atau eksitasi terus menerus dan
spasme.Neuron

ini

menjadi

tidak

mampu

untuk

melepaskan

neurotransmitter.Neuron, yang melepaskan Gamma Aminobutyric Acid (GABA)


dan

glisin,

neurotransmitter

inhibitor

utama,

sangat

sensitif

terhadap

tetanospasmin, menyebabkan kegagalan penghambatan refleks respon motorik


terhadap rangsangan sensoris.Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman
atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang
belakang terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot pada dada, perut
dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita
akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme
tetani

ialah

menyebabkan

kontraksi

umum

kejang

otot

agonis

dan

antagonis.Racun atau neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi


terpendek yang berasal dari sistem saraf kranial, dengan gejala awal distorsi
wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher.

Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga


terjadi gangguan pernapasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran
cerna, saluran kemih, dan neuromuskular.Spasme laring, hipertensi, gangguan
irama janjung, hiperfleksi, hiperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan
saraf otonom, yang dulu jarang karena penderita sudah meninggal sebelum
gejala timbul.Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernapasan
mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan
di kelola dengan teliti.

Gambar 2. Patomekanisme Tetanus.

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada


beberapa level dari susunan saraf pusat, dengan cara :
a. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat
pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.

b. Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi


dari refleks synaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh
cerebral ganglioside.
Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System
(ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti
takikardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urin.
Timbulnya

kegagalan

mekanisme

inhibisi

yang

normal,

yang

menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter


sehingga terjadi trismus.Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling
sensitif terhadap toksin tetanus tersebut.Stimuli terhadap afferen tidak hanya
menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis
dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas.
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
a. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu
silindrik dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat
b. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi
darah arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.
Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk
bergerak) pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering
disebut lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan
wajah.Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernafasan dan rasio
kematian sangatlah tinggi.

IV.

MANIFESTASI KLINIS

Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2
hari dan kadang lebih satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk
prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium
tetani dengan susunan saraf pusat, dengan interval antara terjadinya luka dengan
permulaan penyakit; makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makin panjang.
Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini
berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh.Pada
masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya.Gejala penyakit tetanus bisa
dibagi dalam tiga tahap, yaitu :
a. Tahap awal
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh
merupakan gejala awal penyakit ini.Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan
otot.Beberapa penderita juga mengalami kesulitan menelan.Gangguan terus
dialami penderita selama infeksi tetanus masih berlangsung.
b. Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah
(Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang
meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama
sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita
akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di
sudut mulut.
Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri.
Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik
ke belakang. (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami
luka.
Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat
dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita
mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut
atau gigi yang terkatub erat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.

c. Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah
kejang refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan
otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula
karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian
dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi
semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih
sering.
Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat
menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit.Pelukaan lidah, bahkan patah
tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat.Pernafasan pun juga
dapat terhenti karena kejang otot ini, sehingga beresiko kematian.Hal ini
disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas,
sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan.
Tabel 1. Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis
Derajat
I : Ringan

Manifestasi Klinis
Trismus ringan sampai sedang;spastisitas umum tanpa
spasme atau gangguan pernapasan;tanpa disfagia atau

II : Sedang

disfagia ringan
Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai
sedang dalam waktu singkat; laju napas>30x/menit;

III : Berat

disfagia ringan
Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; laju
napas>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell,

disfagia berat
IV : Sangat berat (derajat III +

gangguan

sistem

otonom

termasuk

kardiovaskular) Hipertensi berat dan takikardia yang dapat


diselang-seling dengan hipotensi relatif dan bradikardia,
dan salah satu keadaan tersebut dapat menetap

V.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.
Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus.
Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak
mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus.
Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain
mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti.
Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat

diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.


Nilai hitung leukosit dapat tinggi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.
Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai

imunisasi dan bukan tetanus.


Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus dan
pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati

VI.

setelah potensial aksi.


Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG.
PENATALAKSANAAN
Manajemen penanganan tetanus secara umum adalah suportif.Strategi
utamanya adalah menghambat pelepasan toksin, untuk menetralkan toksin yang
belum terikat, meminimalkan efek dari toksin yang belum terikat dengan
mempertahankan jalan napas yang adekuat.Penanganan umum, sebisa mungkin
tempat perawatan pasien tetanus dipisahkan, sebaiknya ditempatkan pada
ruangan khusus.Ruangan yang tenang serta terlindungi dari stimulasi taktil dan
suara. Luka yang merupakan sumber infeksi sebaiknya segera dibersihkan.
Imunoterapi: antitoksin yang berasal dari manusia, sejak tahun 1960-an para
ahli merekomendasikan sedapat mungkin menggunakan HTIG, dan hanya
menggunakan ATS apabila tidak ada persediaan HTIG. Dosis HTIG yang
direkomendasikan untuk terapi tetanus 3.000 IU hingga 6.000 IU yang
diberikan secara intramuskular, meskipun disebutkan pula pemberian 500 IU

memiliki efektivitas yang sama.10Pemberian equine antitoksin juga bisa untuk


menginaktifkan toksin. Pemberiaan 10.000-20.000 U equine antitoksin dosis
tunggal secara intramuscular sudah cukup, namun hati-hati reaksi anafilaktoid.
Antibiotik : pilihan antibiotik adalah metronidazole 500 mg setiap 6 jam
(baik secara IV maupun oral) selama 7 hari. Alternativ lain adalah Penicillin G
100.000-200.000

IU/kgBB/hari

secara

intravena,

terbagi

2-4

dosis.

Pengontrolan spasme otot: Benzodiazepin lebih disukai. Diazepam dapat


ditingkatkan dititrasi perlahan 5 mg atau lorazepam 2 mg, sampai tercapai
kontrol spasme tanpa sedasi maupun depresi napas yang berlebihan (maksimal
600 mg/hari). Pada anak, dosis dapat dimulai dari 0,1-0,2 mg/kgBB, dinaikkan
sampai tercapai kontrol spasme yang baik. Magnesium sulfat bersama dengan
benzodiazepine dapat digunakan untuk mengontrol spasme dan gangguan
autonomik dengan dosis loading 5 gram (75 mg/kgBB) secara intravena,
dilanjutkan dengan dosis 2-3 gram/jam sampai spasme terkontrol.
Kontrol jalan napas: pada tetanus, kita harus benar-benar memonitor
pernapasan, karena obat-obatan yang digunakan apat menyebabkan depresi
napas, serta kemungkinana spasme laring tidak bias disingkirkan. Penggunaan
ventilator mekanik dapat dipertimbangkan, khususnya bila terjadi spasme,
trakeostomi juga dapat dilakukan bila terjadi spasme karena ditakutkan terjadi
spasme laring saat pemasangan pipa endotrakeal.Pemberian cairan dan nutrisi:
pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat membantu dalam proses
penyembuhan tetanus.
VII.

KOMPLIKASI
Aspirasi dan pneumonia hingga apneu
Luka pada mulut dan lidah, hematom intramuskuler atau rhabdomiolisis

dengan mioglobinuri dan gagal ginjal.


Fraktur spinalis
Trombosis venosa, emboli pulmonal, ulserasi lambung, ileus paralitikus, dan
ulserasi dekubitus

Aritmia jantung, tekanan darah dan suhu yang tidak stabil1

VIII. DIAGNOSIS BANDING


Kejang karena hipokalsemia
Reaksi distonia
Rabies
Meningitis
Abses retrofaringeal, abses gigi, sulbluksasi mandibula
Sindrom hiperventilasi/ reaksi histeri
Epilepsi/ kejang tonik klonik umum1
IX.

PROGNOSIS
Perjalanan penyakit tetanus yang cepat, menandakan prognosa yang jelek.
Selain itu umur dan tanda-tanda vital juga menunjukkan prognosis dari penyakit
tetanus.
Tabel 2. Faktor-faktor prognosis yang menunjukkan perburukan penyakit
tetanus
Tetanus Dewasa
Umur lebih dari 70 tahun

Neonatal Tetanus
Kejadian umur

yang

lebih

muda,

kelahiran premature
Periode inkubasi < 7 hari
Inkubasi < dari 6 hari
Waktu saat gejala awal muncul Keterlambatan Penanganan di rumah
sampai penanganan di rumah sakit sakit
Adanya luka bakar, luka bekas Higiene yang buruk, saat proses kelahiran
operasi yang kotor
Onset periode <48 jam
Frekuensi
Tekanan darah sistolik > 140 mm
Hg
Spasme yang berat
Temperatur > 38,50C
X. PENCEGAHAN

10

Tetanus dicengah dengan penangan luka yang baik dan imunisasi.


Rekomendasi WHO tentang imunisasi tetanus adalah 3 dosis awal saat infan,
booster pertama saat umur 4-7 serta 12-15 tahun dan booster terakhit saat
dewasa. Di Amerika, CDC merekomendasikan booster tambahan saat umut 1416 bulan disertai booster tiap 10 tahun. Pada orang dewasa yang menerima
imunisasi

saat

masih

anak-anak,

namun

tidak

mendapat

booster,

direkomendasikan menerima dosis imunisasi 2 kali dengan selang 4


minggu.Rekomendasi WHO, menganjurkan pemberian imunisasi pada wanita
hamil yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, 2 dosis dengan selang 4
minggu tiap dosisnya. Hal tersebut untuk mencengah tetanus maternal dan
neonatal.

11

Anda mungkin juga menyukai