Anda di halaman 1dari 25

HUBUNGAN KEMIRINGAN LERENG DALAM DISTRIBUSI

KETEBALAN HORIZON LATERIT PADA ENDAPAN NIKEL LATERIT


AREA PT BINTANG DELAPAN MINERAL

PROPOSAL PENELITIAN
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN
MENCAPAI DERAJAT SARJANA (S1)

DIAJUKAN OLEH:
ROBIN
F1G1 12 068

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Endapan nikel laterit merupakan produk dari proses pelapukan lanjut
pada batuan ultramafik pembawa Ni-Silikat, umumnya terdapat pada daerah
dengan iklim tropis sampai dengan subtropis. Indonesia dikenal sebagai salah
satu negara utama penghasil bahan galian di dunia, termasuk nikel. Berdasarkan
karakteristik geologi dan tatanan tektoniknya, beberapa lokasi endapan nikel
laterit yang potensial di Indonesia umumnya tersebar di wilayah Indonesia
bagian timur, antara lain : Pomalaa (Sulawesi Tenggara), Sorowako (Sulawesi
Selatan), Gebe (Halmahera), Tanjung Buli (Halmahera), dan Tapunopaka
(Sulawesi Tenggara).
Fokus utama dalam penelitian ini adalah identifikasi keberadaan profil
umum (zona) endapan laterit, yaitu zona top soil, zona limonit, zona saprolit
dan zona bedrock. Selanjutnya dilakukan analisis untuk mengetahui

pola

hubungan antar parameter utama yang mempengaruhi pembentukan endapan


nikel laterit

khususnya

morfologi (pola topografi), struktur lokal (dalam

hal ini rekahan), iklim, vegetasi dan yang tidak kalah pentingnya adalah pola
hubungan kadar. Masing-masing

parameter

tersebut diperkirakan berkaitan

erat satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, sehingga
dengan mempelajari pola hubungan antar elemen ini diharapkan dapat diketahui

kontrol utama pembentukan nikel laterit sehingga dapat dimanfaatkan dalam


kegiatan eksplorasi.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini yaitu Bagaimana

hubungan

kemiringan lereng dan morfologi dalam distribusi ketebalan horizon laterit pada
endapan nikel laterit area PT Bintang Delapan Mineral Tbk.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang akan dicapai yaitu untuk mengetahui hubungan
kemiringan lereng dan morfologi dalam distribusi ketebalan horizon laterit pada
endapan nikel laterit area PT Bintang Delapan Mineral Tbk.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian diatas maka manfaat penelitian ini yang dapat
diperoleh yaitu sebagai berikut :
1. Bagi keilmuan:
Dapat mengetahui hubungan kemiringan lereng dan morfologi dalam
distribusi ketebalan horizon laterit pada endapan nikel laterit area PT Bintang
Delapan Mineral Tbk.
2. Bagi perusahaan PT Bintang Delapan Mineral Tbk.
Mengetahui titik lokasi keberadaan bahan tambang yang mempunyai
potensi sebagai pengembangan dan perencanaan eksplorasi yang terarah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Geologi Regional
Simandjuntak dalam Surono (2010), menjelaskan bahwa berdasarkan sifat
geologi regionalnya Pulau Sulawesi dan sekitarnya dapat dibagi menjadi beberapa
mandala geologi yakni salah satunya adalah mandala geologi Sulawesi Timur.
Mandala ini meliputi lengan Tenggara Sulawesi, Bagian Timur Sulawesi Tengah
dan Lengan Timur Sulawesi. Lengan Timur dan Lengan Tenggara Sulawesi
tersusun atas batuan malihan, batuan sedimen penutupnya dan ofiolit yang terjadi
dari hasil proses pengangkatan (Obduction) selama Miosen. Surono (2014)
menyebutkan bahwa jalur batuan malihan dan sedimen serta penutupnya tersebut
sebagai mintakat benua, sedangkan batuan ofiolitnya merupakan lajur ofiolit
Sulawesi Timur. Bagian Timur Sulawesi ini memanjang melalui ujung Timur
Lengan Timur, sisi Timur bagian Tengah, dan Lengan Tenggara Sulawesi.
Pembagian mandala geologi Sulawesi dapat dilihat pada gambar 2.1
2.1.1 Geomorfologi Regional
Satuan morfologi pegunungan menempati bagian terluas di kawasan ini,
terdiri atas pegunungan mekongka, pegunungan tangkelemboke, pegunungan
mandoke, dan pegunungan rumbian yang terpisah di ujung selatan tenggara.
Satuan morfolofigi ini mempunya topografi yang kasar dengan kemirinngan
lereng yang tinggi. Rangkaian pegunungan dalam satuan ini mempunya pola yang
hamenganapir sejajar berarah barat laut-tenggara arah ini sejajar dengan pola

struktur sesar regional kawasan ini. Pola tersebut mengeindikasikan bahwa


pembentukan morfologi pegunungan itu erat dengan sesar regional.

Gambar 2.1. Pembagian Mandala Geologi Sulawesi (Surono, 2010).

1. Satuan Morfologi
Diitinjau dari citra IFSAR di bagian Tengah dan Ujung Selatan Lengan
Tenggara Sulawesi, ada lima bagian satuan morfologi yang terdapat di
Sulawesi, dan di Daerah Rumbia terdiri atas tiga satuan morfologi yaitu satuan
pegunungan, satuan perbukitan rendah, dan satuan dataran.
a. Satuan Pegunungan
Satuan morfologi pegunungan menempati bagian terluas di kawasan ini,
yang

terdiri

atas

pegunungan

Mengkoka,

Pegunungan

Tangkelemboke,

Pegunungan Mendoke, dan Pegunungan Rumbia yang terpisah di ujung Selatan


Lengan Tenggara. Satuan morfologi ini mempunyai topografi yang kasar dengan
kemiringan lereng tinggi. Rangkaian pegunungan dalam satuan ini mempunyai
pola yang hampir sejajar berarah Barat laut-Tenggara. Arah ini sejajar dengan pola
struktur sesar regional di kawasan ini. Pola tersebut mengindentifikasikan bahwa
pembentukan morfologi pegunungan itu erat hubungannya dengan sesar regional.
Satuan pegunungan terutama di bentuk oleh batuan malihan dan setempat oleh
batuan ofiolit. Ada perbedaaan morfologi yang khas di antara kedua batuan
penyusun itu. Pegunungan yang disusun dari batuan ofiolit mempunyai punggung
gunung yang panjang dan lurus dengan lereng relatif lebih rata, serta kemiringan
yang tajam. Sementara itu, pegunungan yang dibentuk batuan malihan, punggung
gunungnya terputus pendek-pendek dengan lereng yang tidak rata walaupun
bersudut tajam.
b. Satuan Perbukitan Rendah
Satuan morfologi perbukitan rendah melampar luas di Utara Kendari dan
ujung Selatan Lengan Tenggara. Satuan ini terdiri atas bukit kecil dan rendah
dengan morfologi yang bergelombang. Batuan penyusun satuan ini terutama
batuan sedimen klastik Mesozoikum dan Tersier.
c. Satuan Dataran
Satuan morfologi dataran rendah dijumpai di bagian Tengah ujung Selatan
Lengan Tenggara. Tepi Selatan dataran Wawotobi dan Dataran Sampara
berdasarkan langsung dengan satuan morfologi pegunungan. Penyebaran satuan
dataran rendah ini tampak sangat dipengaruhi sesar geser mengirih (Sesar Kolaka

dan System Sesar Konaweha). Kedua sistem sesar ini diduga masih aktif, yang
ditunjukkan dengan adanya torehan pada endapan alluvial dalam kedua dataran
tersebut (Surono dkk, 1997), sehingga angat mungkin kedua dataran itu terus
mengalami penurunan. Penurunan ini tentu ber
dampak buruk pada dataran tersebut, diantarannya pemukinan dan pertanian
di kedua dataran itu akan diterjang banjir yang semakin parah setiap tahunnya.

Gambar 2.2. Bagian Selatan Lengan Sulawesi dari Citra IFSAR (Surono, 2013).

2.1.2 Stratigrafi Regional


Kompleks batuan malihan menempati bagian tengah lengan tenggara
sulawesi membentuk pegunungan mandoke dan ujung delatan membentuk
pegunungan rumbia. Komplek ini di dominasi batuan malihan yang terdiri dari
sekis, kuarsa, sabak dan marmer (simandjuntak dkk.,1993c; Rusmana dkk.,

1993b) dan terobos aplit dan diabas (Surono,1986). Secara garis besar kedua
mendala ini dibatasi oleh Sesar Lasolo . Batuan yang terdapat di Lajur Tinodo
yang merupakan batuan alas adalah batuan malihan Paleozoikum (Pzm) dan
diduga berumur Karbon. Pualam Paleozoikum (Pzmm) menjemari dengan batuan
malihan Paleozoikum terutama terdiri dari pualam dan batugamping terdaunkan.
Pada Permo-Trias di daerah ini diduga terjadi kegiatan magma yang menghasilkan
terobosan antara lain aplit PTr (ga), yang menerobos batuan malihan
Paleozoikum. Formasi Meluhu (TRJm) ,secara tak selaras menindih Batuan
Malihan Paleozoikum. Pada zaman yang sama terendapkan Formasi Tokala
(TRJt). Hubungan dengan Formasi Meluhu adalah menjemari. Pada kala Eosen.
Hingga Miosen Tengah, pada lajur ini terjadi pengendapan Formasi
Salodik (Tems); Batuan yang terdapat di Lajur Hialu adalah batuan ofiolit (Ku)
yang terdiri dari peridotit, harsburgit, dunit dan serpentintit. Batuan ofiolit ini
tertindih tak selaras oleh Formasi Matano (Km) yang berumur Kapur Akhir, dan
terdiri dari batugamping berlapis bersisipan rijang pada bagian bawahnya. Batuan
sedimen tipe molasa berumur Miosen Akhir Pliosen Awal membentuk Formasi
Pandua (Tmpp). Formasi ini mendindih takselaras semua formasi yang lebih tua,
baik di Lajur Tinodo maupun di Lajur Hialu. Pada Kala Plistosen Akhir terbentuk
batugamping terumbu koral (Ql) dan Formasi Alangga (Opa) yang terdiri dari
batupasir dan konglomerat. Batuan termuda di lembar peta ini ialah Aluvium (Qa)
yang terdiri dari endapan sungai, rawa dan pantai.

Gambar. 2.3. Peta Geologi Lengan Tenggara Sulawesi (disederhanakan oleh Rusmana dkk, 1993)

Penelitian yang dilakukan oleh Bothe (1927) dan Rover (1956) dalam
Surono (2013), bahwa sejumlah percontohan batuan malihan dari kompleks
batuan malihan di Lengan Tenggara bahwa periode pemalihan batuan, tua dan
muda. Pemalihan tua menghasilkan fasies epidot-ampibol dan yang muda
menghasilkan fasies sekis glaukofan. Pemalihan tua berhubungan dengan
penimbunan, sedangkan yang muda diakibatkan sesar naik. Sangat mungkin sesar
naik tersebut terjadi pola Oligosen Awal Miosen, sewaktu kompleks ofiolit
tersesar-naikkan keatas kepingan benua.
Menurut Helmers dkk. (1989) dalam Surono (2013) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa evolusi sekis hijau di Lengan Tenggara Sulawesi, Terutama
dari pegunungan Mendoke dan Pegunungan Rumbia adalah suatu pemalihan
9

pertama adalah rekritalisasi sekis hijau pada akhir penimbunan cepat (fast burial
yang pernah mengalami subdaksi

Gambar 2.4. Stratigrafi regional Lengan Tenggara Sulawesi (Rusmana dkk, 1993b;
Simandjuntak dkk, 1993a, b, c, Surono 1994)

2.1.3 Struktur Regional


Sesar kolaka diberi nama oleh simandjuntak dkk (1993) berdasarkan kota
kolaka yang dilaluinya memanjang sekitar 250 km dari pantai barat teluk bone
sampai ujung selatan lengan tenggara sulawesi, Sesar kolaka, yang relatif sejajar
dengan sesar lawanopo, dan sesar konaweha ini nampak jelas pada citra jauh,
udara, landsat dan IFSAR.
Struktur geologi yang dijumpai di daerah kegiatan adalah sesar, lipatan
dan kekar. Sesar dan kelurusan umumnya berarah baratlaut tenggara searah

10

dengan Sesar geser jurus mengiri Lasolo. Sesar Lasolo aktif hingga kini. Sesar
tersebut diduga ada kaitannya dengan Sesar Sorong yang aktif kembali pada Kala
Oligosen (Simandjuntak, dkk., 1983). Sesar naik ditemukan di daerah Wawo,
sebelah barat Tampakura dan di Tanjung Labuandala di selatan Lasolo; yaitu
beranjaknya batuan ofiolit ke atas Batuan Malihan Mekonga, Formasi Meluhu dan
Formasi Matano. Sesar Anggowala juga merupakan sesar utama, sesar mendatar
menganan (dextral), mempunyai arah baratlaut-tenggara.

Gambar. 2.5. Struktur geologi Sulawesi dan sekitarnya. Disederhanakan dari Silver dkk. (1983)
dan Rehahult dkk (1991).

11

2.2 Genesa Endapan Nikel Laterite


Ni dalam batuan utrabasa terdapat dalam mineral mafik. Umumnya pada
mineral Olivin, Orthopiroksen, Klinopiroksen. Kromit dan magnetit juga berisi
lebih sedikit Ni. Di dalam mineral mafik, nikel terdapat dalam jaringan mineral
olivin yang terbentuk pada proses kristalisasi awal. Masuknya Ni ke dalam
mineral olivin melalui proses magmatik. Olivin dapat mengandung 0,4 % NiO
dan 0,322 % Ni. Olivin merupakan mineral yang terbentuk pada temperatur tinggi
sangat tidak stabil di bawah kondisi atmosfer, sehingga saat terjadi pelapukan
akan melepaskan ion Ni yang terdapat dalam ikatan atomnya. Umumnya
hidroksidasi dari beberapa unsur kimia dijumpai berasosiasi dengan lingkungan
laterit. Ion - ion yang dilepaskan selama proses hidrolisis dari mineral - mineral
mafik, ditetapkan sebagai hidroksida Pada hidrosilikat nikel (mineral garnierit),
nikel menggantikan atom Mg dalam mineral serpentin, talk dan klorit. Anggota
nikel murni tidak muncul secara alami dan kebanyakan garnierit berisi (Ni, Mg)
sebagai pengganti Mg (Waheed, 2002).
Boldt (1967), menyatakan bahwa proses pelapukan dimulai pada batuan
utrabasa (peridotit, dunit, serpentinit), dimana batuan ini banyak mengandung
mineral olivin, magnesium silikat dan besi silikat, yang pada umumnya
mengandung 0,30 % nikel. Batuan tersebut sangat mudah dipengaruhi oleh
pelapukan lateritik. Air tanah yang kaya CO2 berasal dari udara luar dan tumbuh
tumbuhan, akan menghancurkan olivin. Terjadi penguraian olivin, magnesium,
besi, nikel dan silika ke dalam larutan, cederung untuk membentuk suspensi
koloid dari partikel partikel silika yang submikroskopis. Di dalam larutan, besi
12

akan bersenyawa dengan oksida dan mengendapa sebagai ferri hidroksida.


Akhirnya endapan ini akan menghilangkan air dengan membentuk mineral
mineral seperti karat, yaitu hematit dan kobalt dalam jumlah kecil. Jadi, besi
oksida mengendap dekat dengan permukaan tanah.
Proses pelapukan dan pencucian yang terjadi, akan menyebabkan unsur
Fe, Cr, Al, Ni dan Co terkayakan di zona limonit dan terikat sebagai mineral
mineral oxida / hidroksida, seperti limonit, hematit, geotit dan sebagainya
(Hasanudin, 1992). Selanjutnya pada proses pelapukan lebih lanjut magnesium
(Mg), Silika (Si), dan Nikel (Ni) akan tertinggal di dalam larutan selama air masih
bersifat asam . Tetapi jika dinetralisasi karena adanya reaksi dengan batuan dan
tanah, maka zat zat tersebut akan cendrung mengendap sebagai mineral
hidrosilikat (Ni-magnesium hidrosilicate) yang disebut mineral garnierit
[(Ni,Mg)6Si4O10(OH)8] atau mineral pembawa Ni (Boldt, 1967)
2.3 Profil endapan nikel laterit
Profil nikel laterit pada umumnya dibagi menjadi :
a. Zona limonite, zona ini umumnya berwarna merah hingga merah
kecoklatan, kaya akan besi bekurang lebih 20-50, strukturnya sangat
halus (clay). pada zona ini terdapat zona transisi yang merupakan
peralihan antara zona limonit dan zona saprolit umumnya berwarna
merah, mengandung mineral smectite (nontronit).
b. Zona saprolite, zona ini berwarna abu-abu hingga hijau kecoklatan.
mengandung mineral serpentin dan olivin, unsur Ni diatas 2%. berukuran

13

halus hingga boulder. Ukuran boulder ini biasanya merupakan bagian


dari proses pelapukan batuan induk (protolith) yang belum sempurna.
c. Bedrock zone, zona ini tidak dapat ditambang karena merupakan batuan
dasar (sourcesrock) yang tidak ekonomis.

Gambar 2.6 Profil endapan nikel laterit. (Waheed, 2004)


2.4 Hubungan Kemiringan Lereng Dengan Profil Horizon Laterit
Pada

kondisi

kemiringan

topografi

endapan yang berbeda-beda. Hal ini

berbeda akan terbentuk ketebalan


disebabkan

oleh kondisi lingkungan

pembentukan yang berbeda akibat perbedaan kemiringan topografi. Hubungan


persen lereng dengan ketebalan zona endapan laterit memperlihatkan bahwa
ketebalan zona limonit akan berbanding terbalik dengan kondisi kemiringan
topografi. Hal ini dikarenakan oleh aktivitas utama yang terjadi pada daerah
dengan kemiringan topografi terjal adalah pengikisan (erosi) sehingga unsur14

unsur penyusun limonit tidak akan terakumulasi melainkan tererosi sehingga


zona limonit tidak akan terbentuk. Kondisi yang

sama

terjadi

pada

LSOZ dan HSOZ dimana ketebalan zona ini akan berbanding terbalik dengan
kondisi kemiringan topografi. Pembentukan

masing-masing

zona

pada

endapan nikel laterit berada pada daerah dengan kemiringan lereng yang
moderat. kemiringan
kemungkinan

lereng yang sangat landai

(0%

35%)

besar

tidak akan terbentuk zona yang umum terdapat pada endapan

nikel laterit, walau tidak menutup kemungkinan terbentuknya horizon. Artinya


pada daerah dengan kemiringan lereng yang berkisar antara
dapat terbentuk

masing-masing

0% sampai 35%

zona namun dapat pula tidak ditemukan

adanya zona-zona umum yang berada pada endapan nikel laterit. Sementara
untuk daerah dengan kemiringan yang berkisar antara 18% sampai 52% maka
sangat besar kemungkinan

terbentuknya

zona- zona yang terdapat

pada

endapan nikel laterit. Sehingga untuk dapat menentukan kemiringan topografi


yang paling

prospek

sebagai

tempat pembentukan endapan nikel maka

dilakukan dengan cara mengiriskan batasan kemiringan dimana zona endapan


nikel laterit tidak terbentuk dan kemiringan dimana zona endapan nikel
laterit akan terbentuk. Hal ini dilakukan
mengingat
berkisar

ditemukannya
antara

kenyataan

sebagai solusi yang diambil

bahwa pada

kemiringan

yang

0% sampai 35% dapat terbentuk endapan nikel laterit,

namun dapat pula tidak ditemukan endapan nikel laterit. Sebagai hasil dari
irisan ini maka didapatkan suatu kemiringan topografi

sebagai

tempat

15

yang paling ideal untuk terbentuknya suatu endapan nikel laterit yakni pada
kemiringan antara 35% sampai 52% (Syafrizal,2009 ).

16

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian lapangan dilaksanakan selama kurang lebih satu bulan. Secara
administrasi daerah penelitian bertempat PT. Bintang |Delapan mineral.
Kabupaten morowali Propinsi Sulawesi Tengah.

Gambar 3.1 peta tunjuk lokasi penelitian ( simanjuntak 1933)


B. Jenis Penelitian
Jenis penelitan yaitu observasional (Sugiono,2012) dengan melakukan
pengamatan dan pengukuran secara langsung dilapangan untuk memperoleh data
yang diperlukan seperti data litologi, geomorfologi, dan struktur, serta sampel data
bor profil nikel laterit.
17

C. Bahan Atau Materi Penelitian


Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder.
- Data primer
Data primer yaitu data permukaan yang diperoleh dari hasil observasi dan
pengukuran langsung di Lapangan. Semua data yang dijumpai di lapangan, baik
data yang dilihat secara langsung berupa data geologi (geomorfologi, stratigrafi
dan struktur geologi) dan data batuan teralterasi maupun data yang diperoleh
dengan penelitian Laboratorium.
-

Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari peta geologi regional daerah

telitian dan sekitarnya sebagai referensi dalam penelitian dan bahan perbandingan
dalam menjawab tujuan penelitian.
D. Instrumen penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian tercantum pada tabel 1
Tabel 1. Instrumen yang digunakan dalam penelitian
No.
1.

Nama
Peta Topografi skala
1:25.000 Area
PT. Bintang Delapan
Mineral.

Fungsi
Peta dasar untuk melakukan orientasi medan dan
pengeplotan titik pengamatan di lapangan serta
mengetahui kondisi topografi.

2.

Palu Geologi

3.

Kompas Geologi

4.

GPS (Global
Positioning Sistem)

Menyampling/mengambil sampel batuan di


lapangan.
Melakukan orientasi medan, mengukur kelerengan
morfologi dan mengukur data struktur baik struktur
primer maupun sekunder serta menentukan arah
kemiringan batuan dan arah penyebaranya.
Menentukan titik koordinat

18

5.

Loup 20 kali
pembesaran

Mengamati butiran dan komposisi penyusun batuan


yang tidak dapat dilihat secara kasat mata.

6.
7.
8.
9.
10

Kamera
Alat tulis menulis
Mistar dan Busur
Derajat
Spidol Permanen
Tas Ransel

Mengambil dokumentasi data lapangan.


Mencatat hasil pengamatan lapangan.
Alat bantu dalam orientasi medan dan menentukan
titik koordinat pada peta.
Menulis kantong sampel.

11

Clipboard

12

Buku Lapangan

13
14

Leptop
Kantong sampel

Menyimpan semua peralatan yang digunakan di


lapangan.
Alas peta topografi, menulis dan sebagai alat
bantu dalam melakukan pengukuran data-data
di Lapangan (strike/dip)
Tempat mencatat data-data yang ada pada saat
melakukan observasi dan pengambilan data
lapangan.
Mengolah data yang akan dianalisis.
Tempat menyimpan sampel batuan penelitian.

E. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu antara lain:
1. Tahapan persiapan
Tahap ini merupakan tahap awal dari suatu kegiatan penelitian sebelum
melakukan pengambilan data-data lapangan yang terdiri dari :
a

Studi pustaka
Sebelum kegiatan penelitian dilaksanakan, agar dapat mengetahui bagaimana
kondisi daerah penelitian secara umum yang dilakukan dengan cara
mengumpulkan informasi mengenai kondisi geologi daerah penelitian dan
informasi yang dikumpulkan melalui teori-teori yang berhubungan Hubungan
kemiringan lereng terhadap profil zona laterit

19

b Persiapan peralatan lapangan


Persiapan kelengkapan peralatan lapangan yang akan dibawah dan digunakan
di dalam kegiatan penelitian di Lapangan, peralatan standar maupun peralatan
tambahan.
2. Tahapan penelitian lapangan
Tahap ini dilakukan di lokasi penelitian selama kurang lebih 1 bulan.
Dalam tahap ini, digunakan beberapa metode pengambilan data, antara lain :
a.

Penentuan dan pemplotan titik lokasi/stasiun pengamatan pada peta dasar,


sekala 1 : 25.000. Penentuan titik ini dapat dilakukan dengan metode orientasi
medan langsung dengan melihat kondisi sekitar dan memplotnya ke dalam
peta dasar, ataupun dengan menggunakan alat bantu berupa GPS.

b.

Pengamatan kondisi singkapan dihubungkan dengan batuan di sekitarnya,


dimensi penyebaran dan sifat-sifat megaskopis batuan tersebut.

c.

Pengamatan dan pengambilan data geomorfologi dan Struktur geologi.

d.

Pengambilan foto kondisi singkapan dengan menggunakan kamera.

e.

Pengambilan

conto

batuan

dengan

menggunakan

metode

sampling

dilakukan dengan cara chip sampling secara random terutama di bagianbagian satuan batuan yang terindikasi adanya ubahan larutan hidrotermal dan
Conto batuan yang diambil berukuran hand speciment dengan kondisi segar.
f.

Pengukuran data-data lapangan, meliputi pengukuran dimensi singkapan


(panjang dan lebar), tebal dan pengukuran data-data struktur (kekar, lipatan,
dll).

20

F. Pengolahan Data dan Analisis Hasi Penelitian


Analisis data yang di gunakan yaitu analisis data lapangan
-

Analisis Lapangan
1) Analisis Geomorfologi, didasarkan pada kenampakan morfologi lapangan,
relief, bentuk permukaan bumi seperti aliran sungai, soil, vegetasi, dan
kelerengan.
2) Analisis Struktur Geologi, dilakukan untuk mengetahui struktur geologi
yang terdapat pada daerah penelitian. Analisis data struktur lipatan dengan
menggunakan metode Busk (1929) sedangkan analisis data kekar
menggunakan Diagram kipas dan streonet.
3) Analisis morfometri untuk menentuan sudut dan presentase kelerengan
bentangalam dengan cara interpretasi garis kontur.
Rumus : Arctan = ((n-1)) x ik / jh x Sp)
Dimana:

(1)

= Kelerengan

= Jumlah Kontur

ik

= Interval Kontur

jh

= Jarak Horizontal

Sp

= Skala Peta

Desain Kerangka Berpikir


Hubungan Kemiringan Lereng Dalam Distribusi Ketebalan Horizon
Laterit Pada Endapan Nikel Laterit Area PT.Bintang Delapan Mineral
Mineral
21

Tujuan

Mengetahui hubungan kemiringan lereng dan morfologi dalam


distribusi ketebalan horizon laterit pada endapan nikel laterit
area PT.BDM
Metode
Observasional

1.
2.

Studi Pustaka
Persiapan Peralatan Lapangan

Persiapan

1.
2.
3.

Penentuan dan Pemplotan Titik Lokasi


Pengamatan Kondisi Singkapan
Pengambilan data Geologi (Litologi,
Geomorfologi dan Struktur Geologi)
Pengambilan Foto
Pengambilan Conto Batuan Fresh Rock
Pengukuran Data-Data Lapangan

Penelitian Lapangan

Pengolahan Data

4.
5.
6.

Hasil Penelitian

Hasil Analisis

1.
2.
3.

Peta Morfometri
Peta Kelerengan
Peta Geomorfologi

Hubungan kemiringan lereng


dengan zonasi distribusi
endapan nikel laterit.

Gambar 13. Diagram desain kerangka berpikir

G. Jadwal Penelitian
Kegiatan

Minggu

Minggu

Mingg
u

Minggu

Minggu

Minggu

Minggu

Minggu

22

Input

Proses

Pembuatan peta
morfometri

Output

Studio
Analisis Geomorfologi

Input

1.

Studi Pustaka

Pengumpulan
Data
Pengolahan
dan Analisis
Data
Pembuatan
skripsi

23

DAFTAR PUSTAKA
Boldt, J.R., 1967, The Winning of Nickel, The Hunter Rose Company, Longmans,
Canada.
M. Sompotan, Armstrong. 2012. Struktur Geologi Sulawesi. Perpustakaan sains
kebumian institusi teknologi bandung, 2012
Surono, 2010. Geologi Lengan Tenggara. Badan Geologi. Bandung
Surono, 2013, Geologi Lengan Tenggara Sulawesi, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi.
Syafrizal, M. Nur Heriawan, Sudarto Notosiswoyo, Komang Anggayana1 Jogi
F. Samosir, Hubungan Kemiringan Lereng Dan Morfologi Dalam
Distribusi Ketebalan Horizon Laterit Pada Endapan Nikel Laterit :
Studi Kasus Endapan Nikel Laterit Di Pulau Gee Dan Pulau Pakal,
Halmahera Timur, Maluku Utara. JTM Vol. XVI No. 3/2009
Waheed, 2006, Nickel Laterites - A Short Course On The Chemistry, Mineralogy
And Formation of Nickel Laterites, PT. Inco, Indonesia (Unpublished).

24

25

Anda mungkin juga menyukai