Pada percobaan ini dilakukan ekstraksi daun sirih dengan menggunakan metode
maserasi. Maserasi adalah suatu contoh metode ekstraksi padat-cair bertahap yang dilakukan
dengan jalan membiarkan padatan terendam dalam suatu pelarut. Proses perendaman dalam
usaha mengekstraksi suatu substansi dari bahan alam ini bisa dilakukan tanpa pemanasan (pada
temperatur kamar), dengan pemanasan atau bahkan pada suhu pendidihan. Metode maserasi
digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung komonen kimia yang mudah larut dalam
cairan penyari, tidak mengandung benzoin, tiraks dan lilin. Tujuan utama ekstraksi ini adalah
untuk mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat
pengobatan (TS Sembiring Meliala - 2010).
Pada praktikum kali ini sampel yang digunakan adalah sampel daun sirih. Simplisia
ditimbang sebanyak 50 gr kemudian ditambahkan dengan 200ml etanol 96%. Farmakope
Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air, etanol, etanol-air atau
eter.
Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena lebih selektif, kapang dan kuman sulit
tumbuh dalam etanol 20% keatas, tidak beracun, netral, absorbsinya baik, etanol dapat
bercampur dengan air pada segala perbandingan dan panas yang diperlukan untuk pemekatan
lebih sedikit. Etanol dapat melarutkan alkaloid basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin,
kumarin, antrakinon, flavonoid, steroid, damar dan klorofil. Lemak, malam, tanin dan saponin
hanya sedikit larut. Dengan demikian zat pengganggu yang terlarut hanya terbatas. Untuk
meningkatkan penyarian biasanya menggunakan campuran etanol dan air. Perbandingan jumlah
etanol dan air tergantung pada bahan yang disari.
Maserasi biasanya dilakukan dengan perbandingan 1:2, seperti 100 Kg sampel diekstrak
dengan 200 L pelarut. Guna mendapatkan ekstrak dalam waktu yang relatif cepat dapat
dilakukan pengadukandengan menggunakan shaker berkekuatan 120 rpm selama 24 jam
(Husnah, 2009:39). Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstrasksi akan
semakin banyak hasil yang diperoleh. (istiqomah.2013). Semakin lama waktu kontak antara
pelarut dengan sampel, maka akan semakin banyak pula senyawa metabolit sekunder yang
terekstrak. (Dea Alvicha Putri. 2014). Selama maserasi atau proses perendaman dilakukan
pengocokan berulang. Upaya ini menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstrasi yang lebih
cepat didalam cairan . sedangkan keadan diam selama maserasi menyebabkan turunannya
perpindahn bahan aktif. (istiqomah.2013). Untuk mengekstrak sampel uji lebih baik
Dari percobaan yang telah dilakukan terjadi perubahan warna pada sampel sirih, larutan
menjadi warna hijau pekat. Pada sampel tersebut membentuk aroma yang khas. Setalah proses
maserasi berlangsung selama 20 jam sampel tersebut disaring menggunakan kertas saring
whatman. Menggunakan kertas saring whatman karena kertas saring ini memiliki pori-pori yang
sangat kecil sehingga zat-zat yang ukuran sekecil apapun akan tersaring. Setalah proses
penyaringan tersebut ampas sampel tersebut disimpan. Ampas dari sisa penyaringan disimpan
tujuannya agar dapat melakukan remaserasi lagi. Yaitu apabila sampel yang kita gunakan kurang,
kita dapat melakukan remaserasi lagi dengan menambahkan sampel dengan larutan pecari yang
baru dan lakukan maserasi lagi sesuai dengan cara maserasi sebelumnya. Sampel yang telah
disaring disimpan dalam botol gelap dan diberikan label. Karena dalam melakukan maserasi
larutan penyari yang dgunakan adalah etanol. Etanol sendiri memiliki sifat yang mudah terbakar,
mudah menguap, bau khas dan mudah bergerak oleh karena itu sampel disimpan Dalam wadah
tertutup rapat, terlindung dari cahaya dengan menggunakan botol gelap , di tempat sejuk, jauh
dari nyala api. Factor-faktor yang mempengaruhi maserasi adalah :
1. Jenis pelarut
Jenis pelarut mempengaruhi senyawa yang tersari, jumlah solut yang terekstrak dan
kecepatan ekstraksi. Dalam dunia farmasi dan produk bahan obat alam, pelarut etanol,
air dan campuran keduanya lebih sering dipilih karena dapat diterima oleh konsumen.
2. Temperatur
Secara umum, kenaikan temperatur akan meningkatkan jumlah zat terlarut ke dalam
pelarut. Temperatur pada proses ekstraksi memang terbatas hingga suhu titik didih
pelarut yang digunakan.
3. Rasio pelarut dan bahan baku
Jika rasio pelarut-bahan baku besar maka akan memperbesar pula jumlah senyawa
yang terlarut. Akibatnya laju ekstraksi akan semakin meningkat. Akan tetapi semakin
banyak pelarut, proses ekstraksi juga semakin mahal. digunakan maka proses
hilirnya akan semakin mahal.
4. Ukuran partikel
Laju ekstraksi juga meningkat apabila ukuran partikel bahan baku semakin kecil.
Dalam arti lain, rendemen ekstrak akan semakin besar bila ukuran partikel semain
kecil.
Salah satu keuntungan metode maserasi adalah cepat, terutama jika maserasi dilakukan pada
suhu didih pelarut. Meskipun demikian, metode ini tidak selalu efektif dan efisien
UJI KUALITATIF
Pada praktikum ini dilakukan penapisan fitokimia pada ekstrak daun sirih. Kegiatan ini
merupakan identifikasi awal dilakukan terhadap sampel yang digunakan pada praktikum kali ini
yaitu serbuk simplisia daun sirih serta terhadap ekstrak etanol pekat dari daun sirih yang
bertujuan umtuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terkandung di dalamnya. Etanol
pekat yang digunakan dengan perbandingan 1 : 4 dalam pelarutan serbuk simplisia yang tidak
berserat seperti daun sirih. Metode yang digunakan dalam praktikum ini yaitu skrinning
fitokimia yang dilakukan dengan uji kualitatif melalui warnas.
Uji skrinning fitokimia untuk tanaman obat sangat diperlukan, biasanya digunakan untuk
merujuk pada senyawa metabolit sekunder yang ditemukan pada tumbuhan yang tidak digunakan
atau dibutuhkan pada fungsi normal tubuh. Namun memiliki efek yang menguntungkan bagi
kesehatan atau memiliki peranan aktif bagi pencegahan penyakit (Sudarma, 2010). Senyawa
metabolit sekunder diproduksi oleh tumbuhan salah satunya untuk mempertahankan diri dari
kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan seperti suhu, iklim maupun gangguan hama dan
penyakit tanaman (Lenny, 2006). Hasil analisis fitokimia dapat memberikan petunjuk tentang
keberadaan komponen kimia (senyawa metabolit sekunder) ini dikelompokkan menjadi beberapa
jenis golongan berdasarkan struktur kimianya yaitu alkaloid, fenol, flavonoid, terpenoid/steroid,
saponin, tanin dan kuinon (Ansyari, 2007). Pada uji kualitatif senyawa bioaktif bahan alam dan
mengidentifikasi komponen ekstrak bahan alam yaitu menggunakan ekstrak sampel daun
sirihdilakukan identifikasi senyawa golongan senyawa kimia kali ini yaitu alkaloid, flovanoid,
saponin, fenol dan kuinon.
Pada praktikum ini dilakukan uji untuk menentukan kandungan senyawa metabolit
sekunder ekstrak daun sirih berupa uji alkaloid, fenol, flavonoid, saponin dan kuinon. Dalam uji
senyawa alkaloid, flavonoid, terprnoid dan saponin didapat hasil negative. Sedangkan hasil
positif hanya pada fenol dan kuinon. Uji alkaloid dilakukan dengan meraksikan sampel ekstrak
dengan reagen dragendrof dan/atau reagen wagner. Hasil positif alkaloid pada uji wagner
ditandai dengan terbentuknya warna coklat merah jingga. Pada pembuatan reagen wagner, iodin
bereaksi dengan ion I- dari kalium iodide menghasilkan ion I3- yang berwarna coklat. Pada uji
wagner, ion logam K+ akan mebentuk ikatan kovalen koordinat dengan nitrogen pada alkaloid
membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap. (Marliana, S., 2005). Sedangkan hasil
positif alkaloid pada uji dragendrof akan ditandai dengan terbentuknya warna hijau kecoklatan.
Pada uji alkaloid dengan reagen dragendorf, nitrogen digunakan untuk membentuk ikatan
kovalen koordinat dengan K+ yang merupakan ion logam membentuk kompleks kalium-alkaloid
yang mengendap dan membentuk warna oranye/jingga.(Marliana, S., 2005). Pada uji flavonoid
dengan hasil negative. Flavonoid berupa senyawa fenol, oleh karena itu warnanya berubah bila
ditambah amil alkohol dan etanol. Uji senyawa flavonoid hasil positif terhadap flavonoid
ditunjukkan dengan timbulnya warna merah, jingga/kuning yang disebabkan oleh reduksi inti
benzopiron yang terdapat pada struktur flovanoid oleh Mg (Magnesium) dan terbentuknya garam
flavillum pada saat penambahan Mg (Magnesium). Pada uji saponin hasil dibuktikan dengan
terbentuknya busa pada penambahan aquades panas maupun HCl 2N dan dapat bertahan kurang
lebih 8 menit pada reaksi positif. Namun pada sampel sirih tidak menunjukkan adanya busa
tersebut. Penambahan HCl berfungsi untuk membuat suasana menjadi asam karena golongan
saponin bersifat basa, sedangkan akuades panas berfungsi untuk mendekstruksi protein karena
dapat mengganggu kualitas hasil uji. Timbulnya busa pada uji saponin menunjukkan adanya
glikosida yang mempunyai kemampuan membentuk buih dalam air yang terhidrolisis menjadi
glukosa dan senyawa lainnya. Saponin terdiri dari sapogenin yang terdiri dari sapogenin yang
merupakan molekul aglikon dan sebuah gula.Reaksi.
Pada uji Fenol didapatkan hasil positif, ekstrak daun sirih menunjukkan terbentuknya
warna kehijauan. Penambahan FeCl3 yang terlarut dalam ekstrak daun sirih dan menghasilkan
suatu larutan berwarna hijau kehitaman. Ini berarti FeCl 3 bereaksi dengan gugus fenol dan
membentuk warna hijau atau hijau biru. Reaksi positif Fe 3+ bereaksi dengan ion Clmenghasilkan ion FeCl3- yang berwarna hijau atau hijau biru. Dan pada uji kuinon juda
menunjukkan hasil positif dibuktikan dengan terbentuknya warna hijau kekuningan. Reaksi
yang terjadi yaitu:
yang valid, maka perlu dilakukan pengulangan, misalnya dalam penentuan nilai konsentrasi
suatu zat dalam larutan larutan dilakukan pengulangan sebanyak n kali.(Iqmal tahir,) Hal inilah
yang menyebabkan dilakukan pengulangan konsentrasi sebanyak 3x atau triplo agar
mendapatkan hasil yang pressi dan akurasi yang baik.
Setelah dilakukan pengenceran, selanjutnya dilakukan uji folin pada sampel dengan
metode folin ciocalteu. Metode folin ciocalteu didasarkan pada kekuatan reduksi gugus hidroksil
fenolik dan sangat tidak spesifik tetapi dapat mendeteksi semua jenis fenol dengan sensitifitas
yang bervariasi. Reaksi oksidasi reduksi ini muncul pada kondisi alkali dan mereduksi kompleks
fosfotungstat-fosfomolibdat dengan reagen menjadi warna biru. Metode ini tidak membedakan
perbedaan antar jenis komponen fenolik. Semakin tinggi jumlah gugus hidroksil fenolik, maka
semakin besar konsentrasi komponen fenolik yang terdeteksi. (Fany Nely. 2007). Pada sampel
dimasukkan reagen follin, pereaksi Folin-Ciocalteu merupakan larutan kompleks ion polimerik
yang dibentuk dari asam fosfomolibdat dan asam heteropolifosfotungstat. Pereaksi ini terbuat
dari air, natrium tungstat, natrium molibdat, asam fosfat, asam klorida, litium sulfat, dan bromin
(Folin dan Ciocalteu, 1944), adapun tujuan dari dimasukkannya reagen follin pada sampel yaitu
digunakan karena senyawa fenolik dapat bereaksi dengan Folin membentuk larutan berwarna
yang dapat diukur absorbansinya. Pereaksi Folin terdiri dari asam fosfomolibdat dan asam
fosfotungstat akan tereduksi oleh senyawa polifenol menjadi molibdenum-tungsen. Pengukuran
total fenol dilakukan dengan membandingkan fenol yang ada dalam bahan dengan grafik standar
fenol yang dibuat dari asam galat (Kusumaningati, 2009). Setelah dimasukkan reagen follin
selanjutnya dimasukkan Na2CO3 yang merupakan garam natrium dari asam karbonat yang
mudah larut dalam air. Natrium karbonat murni berwarna putih, bubuk tanpa warna yang
menyerap embun dari udara, punya rasa alkalin/pahit, dan membentuk larutan alkali yang kuat.
Tujuan dari dimasukkannya Na2CO3 yaitu untuk mengatur kondisi basa sehingga terjadi reaksi
antara senyawa fenol dengan Folin Ciocalteau. Adapun prinsip dari uji follin ini yaitu
terbentuknya senyawa kompleks berwarna biru. Pereaksi ini mengoksidasi fenolat (garam alkali)
atau gugus fenolik-hidroksi mereduksi asam heteropoli (fosfomolibdat-fosfotungstat) yang
terdapat dalam pereaksi Folin Ciocalteau menjadi suatu kompleks molibdenum-tungsten.
Senyawa fenolik bereaksi dengan reagen Folin Ciocalteau hanya dalam suasana basa agar terjadi
disosiasi proton pada senyawa fenolik menjadi ion fenolat. Untuk membuat kondisi basa
digunakan Na2CO3 7,5%. Gugus hidroksil pada senyawa fenolik bereaksi dengan reagen Folin
Pada praktikum ini juga dilakukan pembuatan larutan standar dimana untuk pembuatan
ini pada tabung reaksi ditambahkan asam glat, reagen follin dan Na2CO3. Sebagai standar dalam
pengukuran kadar polifenol digunakan asam galat. Asam galat adalah asam organik dengan nama
kimia asam 3,4,5-trihidroksi benzoat (C6H2(OH)3CO2H). Asam galat murni berbentuk bubuk
organik kristal tak bewarna dan berupa molekul bebas atau bagian dari molekul tanin. Asam galat
mempunyai sifat antifungal, antioksidan, dan antiviral.(Fany Nely. 2007). Penggunaan asam
galat sebagai standar karena senyawa ini sangat efektif untuk membentuk senyawa kompleks
dengan pereaksi Folin-Ciocalteu, (Julkunen-Tiito dan Kiayet al., 2011). Larutan standar dibuat
dengan berberapa konsentrasi yaitu dimulai dari 0 ppm, 2,5 ppm, 5 ppm, 7,5ppm, 10 ppm dan
terakhir 15 ppm tujuan dari adanya jenis konsesntrasi tersebut yaitu untuk mendapatkan nilai
absorbansi larutan pada rentang nilai yang tidak terlalu tinggi dan selisih nilai yang tidak terpaut
jauh. Fenol dapat bereaksi dengan Folin membentuk larutan berwarna yang dapat diukur
absorbansinya, digunakan pula Na2CO3 5% untuk mengatur kondisi basa sehingga terjadi reaksi
antara senyawa fenol dengan Folin Ciocalteau. Prinsip dari metode ini adalah terbentuknya
senyawa kompleks berwarna biru, dihasilkan dari reduksi kompleks fosfotungstat-fosfomolibdat
yang terdapat dalam pereaksi Folin Ciocalteau oleh senyawa fenol dalam suasana basa.
Selanjutnya sampel diukur absorbansi pada panjang gelombang 725 nm.(Maria dan Herry,2014)
Setelah tabung reaksi yang berisi sampel ditambahkan dengan reagen follin dan Na2CO3
selanjutnya tabung reaksi di inkubasi di tempat gelap selama 30 menit hal ini bertujuan yaitu
Inkubasi berfungsi untuk membiarkan terjadinya reaksi antara hidroksil fenol dari tannin dengan
pereaksi folin. Setelah dilakukan inkubasi selanjutnya dilakukan pengukuran absorbansi dari
larutan standar dan sampel. Pada sampel setelah dilakukan inkubasi menunjukkan perubahan
warna menjadi biru dongker bening, sedangkan pada larutan standar juga menunjukkkan warna
biru muda hingga biru dongker bening. Perubahan warna biru yang ditunjukkan pada setiap
pengulangan sampel menunjukkan warna yang sama.
Total fenol merupakan perkiraan jumlah senyawa fenolik yang terdapat dalam suatu bahan.
Pengukuran total fenol dalam penelitian ini menggunakan pereaksi folin. Senyawa folin dapat
bereaksi dengan gugus kromofor pada fenolik membentuk warna yang dapat diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 725 nm. Kadar fenolik total diukur dengan
menggunakan Folin-Ciocalteau yang didasarkan pada reaksi oksidasi-reduksi. Pereaksi Folin
terdiri dari asam fosfomolibdat dan asam fosfotungstat akan tereduksi oleh senyawa polifenol
menjadi molibdenum-tungsen. Pengukuran total fenol dilakukan dengan membandingkan fenol
yang ada dalam bahan dengan grafik standar fenol yang dibuat dari asam galat (Kusumaningati,
2009).
Larutan yang akan digunakan dalam penggunaan spektrofotometer adalah larutan blanko.
Larutan blanko merupakan larutan yang tidak mengandung analat untuk dianalisis (Basset 1994).
Larutan blanko digunakan sebagai kontrol dalam suatu percobaan sebagai nilai 100%
transmittans. Kurva standar merupakan standar dari sampel tertentu yang dapat digunakan
sebagai pedoman ataupun acuan untuk sampel tersebut pada percobaan. Pembuatan kurva
standar bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi larutan dengan nilai
absorbansinya sehingga konsentrasi sampel dapat diketahui. Terdapat dua metode untuk
membuat kurva standar yakni dengan metode grafik dan metode least square (Underwood 1990)
Pada saat pengukuran nilai absorbansi larutan starndar, didapatkan hasil absorbansi sebesar:
Konsentrasi (ppm)
0
2,5
5
7,5
10
Nilai Absorbansi
0
0,164
0,380
0,612
0,915
15
1,469
1.6
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
0
10
12
14
16
Kurva standar yang diperoleh menunjukkan persamaan garis lurus y = 0,0993x - 0,0722 dan nilai
R = 0,9906 yang menunjukkan bahwa konsentrasi mampu menerangkan keragaman absorbans
sebesar 99,06% dan sekitar 0,94% diterangkan oleh faktor lainnya.
Pada sampel uji triplo setelah dilakukan pengukuran nilai absorbansi, didapatkan hasil
Daun sirih (pengenceran 50x) sebesar 0,405, 0,437, 0,437. Dilihat dari hasil pengukuran
absorbansi, absorbansi sampel masuk dalam rentang nilai absorbansi standar sehingga dapat
digunakan untuk dimasukkan pada persamaan yang didapatkan dengan menggunakan absorbansi
standar. Pemilihan konsentrasi sangat berpengaruh pada nilai absorbansi, semakin tinggi
konsentrasi yang digunakan maka semakin tinggi pula nilai absorbansi yang dihasilkan. Hal ini
karena semakin besar konsentrasi larutan semakin pekat warnanya sehingga kekuatan untuk
menembus warnanya semakin besar. Apabila terjadi penyimpangan nilai absorbansi dengan
larutan standar. Maka dapat menyebabkan kesalahan yang besar. Oleh karena itu, larutan yang
memiliki absorbansi lebih tinggi dari larutan standar harus diencerkan sampai memenuhi
konsentarasi larutan standar yang telah ada. (Haris Dianto,2010)
Setelah didapatkan nilai absorban maka dapat dihitung kadar polifenol pada sampel uji
dengan menggunakan perhitungan yang dinyatakan menggunakan persentase. Didapatkan kadar
pada sampel uji sebesar 1,348% pada sampel uji ekstrak daun sirih.
Penyebab kesalahan yang sering terjadi pada preparasi standar adalah penggunaan
volume reagen dan sampel yang kurang tepat, lamanya inkubasi yang digunakan dan tempat
penyimpanan pada saat inkubasi. Penyebab kesalahan sistematik yang sering terjadi dalam
analisis menggunakan
dengan penggunaan blangko, yaitu larutan yang berisi matrik selain komponen yang akan
dianalisis. Kesalahan kedua serapan oleh kuvet. Kuvet yang biasa digunakan adalah dari bahan
gelas atau kuarsa. Dibandingkan dengan kuvet dari bahan gelas, kuvet kuarsa memberikan
kualitas yang lebih baik, namun tentu saja harganya jauh lebih mahal. Serapan oleh kuvet ini
diatasi dengan penggunaan jenis, ukuran, dan bahan kuvet yang sama untuk tempat blangko dan
sampel.Kesalahan ketiga fotometrik normal pada pengukuran dengan absorbansi yang sangat
rendah atau sangat tinggi. Hal ini dapat diatur dengan pengaturan konsentrasi, sesuai dengan
kisaran sensitivitas dari alat yang digunakan. (melalui pengenceran atau pemekatan) (Beran, J.A
1996).
KESIMPULAN
Pada praktikum ini proses pemisahan ekstrak daun sirih sebanyak 50gr dilakukan dengan
metode maserasi dan pelarut yang digunakan yaitu etanol 96% sebanyak 200ml. Dari Uji
kualitatif kandungan senyawa aktif ekstrak daun sirih berupa uji alkaloid, fenol, flavonoid,
saponin dan kuinon hanya didapat hasil positif senyawa kuinon yang dibuktikan dengan
terbentuknya warna hijau kekuningan dan pada Uji kuantitatif digunakan metode folin untuk
mengetahui kadar senyawa polifenol pada sampel uji (daun sirih). Pengukuran kadar fenol
sampel uji dilakukan dengan mengunakan spektrofotomerter dan didapatkan kadar polifenol
ekstrak daun sirih sebesar 1,348%.
DAFTAR PUSTAKA
Kusumaningati RW. 2009. Analisa Kandungan Fenol Total Jahe (Zingiber officinale Rosc.)
Secara In vitro. Jakarta: Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia.
http://journal.unpar.ac.id/index.php/rekayasa/article/viewFile/1253/1232