Anda di halaman 1dari 21

Tugas Kelompok

Dosen Pengampu

Ekonomi Islam II

Heri Sunandar,Dr.M.CI

PENGEMBANGAN EKONOMI KERAKYATAN BERBASIS ISLAM DALAM TATANAN


SISTEM PEREKONOMIAN DI INDONESIA

Disusun Oleh:
Jefrina Rahmiati

JURUSAN EKONOMI ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

Kata Pengantar

Puji dan syukur kami haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
pembuatan makalah. Dalam pembuatan makalah ini, banyak kesulitan yang kami
alami terutama di sebabkan oleh kurangnya pengetahuan. Namun berkat
bimbingan dan bantuan dari semua pihak akhirnya makalah ini dapat terselesaikan
tepat pada waktunya.
Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula dengan makalah yang kami buat
ini yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik
dan saran agar makalah ini menjadi lebih baik serta berdaya guna di masa akan
datang.

Daftar Isi

Kata Pengantar 1
Daftar ISi
2
Bab I Pendahuluan

BAB II Pembahasan
Sistem Ekonomi Kerakyatan
1.Ekonomi Kerakyatan sebagai Sistem Ekonomi
2.Ekonomi Kerakyatan dan Globalisasi
3. Ekonomi Kelembagaan dan Ekonomi Kerakyatan
4.Peran Pemerintah dalam Ekonomi Kerakyatan
5. Ekonomi Kerakyatan Mengisi Otonomi Daerah
6.Teori Besar Ekonomi Kelembagaan
7.Ekonomi Kelembagaan bagi Indonesia
BAB III Penutup
1. Kesimpulan

2.Saran
Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, Negara
Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pengejawantahan dari amanat Undang Undang
Dasar 1945 tersebut, khususnya yang berkaitan dengan frase memajukan kesejahteraan umum,
pada hakikatnya merupakan tugas semua elemen bangsa, yakni rakyat di segala lapisan di bawah
arahan pemerintah. Tidak terlalu salah jika, mengacu pada definisi tujuan pendirian negara yang
mulia tersebut, kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia harus dicapai dengan
menerapkan prinsip dari, oleh, dan untuk rakyat.
Konsep tersebut telah jauh-jauh hari dipikirkan oleh Bung Hatta (wakil presiden pertama
Negara Kesatuan Republik Indonesia). Beliau, bahkan jauh sebelum Schumacher (yang terkenal
dengan bukunya SmallisBeautiful, dan Amartya Sen) pemenang Nobel 1998 Bidang Ekonomi,
berpendapat bahwa ekonomi kerakyatan merupakan bentuk perekonomian yang paling tepat bagi
bangsa Indonesia (Nugroho, 1997). Orientasi utama dari ekonomi kerakyatan adalah rakyat
banyak, bukan sebagian atau sekelompok kecil orang. Pandangan tersebut lahir, menurut Baswir
(2006), jauh sebelum Indonesia merdeka. Bung Hatta melalui artikelnya yang berjudul
Ekonomi Rakyat yang diterbitkan dalam harian Daulat Rakyat (20 November 1933),
mengekspresikan kegundahannya melihat kondisi ekonomi rakyat Indonesia di bawah
penindasan pemerintah Hindia Belanda. Dapat dikatakan bahwa kegundahan hati Bung Hatta
atas kondisi ekonomi rakyat Indonesia yang waktu itu masih berada di bawah penjajahan
Belanda, merupakan cikal bakal dari lahirnya, katakanlah demikian, konsep ekonomi kerakyatan.

BAB II
PEMBAHASAN
SISTEM EKONOMI KERAKYATAN
Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah istilah yang relatif baru, yang menggantikan istilah
ekonomi rakyat yang konotasinya dianggap negatif dan bersifat diskriminatif.
Pakar-pakar ekonomi muda (arus utama) merasa muak (fedup) dengan istilah-istilah sistem
ekonomi Pancasila, karena :
1.

Istilah-istilah ekonomi ditunggangi pesan-pesan politik dari pemerintah atau pejabat-

pejabat pemerintah, tidak saja kata rakyat atau ekonomi kerakyatan dicurigai bahkan kata
Pancasila dianggap terlalu berat untuk dipakai sebagai nama sistem ekonomi yang cocok atau
tepat bagi Indonesia.
2.
Pemerintah Orde Baru telah secara sepihak memonopoli pengertian dan memanfaatkannya
sebagai pembenaran (justification) atas berbagai kebijaksanaan atau politik ekonomi liberal yang
berpihak pada ekonomi konglomerasi.
Demontrasi mahasiswa (rakyat) yang menuntut turunnya Soeharto dari pemerintahan pada
tahun 1997 dan meminta agar dilaksanakan reformasi. Reformasi yang dituntut adalah, antara
lain, reformasi di bidang politik dan reformasi di bidang ekonomi. Reformasi di bidang politik
adalah kebebasan bersuara, berpolitik, atau secara singkatnya adalah kebebasan demokrasi, yang
selam pemerintahan Soeharto (1965-1997) sangat dikekang atau dipasung. Reformasi di bidang
ekonomi dikatakan bahwa di bawah presiden Soeharto pemerintah terlalu memihak kepada
perusahaan besar, pada hal terbukti dari krisis yang lalu (1997) bahwa usaha kecil dan menengah
atau usaha rakyat terbukti tahan banting.
Yang mengalami kehancuran pada krisis 1997 adalah usaha besar, PHK juga dilakukan oleh
perusahaan besar, perusahaan multinasional. Kredit diarahkan terutama untuk kepentingan
perusahaan besar. Dominasi asing dalam perekonomian, seperti misalnya peranan Bank Dunia,
IMF dan lembaga asing lainnya, dianggap sebagai satu hal yang berlebihan dan rakyat
menginginkan agar perekonomian lebih bersifat berdiri di atas kaki sendiri. Oleh karena itu
hutang kepada IMF dan Bank Dunia dibayar lunas. Namun hutang luar negeri tidak seluruhnya
lunas dan dalam waktu setahun, dan ironisnya adalah bahwa sementara hutang luar negeri
berkurang ternyata hutang dalam negeri meningkat dengan tajam. Beberapa hal berikut ini
merupakan kebijakan pemerintah selama dalam sistem ekonomi kerakyatan :
5

1.

Peranan IGGI dikurangi, semula diganti dengan CGI (consultative Group on Indonesia)

sehingga badan tersebut hanya bersifat konsultasi dalam menyusun kebijaksanaan ekonomi.
2.

Investasi asing dengan UUPMA dan investasi dalam negeri dengan UUPMDN, yang

memberikan prioritas pada pengusaha besar tidak banyak mendapat sorotan, tidak dihapuskan,
namun berjalan seperti semula.
3.

Tampak adanya usaha swastanisasi perusahaan Negara namun belum selesai dan usaha

swastanisasi ini merupakan isu internasional dan bukanlah disebabkan oleh karena sistem
ekonomi kerakyatan.
4. Dari tinjauan di atas dan pengamatan yang mendalam, sistem ekonomi kerakyatan ini masih
mempunyai ciri sangat kental sebagai sistem ekonomi pasar.
1. Ekonomi Kerakyatan sebagai Sistem Ekonomi
Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi
rakyat. Di mana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang
dilakukan oleh rakyat kebanyakan (populer) yang dengan secara swadaya mengelola sumber
daya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai
Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan,
makanan, dsb., yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya
tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.
Secara ringkas Konvensi ILO169 tahun 1989 memberi definisi ekonomi kerakyatan
adalah ekonomi tradisional yang menjadi basis kehidupan masyarakat lokal dalam
mempertahankan

kehidupannya.

Ekonomi

kerakyatan

ini

dikembangkan

berdasarkan

pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal dalam mengelola lingkungan dan tanah mereka
secara turun-temurun. Aktivitas ekonomi kerakyatan ini terkait dengan ekonomi subsistem antara
lain pertanian tradisional seperti perburuan, perkebunan, mencari ikan, dan lainnya kegiatan
disekitar lingkungan alamnya serta kerajinan tangan dan industri rumahan. Kesemua kegiatan
ekonomi tersebut dilakukan dengan pasar tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya
ditujukan untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya sendiri. Kegiatan
ekonomi dikembangkan untuk membantu dirinya sendiri dan masyarakatnya, sehingga tidak
mengeploitasi sumber daya alam yang ada.

Sri-EdiSwasono dosen sistem ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang


berani dan tegas berbicara tentang Sistem Ekonomi Indonesia yang seharusnya secara mantap
disebut Sistem Ekonomi Pancasila, dalam pidato pengukuhan Guru Besar Juli 1988 dengan
judul Demokrasi Ekonomi: Komitmen dan pembangunan Indonesia Sri-Edi mengatakan :
Sistem ekonomi Indonesia yang berdasarkan atas Demokrasi Ekonomi itu akan lebih cepat
terwujud jika dalam setiap penyusunan kebijaksanaan dikaitkan lebih langsung dengan butirbutir demokrasi ekonomi. Dengan demikian perencanaan pembangunan sekaligus perencanaan
sistem, dan pembangunan ekonomi sekaligus merupakan pembangunan sistemnya.
Widjojo Nitisastro, pemimpin teknokrat ekonomi pemerintah Orde Baru, menaruh
perhatian besar

pada nasib ekonomi rakyat, untuk membangunnya dikembangkan sistem

ekonomi yang mengacu pada Pancasila dan UUD 1945.


..pembangunan ekonomi rakyat harus diberikan prioritas utama di antara soal-soal
nasionalLandasanidiil dalam membina Sistem Ekonomi Indonesia dan yang sementara
harus tercermin dalam kebijaksanaan ekonomi ialah Pancasila dan UUD 1945. Hakekat dari
landasanidiil ini adalah pembinaan sistem ekonomi terpimpin berdasarkan pancasila.
Pada sidang istimewa MPR November 1998 dihasilkan Sejumlah ketetapan reformatif
yang mengamanatkan pemerintah Reformasi Pembangunan untuk mengadakan berbagai koreksi
fundamental dan total terhadap tatanan-tatanan ekonomi Orde Baru.
Ketetapan ini berjudul Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, berarti ada
perintah untuk menyusun Politik Ekonomi Baru yang berbeda, karena politik ekonomi lama yang
diterapkan pemerintah Orde Baru tidak membangun dan mengembangkan ekonomi rakyat.
Sebaliknya politik ekonomi dalam bentuk deregulasi bersifat liberal (kebablasan) yang lebih
menguntungkan sejumlah kecil perusahaan swasta konglomerat. Inilah pola pembangunan
ekonomi konglomerasi.
Tentang liberalisasi yang kebablasan ini Frans Seda selalu menunjuk pada kelalaian kita
untuk melaksanakan ajaran-ajaran Bung Hatta.
yang lebih prihatin lagi, bahwa sementara tantangan-tantangan secara fundamental itu terjadi
pemerintah sepertinya tidak siap, dan datang dengan konsep-konsep pragmatis dan piecemeal
seperti kebijakan deregulasi, debirokrasi,join grup ini, join grup sana, tanpa ada suatu visi yang
konsepsional komprehensif dan strategis. Dalam hal ini kita dapat berguru pada Bung Hatta.

TAP No. XVI/1998 menegaskan perlunya penerapan sistem ekonomi kerakyatan yang
berpihak pada upaya-upaya pemberdayaan ekonomi rakyat.
2. Ekonomi Kerakyatan dan Globalisasi
Dalam kancah persaingan global yang makin kompetitif maka peningkatan daya saing
ekonomi nasional mutlak dibutuhkan dan tak mungkin ditawar tawar lagi untuk
menyelamatkan negara. Yang terasa aneh adalah ungkapan yang muncul dalam sidang APEC di
Bogor November 1994 yaitu siap tidak siap, suka tidak suka, kita harus ikut globalisasi karena
kita sudah berada di dalamnya. Ungkapan ini bisa diartikan adanya rasa percaya diri dan
optimisme Indonesia bakal mampu bersaing dalam kancah perekonomian global, namun yang
juga dapat dibantah adalah bahwa Indonesia dipaksa melaksanakan tindakan-tindakan
ekonomi yang mungkin tidak kita sukai karena jelas-jelas merugikan ekonomi nasional atau
melemahkan ketahanan nasional. Sudah diperingatkan oleh Hadi Soesastro bahwa globalisasi
adalah berbahaya, mahal, dan resikonya besar

bagi Negara-negara berkembang seperti

Indonesia. Jika memang demikian, mengapa kita harus melaksanakannya juga?


Diterapkannya sistem ekonomi kerakyatan yaitu yang demokratis dan benar-benar sesuai
dengan sistem nilai bangsa Indonesia ( sistem ekonomi atau aturan main yang kita buat sendiri )
tentunya memberikan peluang bahwa aturan main itu lebih sesuai dan lebih tepat bagi bangsa
Indonesia dalam upaya mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.
Kita merasa pesimis menghadapi kekuatan-kekuatan ekonomi raksasa dari luar, sehingga
untuk berpikir beda saja sudah dianggap tidak wajar.
Mengapa dalam suasana globalisasi kita justru bertumpu pada ekonomi rakyat yang sudah
jelas tertinggal dan rendah efisiensinya?.
Adalah amat keliru

menjadikan persaingan bebas secara global sebagai tujuan.

Pembangunan nasional adalah mewujudkan ketahanan nasional yang kuat dan tangguh yang
sudah terbukti tidak dapat diandalkan pada sejumlah kecil pengusaha konglomerat, tetapi justru
harus mengandalkan kekuatan dan ketahanan ekonomi rakyat. Jika dalam krisis ekonomi yang
kini masih berlangsung ekonomi rakyat terbukti tahan banting dan banyak yang justru dapat
lebih berkembang, maka jika kita berhasil memberdayakannya, ketahanan ekonomi nasional
akan lebih kuat dan lebih tangguh lagi dimasa depan.

3. Ekonomi Kelembagaan dan Ekonomi Kerakyatan


Dengan teori-teori ekonomi yang konvensional yang bertumpu pada paradigma
persaingan bebas liberal terbukti

bangsa Indonesia tidak mampu dan tidak berdaya

mengembangkan politik ekonomi yang menguntungkan seluruh rakyat Indonesia. Ada teori
ekonomi yang berbeda yang lebih mengandalkan upaya-upaya manusia untuk bekerja sama
(cooperation) dan bukan persaingan (competition). Bung Hatta yang pakar ekonomi dan
sekaligus perumus pasal-pasal kesejahteraan sosial dalam UUD 1945 menganjurkan koperasi
sebagai bangun/ bentuk perusahaan yang sesuai dengan bentuk usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
Douglas C. North, penerima hadiah Nobel Ekonomi tahun 1993 yang Guru besar
Ekonomi Kelembagaan generasi baru, meneruskan tokoh-tokoh ekonomi kelembagaan
sebelumnya yaitu J.R. Commons, ThornsteinVeblen, dan GunnarMyrdal dari Swedia .
Tekanan dari ilmu ekonomi kelembagaan yaitu :
1.

Manusia menciptakan dan menggunakan lembaga-lembaga tertentu untuk memecahkan

berbagai konflik ekonomi di dalam masyarakat.


2. Mencari kemungkinan-kemungkinan tindakan bersama (collectiveaction) dan kerjasama
antar manusia (human cooperation) untuk mengatasi konflik-konflik sosial-ekonomi.
Ekonomi Ortodoks :
Percaya bahwa persaingan bebas akan menghabiskan harmoni dan efisiensi.
Terjadinya krismon dan krisis ekonomi di Indonesia tidak diduga siapapun hanya menunjukkan
kurangnya perhatian ekonom pada peranan lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan budaya
masyarakat.
Perhatian para ekonom lebih tertuju pada indikator-indikator ekonomi makro kuantitatif (dapat
diukur dengan angka-angka) seperti :
a) Angka-angka inflasi.
b) Pertumbuhan ekonomi
c) Cadangan devisa yang dikenal sebagai fundamental ekonomi.
Budaya suatu bangsa merupakan faktor utama pembentuk lembaga yaitu aturan-aturan yang
melarang atau membolehkan suatu tindakan dilakukan seseorang. Douglas North menegaskan
tiga komponen lembaga, yaitu :
1. Batasan-batasan informal (informal constraints),
2. Aturan-aturan formal (formal rules), dan
3. Paksaan pematuhan terhadap keduanya (enforcement of both).
9

Ekonomi Kelembagaan adalah :


Cabang ilmu ekonomi yang percaya adanya peran lembaga-lembaga dalam kinerja
ekonomi suatu masyarakat, karena batasan-batasan dan aturan-aturan yang dibuat masyarakat
yang bersangkutan dipatuhi atau dapat dipaksakan pematuhannya.
Lembaga adalah : aturan main.
Organisasi adalah : pemain, yaitu kelompok-kelompok masyarakat dan perorangan warga
masyarakat yang terikat dalam kebersamaan untuk mencapai tujuan bersama, seperti badanbadan politik, ekonomi, sosial dan pendidikan

4. Peran Pemerintah dalam Ekonomi Kerakyatan

Ekonomi Kerakyatan

Kapitalisme
Negara Kesejahteraan

Ekonomi Neoliberal

10

1. 1. Menyusun perekonomian1.
sebagai usaha bersama
berdasarkan atas azas
kekeluargaan;
mengembangkan koperasi
(Pasal 33 ayat 1)

1. Mengintervensi pasar untuk1.


menciptanya kondisi
kesempatan kerja penuh.

1. Mengatur dan menjaga


bekerjanya mekanisme pasar;
mencegah monopoli.

2. 2. Menguasai cabangcabang produksi yang


2. 2. Menyelenggarakan BUMN2.
penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang pada cabang-cabang produksi
yang tidak dapat
banyak; mengembangkan
diselenggarakan oleh
BUMN (Pasal 33 ayat 2).
perusahaan swasta

2. Mengembangkan sektor
swasta dan melakukan
privatisasi BUMN.

3. 3. Menguasai dan
memastikan pemanfaatan 3. 3. Menjaga keseimbangan
3.
antara pertumbuhan ekonomi
bumi, air, dan segala
kekayaan yang terkandung di dengan pemerataan
pembangunan.
dalamnya bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat
(Pasal 33 ayat 3).

3 Memacu laju pertumbuhan


ekonomi, termasuk dengan
menciptakan lingkungan yang
kondusif bagi masuknya
investasi asing.

4. 4. Mengelola anggaran
4. 4. Mengelola anggaran negara 4. 4. Melaksanakan kebijakan
negara untuk kesejahteraan
untuk kesejahteraan rakyat;
anggaran ketat, termasuk
rakyat; memberlakukan
memberlakukan pajak
menghapuskan subsidi.
pajak progresif dan
progresif dan memberikan
memberikan subsidi.
subsidi.

5. 5. Menjaga stabilitas
moneter.

5. 5. Menjaga stabilitas moneter.

5. 5. Menjaga stabilitas moneter.

6. 6. Memastikan setiap warga


6. 6. Memastikan setiap warga
negara memperoleh haknya 6. 6. Melindungi pekerja
perempuan, pekerja anak, dan
negara memperoleh haknya
untuk mendapatkan pekerjaan
bila perlu menetapkan upah
untuk mendapatkan
dan penghidupan yang layak.
minimum.
pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan
(Pasal 27 ayat 2).

7. 7. Memelihara fakir miskin


dan anak terlantar (Pasal
34).
7. 7. Memelihara fakir miskin dan
7.
anak terlantar.

Pemerintahan

Indonesia,

justru

sampai

saat

7. ---

ini

masih

sangat

getol

melakukan kapitalismemurni yang sudah ditinggalkan orang lain bahkan pencetusnya sendiri
11

yaitu negara Amerika padahal amanat Undang-undang Dasar jelas mengarah kepada ekonomi
kerakyatan. Usaha kecil dan menengah tidak terkelola dengan baik. Sebagai contoh, pasar
pemerintah, yang banyak diisi oleh pedagang kecil dan menengah terpinggirkan oleh pasar
modern dan hipermarket. Ini bukanlah semata hasil persaingan yangfair. Ketika pasar rakyat
yang langsung di bawah binaan pemerintah tidak dikelola dengan baik, kumuh, berdesakan,
panas, becek, banyak copet, pungli dan adanya pungutan-pungutan liar akibat dari
adanyafreemanisme, tidak terpenuhinya kebutuhan barang yang diinginkan oleh konsumen dan
lain sebagainya, yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, bagaimana mungkin bisa bersaing
dengan hypermarket yang nyaman dan serba ada. Mengapa tidak pemerintah memodernisasi
pasar tradisional, menghilangkan pungli dan lain sebagainya, sehingga kompetisi yang terjadi
adalah kompetisi yang fair. Belum lagi bicara masalah modal UKM. Akses terhadap modal dan
pinjaman yang terbatas atau kalaupun ada, sangat sulit, melewati banyak prosedur dan berbiaya
tinggi. Keberpihakan kepada perusahaan besar semakin kuat. Hal ini dapat dilihat dari indikasi
keberpihakan pemerintah terhadap sektor moneter seperti bank-bank konvensional dan peraturan
persaingan pasar yang kurang jelas dan tegas.
Harusnya, Peranan positif lembaga dalam membantu masyarakat meningkatkan
kesejahteraan, atau dalam hal koperasi mampu memperjuangkan kepentingan ekonomi anggotaanggotanya, maka pemerintah atau Negara (thestate) yang demokratis harus mampu berperanan
memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau sekedar
meningkatkan kepastian hukum.
Berbagai organisasi bentukan pemerintah menurut Douglas North mungkin saja efisien
tetapi efisien dalam membuat suatu masyarakat tidak produktif.
Contoh: pemberian uang sogok (korupsi) kepada pejabat-pejabat/ instansi pemerintah untuk
mempercepat suatu urusan bisnis.

5. Ekonomi Kerakyatan Mengisi Otonomi Daerah


TAP No. XVI/ 1998 tentang Politik Ekonomi.
TAP No. XV tentang Otonomi Daerah.

12

UU No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah


UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah.
Kedua UU yang akan efektif berlaku tahun 2000 ini akan berarti kenaikan yang sangat besar
dari dana-dana pembangunan daerah berupa bagian daerah dari penerimaan PBB, bea perolehan
hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan daerah dari sumberdaya alam minyak, hutan dan
perikanan, sehingga daerah yang kaya akan sumberdaya alam tidak saja akan menguasai lebih
banyak untuk pembangunan daerah, tetapi juga akan mempunyai wewenang jauh lebih besar dari
sebelum reformasi untuk mengarahkan pemanfaatannya. Dengan demikian penerapan sistem
ekonomi kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program kongkrit bagi pemerintah
daerah yang lebih mandiri, dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan
pembangunan daerah.
6. Teori Besar Ekonomi Kelembagaan
Adatiga teori penting yang selama ini menjadi pijakan para perencana pembangunan maupun
pengambil kebijakan yang mencoba mengadopsi pendekatan ekonomi kelembagaan untuk
mengupas persoalan-persoalan ekonomi. Ketiga teori tersebut adalah:
1. Teori ekonomi biaya transaksi
Seperti diketahui, pandangan neoklasik menganggap pasar berjalan secara sempurna tanpa
biaya apapun karena pembeli (consumers) memiliki informasi yang sempurna dan penjual
(producers) saling berkompetisi sehingga menghasilkan harga yang rendah. Tetapi dunia nyata
faktanya adalah sebaliknya, di mana informasi, kompetisi, sistem kontrak, dan proses jual-beli
bisa sangat asimetris. Inilah yang menimbulkan adanya biaya transaksi, yang sekaligus bisa
didefinisikan sebagai biaya-biaya untuk melakukan proses negosiasi, pengukuran, dan
pemaksaan pertukaran. Singkatnya, teori biaya transaksi menggunakan transaksi sebagai basis
unit analisis, sedangkan teori neoklasik memakai produk sebagai dasar unit analisis. Berikutnya,
teori ekonomi kelembagaan juga diformulasikan oleh teori Coase (CoaseTheorem) yang
mengklarifikasi

tentang

biaya

transaksi

dalam

teori

ekonomi

neoklasik.

Coase

mendemonstrasikan bahwa inefisiensi dalam ekonomi neoklasik bisa terjadi bukan cuma akibat
adanya struktur pasar yang tidak sempurna atau penjelasan standar lainnya, melainkan karena
adanya kehadiran secara implisit biaya transaksi. Dalam kasus monopoli, misalnya, inefisiensi
bukan hanya terjadi akibat struktur pasar yang terkosentrasi, namun juga oleh sebab kesulitan

13

pihak monopolis menentukan jumlah pembeli dan harus menegosiasikan di antara mereka.
Sedangkan pada kasus eksternalitas, inefisiensi terjadi jika biaya sosial produksi melebihi biaya
privat produksi (eksternalitas negatif) sehingga perusahaan tidak mampu memberikan
kompensasi

bagi

tambahan

biaya

tersebut.

Sebenarnya untuk mendefinisikan biaya transaksi ini sangatlah pelik. Namun, sebagai upaya
untuk mengerjakan investigasi konsep tentang biaya transaksi sangatlah berguna untuk
mengenali bentuk dan struktur sebuah pertukaran/ transaksi (Furubotn dan Richter, 1991:8).
Sedangkan menurut, Furubotn dan Richter menunjukkan bahwa biaya transaksi adalah
ongkos untuk menggunakan pasar (markettransactioncosts) dan biaya melakukan hak untuk
memberikan pesanan di dalam perusahaan (managerialtransactioncosts). Di samping itu, ada
juga rangkaian biaya yang diasosiasikan untuk menggerakkan dan menyesuaikan dengan
kerangka politik kelembagaan (politicaltransactioncosts). Untuk masing-masing tiga jenis biaya
transaksi tersebut bisa dibedakan menurut dua tipe:
1. biaya transaksi "tetap" (fixedtransactioncosts), yaitu investasi spesifik yang dibuat di dalam
menyusun kesepakatan kelembagaan (institusional arrangements).
2. biaya transaksi "variabel" (variabletransactioncosts), yakni biaya yang tergantung pada
jumlah dan volume transaksi. Pada poin ini, sifat dari biaya transaksi sama dengan ongkos
produksi, di mana keduanya mengenal konsep biaya tetap dan biaya variabel. Cuma, dalam
identifikasi yang mendalam, tentu membedakan antara biaya tetap dan variabel dalam biaya
transaksi tidak semudah apabila membandingkannya dalam biaya produksi.
2. Teori hak kepemilikan (Property Rights)
Untuk memahami konsep dasar dari hak kepemilikan, langkah terbaik adalah dengan mulamula mengasumsikan bahwa seluruh kegiatan ekonomi mengambil tempat dalam kerangka
kelembagaan dasar dari negara liberal klasik (classical liberal state). Asumsi itu menyebutkan
bahwa hak kepemilikan ditetapkan kepada individu menurut prinsip kepemilikan pribadi
(privateownership) dan bahwa sanksi atas hak kepemilikan dapat dipindahkan (transferable)
melalui izin menurut prinsip kebebasan kontrak (freedom of contract). Melalui konsep dasar
tersebut, hak kepemilikan (right of ownership) atas suatu aset dapat dimengerti sebagai hak
untuk menggunakan (righttouse), untuk mengubah bentuk dan isi hak kepemilikan
(tochangeitsformandsubstance), dan untuk memindahkan seluruh hak-hak atas aset (to transfer
allrightsintheasset), atau beberapa hak (somerights) yang diinginkan. Dengan deskripsi ini, hak

14

kepemilikan hampir selalu berupa hak eksklusif (exclusiveright), tetapi kepemilikan bukan
berarti hak yang tanpa batas (unrestrictedright).
Sedangkan Bromley dan Cernea mendefinisikan hak kepemilikan sebagai hak untuk
mendapatkan aliran laba yang hanya aman (secure) bila pihak-pihak yang lain respek dengan
kondisi yang melindungi aliran laba tersebut. Makna ini dengan cukup terang mendonorkan
gambaran yang jelas, bahwa sesungguhnya hak kepemilikan menyangkut penguasaan individu
atas aset (dalam pengertian yang luas bisa berupa ilmu pengetahuan dan keterampilan) sehingga
di dalam dirinya terdapat hak untuk menggunakan atau memindahkan atas yang aset yang
dikuasai/dimiliki.
Kepemilikan (property) di sini bisa berupa kepemilikan fisik (obyek konsumen, tanah,
peralatan-peralatan modal) dan kepemilikan yang tidak terlihat (intangibleproperty), seperti ide,
puisi, dan formula/rumus kimia. Namun, barangkali di antara sekian banyak hak kepemilikan
yang ada, bentuk hak kepemilikan yang paling penting bagi teori ekonomi adalah tenaga kerja
dan alat-alat produksi (means of production). Faktanya memang demikian, di mana kebijakankebijakan hak kepemilikan terus diarahkan untuk menjamin kepastian faktor produksi, seperti
lahan, tenaga kerja, dan modal. Faktor produksi tersebut mendapatkan prioritas untuk
mendapatan kepastian hak kepemilikannya, sebab bila tidak dilindungi dipastikan kegiatan
produksi (ekonomi) akan macet.
Dalam konteks kerangka kerja neoklasik, Tietenberg menerima premis yang dikembangkan oleh
aliran neoklasik dan menyarankan bahwa struktur yang efisien dari hak kepemilikan dapat
memproduksi alokasi sumberdaya yang efisien pula.
Kemudian dia mengidentifikasi empat karakteristik dari hak kepemilikan yang penting:
1. Universalitas: seluruh sumberdaya dimiliki secara privat dan seluruh jatah (entitlement)
dispesifikasi secara lengkap.
2. Eksklusivitas: seluruh keuntungan dan biaya diperluas sebagai hasil dari kepemilikan dan
pemanfaatan sumberdaya seharusnya jatuh ke pemilik, dan hanya kepada pemilik, baik secara
langsung maupun tidak langsung, melalui penjualan atau yang lain.
3. Transferabilitas: seluruh hak kepemilikan seharusnya dapat dipindahkan/ditransfer dari satu
pemilik kepada pihak lain lewat pertukaran sukarela.
4. Enforsibilitas: hak kepemilikan seharusnya dijamin dari praktek keterpaksaan atau
pelanggaran dari pihak lain.
Pada akhirnya, bila dipilah-pilah jenis-jenis hak kepemilikan yang eksis dalam masyarakat,
setidaknya

terdapat

tiga

tipe

yang

penting,

yakni

hak

kepemilikan

individu

(privatepropertyright/ownership), hak kepemilikan negara (statepropertyright/ownership), dan


15

hak

kepemilikan

komunal

(communalpropertyright/ownership).

Hak

kepemilikan

individu/pribadi dimaksudkan bahwa setiap individu berhak untuk menguasai dan memiliki aset
spesifik yang diinginkan, di mana dengan kepemilikan tersebut dia berhak untuk memperoleh
keuntungan, entah dengan cara diolah, dijual, atau dengan jalan lain. Sedangkan hak kepemilikan
negara diartikan bahwa aset spesifik hanya dibolehkan menjadi milik negara sehingga
individu/pribadi tidak diperkenankan untuk memilikinya. Sementara itu, hak kepemilikan
komunal tidak lain merupakan kepemilikan yang dipunyai oleh kelompok yang telah
terdefinisikan dengan baik (well-definedgroup) dari orang-orang (people) yang bergabung untuk
menggenggam aset yang tidak bisa dipindahkan (nontransferableasset). Di luar itu, memang
masih ada beberapa jenis hak kepemilikan lain, misalnya hak kepemilikan terbuka
(openaccesspropertyright), namun eksistensinya saat ini semakin melemah seiring dengan
intensitas modernisasi ekonomi.
3. Teori modal sosial
Muasal teori modal sosial pertama kali sesungguhnya dipicu oleh tulisan Pierre Bourdieu yang
dipublikasikan pada akhir tahun 1970-an. Judul tulisan Bourdieu tersebut antara lain adalah Le
Capital Social: Notes Provisoires, yang diterbitkan dalam Actesde la Rechercheen Sciences
Sociales (1980). Namun, karena publikasi tersebut dilakukan dalam bahasa Prancis, membuat
tidak banyak ilmuwan sosial (khususnya sosiologi dan ekonomi) yang menaruh perhatian.
Setelah James S. Colemanmempublikasikan topik yang sama pada tahun 1993, barulah para
intelektual mengunduh tema tersebut sebagai salah satu santapan penting yang mempertemukan
antardisiplin ilmu. Akhirnya, hingga saat ini, banyak pihak yang berkeyakinan bahwa Coleman
merupakan ilmuwan pertama yang memperkenalkan konsep modal sosial, seperti yang ia tulis
dalam jurnal American Journal of Sociology yang berjudul Social Capital intheCreation of
Human Capital (1988).
Lepas dari misi informasi tersebut, topik modal sosial memang sangat wajar mendapatkan atensi
yang besar dari para pemikir sosial karena cakupan dan relevansinya yang kasatmata. Bahkan,
Poldan menyebut modal sosial sangat dekat untuk menjadi konsep gabungan bagi seluruh
disiplin ilmu sosial (closetobecoming a jointconcept for allsocialsciences). Berbeda dengan dua
modal lainnya yang lebih dulu populer dalam bidang ilmu sosial, yakni modal ekonomi
(economic/financialcapital) dan modal manusia (human kapital), modal sosial baru eksis bila ia
berinteraksi dengan struktur sosial. Sifat ini jelas berbeda dengan dua modal sebelumnya, yakni
modal ekonomi dan manusia. Dengan modal ekonomi yang dimiliki seseorang/perusahaan bisa
16

melakukan kegiatan (ekonomi) tanpa harus terpengaruh dengan struktur sosial, demikian pula
halnya dengan modal manusia. Hal inilah yang menyebabkan Colemanmendefinisikan modal
sosial berdasarkan fungsinya. Menurutnya, modal sosial bukanlah entitas tunggal, tetapi entitas
majemuk yang mengandung dua elemen:
1. modal sosial mencakup beberapa aspek dari struktur sosial.
2. modal sosial memfasilitasi tindakan tertentu dari pelaku (aktor) baik individu maupun
perusahaan di dalam struktur tersebut (withinthestructure). Dari perspektif ini, sama halnya
dengan modal lainnya, modal sosial juga bersifat produktif, yakni membuat pencapaian tujuan
tertentu yang tidak mungkin diraih bila keberadaannya tidak eksis.
Coleman menyebut setidaknya terdapat tiga bentuk dari modal sosial. Pertama, struktur
kewajiban (obligations), ekspektasi, dan kepercayaan. Dalam konteks ini, bentuk modal sosial
tergantung dari dua elemen kunci: kepercayaan dari lingkungan sosial dan perluasan aktual dari
kewajiban yang sudah dipenuhi (obligationheld). Dari perspektif ini, individu yang bermukim
dalam struktur sosial dengan saling kepercayaan tinggi memiliki modal sosial yang lebih baik
daripada situasi sebaliknya.
Kedua, jaringan informasi (informationchannels). Informasi sangatlah penting sebagai basis
tindakan. Tetapi harus disadari bahwa informasi itu mahal, tidak gratis. Pada level yang paling
minimum, di mana ini perlu mendapatkan perhatian, informasi selalu terbatas. Tentu saja,
individu yang memiliki jaringan lebih luas akan lebih mudah (dan murah) untuk memperoleh
informasi, sehingga bisa dikatakan modal sosialnya tinggi; demikian pula sebaliknya.
Ketiga, norma dan sanksi yang efektif (normsandeffectivesanctions). Norma dalam sebuah
komunitas yang mendukung individu untuk memperoleh prestasi (achievement) tentu saja bisa
digolongkan sebagai bentuk modal sosial yang sangat penting. Contoh lainnya, norma yang
berlaku secara kuat dan efektif dalam sebuah komunitas yang bisa memengaruhi orang-orang
muda, mempunyai potensi untuk mendidik generasi muda tersebut memanfaatkan waktu sebaikbaiknya (having a goodtime).
Jadi, Ilmu ekonomi kelembagaan generasi kedua sebagai teori besar ekonomi dengan tokoh
utamanya Dauglas North nampak lebih dekat pada teori ekonomi Neoklasik ketimbang ekonomi
kelembagaan

generasi

pertama

(Veblendkk),

terutama

dalam

teori

pilihan

rasional

(rationalchoice).
Dalam kaitan krisis ekonomi Indonesia dengan peranan besar dari pengusaha konglomerat, yang
bekerja sama secara kolusif dengan pejabat-pejabat Negara, teori ekonomi kelembagaan mampu
17

menjelaskan berfungsinya apa yang disebut Negara pemangsa (predatorystate) yang perlu
dilawan dan ditundukkan dengan lembaga-lembaga buatan masyarakat sendiri yaitu masyarakat
madani (civilsociety). Akhirnya yang baru dari teori kelembagaan adalah kemungkinan adanya
keseimbangan ganda (multipleequilibria) sebagai lawan dari teori keseimbangan umum (general
equilibriumtheory).
7. Ekonomi Kelembagaan bagi Indonesia
Ekonomi kelembagaan mempelajari dan berusaha memahami peranan kelembagaan dalam
sistem dan organisasi ekonomi atau sistem terkait, yang lebih luas. Kelembagaan yang dipelajari
biasanya bertumbuh spontan seiring dengan perjalanan waktu atau kelembagaan yang sengaja
dibuat oleh manusia. Peranan kelembagaan bersifat penting dan strategis karena ternyata ada dan
berfungsi di segala bidang kehidupan. Dengan demikian, ilmu ekonomi kelembagaan kemudian
menjadi bagian dari ilmu ekonomi yang cukup penting peranannya dalam perkembangan ilmu
pengetahuan sosial humaniora, ekonomi, budaya dan terutama ekonomi politik. Ilmu ekonomi
kelembagaan terus berkembang semakin dalam karena ditekuni oleh banyak ahli ilmu ekonomi
dan ilmu sosial lainnya, termasuk beberapa diantaranya memenangkan hadiah nobel.
Penghargaan tersebut tidak hanya tertuju langsung kepada ahli dan orangnya, tetapi juga pada
bidang keilmuannya, yakni ilmu ekonomi kelembagaan (Rachbini, 2002).
Para penganut ekonomi kelembagaan percaya bahwa pendekatan multidisipliner sangat penting
untuk memotret masalah-masalah ekonomi, seperti aspek sosial, hukum, politik, budaya, dan
yang lain sebagai satu kesatuan analisis (Yustika, 2008: 55). Oleh karena itu, untuk mendekati
gejala ekonomi maka, pendekatan ekonomi kelembagaan menggunakan metode kualitatif yang
dibangun dari tiga premis penting yaitu: partikular, subyektif dan, nonprediktif.
Cabang ilmu ekonomi kelembagaan di Amerika Serikat lahir dan berkembang bersamaan dengan
kondisi kacau yaitu terjadinya perubahan-perubahan besar dalam perekonomian menjelang akhir
abad 19.
1. Pertumbuhan perusahaan-perusahaan besar.
2. Tekanan atas harga hasil-hasil pertanian.
3. Tumbuhnya serikat-serikat buruh dan tekanan terhadapnya.
4. Krisis keuangan yang silih berganti.
5. Masalah migrasi, urbanisasi dan korupsi dalam pemerintahan.
Titik balik yang amat penting dari ajaran ekonomi baru adalah keterlibatan langsung
pemerintah dalam perekonomian, pemerintah harus memihak pada golongan ekonomi lemah
yang dikenal dengan ekonomi rakyat.
18

Tekad ini kemudian melalui reformasi diatur dalam TAP MPR RI No. XVI/1998 dengan
konsideran antara lain sebagai berikut:
1.

bahwa pelaksanaan amanat Demokrasi Ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 33

UUD 1945 belum terwujud.


2. Bahwa sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan tantangan Pembangunan Nasional,
diperlukan keberpihakan politik ekonomi yang lebih memberikan kesempatan, dukungan dan
pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup koperasi, usaha kecil dan menengah sebagai
pilar utama pembangunan ekonomi nasional.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Sistem ekonomi yang berjiwa kerakyatan tidak lahir dalam reformasi ekonomi akhirakhir ini, tetapi sudah sejak gerakan kemerdekaan dan kebangkitan nasional 1908 dan 1928.
Sistem ekonomi kerakyatan yang dikembangkan melalui proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945 adalah untuk melepaskan rakyat dari belenggu kapitalisme global abad 19 dan 20.
Perlawanan terhadap globalisasi dan liberalisasi akhir abad 20 dan awal 21 yang kembali
mengancam kehidupan ekonomi rakyat hanya dapat dilakukan melalui penguatan sistem
ekonomi (aturan main) yang berjiwa kerakyatan.
2. Saran

19

Semoga bermanfaat bagi pemakalah dan pembaca, dan dalam pembuatan makalah ini mungkin
kami banyak kekurangan dan kesalahan, maka dari itu penulis bersedia menerima saran dari
dosen ataupun pembaca demi perbaikan makalah selanjutnya

DAFTAR PUSTAKA
Mubyarto, 1961, Sistem Dan Moral Ekonomi Indonesia, LP3ES Jakarta.
--------, 1997, Ekonomi Pancasila :Landasan Pemikiran Mubyarto, Aditya Media, Jakarta.Haryono
--------, 1999, Reformasi Sistem Ekonomi : Dari Kapitalisme Menuju Ekonomi Kerakyatan, Aditya
Media, Jakarta.
--------, 2000, Membangun Sistem Ekonomi, BPFE, Yogyakarta.
Nehen, 2012, Perekonomian Indonesia, UdayanaUniversity Press, Denpasar
http://prasetya.ub.ac.id/berita/Ahmad-Erani-Yustika-Ekonomi-Kelembagaan-7608-id.html
http://baiqdian.wordpress.com/2011/06/15/ekonomi-kelembagaan/
http://cdsindonesia.wordpress.com/2013/01/15/upaya-mewujudkan-ekonomi-kerakyatanberbasis-potensi-lokal-kabupaten-tasikmalaya/
20

Masymulyadi. 2010. Ekonomi Kelembagaan; Genre Baru Studi Ekonomi di Indonesia.


(http://ekonomi kelembagaan/43.htm, Online: diakses 1 juni 2011)

21

Anda mungkin juga menyukai