Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Kelahiran ilmu pengetahuan merupakan hal yang luar biasa. Dalam

melahirkan ilmu perlu adanya metode-metode tertentu agar ilmu tersebut


dikatakan empiris dan ilmiah. Untuk melahirkan suatu ilmu diperlukan suatu
penelitian-penelitian dengan metode-metode yang dapat dipertanggung
jawabkan secara akademik. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
ditempuh melalui serangkaian proses yang panjang. Dalam konteks ilmu,
kegiatan penelitian diawali dengan adanya minat untuk mengkaji secara
mendalam terhadap munculnya fenomena tertentu (Sugiono, 2007: 1).
Kemudian metode adalah cara-cara atau langkah yang dilakukan untuk
mendapatkan pengetahuan tersebut.
Dalam perkembangan ilmu terdapat 2 metode besar yaitu metode
kuantitatif dan kualitatif. Metode kualitatif menggunakan ujung analisis
statistik sedangkan kualitatif menggunakan analisis deskriftif. Dalam hal
makalah ini akan difokuskan pada metode kualitatif. Penelitian kualititif
(qualitative research) adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk
mendeskrifsikan dan menganalisis-fenomena, peristiwa, aktivitas sosial,
sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun
kelompok (Sukmadinata, 2009: 60). Penelitian kualitatif memiliki 2 tujuan
utama yaitu pertama menggambarkan dan mengungkap (to describe and
explore) dan yang kedua menggambarkan dan menjelaskan (to describe and
explain).
Dalam pengumpulan dalat pada metode kualitatif bertumpu pada
proses wawancara, observasi dan dokumentasi yang kemudian di trianggulasi
sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang empiris, ilmiah dan mengarah
pada suatu generalisasi umum. Kahn & Cannell (1957) dalam tulisanya Sarosa
(2012: 45) mendefinisikan wawancara merupakan proses diskusi antara dua
1

orang atau lebih dengan tujuan tertentu. Observasi adalah proses mengamati
lingkungan tempat diadakannya suatu penelitian dan dokumentasi adalah
proses mengamati dokumen baik berupa foto, teksa dan yang lainya yang
sekiranya dapat memberikan informasi tentang permasalahan yang dikaji.
Melihat pentingnya proses pengumpulan data terutama pada tahap wawancara
dan observasi perlu kiranya pendalaman tentang tahap wawancara dan
observasi, sehingga nantinya tidak terjadi kesalahan pemahaman. Untuk itu
makalah ini akan membahas tentang wawancara dan observasi dalam
penelitian kualitatif.
1.2.

Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimanakah proses wawancara dalam proses pengambilan
data?
1.2.2. Bagaimanakah proses observasi dalam proses penelitian?

1.3.

Manfaat Penulisan
1.3.1. Dapat

mengetahui

proses

wawancara

dalam

proses

pengambilan data.
1.3.2. Dapat memahami proses observasi dalam proses penelitian.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Proses Wawancara Dalam Pengambilan Data
Wawancara merupakan salah satu bentuk teknik pengumpulan data yang
banyak digunakan dalam penelitian kualitatif. Wawancara dilakukan secara lisan
dalam pertemuan tatap muka secara individual atau kelompok (Sukmadinata, 2009:
216). Wawancara dipakai untuk mendapatkan informasi, data yang mendasar dan
mengetahui apa yang terkandung dalam pikiran orang lain yang tidak terlihat dalam
observasi untuk dipakai dalam menyusun penelitian ini. Adapun contoh wawancara
dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 01. Contoh proses Wawancara.

Metode wawancara atau interview mencakup cara yang dipergunakan untuk


mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden
(Koentjaraningrat,1993:129). Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu
yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yaitu pewawancara yang mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu
3

(Moleong,

2001:135). Wawancara

dalam

suatu

penelitian

yang

bertujuan

mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta


pendirian-pendirian itu merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi
(Bungin, 2007:100). Untuk memperoleh informasi yang tepat dan objektif
pewawancara harus mampu menciptakan suatu hubungan baik serta suasana yang
bersahabat dengan narasumber, sehingga informasi yang diberikan lebih maksimal
(Zuriah, 2007).
Wawancara merupakan proses yang sangat penting dalam penelitian kualitatif.
Dalam proses wawancara ini diutamakan tatap muka antara peneliti dengan informan
sehingga disini menimbulkan hubungan interaksi yang dapat menghindari terjadinya
kesalahan pemahaman antara peneliti dengan informan. Tatap muka juga merupakan
kelebihan penelitian kualitatif karena dapat memahami obyek penelitian secara lebih
mendalam bukan kaku seperti dalam kuantitaf yang menggunakan system angket.
Oleh karena itu ada beberapa pokok yang perlu dipahami dalam proses wawancara
yakni sebagai berikut:
2.1.1. Tipe Wawancara
Berdasarkan tingkat formalitasnya, wawancara dapat dibagi menjadi 3 bagian yakni:
a. Wawancara terstruktur
Wawancara terstruktur adalah wawancara dengan menggunakan kuesioner
yang disusun sebelumnya sehingga memiliki standar yang sama (Sarosa,
2012: 46). Pada dasarnya model ini lebih cocok dengan penelitian kuantitatif.
Dalam wawancara ini peneliti tidak melakukan tatap muka dengan informan.
b. Wawancara semi terstruktur
Wawancara tipe ini merupakan wawancara dengan menggunakan panduan
pertanyaan tapi peneliti dan informan tersebut saling tatap muka. Pada tipe
wawancara ini panduan pertanyaan telah disiapkan kemudian ditanyakan

kepada informan dan dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan saat


proses wawancara berlangsung.
c. Wawancara tidak terstruktur
Wawancara tak terstruktur adalah kebalikan dari wawancara terstruktur.
Dalam proses wawancara ini tidak menggunakan pedoman apapun. Prosesnya
diawali dengan penggalian suatu topic yang kemudian dikembangkan seluasluasnya dalam melakukan pertanyaan kepada informan. Namun demikian
dalam proses wawancara ini harus ada tujuan yang jelas sehingga wawancara
tidak terlalu menyimpang dari tujuan tersebut.
2.1.2. Tahapan Wawancara
Dalam melakukan wawancara ada beberapa tahap yang perlu diperhatikan yakni:
a. Tahap persiapan.
Pada tahap ini dipersiapkan pedoman wawancara, tujuan wawancara dan halhal yang akan dicari dan dipakai pada proses pelaksanaan wawancara.
Pedoman wawancara yang disebut interview protocol dipersiapkan sebaik
mungkin, kemudian tujuan yang harus dituju dan terakhir adalah alat-alat
penunjang seperti buku tulis, perekam suara , kamera dan yang lainya.
b. Tahap pelaksanaan.
Tahap pelaksanaan merupakan proses tatap muka antara peneliti dengan
informan. Pada tahap ini merupakan tahap inti dalam pencarian data
dilapangan karena penggalian informasi dilakukan pada tahap ini.
c. Tahap manajemen dan analisis hasil wawancara.
Pada tahap ini merupakan bagian dari trianggulasi sehingga tidak dibahas
dibagian makalah ini.

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan tahapan wawancara


diantaranya:
1) Pembuatan panduan pertanyaan.
Dalam pembuatan pertanyaan atau pedoman wawancara hal-hal yang
perlu dihindari diantaranya:
a. Pertanyaan bias, yaitu pertanyaan yang mengarahkan partisipan
menjawab dengan cara tertentu atau jawaban tertentu. Contohnya.
Setujukah anda, pura ini dijadikan tempat wisata?
b. Pertanyaan yang besifat ganda, yaitu kalimat pertanyaan yang
mengandung 2 pertanyaan. Contohnya:
Kapan dan siapakah yang melakukan pertempuran ditempat monument
perjuangan tersebut?
c. Pertanyaan yang membingungkan. Pertanyaan ini susah dimaknai
dengan cepat oleh informan.contohnya:
Bagaimana tingkah laku penemu saat menemukan bangunan kuno
tersebut?
d. Pertanyaan yang tidak relevan merupakan pengajuan pertanyaan yang
tidak sesuai dengan tujuan penelitian.
2) Proses pelaksanaan wawancara.
Dalam tahap pelaksanaan wawancara hal-hal yang perlu diperhatikan
diantaranya:
a. pilih lokasi wawancara dengan gangguan seminimal mungkin.
b. Jelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada informan.

c. Jelaskan kerahasiaan dan kerelaan informan dalam memberikan


informasi.
d. Jelaskan format wawancara agar informan tidak mengalami kesulitan
dan kesalahan saat mengikuti wawancara.
e. Proses wawancara dilakukan dengan sopan. Usahakan saat wawancara
berlangsung menggunakan bahasa dan tingkah laku yang tidak
meyinggung informan.
f. Diakhir wawancara usahakan berikan no tlpn dan

alamat peneliti

sehingga jika ada hal yang perlu ditanyakan lebih mudah.


g. Jangan lupa merekam hasil wawancara.
h. Berikan kesempatan pada informan untuk memberikan pendapatnya
terkait dengan proses wawancara maupun berbagai hal yang relevan
dengan penelitian.
2.1.3. Potensi Masalah Dalam Wawancara
1. Wawancara yang dibuat-buat yakni adanya introgasi dalam tekanan waktu
pada informan.
2. Kurangya kepercayaan partisipan terhadap pewawancara.
3. Kurangnya waktu sehingga hasil wawancara tidak maksimal.
4. Level entry atau siapa yang pertama kali diwawancarai. Pada saat pertama
wawancara apabila dimulai dari hirarki bawah biasanya akan sulit pada
hirarki diatasnya.
5. Elite bias yaitu kondisi pewawancara hanya mewawancarai orang-orang
engan status tertentu.

6. Hawthorne effects yaitu ketika pewawancara mempengaruhi jawaban


partisipan atau informan.
7. Bahasa yang ambigu yaitu kalimat yang membuat partisipan salah memahami
makna peneliti.
8. Wawancara berakhir tidak seperti yang diinginkan. Hal ini diakibatkan
berbagai permasalahan yakni ketersinggunagan terkait sikap, perkataan dan
jenis pertanyaan yang sensitive sehingga informan menarik diri dari
wawancara.
Melihat permasalahan yang mungkin dialami saat wawancara ini, perlu
kiranya kita melakukan tindakan agar tidak terjadi pada saat melakukan wawancara
yakni sebagai berikut:
1. Melibatkan atau mewawancarai beberapa partisipan yang memiliki sudut
pandang yang berbeda yang disebut triangulasi subyek penelitian. Hal ini
akan mengurangi elite bias.
2. Meskipun peneliti menguasai wawancara tidak terstruktur diupayakan
tetap menggunakan panduan wawancara.
3. Peneliti menggunakan kata-kata dari partisipan untuk memberikan
pertanyaan lanjutan atau komentar atas jawaban informan. Hal ini akan
menimbulkan kenyamanan bagi informan.
4. Peneliti sebaiknya terbuka dan fleksibel terhadap ide baru dan sumber data
baru sesuai temuan data dilapangan.
5. Sebaiknya wawancara direkam apabila memungkinkan.
2.1.4. Focus Group Discussion (FGD)
Model ini merupakan bentuk khusus dari wawancara (Sarosa, 2012: 53). FGD
didifinisikan sebagai suatu kelompok kecil partisipan yang bersifat formal dan
8

berjangka waktu temporer yang berinteraksi dan bekerja sama untuk mendalami suatu
topic. Mereka diharapkan menggali suatu topic yang menarik bagi peneliti. Jumlah
partisipan berkisar antara 6-10 orang, namun hal itu bisa ditambah atau dikurangi
sesuai dengan kepentingan. Dalam model ini peneliti hanya sebagai moderator saat
wawancara berlangsung. FGD digunakan dalam 2 jenis penelitian yaitu menguji atau
mengembangkan suatu teori dan pembuatan keputusan. Penggunaan FGD dalam
penelitian (khususnya penelitian ilmu sosial) adalah sebagai berikut:
1. Alat utama pengumpulan data.
2. Sumber dan alat pengumpulan data tambahan disamping disamping sumber
dan alat pengumpulan data utama.
3. Salah satu alat dalam metode penelitian yang menggunakan metode campuran
dalam pengumpulan data.
Kelebihan FGD dibandingkan dengan wawancara adalah sebagai berikut:
1. Dalam wawancara, peneliti lebih mudah mengendalikan jalanya wawancara.
2. Tiap partisipan dalam wawancara memiliki lebih banyak waktu untuk
menyusun bingkai informasi (Sarosa, 2012: 54).
Model wawancara FGD terbagi menjadi beberapa jenis diantaranya:
a. FGD dua arah (two way FGD) dalam kondisi ini akan dibentuk 2 kelompok
dimana didalamnya satu kelompok akan mengamati kelompok lainya.
b. FGD dua moderator (dual moderator focus group) pada model ini terdapat
dua moderator dalam diskusi. Satu moderator menjamin jalanya diskusi
berlangsung secara lancar dan seimbang dan moderator lain memastikan
semua topic yang dibicarakan relevan.
c. FGD dengan dua moderator berlawanan (dueling moderator focus group)
dimana didalamnya terdapat moderator yang sengaja dibuat berlawanan.
9

d. Teleconference FGD merupakan model FGD yang partisipannya tidak


bertatap muka secara fisik. Sebagai gantinya partisipan menggunakan alat
telewicara untuk melakukan diskusi.
e. Online FGD merupakan model FGD yang memanfaatkan perkembangan
internet yakni menggunakan media sosial didunia maya seperti facebook,
twitter, BBM dan yang lainya.
Model wawancara FGD keberhasilanya ditentukan oleh proses interaksi
kelompok partisipan. Moderator hanya sebagai penyeimbang dalam proses
wawancara.disarankan dalam suatu kelompok FGD harus memiliki latar belakang
yang sama dan sikap yang sama agar tidak terjadi permasalahan yang merusak saat
proses diskusi berlangsung. Melihat kondisi ini FGD menggunakan model purposive
sampling dalam menentukan partisipan. Model FGD dapat digunakan pada tipe
wawancara terstruktur maupun tidak terstruktur.
2.1.5. Penyusunan Pertanyaan Wawancara
Dalam melakukan pembuatan panduan wawancara atau interview protocol
perlu melihat ketentuan-ketentuan tersebut diatas. Dalam penyusunan urutan
pertanyaan, usahakan diturunkan dari rumusan masalah sehingga berbagai hal yang
kita ingin pahami tidak menyimpang dari permasalahan yang akan dijawab oleh
peneliti. Dalam penyusunan ini juga, pertanyaan yang dibuat usahakan dimulai dari
pertanyaan termudah kemudian berlanjut ke hal yang lebih sulit. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada contoh dibawah ini:
Panduan wawancara
A. Bagaimanakah proses penemuan Candi Budha Kalibukbuk?
1) Siapakah yang pertama menemukan candi budha kalibukbuk tersebut?
2) Kapan ditemukannya Candi Budha Kalibukbuk?
3) Apakah yang dilakukan setelah Candi Ini ditemukan?
4) Dimanakah Situs Budha yang pertama ditemukan.?
B. Bagaimanakah bentuk bangunan dari Candi budha Kalibukbuk pada
saat sebelum dipugar atau saat ditemukan?
10

1) Apakah bahan yang dipergunakan pada bangunan Candi Budha


Kalibukbuk?
2) Siapakah yang merancang bentuk Candi Budha Kalibukbuk?
3) Seperti apakah bentuk Candi Budha Kalibukbuk saat ditemukan?
4) Bagaimanakah bentuk bangunan Candi Budha Kalibukbuk setelah
mengalami pemugaran?
5) Apakah yang menjadi inspirasi pembuatan bentuk Candi Budha
Kalibukbuk?
C. Bagaimanakah Proses Pemugaran Candi Budha Kalibukbuk?
1. Siapakah yang melakukan pemugaran terhadap Candi Budha Kalibukbuk?
2. Kapan Candi Budha Kalibukbuk mulai di Pugar?
3. Apakah yang menjadi alasan Candi ini dilakukan Pemugaran?
4. Bagian manakah dari candi yang dipugar?
5. Bagaimanakah tahap pemugaran Candi Budha Kalibukbuk?

2.2. Proses Observasi Dalam Penelitian Kualitatif


a. Pengertian observasi/pengamatan (Observation)
Menurut Kartono (1980: 142) pengertian observasi diberi batasan sebagai
berikut: studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejalagejala psikis dengan jalan pengamatan dan pencatatan. Selanjutnya dikemukakan
tujuan observasi adalah: mengerti ciri-ciri dan luasnya signifikansi dari inter
relasinya elemen-elemen tingkah laku manusia pada fenomena sosial serba kompleks
dalam pola-pola kulturil tertentu.
Observasi dapat menjadi teknik pengumpulan data secara ilmiah apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Diabdikan pada pola dan tujuan penelitian yang sudah ditetapkan.
2) Direncanakan dan dilaksanakan secara sistematis, dan tidak secara
kebetulan (accidental) saja.
3) Dicatat secara sistematis dan dikaitkan dengan proposisi-proposisi yang
lebih umum, dan tidak karena didorong oleh impuls dan rasa ingin tahu
belaka.
4) Validitas, reliabilitas dan ketelitiannya dicek dan dikontrol seperti pada
data ilmiah lainnya (Jehoda, M. dkk, 1959 dalam Kartono 1980: 142).

11

Poerwandari tidak memberikan batasan tentang observasi tetapi


memberikan penjelasan tentang observasi sebagai berikut: Observasi
barangkali menjadi metode yang paling dasar dan paling tua di bidang
psikologi, karena dengan cara-cara tertentu kita selalu terlibat dalam proses
mengamati. Semua bentuk penelitian psikologis, baik itu kualitatif maupun
kuantitatif mengandung aspek observasi di dalamnya. Istilah observasi
diturunkan dari bahasa Latin yang berarti melihat dan memperhatikan.
Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat,
mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar
aspek dalam fenomena tersebut. Observasi selalu menjadi bagian dalam
penelitian psikologis, dapat berlangsung dalam konteks laboratorium
(eksperimental) maupun dalam konteks alamiah (Banister dkk, 1994 dalam
Poerwandari, 1998: 62).
Patton (1990: 201 dalam Poerwandari, 1998: 63) menegaskan
observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian,
apalagi penelitian dengan pendekatan kualitatif. Agar memberikan data yang
akurat dan bermanfaat, observasi sebagai metode ilmiah harus dilakukan oleh
peneliti yang sudah melewati latihan-latihan yang memadai, serta telah
mengadakan persiapan yang teliti dan lengkap.
Moleong tidak memberikan batasan tentang observasi, tetapi
menguraikan beberapa pokok persoalan dalam membahas observasi, salah
satunya adalah alasan pemanfaatan pengamatan (Moleong, 2001: 125).
Menurut Guba dan Lincoln (1981: 191 193 dalam Moleong 2001:
125-126) alasan-alasan pengamatan (observasi) dimanfaatkan sebesarbesarnya dalam penelitian kualitatif, intinya karena:
1) Pengamatan merupakan pengalaman langsung, dan pengalaman
langsung dinilai merupakan alat yang ampuh untuk memperoleh
kebenaran. Apabila informasi yang diperoleh kurang meyakinkan,
maka peneliti dapat melakukan pengamatan sendiri secara langsung
untuk mengecek kebenaran informasi tersebut.
12

2) Dengan pengamatan dimungkinkan melihat dan mengamati sendiri,


kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang
sebenarnya.
3) Pengamatan

memungkinkan

peneliti

mencatat

peristiwa

yang

berkaitan dengan pengetahuan yang relevan maupun pengetahuan


yang diperoleh dari data.
4) Sering terjadi keragu-raguan pada peneliti terhadap informasi yang
diperoleh

yang

dikarenakan

kekhawatiran

adanya

bias

atau

penyimpangan. Bias atau penyimpangan dimungkinkan karena


responden kurang mengingat peristiwa yang terjadi atau adanya jarak
psikologis antara peneliti dengan yang diwawancarai. Jalan yang
terbaik untuk menghilangkan keragu-raguan tersebut, biasanya
peneliti memanfaatkan pengamatan.
5) Pengamatan memungkinkan peneliti mampu memahami situasi-situasi
yang rumit. Situasi yang rumit mungkin terjadi jika peneliti ingin
memperhatikan beberapa tingkah laku sekaligus. Jadi pengamatan
dapat menjadi alat yang ampuh untuk situasi-situasi yang rumit dan
untuk perilaku yang kompleks.
6) Dalam kasus-kasus tertentu dimana teknik komunikasi lainnya tidak
dimungkinkan, pengamatan menjadi alat yang sangat bermanfaat.
Misalkan seseorang mengamati perilaku bayi yang belum bisa
berbicara atau mengamati orang-orang luar biasa, dan sebagainya.
Perlu ditekankan disini pengamatan dimaksudkan agar memungkinkan
pengamat melihat dunia sebagaimana yang dilihat oleh subjek yang diteliti,
menangkap makna fenomena dan budaya dari pemahaman subjek.
Pengamatan memungkinkan peneliti merasakan apa yang dirasakan dan
dihayati oleh subjek, bukan apa yang dirasakan dan dihayati oleh si peneliti.
Jadi interpretasi peneliti harus berdasarkan interpretasi subjek yang diteliti.
Menurut Suparlan (1997: 103) metoda pengamatan digunakan untuk
memperoleh informasi mengenai gejala-gejala yang dalam kehidupan sehari13

hari dapat diamati. Hasil pengamatan biasanya didiskusikan oleh si peneliti


dengan warga masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui makna yang
terdapat dibalik gejala-gejala tersebut. Selanjutnya menurut Suparlan (1994:
62) intinya terdapat anggapan sementara pihak bahwa pengamatan dinilai
bukan suatu metoda penelitian yang ilmiah karena sederhana, tidak rumit
teknik-tekniknya dan tidak susah memahami dan menggunakannya. Padahal
apabila digunakan sesuai persyaratannya akan memperoleh data yang tepat
dan dapat dipertanggung jawabkan. Suparlan selanjutnya mengemukakan
bahwa dalam penelitian ilmiah yang menggunakan metoda pengamatan, si
peneliti hendaknya memperhatikan 8 (delapan) hal sebagai berikut:
a) Ruang atau tempat: setiap gejala (benda, peristiwa, orang, hewan)
selalu

berada

dalam

ruang

atau

tempat

tertentu.

Bahkan

keseluruhannya dari benda atau gejala yang ada dalam ruang yang
menciptakan suatu suasana tertentu patut diperhatikan oleh si peneliti,
sepanjang hal itu mempunyai pengaruh gejala-gejala yang diamatinya.
b) Pelaku: pengamatan terhadap pelaku mencakup ciri-ciri tertentu yang
dengan ciri-ciri tersebut sistem kategorisasi yang berpengaruh
terhadap struktur interaksi dapat terungkapkan.
c) Kegiatan: dalam ruang atau tempat tersebut para pelaku tidak hanya
berdiam diri saja tetapi melakukan kegiatan-kegiatan, yaitu tindakantindakan yang dilakukan, yang dapat mewujudkan adanya serangkaian
interaksi di antara sesama mereka.
d) Benda-benda atau alat-alat: semua benda-benda atau alat yang berada
dalam ruang atau tempat yang digunakan oleh para pelaku dalam
melakukan kegiatan-kegiatannya atau ada kaitannya dengan kegiatankegiatannya haruslah diperhatikan dan dicatat oleh si peneliti.
e) Waktu: setiap kegiatan selalu berada dalam suatu tahap-tahap waktu
yang berkesinambungan. Seorang peneliti harus memperhatikan waktu
dan

urut-urutan

kesinambungan

14

dari

kegiatan,

atau

hanya

memperhatikan kegiatan tersebut dalam satu jangka waktu tertentu


saja dan tidak secara keseluruhan.
f) Peristiwa: dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku,
bisa

terjadi

sesuatu

peristiwa

diluar

kegiatan-kegiatan

yang

nampaknya rutin dan teratur itu atau juga terjadi peristiwa-peristiwa


yang sebenarnya penting tetapi dianggap biasa oleh para pelakunya.
Seorang peneliti yang baik harus tajam pengamatannya dan tidak lupa
untuk mencatatnya.
g) Tujuan: dalam kegiatan-kegiatan yang diamati bisa juga terlihat
tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh para pelakunya sebagaimana
terwujud dalam bentuk tindakan-tindakan dan ekspresi muka dan
gerak tubuh atau juga dalam bentuk ucapan-ucapan dan ungkapanungkapan bahasa.
h) Perasaan: pelaku-pelaku juga dalam kegiatan dan interaksi dengan
sesama para pelaku dapat terlihat dalam mengungkapkan perasaan dan
emosi-emosi mereka dalam bentuk tindakan, ucapan, ekspresi muka
dan gerakan tubuh. Hal-hal semacam ini juga harus diperhatikan oleh
si peneliti.
Dari berbagai pendapat beberapa tokoh tentang pengamatan
(observasi) maka dapat disimpulkan bahwa pengamatan (observasi) dalam
konteks penelitian ilmiah adalah studi yang disengaja dan dilakukan
secara sistematis, terencana, terarah pada suatu tujuan dengan mengamati
dan mencatat fenomena atau perilaku satu atau sekelompok orang dalam
konteks

kehidupan

penelitian

ilmiah.

sehari-hari,
Dengan

dan

memperhatikan

demikian

hasil

syarat-syarat

pengamatan

dapat

dipertanggung jawabkan kebenarannya.


Agar

hasil

pengamatan

dapat

dipertanggung

jawabkan

kebenarannya maka hasil pengamatannya hendaknya dibandingkan


dengan hasil pengamatan peneliti lain tentang orang atau fenomena yang
sama dan dalam situasi yang sama pula. Dapat juga dilakukan dengan
15

mengulangi pengamatannya atau melengkapi dengan menggunakan teknik


lain misalnya wawancara dan lain-lain. Atau dapat pula dilakukan dengan
membandingkan dengan hasil pengamatan dari significant others. Jelaslah
bahwa prinsip triangulasi dalam penelitian kualitatif harus ditegakkan.
a. Ciri-ciri Observasi
1) Persyaratan lain disamping diterapkannya prinsip triangulasi, maka agar
hasil observasi dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya perlu adanya
latihan untuk melakukan observasi, dan telah dimilikinya secara mantap
pengetahuan teoritis atau konseptual dalam bidang atau masalah yang
diobservasi oleh si peneliti. Atau dengan kata lain peneliti telah memiliki
kepekaan teoritis (theoretical sensitivity).
2) Pengamatan dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya dalam penelitian
kualitatif karena mempunyai keunggulan sebagai berikut:
1. Pengamatan yang dilakukan sendiri oleh si peneliti dapat diperoleh
kebenaran yang meyakinkan, karena si peneliti dapat secara langsung
mengecek kebenaran informasi.
2. Pengamatan memungkinkan si peneliti mampu memahami situasi
yang rumit yaitu jika si peneliti ingin memperhatikan beberapa tingkah
laku sekaligus atau tingkah laku yang kompleks.
3. Dengan pengamatan dimungkinkan melihat dan mengamati sendiri,
kemudian mencatat perilaku dan kegiatan sebagaimana yang
sebenarnya.
3) Dalam kasus-kasus tertentu dimana teknik komunikasi lainnya tidak
dimungkinkan, pengamatan menjadi alat yang sangat bermanfaat, misalnya
mengamati bayi yang belum dapat berbicara, atau mengamati orang yang
menderita cacat; tuna rungu/tuna wicara, tuna netra, dan lain-lain.
Perlu mendapatkan perhatian bagi peneliti muda (mahasiswa S-1 yang
sedang menyusun Skripsi dengan pendekatan kualitatif) tujuan pengamatan
adalah menangkap makna fenomena sebagaimana pemahaman subjek yang

16

diteliti terhadap fenomena tersebut. Merasakan apa yang dirasakan dan


dihayati oleh subjek yang diteliti, bukan apa yang yang dirasakan dan
dihayati oleh si peneliti.
4) Menggaris bawahi pendapat Poerwandari (1998: 62) yang menyatakan
bahwa pengamatan diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat,
mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antara
aspek dalam fenomena tersebut. Ini berarti pengamatan harus dilakukan
dengan teliti dan cermat, dengan demikian pengamatan tidak dapat
dilakukan secara bersamaan dengan wawancara, karena tidak mungkin
pengamatan yang dilakukan bersamaan waktu dengan wawancara akan
mendapatkan hasil teliti dan cermat.
5) Mengacu pendapat dari Kerlinger (1986 terjemahan Simatupang, 1990:
857) yang menyatakan pengamatan dalam konteks penelitian kualitatif
situasi yang diamati harus realistik dan alami (naturalistik), maka pendapat
Banister dkk (1994 dalam Poerwandari, 1998: 62) yang menyatakan
observasi dapat berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental)
maupun konteks alamiah, maka pernyataan bahwa observasi dapat
berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental) harus diartikan
observasi tersebut dilakukan dalam rangka penelitian kuantitatif. Disini
eksperimen direncanakan dan dilaksanakan oleh si peneliti. Subjek yang
diteliti dalam eksperimen penelitian kuantitatif berperan sebagai objek
eksperimen. Observasi dapat pula dilakukan dalam penelitian kualitatif
apabila eksperimen disusun dan dilakukan oleh peneliti lain, si peneliti
mengamati subjek yang diteliti dalam eksperimen tersebut dalam situasi
apa adanya. Subjek yang diteliti tidak menjadi objek eksperimen dan tidak
tahu kehadiran observer (eksperimen dengan laboratorium berkaca).
6) Agar dapat berfungsi sebagai metoda dalam penelitian ilmiah pengamatan
harus dilakukan sesuai persyaratannya. Apabila hal tersebut dilakukan
maka akan memperoleh data yang tepat dan dapat dipertanggung jawabkan
(Suparlan,

1994:

62).

Peneliti

dalam

penelitian

ilmiah

dengan

menggunakan teknik pengamatan harus memperhatikan 8 (delapan) hal,


17

yaitu: a) ruang atau tempat, b) pelaku, c) kegiatan, d) benda-benda atau


alat-alat, e) waktu, f) peristiwa, g) tujuan, h) perasaan subjek yang diteliti.
7) Mengacu pendapat beberapa penulis Flick (2002: 136) menyatakan
terdapat 7 (tujuh) tahap dalam pelaksanaan observasi, yaitu:
a) Melakukan seleksi terhadap setting penelitian.
b) Mendefinisikan apa yang dapat didokumentasikan dalam observasi
dan dalam setiap kasus.
c) Melakukan latihan bagi peneliti tentang aturan-aturan yang harus
ditaati dalam melakukan pengamatan sesuai fokus-fokus penelitian
yang direncanakan.
Catatan penulis: fokus penelitian dapat berubah sesuai kondisi
dilapangan.
d) Mendiskripsikan apa yang akan dilakukan dilapangan.
e) Memokuskan observasi pada aspek-aspek yang relevan dengan
pertanyaan penelitian.
f) Menyeleksi apa yang diobservasi dengan mengutamakan aspek-aspek
pokok.
g) Mengakhiri observasi apabila tujuan observasi telah tercapai artinya
apa yang akan diobservasi tidak dapat dikembangkan lagi karena telah
sesuai dengan teori yang mendasari, dan tidak akan mendapatkan datadata baru lagi yang memberikan pengetahuan baru.
1. PENGAMATAN TERLIBAT (PARTICIPANT OBSERVATION)
Menurut Suparlan (1994: 7) dalam penelitian etnografi, pengamatan
terlibat merupakan metoda yang utama digunakan untuk pengumpulan bahanbahan keterangan kebudayaan disamping metoda-metoda penelitian lainnya.
Sedang pendapat penulis pengamatan terlibat merupakan teknik pengumpulan
informasi (data) yang sangat penting dalam penelitian kualitatif untuk bidang
psikologi, karena agar dapat menghayati perasaan, sikap, pola pikir yang
mendasari perilaku subjek yang diteliti secara mendalam tidak cukup memadai
18

apabila hanya dilakukan dengan wawancara. Keterlibatan langsung si peneliti


dalam kehidupan sehari-hari dari subjek yang diteliti dapat memungkinkan halhal tersebut tercapai. Selanjutnya menurut Suparlan berbeda dengan metodametoda pengamatan lainnya, sasaran dalam pengamatan terlibat adalah orang atau
pelaku (subjek yang diteliti). Karena itu juga keterlibatannya dengan sasaran yang
ditelitinya berwujud dalam hubungan-hubungan sosial dan emosional. Hal
tersebut dilakukan dengan melibatkan dirinya dalam kegiatan dan kehidupan
pelaku yang diamatinya sesuai dengan kacamata kebudayaan dari para pelakunya
sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan psikologi karena perilaku manusia tidak
mungkin lepas dari nilai-nilai budaya yang melatar belakanginya. Bahwa budaya
merupakan jaringan makna atau nilai ini dikemukakan oleh Clifford Greetz
(1992) dalam bukunya yang berjudul: Tafsir Kebudayaan.
Sedang definisi pengamatan terlibat (participant observation dari Denzin
(1989: 157-8 dalam Flick, 2002: 139)) sebagai berikut: Pengamatan terlibat
didefinisikan sebagai suatu strategi lapangan yang secara simultan (serempak)
mengkombinasikan analisis dokumen, mewawancarai para responden dan
informan-informan, observasi dan partisipasi (keterlibatan) langsung dan
instrospeksi (Participant observation will be defined as a field strategy that
simultaneously combines document analysis, interviewing of respondents and
informants, direct participation and observation, and instrospection).
Jorgensen (dalam Flick, 2002: 139) membedakan pengamatan terlibat
(participant observation) dengan pengamatan tidak terlibat (non-participant
observation) dalam 7 (tujuh) hal, sebagai berikut:
a. Pengamatan terlibat ditujukan pada minat khusus atau nilai-nilai/maknamakna kemanusiaan dan interaksi antar manusia seperti pandangan dari
perspektif orang-orang yang berada di dalam atau bagian situasi dan setting
khusus. (A special interest in human meaning and interaction as viewed from
the perspective of people who are insiders or members of particular situations
and settings).

19

b. Lokasi/tempat disini dan sekarang dari setting dan situasi kehidupan seharihari sebagai dasar penelitian dan metoda. (Location in the here and now of
everyday life situations and setting as the foundation of inquiry and method).
c. Suatu bentuk teori dan penyusunan teori yang menekankan interpretasi dan
pemahaman tentang eksistensi manusia. (A form of theory and theorizing
stressing interpretation and understanding of human existence).
d. Suatu proses penelitian yang logis yang terbuka-tertutup, fleksibel, memberi
kesempatan dan memerlukan redefinisi yang tetap dari apa yang menjadi
permasalahan, berdasarkan pada fakta-fakta yang dikumpulkan dalam setting
yang konkret dari eksistensi manusia. (A logic and process of inquiry that is
open-ended, flexible, opportunistic, and requires constant redefinition of facts
gathered in concrete setting of human existence).
e. Suatu yang mendalam, kualitatif, pendekatan dan disain studi kasus. (An indepth, qualitative, case study approach and design).
f. Kinerja/performansi dari peranan orang yang terlibat yang meliputi
pemantapan dan pemeliharaan hubungan-hubungan dengan warga setempat
dilapangan, dan (The performance of a participant role or roles that in
volves establishing and maintining relationships with natives in the field;
and).
g. Menggunakan

observasi

langsung

dengan

metoda-metoda

untuk

mengumpulkan informasi lainnya. (The use of direct observation along with


other methods of gathering information).
Dari penjelasan-penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengamatan
terlibat (participant observation) adalah studi yang disengaja dan dilakukan
secara sistematis, terencana, terarah pada suatu tujuan dimana pengamat atau
peneliti terlibat langsung dalam kehidupan sehari-hari dari subjek atau kelompok
yang diteliti. Dengan keterlibatan langsung dalam kehidupan sehari-hari tersebut
menyebabkan terjadinya hubungan sosial dan emosional antara peneliti dengan
subjek yang diteliti, dampaknya si peneliti mampu menghayati perasaan, sikap,

20

pola pikir yang mendasari perilaku subjek yang diteliti terhadap masalah yang
dihadapi.
Untuk memperdalam wawasan pembaca tentang pengamatan terlibat akan
diuraikan seluk beluk pengamatan terlibat dari pandangan Suparlan (1997: 100101). Dikemukakan bahwa dalam kegiatan penelitian dengan menggunakan
metoda pengamatan terlibat si peneliti bukan hanya mengamati gejala-gejala yang
ada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang diteliti, tetapi juga melakukan
wawancara, mendengarkan, merasakan, dan dalam batas-batas tertentu mengikuti
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh mereka yang ditelitinya. Wawancara yang
dilakukannya bukanlah wawancara formal, yang biasa dilakukan dengan
menggunakan kuesioner, tetapi sebuah wawancara yang terwujud sebagai dialog
yang spontan berkenaan dengan suatu masalah atau topik yang kebetulan sedang
dihadapi oleh pelaku. Justru yang spontan inilah yang objektif dan sahih karena
tidak direkayasa terlebih dulu oleh para informan (pemberi informasi yaitu
individu yang dapat memberikan informasi tentang masalah/subjek yang diteliti).
Inti dari metoda pengamatan terlibat adalah mengumpulkan informasi melalui
pancainderanya. Metoda ini berbeda dengan metoda pengamatan yang hanya
menggunakan indera mata saja, atau dengan metoda wawancara dengan pedoman
yang hanya menggunakan telinga untuk mendengarkan apa yang dipikirkan atau
dirasakan oleh informan.
Keterlibatan peneliti di dalam kehidupan masyarakat yang diteliti
mungkin dapat dilakukan kalau si peneliti tersebut diterima oleh masyarakat yang
ditelitinya. Salah satu prasyarat untuk dapat diterima oleh masyarakat yang diteliti
adalah kejujuran dalam menjelaskan siapa dirinya, dan memberikan penjelasan
tersebut dengan secara masuk akal.
Selanjutnya dijelaskan bahwa metoda pengamatan digunakan untuk
memperoleh informasi mengenai gejala-gejala yang dalam kehidupan sehari-hari
dapat diamati. Hasil pengamatan biasanya didiskusikan oleh si peneliti dengan
warga masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui makna yang terdapat
dibalik gejala-gejala tersebut. Hasil-hasil pengamatan biasanya mencakup setting
21

dari lingkungan hidup, lokasi, dan kondisi fisik dan sosial dari unsur-unsur yang
ada dalam masyarakat tersebut. Selanjutnya menurut Spindler (1982: 6 7 dalam
Suparlan 1997: 108 110) pedoman umum yang harus diperhatikan dalam
melaksanakan pengamatan terlibat, diantaranya:
a. Pengamatan-pengamatan yang dilakukan harus kontekstual. Peristiwaperistiwa yang signifikan harus dilihat dalam kerangka hubungan dari setting
(latar) yang sedang diteliti di dalam konteks-konteks yang lebih luas dan yang
terletak di luar setting tersebut.
b. Hipotesa-hipotesa dan pertanyaan-pertanyaan penelitian harus muncul sejalan
dengan berlangsungnya penelitian yang dilakukan dan berada dalam setting
untuk diamati. Ketentuan untuk memutuskan yang mana yang signifikan
untuk dipelajari sebaiknya ditunda sampai tahap orientasi dari penelitian
lapangan tersebut telah selesai dilalui.
c. Pengamatan berlangsung lama dan berulang-ulang. Rangkaian peristiwaperistiwa harus diamati lebih dari satu kali.
d. Pandangan warga setempat (the native view) yaitu pandangan dari setiap
orang yang terlibat di dalam setting sosial mengenai kenyataan harus
diungkapkan melalui inferensi-inferensi dari pengamatan dan melalui
berbagai bentuk penelitian etnografi: wawancara, prosedur-prosedur lainnya
yang dipilih (termasuk penggunaan sejumlah alat bantu penelitian), dan
bahkan kalau perlu dapat menggunakan kuesioner walaupun harus dengan
secara hati-hati.
Catatan penulis: walaupun hal tersebut di atas dimaksudkan untuk penelitian
etnografi, tetapi menurut penulis berlaku juga untuk penelitian bidang-bidang
studi yang lain, termasuk psikologi.
Selanjutnya menurut Suparlan (1994: 72 - 79) terdapat bermacam-macam
keterlibatan si peneliti dalam pengamatan terlibat, yaitu:
a. Keterlibatan pasif. Dalam kegiatan pengamatannya, si peneliti tidak terlibat
dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku yang diamatinya,
dan dia juga tidak melakukan sesuatu bentuk interaksi sosial dengan pelaku
22

atau para pelaku yang diamati. Keterlibatannya dengan para pelaku terwujud
dalam bentuk keberadaannya dalam arena kegiatan yang diwujudkan oleh
tindakan-tindakan pelakunya.
Contoh. Seorang peneliti yang ingin mengetahui bagaimana pola tindakan
warga Jakarta untuk memperoleh pelayanan fasilitas yang terbatas ditempat
umum. Kasus yang diamati adalah ditempat penjualan karcis kereta api untuk
luar kota di stasiun Gambir. Cara yang dilakukannya adalah: Dia cukup
datang ke stasiun kereta api Gambir, berdiri diruang tempat adanya loket
penjualan karcis untuk luar kota. Di papan pengumuman terdapat jadualjadual pemberangkatan masing-masing kereta api dan jam-jam penjualan
karcis. Si peneliti tidak harus ikut berdiri dimuka loket dan membeli karcis
untuk dapat keterangan yang diperlukan. Dengan demikian si peneliti cukup
berdiri terpisah dari orang-orang yang sibuk berusaha memperoleh karcis,
tetapi dia juga tidak betul-betul terpisah dari para pelaku yang diamatinya
karena ia berada dalam arena kegiatan-kegiatan yang sedang diamatinya.
Dalam keadaan demikianlah si peneliti digolongkan sebagai pengamat dengan
keterlibatan yang pasif.
b. Keterlibatan Setengah-setengah. Dalam kegiatan pengamatannya, si peneliti
mengambil suatu kedudukan yang berada dalam dua hubungan struktural yang
berbeda, yaitu antara struktur yang menjadi wadah bagi kegiatan-kegiatan
yang diamatinya dengan struktur dimana dia sebagian dari dan menjadi
pendukungnya. Dalam kedudukan demikian, peranannya adalah mengimbangi
antara peranan yang harus dimainkan di dalam struktur yang ditelitinya
dengan struktur yang dalam mana dia menjadi salah satu unsurnya.
Contoh. Seorang mahasiswa kriminologi yang hendak mengadakan penelitian
mengenai kehidupan nara pidana disebuah Lembaga Pemasyarakatan; tidak
mungkin untuk dapat mengadakan pengamatan dengan cara hidup dipenjara
sama dengan nara pidana (atau salah satu kategori nara pidana sesuai dengan
masa hukuman dan kejahatan yang telah dilakukannya) lainnya. Pertama,
kehidupan sebagai nara pidana terlalu berat bagi mahasiswa tersebut, karena
23

dalam kehidupan di Lembaga Pemasyarakatan masih juga terkandung unsurunsur kekerasan dan kekejaman dalam segala seginya. Kedua, akan terjadi
kesukaran untuk menempatkan kedudukan si mahasiswa dalam struktur sosial
yang berlaku dalam lembaga tersebut, yang dapat merugikan usaha-usahanya
untuk memperoleh keterangan-keterangan yang diperlukan. Justu dia dikenal
sebagai mahasiswa oleh para nara pidana itu maka kemungkinan besar dia
lebih banyak untuk dapat memperoleh keterangan yang diperlukan
dibandingkan kalau dia betul-betul sebagai nara pidana dalam kegiatan
penelitiannya. Dalam kedudukan sebagai mahasiswa, dalam satu segi dia
orang luar lebih banyak dipercaya untuk mengamati kegiatan-kegiatan
mereka secara sewajarnya dibandingkan kalau dia berperan sebagai nara
pidana atau sebagai petugas Lembaga Pemasyarakatan. Dalam keadaan
demikian dia akan tetap mempertahankan peranannya sebagai peneliti atau
pengamat yang terlibat setengah-setengah.
c. Keterlibatan Aktif. Dalam kegiatan pengamatannya, si peneliti ikut
mengerjakan apa yang dikerjakan oleh para pelakunya dalam kehidupan
sehari-harinya. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukannya untuk dapat betulbetul memahami dan merasakan (meng-internalisasikan) kegiatan-kegiatan
dalam kehidupan mereka dan aturan-aturan yang berlaku serta pedomanpedoman hidup yang mereka jadikan sandaran pegangan dalam melakukan
kegiatan-kegiatan tersebut.
Contoh. Seorang peneliti yang berusaha untuk membuat etnografi salah satu
suku bangsa terasing di Indonesia, yaitu Orang Sakai yang hidup di wilayah
Propinsi Riau, telah menggunakan pengamatan terlibat. Dalam kegiatan
penelitiannya, dia hidup/tinggal bersama dengan Orang Sakai yang ditelitinya
ditempat pemukiman mereka. Secara bertahap dia berusaha untuk dapat
memperoleh bahan-bahan keterangan yang diperlukan, yang antara lain adalah
turut aktif mengerjakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Orang Sakai
yang ditelitinya. Misalnya, untuk memperoleh bahan keterangan mengenai
sistem mata pencaharian, khususnya dalam hal ini cara-cara mereka menjerat
24

hewan hutan, menangkap ikan, dan sebagainya, maka si peneliti tersebut ikut
dalam kegiatan-kegiatan menjerat hewan di hutan, menangkap ikan (dengn
berbagai tekniknya) di sungai, di rawa-rawa dan digenangan air, dan
sebagainya. Dalam kerangka pembicaraan mengenai tahap-tahap kegiatan
dalam penelitian dengan menggunakan metoda pengamatan terlibat,
sebenarnya Pengamatan Keterlibatan Aktif dapat dilihat sebagai satu tahap
perantara untuk mencapai tahap berikutnya yaitu Pengamatan Terlibat
Sepenuhnya atau Lengkap.
d. Keterlibatan Penuh atau Lengkap. Pada waktu si peneliti telah menjadi
sebagian dari kehidupan warga masyarakat yang ditelitinya, artinya dalam
kehidupan warga masyarakat tersebut kehadiran si peneliti dianggap biasa dan
kehadirannya dalam kegiatan-kegiatan para warga telah dianggap sebagai
suatu keharusan, maka pada waktu tersebut si peneliti sebenarnya telah
mencapai suatu tahap keterlibatan yang penuh atau lengkap. Dalam keadaan
demikian, sebenarnya kedudukan dan peranan si peneliti telah didefinisikan
dalam struktur sosial yang berlaku, oleh para warga itu sendiri. Sebenarnya
tidak mudah untuk mencapai tahap ini, dan pencapaian tersebut sebagian
terbesar tergantung pada kemampuan si peneliti untuk dapat memanipulasi
kondsi-kondisi yang dipunyainya dalam kaitannya dengan situasi dan kondisi
yang dihadapinya yang bersumber pada situasi penelitiannya. Dalam banyak
hal seorang peneliti yang menggunakan metoda pengamatan terlibat dapat
mencapai tahap ini; yaitu setelah memakan waktu yang cukup lama dalam
hubungan si peneliti dengan warga masyarakat yang bersangkutan dan setelah
warga masyarakat tersebut merasa bahwa si peneliti bukan orang yang jahat
bahkan orang-orang yang baik.
Berkenaan dengan tahap pengamatan terlibat yang penuh atau lengkap ini,
perlu dicatat bahwa tidak semua peneliti dengan menggunakan pengamatan
terlibat dapat menggunakan cara teknik pengamatan terlibat penuh atau lengkap.
Hal ini disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa tidak semua sasaran penelitian
itu memungkinkan dilakukannya penelitian dengan menggunakan teknik
25

pengamatan terlibat penuh. Ada sasaran-sasaran penelitian yang cukup


membahayakan (baik dari segi fisik maupun segi sosial dan kejiwaan) bagi para
peneliti yang ingin menggunakan teknik keterlibatan yang sepenuhnya.
Contohnya adalah penelitian terhadap atau mengenai kehidupan orang homo sek
oleh seorang peneliti laki-laki yang tidak tergolong sebagai orang homo sek; juga
penelitian terhadap kehidupan nara pidana Lembaga Pemasyrakatan (seperti
contoh yang telah dikemukakan terdahulu).
Disamping pengamatan terlibat, menurut Suparlan terdapat 2 (dua) macam
pengamatan yang lain, yaitu pengamatan biasa dan pengamatan terkendali,
berikut penjelasannya:
a. Pengamatan Biasa. Metoda ini menggunakan teknik pengamatan yang
mengharuskan si peneliti tidak boleh terlibat dalam hubungan-hubungan
emosi pelaku yang menjadi sasaran penelitiannya. Contoh penelitian dengan
menggunakan metoda pengamatan biasa dengan sasaran manusia adalah
seorang peneliti yang mengamati pola kehidupan para pelawak yang muncul
dipanggung televisi RI. Si peneliti dalam hal ini tidak ada hubungan apapun
dengan para pelaku yang diamatinya. Hal yang sama juga dapat dilihat pada
contoh dimana si peneliti mengamati pola kelakuan para pejalan kaki di Jalan
Salemba Raya (dimuka gedung UI) dari jembatan penyeberangan yang ada
disitu.
Penggunaan metoda pengamatan biasa, biasanya selalu digunakan untuk
mengumpulkan bahan-bahan keterangan yang diperlukan berkenaan dengan
masalah-masalah yang terwujud dari sesuatu peristiwa, gejala-gejala dan
benda, contohnya adalah seorang peneliti yang hendak memperoleh
keterangan berkenaan dengan pengaruh kenaikan harga BBM baru-baru ini
terhadap harga beras dipasaran ibukota Jakarta. Pertama dia harus
mengidentifikasi tempat-tempat dimana beras dijual (pasar biasa, yang
dibedakan lagi dalam penjual grosir, penjual eceran; di warung-warung yang
tersebar di kampung-kampung di kota Jakarta; dan di supermarketsupermarket). Untuk kemudahan dia menentukan untuk memilih supermarket
26

sebagai sasaran tempat penjualan beras yang diamati, yang mudah


melakukannya karena ada tertera harga beras dikantong pembungkusnya.
Dalam melakukan pengamatannya, dia akan menentukan jangka waktu
pengamatan, ambil contoh misalnya selama tujuh hari yang dimulai
pengamatannya satu hari setelah diumumkannya kenaikan BBM tersebut.
Selama tujuh hari si peneliti cukup mendatangi supermarket-supermarket
yang ada di Jakarta, mencatat harga beras sesuai dengan kategori (beras
Cianjur kepala, Cianjur slip, Raja lele, dan lain-lain sebagaimana yang
terdapat

dijual

supermarket-supermarket

tersebut).

Dalam

kegiatan

penelitiannya ini dia sama sekali tidak ada hubungan emosional ataupun
perasaan dengan beras yang diamati harganya.
Dalam pengamatan biasa, seringkali dalam kegiatan-kegiatan pembuatan
peta sesuatu kampung seorang peneliti juga menggunakan alat yang dapat
membantunya untuk melakukan pengamatan atas gejala-gejala dan benda
secara lebih tepat. Alat ini sebenarnya berfungsi untuk membantu ketajaman
penglihatan matanya. Dengan alat ini tidak ada keterlibatan emosi dan
perasaan dengan sasaran pengamatannya.
b. Pengamatan Terkendali. Dalam pengamatan terkendali, si peneliti juga tidak
terlibat hubungan emosi dan perasaan dengan yang ditelitinya; seperti halnya
dengan pengamatan biasa. Yang membedakan pengamatan biasa dengan
pengamatan terkendali adalah para pelaku yang akan diamati, diseleksi dan
kondisi-kondisi yang ada dalam ruang atau tempat kegiatan pelaku itu diamati
dikendalikan oleh si peneliti. Contohnya, sebuah eksperimen untuk mengukur
tingkat ketegangan jiwa (anxiety) para pelaku pemain catur. Dua orang
pemuda yang umurnya sama, begitu juga latar belakang pendidikan, kondisi
sosial, kebudayaan dan suku bangsanya sama, serta sama-sama belum pernah
bermain catur karena belum mengetahui aturan-aturan dan cara bermainnya
dipilih. Kedua orang ini melalui penataran terbatas, diberi pelajaran
bagaimana bermain catur. Isi pelajaran catur yang diberikan dan waktu
pelajaran adalah sama. Setelah persiapan-persiapan tersebut dianggap
27

mencukupi, sesuai persyaratan-persyaratan yang dibuat oleh peneliti, maka


kedua orang tersebut lalu disuruh bermain di dalam sebuah ruang kaca yang
tidak tembus penglihatan keluar. Bersamaan dengan itu masing-masing
pemain pada tubuhnya juga ditempeli macam-macam kabel yang berguna
untuk mencatat frekuensi detak jantung, denyut nadi, temperatur tubuh,
perkeringatan, dan hal-hal lain yang diperlukan. Dalam keadaan demikian si
peneliti berada di luar ruang tempat kedua pelaku tersebut bermain catur. Si
peneliti mengamati dan mencatat jalannya permainan (dari tahap pembukaan
sampai dengan akhir permainan), tindakan-tindakan kedua pelaku. Hasil
pengamatannya dan catatan-catatan yang dibuat oleh mesin keduanya
dianalisa sesuai dengan tujuan penelitiannya. Dalam penelitian seperti ini, si
pengamat sama sekali tidak mempunyai hubungan dalam bentuk apapun
selama pengamatan dilakukan dengan para pelaku yang diamatinya.

BAB III
PENUTUP
3.1.

Simpulan
Ilmu dalam menyusunya diperlukan suatu metode agar ilmu tersebut

memiliki sifat empiris dan ilmiah. Secara garis besar metode dapat dibagi menjadi
2 yakni metode kuantitatif dan kualitatif. Dalam metode kualitatif dalam
pengumpulan datanya bertumpu pada wawancara, observasi dan studi dokumen.
Dalam hal ini wawancara dan observasi merupakan hal yang paling pokok dalam
pengumpulan data dengan metode kualitatif. Wawancara merupakan proses
pertemuan dua orang atau lebih untuk menyelesaikan topic tertentu dimana salah
satunya merupakan peneliti yang melakukan penggalian informasi terhadap
informan. Wawancara ini terdiri dari beberapa bagian yakni tipe-tipe wawancara,
tahapan wawancara, potensi permasalahan saat wawancara, FGD dan penyusunan
pertanyaan wawancara. Kemudian observasi merupakan proses pengamatan yang
28

dilakukan peneliti kelapangan tempat dilakukan penelitian. Observasi yang


dilakukan bisa berupa observasi langsung dan tidak langsung.
3.2.

Saran

Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan apabila ada kesalahan
mohon saranya untuk perbaikan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis
kearah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Moleong, Lexy. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Arikunto, Suharsini. 1992. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta :
Rineka Cipta
Sukkmadinata, Nana Syaodih. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Flick, U (2002). An introduction to qualitative research. 2nd ed. London: Sage
Publications.
Kartini Kartono. 1980. Pengantar Metodologi Research Sosial. Bandung: Alumni

29

Kerlinger, F.N. 2004. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Penerjemah, Simatupang


Edisi Ke-3. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Poerwandari, E. Kristi. 1998. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Universitas Terbuka
Suparlan. P. (1997). Paradigma Naturalistik dalam Penelitian Pendidikan:
Pendekatan Kualitatif dan Penggunaannya. Majalah Antropologi Indonesia.
No. 53. Vol. 21. Jurusan Antropologi FISIP Universitas Indonesia.

30

Anda mungkin juga menyukai