Disusun:
Ade Putri Mustikawati
J 50012 0028
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
Ciri khas pada infeksi jamur adanya central healing yaitu bagian tengah
tampak kurang akti, sedangkan bagian pinggirnya tampak aktif.4 Faktor-faktor
yang mempengaruhi diantaranya udara lembab, lingkungan yang padat, sosial
ekonomi yang rendah, adanya sumber penularan disekitarnya, obesitas, penyakit
sistemik penggunaan antibiotika dan obat steroid, Higiene juga berperan untuk
timbulnya penyakit ini. Dermatofitosis salah satu pembagiannya berdasarkan
lokasi bagian tubuh manusia yang diserang salah satunya adalah Tinea Korporis,
yaitu dermatofitosis yang menyerang daerah kulit yang tidak berambut (glabrous
skin), misalnya pada wajah, badan, lengan dan tungkai. Yang gejala subyektifnya
yaitu gatal dan terutama jika berkeringat. Tinea korporis adalah infeksi
dermatofita superfisial yang ditandai oleh baik lesi inflamasi maupun non
inflamasi pada glabrous skin (kulit yang tidak berambut) seperti muka, leher,
badan, lengan, tungkai dan gluteal.
Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa keluhan nyeri, perasaan
tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan
seperti rasa penuh saat makan, cepat kenyang, heartburn, kembung, sendawa,
anoreksia, mual,dan muntah. Berdasarkan ada tidaknya penyebab dan kelompok
gejala maka dispepsia dibagi atas dispepsia organik dan dispepsia fungsional.
Dispepsia dapat disebabkan oleh banyak hal, penyebab timbulnya dispepsia
diantaranya karena faktor diet dan lingkungan, sekresi cairan asam lambung,
fungsi motorik lambung, persepsi viseral lambung, psikologi dan infeksi
Helicobacter pylori. Semakin tinggi tingkat stres, maka semakin tinggi risiko
untuk mengalami sindroma dispepsia. Kebiasaan mengkonsumsi makanan dan
minuman, seperti makan pedas, asam, minum teh, kopi, dan minuman.
Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapat bahwa 15-30% orang
dewasa pernah mengalami dispepsia dalam beberapa hari. Dari data di negara
barat didapat angka prevalensinya berkisar antara 7-41% tetapi hanya 10-20%
yang mencari pertolongan medis. Angka insidensi dispepsia diperkirakan antara 18%. Dan belum ada data epidemiologi di Indonesia.
Tinea korporis adalah infeksi umum yang sering terlihat pada daerah
dengan iklim yang panas dan lembab. Seperti infeksi jamur yang lain, kondisi
hangat dan lembab membantu menyebarkan infeksi ini. Maserasi dan oklusi kulit
lipatan menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang memudahkan
infeksi. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu
yang terinfeksi atau tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur,
misalnya handuk, lantai kamr mandi, tempat tidur hotel dan lain-lain.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DIABETES MELITUS
1. Definisi
Diabetes mellitus adalalah gangguan metabolisme yang secara genetik dan
klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi
karbohidrat, jika telah berkembang penuh secara klinis maka diabetes mellitus
ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerosis dan penyakit
vaskular mikroangiopati.
Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat
insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikitmenurun atau
berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta
pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin dependent
diabetes mellitus.
Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di
tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin).
2. Patogenesis
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya
kekurangan insulin secara relatif maupun absolut.Defisiensi insulin dapat
terjadi melalui 3 jalan, yaitu:
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus,zat
kimia,dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar
pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Patofisologi Dalam patofisiologi DM tipe 2
terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu :
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel B pancreas
Obesitas (kegemukan)
Hipertensi
Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus.
Dislipedimia
Umur
Faktor Genetik
Alkohol dan Rokok
4. Gejala klinis
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik Gejala
akut diabetes melitus yaitu : Poliphagia (banyak makan) polidipsia
(banyak minum), Poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari),
nafsu makan bertambah namu berat badan turun dengan cepat (5-10 kg
dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah.
Gejala kronik diabetes melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa
panas atau seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram,
kelelahan, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah
dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa
terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian
janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg.
5. Diagnosis
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa
darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan
toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban
glukosa. Sekurang- kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali
abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Konfirmasi tidak
diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi
metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat .
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan
penyaring. Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan
gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk
mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi punya resiko DM
(usia > 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM,
riwayat abortus berulang, melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL <=
35 mg/dl, atau trigliserida 250 mg/dl). Uji diagnostik dilakukan pada
mereka yang positif uji penyaring.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat
diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.
6. Penatalaksanaan diabetes melitus
Prinsip penatalaksanaan diabates melitus secara umum ada lima
sesuai dengan Konsensus Pengelolaan DM di Indonesia tahun 2006 adalah
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien DM.
Tujuan Penatalaksanaan DM adalah :
-
1. Diet
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes
hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum
yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada penyandang
diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada
mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin. Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan
komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-70%,
lemak 20-25% danprotein 10-15%. Untuk mengetahui nilai
IMT ini, dapat dihitung dengan rumus berikut:
BeratBadan (Kg)
IMT =
----------------------------------------------Tinggi Badan (m)Xtinggi Badan (m)
2. Exercise (latihan fisik/olahraga)
Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu)
selama kurang lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai dengan
Continous, Rhythmical, Interval, Progresive, Endurance
(CRIPE). Training sesuai dengan kemampuan pasien. Sebagai
contoh adalah olah raga ringan jalan kaki biasa selama 30
menit. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalasmalasan.
3. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan.
Pendidikan kesehatan pencegahan primer harus diberikan
kepada kelompok masyarakat resiko tinggi. Pendidikan
kesehatan sekunder diberikan kepada kelompok pasien DM.
Sedangkan pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier
diberikan kepada pasien yang sudah mengidap DM dengan
penyulit menahun.
4. Obat : oral hipoglikemik, insulin
Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan
fisik tetapi tidak berhasil mengendalikan kadar gula darah
maka dipertimbangkan pemakaian obat hipoglikemik
DERMATOMIKOSIS
1. Definisi
Dermatomikosis adalah penyakit pada kulit, kuku, rambut, dan
mukosa yang disebabkan infeksi jamur. Dermatomikosis mempunyai arti
umum, yaitu semua penyakit jamur yang menyerang kulit.
2. Faktor faktor yang mempengaruhi Dermatomikosis.
Faktor yang mempengaruhi adalah udara yang lembab, lingkungan
yang padat, sosial ekonomi yang rendah, adanya sumber penularan
disekitarnya, obesitas, penyakit sistemik, penggunaan obat antibiotik,
steroid, sitostatika yang tidak terkendali.
3. Macam Macam Dermatomikosis
a. Dermatofitosis
Dermatofitosis adalah penyakit jamur pada jaringan yang menjadi
zat tanduk, seperti kuku, rambut, dan sratum korneum pada epidermis
yang disebabkan oleh jamur dermatofita. Dermatofitosis (Tinea) adalah
infeksi jamur dermatofit (species microsporum, trichophyton, dan
epidermophyton) yang menyerang epidermis bagian superfisial (stratum
korneum), kuku dan rambut. Microsporum menyerang rambut dan kulit.
Trichophyton menyerang rambut, kulit dan kuku. Epidermophyton
menyerang kulit dan jarang kuku. dermatofita penyebab dermatofitosis.
Golongan jamur ini bersifat mencernakan keratin, dermatifita termasuk
kelas fungi imperfecti. Gambaran klinik jamur dermatofita menyebabkan
beberapa bentuk klinik yang khas, satu jenis dermatofita menghasilkan
klinis yang berbeda tergantung lokasi anatominya.
Bentuk Bentuk gejala klinis Dermatofitosis
1) Tinea Kapitis
Adalah kelainan kulit pada daerah kepala rambut yang disebabkan
jamur golongan dermatofita. Disebabkan oleh species dermatofita
trichophyton dan microsporum. Gambaran klinik keluhan penderita
berupa bercak pada kepala, gatal sering disertai rambut rontok
ditempat lesi. Diagnosis ditegakkan berdasar gambaran klinis,
pemeriksaan lampu wood dan pemeriksaan mikroskopis dengan KOH,
pada pemeriksaan mikroskopis terlihat spora diluar rambut atau
didalam rambut. Pengobatan pada anak peroral griseofulvin 10-25
mg/kg BB perhari, pada dewasa 500 mg/hr selama 6 minggu.
2) Tinea Favosa
Adalah infeksi jamur kronis terutama oleh trychophiton schoen
lini, trychophithon violaceum, dan microsporum gypseum. Penyakit
ini mirip tinea kapitis yang ditandai oleh skutula warna kekuningan
bau seperti tikus pada kulit kepala, lesi menjadi sikatrik alopecia
permanen. Gambaran klinik mulai dari gambaran ringan berupa
kemerahan pada kulit kepala dan terkenanya folikel rambut tanpa
kerontokan hingga skutula dan kerontokan rambut serta lesi menjadi
lebih merah dan luas kemudian terjadi kerontokan lebih luas, kulit
mengalami atropi sembuh dengan jaringan parut permanen. Diagnosis
dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, prinsip pengobatan tinea
favosa sama dengan pengobatan tinea kapitis, hygiene harus dijaga.
3) Tinea Korporis
Adalah infeksi jamur dermatofita pada kulit halus (globurus skin)
di daerah muka, badan, lengan dan glutea. Penyebab tersering adalah
T. rubrum dan T. mentagropytes. Gambaran klinik biasanya berupa
lesi terdiri atas bermacam-macam efloresensi kulit, berbatas tegas
dengan konfigurasi anular, arsinar, atau polisiklik, bagian 21 tepi lebih
aktif dengan tanda peradangan yang lebih jelas. Daerah sentral
biasanya menipis dan terjadi penyembuhan, sementara tepi lesi meluas
sampai ke perifer. Kadang bagian tengahnya tidak menyembuh, tetapi
tetap meninggi dan tertutup skuama sehingga menjadi bercak yang
besar. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
lokalisasinya serta kerokan kulit dengan mikroskop langsung dengan
larutan KOH 10-20% untuk melihat hifa atau spora jamur. Pengobatan
sistemik berupa griseofulvin 500 mg sehari selama 3-4 minggu,
itrakenazol 100mg sehari selama 2 minggu, obat topikal salep
whitfield.
4) Tinea Imbrikata
Adalah penyakit yang disebabkan jamur dermatofita yang
memberikan gambaran khas berupa lesi bersisik yang
melingkarlingkar dan gatal. Disebabkan oleh dermatofita T.
concentricum. Gambaran klinik dapat menyerang seluruh permukaan
kulit halus, sehingga sering digolongkan dalam tinea korporis. Lesi
bermula sebagai makula eritematosa yang gatal, kemudian timbul
skuama agak tebal terletak konsensif dengan susunan seperti genting,
lesi tambah melebar tanpa meninggalkan penyembuhan dibagian
tangahnya. Diagnosis berdasar gambaran klinis yang khas berupa lesi
konsentris. Pengobatan sistemik griseofulvin 500 mg sehari selama 4
minggu, sering kambuh setelah pengobatan sehingga memerlukan
pengobatan ulang yang lebih lama, ketokonazol 200 mg sehari, obat
topikal tidak begitu efektif karena daerah yang terserang luas. 5) Tinea
Kruris Adalah penyakit jamur dermatifita didaerah lipat paha,
genitalia dan sekitar anus, yang dapat meluas kebokong dan perut
bagian bawah. Penyebab E. floccosum, kadang-kadang disebabkan
oleh T. rubrum. Gambaran klinik lesi simetris dilipat paha kanan dan
kiri mula-mula lesi berupa bercak eritematosa, gatal lama kelamaan 21
meluas sehingga dapat meliputi scrotum, pubis ditutupi skuama,
kadang-kadang disertai banyak vesikel kecil-kecil. Diagnosis berdasar
gambaran klinis yang khas dan ditemukan elemen jamur pada
pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskopis langsung memakai
larutan KOH 10-20%. Pengobatan sistemik griseofulvin 500 mg
sehari selama 3-4 minggu, ketokonazol, obat topikal salp whitefield,
tolsiklat, haloprogin, siklopiroksolamin, derivat azol dan naftifin
HCL.
5) Tinea Manus et Pedis
Merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur
dermatofita didaerah kilit telapak tangan dan kaki, punggung tangan
dan kaki, jari-jari tangan dan kaki serta daerah interdigital. Penyebab
tersering T. rubrum, T. mentagrophytes, E. floccosum. Gambaran
klinik ada 3 bentuk klinis yang sering dijumpai yaitu: (a) Bentuk
intertriginosa berupa maserasi, deskuamasi, dan erosi pada sela jari
tampak warna keputihan basah terjadi fisura terasa nyeri bila disentuh,
lesi dapat meluas sampai ke kuku dan kulit jari. Pada kaki lesi sering
mulai dari sela jari III, IV dan V. (b) Bentuk vesikular akut ditandai
terbentuknya vesikula-vesikula dan bila terletak agak dalam dibawah
kulit sangat gatal, lokasi yang yang sering adalah telapak kaki bagian
tengah melebar serta vesikulanya memecah. (c) Bentuk moccasin foot
pada bentuk ini seluruh kaki dan telapak tepi sampai punggung kaki
terlihat kulit menebal dan berskuama, eritema biasanya ringan
terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Diagnosis ditegakkan berdasar
gambaran klinik dan pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH
10-20% yang menunjukkan elemen jamur. Pengobatan cukup topikal
saja dengan obat-obat anti jamur untuk interdigital dan vesikular
selama 4-6 minggu.
6) Tinea unguium
Adalah kelainan kuku yang disebabkan infeksi jamur dermatofita.
Penyebab tersering adalah T. mentagrophites, T. rubrum. Gambaran
klinik biasanya menyertai tinea pedis atau manus penderita berupa
kuku menjadi rusak warna menjadi suram tergantung penyebabnya,
distroksi kuku mulai dari dista, lateral, ataupun keseluruhan.
Diagnosis ditegakkan berdasar gejala klinis pada pemeriksaan kerokan
b. Non Dermatofitosis
Mekanisme ini dapat dipengaruhi faktor umum, seperti gizi, keadaan hormonal,
usia, dan faktor khusus seperti penghalang mekanik dari kulit dan mukosa,
sekresi permukaan. Respons radang merupakan mekanisme pertahanan
nonspesifik terpenting yang dirangsang oleh penetrasi elemen jamur. Terdapat
2 unsur reaksi radang, yaitu pertama produksi sejumlah komponen kimia yang
larut dan bersifat toksik terhadap invasi organisme. Komponen kimia ini antara
lain ialah lisozim,sitokin,interferon,komplemen, dan protein fase akut. Unsur
kedua merupakan elemen seluler,seperti netrofil, dan makrofag, dengan fungsi
utama fagositosis, mencerna, dan merusak partikel asing. Makrofag juga
terlibat dalam respons imun yang spesifik. Selsel lain yang termasuk respons
radang nonspesifik ialah basophil, sel mast, eosinophil, trombosit dan sel NK
(natural killer). Neutrofil mempunyai peranan utama dalam pertahanan
melawan infeksi jamur.
Imunitas spesifik membentuk lini kedua pertahanan melawan jamur
setelah jamur mengalahkan pertahanan nonspesifik. Limfosit T dan limfosit B
merupakan sel yang berperan penting pada pertahanan tubuh spesifik. Sel-sel
ini mempunyai mekanisme termasuk pengenalan dan mengingat organism
asing, sehingga terjadi amplifikasi dari kerja dan kemampuannya untuk
merspons secara cepat terhadap adanya presentasi dengan memproduksi
antibodi, sedangkan limfosit T berperan dalam respons seluler terhadap infeksi.
Imunitas seluler sangat penting pada infeksi jamur. Kedua mekanisme ini
dicetuskan oleh adanya kontak antara limfosit dengan antigen.
5. Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
laboratorium yaitu mikroskopis langsung dan kultur.
6. Pengobatan
Pengobatan infeksi jamur dibedakan menjadi pengobatan non
medikamentosa dan pengobatan medikamentosa.
Non Medikamentosa
Menurut Badan POM RI (2011), dikatakan bahwa penatalaksanaan
non medikamentosa adalah sebagai berikut:
a. Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena
infeksi atau bagian yang terinfeksi dikeringkan
b. Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian
dengan orang yang terinfeksi.
c. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas
d. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk
menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.
e. Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat
menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan bahan sintetis
yang dapat menghambat sirkulasi udara.
f. Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu dan
bersihkan debu-debu yang menempel pada sepatu.
g. Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur.
Gunakan sandal yang terbuat dari bahan kayu dan karet
Medikamentosa
Pengobatan tinea korporis terdiri dari pengobatan lokal dan
pengobatan sistemik. Pada tinea korporis dengan lesi terbatas,cukup
diberikan obat topikal. Lama pengobatan bervariasi antara 1-4 minggu
bergantung jenis obat. Obat oral atau kombinasi obat oral dan topikal
diperlukan pada lesi yang luas atau kronik rekurens. Anti jamur topikal
yang dapat diberikan yaitu derivate imidazole, toksiklat, haloprogin dan
tolnaftat. Pengobatan lokal infeksi jamur pada lesi yang meradang disertai
vesikel dan eksudat terlebih dahulu dilakukan dengan kompres basah
secara terbuka. Pengobatan Sistemik Menurut Verma dan Heffernan
(2008), pengobatan sistemik yang dapat diberikan pada tinea korporis
adalah:
1. Griseofulvin Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan
pertama. Dosis untuk anak-anak 15-20 mg/kgBB/hari,
sedangkan dewasa 500-1000 mg/hari
2. Ketokonazol Ketokonazol digunakan untuk mengobati tinea
korporis yang resisten terhadap griseofulvin atau terapi topikal.
Dosisnya adalah 200 mg/hari selama 3 minggu.
3. Obat-obat yang relative baru seperti itrakonazol serta terbinafin
dikatakan cukuo memuaskan untuk pengobatan tinea korporis.
DIPEPSIA
1. Definisi
Dispepsia adalah kumpulan gejala berupa rasa nyeri pada ulu hati
atau rasa tidak nyaman di perut bagian atas. Rasa tidak nyaman ini bisa
dirasakan seseorang dalam bentuk rasa penuh di perut bagian atas, rasa
cepat kenyang, rasa terbakar, kembung, bersendawa, mual dan muntah
yang bersifat akut, berulang ataupun kronis.
Gejala biasanya sudah berlangsung bertahun-tahun. Faktor gaya
hidup seperti merokok, alkohol, berat badan dan stres relevan dengan
terjadinya refluks. Insidensi kanker meningkat dengan bertambahnya usia,
dan signifikan hanya pada usia diatas 45 tahun. Adanya disfagia dan
penurunan berat badan merupakan indikasi untuk dilakukan pemeriksaan
segera.Banyak definisi tentang dispepsia, berdasarkan kriteria Rome II
tahun 1999-2000 dispepsia bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan
suatu sindrom yang harus dicari penyebabnya.
2. Etiologi
Penyebab dari sindrom dispepsia adalah :
1. Adanya gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna seperti
tukak gaster/duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.
2. Obat-obatan: seperti Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS),
aspirin, beberapa jenis antibiotik, digitalis, teofilin dan sebagainya.
3. Penyakit pada hepar, pankreas, sistem billier: hepatitis, pankreatitis,
kolesistitis kronik.
4. Penyakit sistemik seperti: diabetes melitus, penyakit tiroid, dan
penyakit jantung koroner.
5. Bersifat fungsional, yaitu: dispepsia yang terdapat pada kasus yang
tidak didapat adanya kelainan/gangguan organik yang dikenal sebagai
dispepsia funsional atau dispepsia non ulkus.
3. Klasifikasi
Berdasarkan ada tidaknya penyebab dan kelompok gejala maka
dispepsia terbagi atas dispepsia organik dan dispepsia fungsional.
Dikatakan dispepsia organik bila penyebab dispepsia sudah jelas misal
adanya ulkus peptikum, karsinoma lambung dan kholelithiasis yang bisa
ditemukan dengan mudah. Dan dikatakan dispepsia fungsional bila
penyebabnya tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada
pemeriksaan gastroenterologi konvensional, atau tidak ditemukannya
kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik.
1.
Dispepsia organik
Dispepsia organik baru bisa dipastikan bila penyebabnya
sudah jelas. Yang dapat digolongkan dispepsia organik, yaitu:
a. Dispepsia tukak (ulcer-like dispepsia)
Keluhan yang sering dirasakan ialah rasa nyeri pada ulu
hati. Berkurang atau bertambahnya nyeri ada hubungannya dengan
makanan, sering terbangun saat tengah malam karena nyeri pada
ulu hati. Hanya dengan endoskopi dan radiologi baru bisa
dipastikan tukak di lambung atau duodenum.
b. Dispepsia bukan tukak
Keluhannya mirip dengan dispepsia tukak, biasa ditemukan
pada gastritis dan duodenitis, tetapi pada pemeriksaan endoskopi
tidak ditemukan tanda-tanda tukak.
c. Refluks gastroesofageal
Gejala yang sering ditemukan adalah rasa panas di dada
dan regurgitasi masam, terutama setelah makan. Bila seseorang
mempunyai keluhan ini disertai keluhan sindroma dispepsia
lainnya maka dapat disebut dispepsia refluks gastroesofageal.
d. Penyakit saluran empedu
Sindroma dispepsia biasa ditemukan pada penyakit saluran
empedu. Rasa nyeri dari perut kanan atas atau ulu hati yang
menjalar ke punggung dan bahu kanan.
e. Karsinoma
Karsinoma saluran cerna (esofagus, lambung, pankreas dan
kolon) sering menimbulkan keluhan sindrom dispepsia. Keluhan
yang sering dijumpai yaitu rasa nyeri di perut, keluhan bertambah
berkaitan dengan makanan, anoreksia dan berat badan menurun.
f. Pankreatitis
Rasa nyeri timbul mendadak dan menjalar ke punggung.
Perut terasa makin tegang dan kembung. Dan didapat juga keluhan
lain dari sindroma dispepsia.
g. Dispepsia pada sindroma malabsorpsi
Pada penderita ini selain menderita nyeri perut, nausea,
anoreksia, sering flatus dan kembung juga didapat diare profus
yang berlendir.
h. Dispepsia akibat obat-obatan
Banyak obat-obatan yang bisa menimbulkan rasa nyeri atau
tidak enak pada ulu hati tanpa atau disertai mual dan muntah,
misalnya obat golongan NSAID (non steroidal anti inflammatory
drugs), teofilin, digitalis, antibiotik oral (terutama ampisilin dan
4.
Dispepsia fungsional
Dispepsia fungsional atau dispepsia non-organik,
merupakan dispepsia yang tidak ada kelainan organik tetapi
merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan. Penderita dengan
dispepsia fungsional biasanya sensitif terhadap produksi asam
lambung. Kelainan psikis, stres dan faktor lingkungan juga dapat
menimbulkan dispepsia fungsional.
Gejala klinis
Keluhan berupa nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung,
mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, dan perut terasa penuh atau
begah. Keluhan ini tidak selalu semua ada pada setiap pasien, dan bahkan
pada beberapa pasien pun keluhan dapat berganti atau bervariasi dari hari
ke hari baik dari segi jenis keluhan maupun kualitasnya.
5. Diagnosis
Cara mendiagnosis sindrom dispepsia yaitu:
a. Menganamnesa secara teliti dapat memberikan gambaran keluhan yang
terjadi, karakteristik dan keterkaitannya dengan penyakit tertentu, keluhan
bisa bersifat lokal atau bisa sebagai manifestasi dari gangguan sistemik.
b. Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau
intra lumen yang padat misalnya: tumor, organomegali, atau nyeri tekan
yang sesuai dengan adanya rangsangan peritoneal/peritonitis.
c. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi
seperti lekositosis, pankreatitis (amilase/lipase) dan keganasan saluran
cerna.
d. Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengidentifikasi kelainan-kelainan
seperti: batu kandung empedu, kolesistitis, sirosis hepatis dan sebagainya.
e. Pemeriksaan endoskopi (esofagogastroduodenoskopi) sangat dianjurkan
bila dispepsia itu disertai oleh keadaan yang disebut alarm symtomps yaitu
adanya penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan
adanya obstruksi, muntah darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung
lama dan terjadi pada usia lebih dari 45 tahun. Keadaan ini sangat
mengarah pada gangguan organik terutama keganasan, sehingga
memerlukan eksplorasi diagnosis secepatnya.
f. Pemeriksaan radiologi dapat mengidentifikasi kelainan struktural
dinding/mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau
gambaran yang mengarah ke tumor. Pemeriksaan ini bermanfaat terutama
pada kelainan yang bersifat penyempitan/stenotik/obstruktif dimana skop
endoskopi tidak dapat melewatinya.
6. Penatalaksanaan
a. Antasida
Antasida digunakan untuk menghilangkan rasa sakit. Mekanisme kerjanya
menetralkan asam lambung secara lokal.
b. Histamine-2 receptor antagonist
Golongan obat ini antara lain: simetidin, renitidin, famotidin, roksatidin,
nizatidin dan lain-lain. Kerja antagonis H2 yang paling penting adalah
menghambat sekresi asam lambung yang dirangsang histamin, gastrin, obatobat kolinomimetik, dan rangsang vagal. Mekanisme kerjanya memblokir
histamin pada reseptor H2 sel pariental sehingga sel parietal tidak terangsang
untuk mengeluarkan asam lambung.
c. Anti kolinergik
Pemakaian obat ini harus diperhatikan sebab kerja obat ini tidak begitu
selektif.
Psikofarmakoterapi
Pada kasus ini terapi dengan anti depresan atau anti anxietas dapat
membantu mengurangi gejala klinis. Preparat dan dosis anti depresan yaitu
sebagai berikut :
a. Siklik antidepresan:
Anti depresan trisiklik yang pertama ditemukan adalah impramine
dan memiliki sedikit kegunaan. Digunakan sejak tahun 1950. Trisiklik
seperti amitriptiline, imipramine, trimipramine, dan dispramine dengan
dosis 150-300 mg/hari.
b. Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs)
MAOI memiliki kekurangan dimana pasien harus diet bebas
tiramine, untuk menghindari krisis hipertensi, yang disebut reaksi keju
(chese-reaction).
c. Selective Serotonin re-uptake Inhibitors (SSRI)
Yang termasuk SSRI adalah fluoxetin, fluvoxamine, sertraline,
citalopram dan paroxetine.
8. Komplikasi
Komplikasi dari dispepsia yaitu luka pada lambung yang dalam atau
melebar tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam lambung dan dapat
mengakibatkan kanker pada lambung.
9. Prognosis
Prognosis tidak diketahui, dan para pasien ini sebaiknya dipantau untuk
mengetahui kemungkinan timbulnya komplikasi seperti penyakit tukak peptik dan
esofagitis refluks.
BAB III
ANALISIS KASUS
dengan
OAD
yaitu
Glibenclamid.
Dari
pemeriksaan
fisik
menunjukkan BB 50 kg, tinggi 150 cm, mulut kering, vital sign normal. Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan gula darah 254 mg/dl, pemeriksaan lipid
dan test fungsi hepar normal, pada kulit ditemukan lesi di leher dan regio
inguinal. Dokter memberikan resep Glibenclamid, Omeprazole, Domperidon,
Cetirizin dan Miconazole cream.
A. Anamnesis
1. Keluhan utama : mual (+) muntah (+), gatal pada leher dan regio
inguinal.
2. Riwayat penyakit sekarang : Diabetes Mellitus, gatal pada leher
dan regio inguinal.
3. Riwayat penyakit dahulu : Diabetes Mellitus (2 tahun yang lalu).
4. Riwayat keluarga : tidak ada.
5. Riwayat pengobatan : mengkonsumsi glibenclamid sejak 2 tahun
yang lalu. Mengkonsumsi omeprazole dan antaside sejak 2
minggu yang lalu tetapi keluhannya tidak berkurang.
6. Riwayat sosial dan ekonomi : tidak diketahui.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Berat Badan : 50 kg.
2. Tinggi Badan : 150 cm.
3. Mulut kering dan vital sign dalam batas normal.
4. Lesi eritematous pada leher dan inguinal, plak berskuama (+)
dengan tepi meninggi.
C. Diagnosis Banding
1. Diabetes Mellitus tipe 1.
2. Diabetes Mellitus tipe 2.
Diagnosis mikosis :
1. Tinea kruris
2. Tinea vesikolor
3. Tinea corporis
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Gula Darah Sewaktu (GDS) : 254 mg/dl
2. Gula Darah Puasa (GDP) : 3. Test Toleransi Glukosa (TTG) : 4. Test lipid dan fungsi hepar : normal
E. Manajemen Terapi
Untuk pemberian terapi diabetes mellitus :
1. Metformin
Efek utama metformin adalah menurunkan hepatic glucose output
dan menurunkan kadar glukosa darah puasa. Monoterapi dengan
metformin dapat menurunkan A1C sebesar 1,5 % dan dapat
digunakan secara aman tanpa menyebabkan hipoglikemi pada
diabetes. Efek non glikemik yang penting dari metformin adalah
tidak menyebabkan penambahan berat badan. Dosis metformin
500 mg tablet pemakaian diminum 3 kali dalam sehari dengan
dosis maksimum 3 mg sehari.
2. Ketonazol
ketokonazol adalah suatu derivat imidazole-dioxolane sintesis
yang memiliki aktivitas antimikotik yang poten terhadap
dermatofit dan ragi, misalnya Tricophyton Sp, Candida Sp,
Pityrosporum Sp. Ketokonazol bekerja dengan menghambat
enzim sitokrom jamur sehingga mengganggu sintesis ergosterol
yang merupakan komponen penting dari membran sel jamur.
Diberikan sediaan topikal.
3. Omeprazole
Omeprazole merupakan antisekresi, yang bekerja menekan
sekresi asam lambung. Omeprazole berikatan dengan proton
secara cepat akan diubah menjadi sulfonamida, suatu penghambat
pompa proton yang aktif. Penggunaanya secara oral. Dosis 1 kali
sehari 10mg.
4. Domperidone
Domperidone merupakan antagonis dopamin yang secara
periferal bekerja selektif pada reseptor D2. Khasiatnya antiemetik
yang sama dengan metoklopramid. Dosis 3 kali sehari 10 mg 1530 menit sebelum makan.
5. Cetirizin
Cetirizin merupakan antihistamin potensial yang memiliki efek
sedasi ringan dengan sifat tambahan anti alergi. Dosis 1 kali
sehari 10 mg.
F. Edukasi
1. Mengurangi konsumsi gula berlebih
2. Mengatur kalori
3. Menjaga higienitas
4. Mengatur pola hidup sehat: pola makan diatur, tidak telat makan,
tidak mengkonsumsi makanan berkafein, tidak banyak makan
makanan yang pedas.
5. Olahraga
6. Tidak merokok.
BAB IV
RESEP
dr. Kaka Ade
NO. SIP : 033/SIP-2/2015/SKA
JL. Kenangan No. 23 SKA, Telp : (0271) 123456
Surakarta, 30 Oktober 2015
R / Glibenklamid tab 5 mg No.XX
S.1.d.d. tab Ia.m.
R / Omeprazole tab 20 mg No.X
S.1.d.d. tab I1.h.a.c.
R / Domperidon tab 10 mg No.X
S.1.d.d tab I 1.h.a.c.
R / Cefitrizin tab 10 mg No.V
: Ny. A
: 56 th
BAB V
KESIMPULAN KASUS I
BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma Metabolik (SM) adalah kondisi dimana seseorang memiliki
tekanan darah tinggi, obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa
hiperglikemik. Ketika kondisi-kondisi tersebut berada pada waktu yang sama pada
satu orang, maka orang tersebut memiliki risiko yang tinggi terhadap penyakit
macrovasculer. Berbagai organisasi telah memberikan definisi yang berbeda,
namun seluruh kelompok studi setuju bahwa obesitas, resistensi insulin (RI),
dislipidemia dan hipertensi merupakan komponen utama SM. Jadi, meskipun SM
memiliki definisi yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama, yaitu
mengenali sedini mungkin gejala gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh ke
dalam beberapa komplikasi.
Menurut World Health Organization (WHO) Metabolic Syndrome yang
didefinisikan dengan adanya dua atau lebih abnormalitas metabolik (pada pasien
diabetes) atau RI dengan dua atau lebih keadaan: 1. Hipertensi dengan perlakuan
atau tekanan darah >160 / >90 mmHg, 2. 150 mg/dL, 3. HDLTrigliserida 0.90
pada laki-laki atau >0.85 pada wanita, 5. Mikroalbuminuria. 3
Namunkebanyakanmenggunakandefinisi yang telahditetapkanoleh WHO and The
National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP
III). Organisasi ini menganggap bahwa SM merupakan faktor risiko penyakit
kardiovaskuler disamping peningkatan kadar kolesterol Low Density Lipoprotein
(LDL). Dislipidemiaaterogenik (protrombotik state), RI, hipertensi,
obesitasabdominal danpeningkatanmarker inflamasidianggapsebagaikarakteristik
yang mencolok dari SM.
Konsep dari Sindrom Metabolik telah ada sejak 80 tahun yang lalu, pada
tahun 1920, Kylin, seorang dokter Swedia, merupakan orang pertama yang
menggambarkan sekumpulan dari gangguan metabolik, yang dapat menyebabkan
resiko penyakit kardiovaskuler aterosklerosis yaitu hipertensi, hiperglikemi dan
gout. Berbagai faktor resiko: dislipidemi, hiperglikemi dan hipertensi secara
bersamaan dikenal sebagai multiple risk factor untuk penyakit kardiovaskuler dan
disebut dengan sindrom X. Selanjutnya sindrom X ini dikenal dengan sindrom
resistensi insulin. Dan kemudian NCEP-ATP III menamakan dengan istilah
Sindrom Metabolik. Konsep Sindrom Metabolik ini telah banyak diterima secara
Internasional. Berdasarkan tinjauan dari beberapa studi, didapatkan angka
prevalensi Sindrom Metabolik pada populasi urban laki-laki yaitu dari 8% (India)
sampai24% (Amerika Serikat), sedang untuk wanita dari 7% (Perancis) sampai
46% (India).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SINDROM METABOLIK
1. Definisi
Berdasarkan the National Cholesterol Education Program Third Adult
Treatment Panel (NCEP-ATP III), Sindrom Metabolik adalah seseorang
dengan memiliki sedikitnya 3 kriteria berikut: 1). Obesitas abdominal (lingkar
pinggang > 88 cm untuk wanita dan untuk pria > 102 cm); 2). Peningkatan
kadar trigliserida darah ( 150 mg/dL, atau 1,69 mmol/ L); 3). Penurunan
kadar kolesterol HDL (< 40 mg/dL atau < 1,03 mmol/ L pada pria dan pada
wanita < 50 mg/dL >.
2. Etiologi
Menurut Tenebaum (dalam Angraeni2007), penyebab Sindroma Metabolik
adalah : Pertama, gangguan fungsi sel dan hipersekresi insulin untuk
mengkompensasi RI. Hal ini memicu terjadinya komplikasi makrovaskuler
(misalnya komplikasi jantung); Kedua, kerusakan berat sel menyebabkan
penurunan progresif sekresi insulin, sehingga menimbulkan hiperglikemia.
Hal ini menimbulkan komplikasi mikrovaskuler (misalnya nephropathy
diabetica).
Peningkatan faktor risiko metabolik selalu berhubungan dengan tingginya
akumulasi jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan lemak visceral.
Salah satu karakteristik obesitas abdominal/lemak visceral adalah terjadinya
pembesaran sel-sel lemak, sehingga sel-sel lemak tersebut akan mensekresi
produk-produk metabolik, di antaranya sitokin proinflamasi, prokoagulan,
peptida inflamasi, dan angiotensinogen. Produk produk dari sel lemak dan
peningkatan asam lemak bebas dalam plasma bertanggungjawab terhadap
berbagai penyakit metabolik seperti diabetes, penyakitjantung, hiperlipidemia,
gout, dan hipertensi.
3. Patofisiologi
Insulin merupakan hormon anabolik tubuh yang prinsipil, yang
mengatur perkembangan dan pertumbuhan yang sesuai dan juga sebagai
maintenance dari sistem homeostasis glukosa di seluruh tubuh. Hormon
insulin disekresi oleh sel pulau Langerhan dari organ pankreas. Insulin
berperan dalam menurunkan kadar gula darah melalui beberapa cara; 1).
supressi hepatic glucose output (melalui penurunan gluconeogenesis dan
glycogenolysis), 2). merangsang penyimpanan terutama ke otot dan
jaringan lemak melalui glucose transporter yaitu Glucose Transporter -4
(GLUT-4).
Insulin juga mempunyai efek antiapoptosis, hal ini didukung oleh studi
eksperimen pada binatang percobaan dimana dengan penambahan insulin pada
cairan reperfusi berhubungan dengan pengurangan ukuran miokard infark sekitar
50%. Sedangkan studi pada manusia, pemberian infus insulin dosis rendah dengan
heparin dan agen trombolitik menunjukkan efek kardioprotektif (Dandona, 2005).
Efek anti inflamasi juga terdapat pada insulin hal ini didukung oleh
eksperimen pada binatang percobaan bahwa pemberian insulin menunjukkan
pengurangan mediator-mediator inflamasi (IL-, IL-6, macrophage migration
inhibitor factor [MIF], TNF-), dan expression of proinflammatory transcription
factors CEBP (C enhancer binding protein) dan cytokines. Kemampuan insulin
dalam efek antioksidan didukung dengan kemampuannya untuk menekan reactive
oxygen species (ROS).
Patogenesis sindrom metabolik masih tidak jelas, tetapi kelainan dasarnya
adalah resistensi insulin. Resistensi insulin didefinisikan sebagai suatu kondisi
dijumpainya produksi insulin yang normal namun telah terjadi penurunan
sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin, sehingga terjadi peningkatan sekresi
insulin sebagai bentuk kompensasi sel Beta. Resistensi insulin ini sering
mendahului onset dari diabetes tipe 2 dan mempunyai kontribusi dalam
perkembangan terjadinya keadaan hiperglikemi. Dan resistensi insulin dijumpai
pada sebagian besar pasien dengan Sindrom Metabolik. Resistensi Insulin dan
hipertensi sistolik merupakan faktor yang menentukan terjadinya disfungsi
endotel. Resistensi Insulin menyebabkan menurunnya produksi Nitric Oxide (NO)
yang dihasilkan oleh sel-sel endotel, sedangkan hipertensi menyebabkan disfungsi
endotel melalui beberapa cara seperti; secara kerusakan mekanis, peningkatan selsel endotel dalam bentuk radikal bebas, pengurangan bioavailabilitas NO atau
melalui efek proinflamasi pada sel-sel otot polos vaskuler. Disfungsi endotel ini
berhubungan dengan stres oksidatif dan menyebabkan penyakit kardiovaskuler.
Proses-proses seluler yang penting yang berkenaan dengan disfungsi endotel.
Pada keadaan hiperinsulinemia insulin dapat ditemukan pada otak, berperan
sebagai neuromodulator yang menghambat aktifitas sinap. Reseptor-reseptor
insulin telah ditemukan pada daerah hipotalamus dan hipokampus. Dipercaya
bahwa insulin yang ada berasal dari plasma dan berakses ke otak pada daerah
circumventricular yang merupakan daerah yang sedikit mengandung sawar darah
otak. Insulin juga bertransportasi melewati sawar darah otak melalui reseptor
spesifik dan masuk ke jaringan syaraf secara langsung atau masuk melalui cairan
serebrospinal.
Komponen
Obesitas
abdominal/ sentral
Hipertrigliseridemia
Hipertensi
Kadar glukosa
darah tinggi
Mikro-albuminuri
Criteria diagnosis
ATP III : 3
komponen di bawah
ini
Lingkar perut :
Laki-laki: 102 cm
Wanita : >88 cm
150 mg/dl (1,7
mmol/L)
TD 130/85 mmHg
atau riwayat terapi
anti hipertensif
110 mg/dl
IDF
Lingkar perut :
Laki-laki: 90 cm
Wanita : 80 cm
150 mg/dl
TD sistolik 130 mmHg
TD diastolik 85 mmHg
GDP 100mg/dl
BAB III
ANALISIS KASUS
BAB IV
RESEP
dr. Kaka Ade
NO. SIP : 033/SIP-2/2015/SKA
JL. Kenangan No. 23 SKA, Telp : (0271) 123456
Surakarta, 30 Oktober 2015
R / Metformin tab 500 mg No.XXX
S.3.d.d. tab I
R / Simvastatin tab 10 mg No.XXX
S.1.d.d. tab Inocte
R / Amlodipin tab 5 mg No.XXX
S.1.d.d tab I nocte
Pro
: Tn. R
Age
: 50 th
BAB V
KESIMPULAN KASUS II
DAFTAR PUSTAKA
Adult Treatment panel III., 2001. Expert Panel on Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Cholesterol in Adults.Executive Summary of
the Third Report of the National Cholesterol Education Program
(NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, andTreatment of High
Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III).
American
Diabetic
Assosiation.,
2012.
Diagnosis
and
Diabetes Care.
Pengendalian
Direktorat
Jenderal
Penyakit
Pengendalian
tidak
Menular,
Penyakit
dan
Penyehatan Lingkungan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia., 2010. Pedoman
Pengendalian Diabetes Mellitus dan Penyakit Metabolik.
Direktorat
Pengendalian
Direktorat
Jenderal
Penyakit
Pengendalian
tidak
Menular,
Penyakit
dan
Penyehatan Lingkungan.
Dinas Kesehatan Jawa Tengah., 2010. Profil Kementerian
Kesehatan
Indonesia
Pusat
dan
Surveilans
Jakarta:
Blok
Rational.
Surakarta:
Muhammadiyah
University Press.
Sutrisna, EM. 2015. Dasar-Dasar Pengobatan Rasional: Buku
Ajar
Blok
Rational.
Surakarta:
Muhammadiyah
University Press.
World
Health
Organization.,
2015.
Available
Diabetes
Mellitus.
from:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/ind
ex.html(diakses 29 Oktober 2015).