Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN TUTORIAL

KASUS 1 DAN KASUS 2


BLOK RATIONAL THERAUPEUTICS

Disusun:
Ade Putri Mustikawati
J 50012 0028

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015

BAB 1
PENDAHULUAN

Di tahun yang sama International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan


bahwa prevalensi DM di dunia adalah 1,9% dan telah menjadikan DM sebagai
penyebab kematian urutan ke tujuh di dunia. Hasil Riset Kesehatan Dasar pada
tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai 57%,
pada tahun 2012 angka kejadian diabetes melitus didunia adalah sebanyak 371
juta jiwa, dimana proporsi kejadiandiabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari
populasi dunia yang menderita diabetesmellitus dan hanya 5% dari jumlah
tersebut menderita diabetes mellitus tipe 2. World Health Organisation (WHO)
mendefinisikan diabetes melitus (DM) sebagai penyakit yang ditandai dengan
terjadinya hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein yang dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja
dan atau sekresi insulin. Tahun 2003, WHO memperkirakan 194 juta atau 5,1%
dari 3,8 milyar penduduk dunia usia 20-79 tahun menderita DM dan diperkirakan
pada tahun 2025 akan meningkat menjadi 333 juta.
Wanita lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita
memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Latihan fisik
yang teratur dapat meningkatkan mutu pembuluh darah dan memperbaiki semua
aspek metabolik, termasuk meningkatkan kepekaan insulin serta memperbaiki
toleransi glukosa. Tingginya prevalensi DM, yang sebagian besar adalah tergolong
dalam DM tipe-2 disebabkan oleh interaksi antara faktor-faktor kerentanan genetis
dan paparan terhadap lingkungan. Faktor lingkungan yang diperkirakan dapat
meningkatkan faktor risiko DM tipe-2 adalah perubahan gaya hidup seseorang,
diantaranya adalah kebiasaan makan yang tidak seimbang akan menyebabkan
obesitas. Selain pola makan yang tidak seimbang, aktifitas fisik juga merupakan
faktor risiko dalam memicu terjadinya DM. Kejadian DM Tipe 2 pada wanita
lebih tinggi daripada laki-laki.
Dermatofitosis mempunyai arti umum, yaitu semua penyakit jamur yang
menyerang kulit.Penyakit ini menyerang jaringan yang mengandung zat tanduk
yakni epidermis (tinea korporis, tinea kruris, tinea manus et pedis), rambut (tinea
kapitis), kuku (tinea unguinum). Dermatofitosis terjadi karena terjadi inokulasi
jamur pada tempat yang diserang, biasanya di tempat yang lembab dengan
maserasi atau ada trauma sebelumnya.

Ciri khas pada infeksi jamur adanya central healing yaitu bagian tengah
tampak kurang akti, sedangkan bagian pinggirnya tampak aktif.4 Faktor-faktor
yang mempengaruhi diantaranya udara lembab, lingkungan yang padat, sosial
ekonomi yang rendah, adanya sumber penularan disekitarnya, obesitas, penyakit
sistemik penggunaan antibiotika dan obat steroid, Higiene juga berperan untuk
timbulnya penyakit ini. Dermatofitosis salah satu pembagiannya berdasarkan
lokasi bagian tubuh manusia yang diserang salah satunya adalah Tinea Korporis,
yaitu dermatofitosis yang menyerang daerah kulit yang tidak berambut (glabrous
skin), misalnya pada wajah, badan, lengan dan tungkai. Yang gejala subyektifnya
yaitu gatal dan terutama jika berkeringat. Tinea korporis adalah infeksi
dermatofita superfisial yang ditandai oleh baik lesi inflamasi maupun non
inflamasi pada glabrous skin (kulit yang tidak berambut) seperti muka, leher,
badan, lengan, tungkai dan gluteal.
Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa keluhan nyeri, perasaan
tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan
seperti rasa penuh saat makan, cepat kenyang, heartburn, kembung, sendawa,
anoreksia, mual,dan muntah. Berdasarkan ada tidaknya penyebab dan kelompok
gejala maka dispepsia dibagi atas dispepsia organik dan dispepsia fungsional.
Dispepsia dapat disebabkan oleh banyak hal, penyebab timbulnya dispepsia
diantaranya karena faktor diet dan lingkungan, sekresi cairan asam lambung,
fungsi motorik lambung, persepsi viseral lambung, psikologi dan infeksi
Helicobacter pylori. Semakin tinggi tingkat stres, maka semakin tinggi risiko
untuk mengalami sindroma dispepsia. Kebiasaan mengkonsumsi makanan dan
minuman, seperti makan pedas, asam, minum teh, kopi, dan minuman.
Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapat bahwa 15-30% orang
dewasa pernah mengalami dispepsia dalam beberapa hari. Dari data di negara
barat didapat angka prevalensinya berkisar antara 7-41% tetapi hanya 10-20%
yang mencari pertolongan medis. Angka insidensi dispepsia diperkirakan antara 18%. Dan belum ada data epidemiologi di Indonesia.
Tinea korporis adalah infeksi umum yang sering terlihat pada daerah
dengan iklim yang panas dan lembab. Seperti infeksi jamur yang lain, kondisi
hangat dan lembab membantu menyebarkan infeksi ini. Maserasi dan oklusi kulit
lipatan menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang memudahkan
infeksi. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu
yang terinfeksi atau tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur,
misalnya handuk, lantai kamr mandi, tempat tidur hotel dan lain-lain.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DIABETES MELITUS
1. Definisi
Diabetes mellitus adalalah gangguan metabolisme yang secara genetik dan
klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi
karbohidrat, jika telah berkembang penuh secara klinis maka diabetes mellitus
ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerosis dan penyakit
vaskular mikroangiopati.
Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat
insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikitmenurun atau
berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta
pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin dependent
diabetes mellitus.
Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di
tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin).
2. Patogenesis
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya
kekurangan insulin secara relatif maupun absolut.Defisiensi insulin dapat
terjadi melalui 3 jalan, yaitu:
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus,zat
kimia,dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar
pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Patofisologi Dalam patofisiologi DM tipe 2
terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu :
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel B pancreas

Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi


insulin, namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu
merespon insulin secara normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai
resistensi insulin. Resistensi insulinbanyak terjadi akibat dari obesitas
dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita diabetes
melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan
namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun
seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita
diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut.
3. Faktor resiko
Menurut American Diabetes Association (ADA) bahwa DM
berkaitan dengan faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputiriwayat
keluarga dengan DM (first degree relative), umur 45 tahun, etnik,
riwayatmelahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000 gram atau
riwayat pernah menderita DM gestasional dan riwayat lahir dengan
beratbadan rendah (2,5kg). Faktor risiko yang dapatdiubah meliputi
obesitas berdasarkan IMT 25kg/m2 atau lingkar perut 80 cm pada
wanita dan 90 cm pada laki-laki, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi,
dislipidemi dan diet tidak sehat. Faktor lain yang terkait dengan risiko
diabetes:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Obesitas (kegemukan)
Hipertensi
Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus.
Dislipedimia
Umur
Faktor Genetik
Alkohol dan Rokok

4. Gejala klinis
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik Gejala
akut diabetes melitus yaitu : Poliphagia (banyak makan) polidipsia
(banyak minum), Poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari),
nafsu makan bertambah namu berat badan turun dengan cepat (5-10 kg
dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah.
Gejala kronik diabetes melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa
panas atau seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram,
kelelahan, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah
dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa

terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian
janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg.
5. Diagnosis
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa
darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan
toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban
glukosa. Sekurang- kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali
abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Konfirmasi tidak
diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi
metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat .
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan
penyaring. Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan
gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk
mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi punya resiko DM
(usia > 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM,
riwayat abortus berulang, melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL <=
35 mg/dl, atau trigliserida 250 mg/dl). Uji diagnostik dilakukan pada
mereka yang positif uji penyaring.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat
diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.
6. Penatalaksanaan diabetes melitus
Prinsip penatalaksanaan diabates melitus secara umum ada lima
sesuai dengan Konsensus Pengelolaan DM di Indonesia tahun 2006 adalah
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien DM.
Tujuan Penatalaksanaan DM adalah :
-

Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM,


mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target
pengendalian glukosa darah.
Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas
penyulit mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati.

Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan


mortalitas DM yaitu :

1. Diet
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes
hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum
yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada penyandang
diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada
mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin. Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan
komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-70%,
lemak 20-25% danprotein 10-15%. Untuk mengetahui nilai
IMT ini, dapat dihitung dengan rumus berikut:
BeratBadan (Kg)
IMT =
----------------------------------------------Tinggi Badan (m)Xtinggi Badan (m)
2. Exercise (latihan fisik/olahraga)
Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu)
selama kurang lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai dengan
Continous, Rhythmical, Interval, Progresive, Endurance
(CRIPE). Training sesuai dengan kemampuan pasien. Sebagai
contoh adalah olah raga ringan jalan kaki biasa selama 30
menit. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalasmalasan.
3. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan.
Pendidikan kesehatan pencegahan primer harus diberikan
kepada kelompok masyarakat resiko tinggi. Pendidikan
kesehatan sekunder diberikan kepada kelompok pasien DM.
Sedangkan pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier
diberikan kepada pasien yang sudah mengidap DM dengan
penyulit menahun.
4. Obat : oral hipoglikemik, insulin
Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan
fisik tetapi tidak berhasil mengendalikan kadar gula darah
maka dipertimbangkan pemakaian obat hipoglikemik

Obat Obat Diabetes Melitus


a. Antidiabetik oral Penatalaksanaan pasien DM dilakukan dengan
menormalkan kadar gula darah dan mencegah komplikasi. Lebih khusus
lagi dengan menghilangkan gejala,optimalisasi parameter metabolik, dan

mengontrol berat badan. Bagi pasien DM tipe 1 penggunaan insulin adalah


terapi utama. Indikasi antidiabetik oral terutama ditujukan untuk
penanganan pasien DM tipe 2 ringan sampai sedang yang gagal
dikendalikan dengan pengaturan asupan energi dan karbohidrat serta olah
raga. Obat golongan ini ditambahkan bila setelah 4-8 minggu upaya diet
dan olah raga dilakukan, kadar gula darah tetap di atas 200 mg% dan
HbA1c di atas 8%. Pemilihan dan penentuan regimen antidiabetik oral
yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit DM
serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit
lain dan komplikasi yang ada. Dalam hal ini obat hipoglikemik oral adalah
termasuk golongan sulfonilurea, biguanid, inhibitor alfa glukosidase dan
insulin sensitizing.
b. Insulin
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada manusia.
Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai yang
dihubungkan dengan jembatan disulfide, terdapat perbedaan asam amino
kedua rantai tersebut. Untuk pasien yang tidak terkontrol dengan diet atau
pemberian hipoglikemik oral, kombinasi insulin dan obat-obat lain bisa
sangat efektif. Insulin kadangkala dijadikan pilihan sementara, misalnya
selama kehamilan. Namun pada pasien DM tipe 2 yang memburuk,
penggantian insulin total menjadi kebutuhan. Insulin merupakan hormon
yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat maupun metabolisme
protein dan lemak. Fungsi insulin antara lain menaikkan pengambilan
glukosa ke dalam selsel sebagian besar jaringan, menaikkan penguraian
glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan
otot serta mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan
protein dan lemak dari glukosa.

DERMATOMIKOSIS
1. Definisi
Dermatomikosis adalah penyakit pada kulit, kuku, rambut, dan
mukosa yang disebabkan infeksi jamur. Dermatomikosis mempunyai arti
umum, yaitu semua penyakit jamur yang menyerang kulit.
2. Faktor faktor yang mempengaruhi Dermatomikosis.
Faktor yang mempengaruhi adalah udara yang lembab, lingkungan
yang padat, sosial ekonomi yang rendah, adanya sumber penularan
disekitarnya, obesitas, penyakit sistemik, penggunaan obat antibiotik,
steroid, sitostatika yang tidak terkendali.
3. Macam Macam Dermatomikosis
a. Dermatofitosis
Dermatofitosis adalah penyakit jamur pada jaringan yang menjadi
zat tanduk, seperti kuku, rambut, dan sratum korneum pada epidermis
yang disebabkan oleh jamur dermatofita. Dermatofitosis (Tinea) adalah
infeksi jamur dermatofit (species microsporum, trichophyton, dan
epidermophyton) yang menyerang epidermis bagian superfisial (stratum
korneum), kuku dan rambut. Microsporum menyerang rambut dan kulit.
Trichophyton menyerang rambut, kulit dan kuku. Epidermophyton
menyerang kulit dan jarang kuku. dermatofita penyebab dermatofitosis.
Golongan jamur ini bersifat mencernakan keratin, dermatifita termasuk
kelas fungi imperfecti. Gambaran klinik jamur dermatofita menyebabkan
beberapa bentuk klinik yang khas, satu jenis dermatofita menghasilkan
klinis yang berbeda tergantung lokasi anatominya.
Bentuk Bentuk gejala klinis Dermatofitosis
1) Tinea Kapitis
Adalah kelainan kulit pada daerah kepala rambut yang disebabkan
jamur golongan dermatofita. Disebabkan oleh species dermatofita
trichophyton dan microsporum. Gambaran klinik keluhan penderita
berupa bercak pada kepala, gatal sering disertai rambut rontok
ditempat lesi. Diagnosis ditegakkan berdasar gambaran klinis,
pemeriksaan lampu wood dan pemeriksaan mikroskopis dengan KOH,
pada pemeriksaan mikroskopis terlihat spora diluar rambut atau
didalam rambut. Pengobatan pada anak peroral griseofulvin 10-25
mg/kg BB perhari, pada dewasa 500 mg/hr selama 6 minggu.

2) Tinea Favosa
Adalah infeksi jamur kronis terutama oleh trychophiton schoen
lini, trychophithon violaceum, dan microsporum gypseum. Penyakit
ini mirip tinea kapitis yang ditandai oleh skutula warna kekuningan
bau seperti tikus pada kulit kepala, lesi menjadi sikatrik alopecia
permanen. Gambaran klinik mulai dari gambaran ringan berupa
kemerahan pada kulit kepala dan terkenanya folikel rambut tanpa
kerontokan hingga skutula dan kerontokan rambut serta lesi menjadi
lebih merah dan luas kemudian terjadi kerontokan lebih luas, kulit
mengalami atropi sembuh dengan jaringan parut permanen. Diagnosis
dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, prinsip pengobatan tinea
favosa sama dengan pengobatan tinea kapitis, hygiene harus dijaga.
3) Tinea Korporis
Adalah infeksi jamur dermatofita pada kulit halus (globurus skin)
di daerah muka, badan, lengan dan glutea. Penyebab tersering adalah
T. rubrum dan T. mentagropytes. Gambaran klinik biasanya berupa
lesi terdiri atas bermacam-macam efloresensi kulit, berbatas tegas
dengan konfigurasi anular, arsinar, atau polisiklik, bagian 21 tepi lebih
aktif dengan tanda peradangan yang lebih jelas. Daerah sentral
biasanya menipis dan terjadi penyembuhan, sementara tepi lesi meluas
sampai ke perifer. Kadang bagian tengahnya tidak menyembuh, tetapi
tetap meninggi dan tertutup skuama sehingga menjadi bercak yang
besar. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
lokalisasinya serta kerokan kulit dengan mikroskop langsung dengan
larutan KOH 10-20% untuk melihat hifa atau spora jamur. Pengobatan
sistemik berupa griseofulvin 500 mg sehari selama 3-4 minggu,
itrakenazol 100mg sehari selama 2 minggu, obat topikal salep
whitfield.
4) Tinea Imbrikata
Adalah penyakit yang disebabkan jamur dermatofita yang
memberikan gambaran khas berupa lesi bersisik yang
melingkarlingkar dan gatal. Disebabkan oleh dermatofita T.
concentricum. Gambaran klinik dapat menyerang seluruh permukaan
kulit halus, sehingga sering digolongkan dalam tinea korporis. Lesi
bermula sebagai makula eritematosa yang gatal, kemudian timbul
skuama agak tebal terletak konsensif dengan susunan seperti genting,
lesi tambah melebar tanpa meninggalkan penyembuhan dibagian
tangahnya. Diagnosis berdasar gambaran klinis yang khas berupa lesi
konsentris. Pengobatan sistemik griseofulvin 500 mg sehari selama 4
minggu, sering kambuh setelah pengobatan sehingga memerlukan
pengobatan ulang yang lebih lama, ketokonazol 200 mg sehari, obat

topikal tidak begitu efektif karena daerah yang terserang luas. 5) Tinea
Kruris Adalah penyakit jamur dermatifita didaerah lipat paha,
genitalia dan sekitar anus, yang dapat meluas kebokong dan perut
bagian bawah. Penyebab E. floccosum, kadang-kadang disebabkan
oleh T. rubrum. Gambaran klinik lesi simetris dilipat paha kanan dan
kiri mula-mula lesi berupa bercak eritematosa, gatal lama kelamaan 21
meluas sehingga dapat meliputi scrotum, pubis ditutupi skuama,
kadang-kadang disertai banyak vesikel kecil-kecil. Diagnosis berdasar
gambaran klinis yang khas dan ditemukan elemen jamur pada
pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskopis langsung memakai
larutan KOH 10-20%. Pengobatan sistemik griseofulvin 500 mg
sehari selama 3-4 minggu, ketokonazol, obat topikal salp whitefield,
tolsiklat, haloprogin, siklopiroksolamin, derivat azol dan naftifin
HCL.
5) Tinea Manus et Pedis
Merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur
dermatofita didaerah kilit telapak tangan dan kaki, punggung tangan
dan kaki, jari-jari tangan dan kaki serta daerah interdigital. Penyebab
tersering T. rubrum, T. mentagrophytes, E. floccosum. Gambaran
klinik ada 3 bentuk klinis yang sering dijumpai yaitu: (a) Bentuk
intertriginosa berupa maserasi, deskuamasi, dan erosi pada sela jari
tampak warna keputihan basah terjadi fisura terasa nyeri bila disentuh,
lesi dapat meluas sampai ke kuku dan kulit jari. Pada kaki lesi sering
mulai dari sela jari III, IV dan V. (b) Bentuk vesikular akut ditandai
terbentuknya vesikula-vesikula dan bila terletak agak dalam dibawah
kulit sangat gatal, lokasi yang yang sering adalah telapak kaki bagian
tengah melebar serta vesikulanya memecah. (c) Bentuk moccasin foot
pada bentuk ini seluruh kaki dan telapak tepi sampai punggung kaki
terlihat kulit menebal dan berskuama, eritema biasanya ringan
terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Diagnosis ditegakkan berdasar
gambaran klinik dan pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH
10-20% yang menunjukkan elemen jamur. Pengobatan cukup topikal
saja dengan obat-obat anti jamur untuk interdigital dan vesikular
selama 4-6 minggu.
6) Tinea unguium
Adalah kelainan kuku yang disebabkan infeksi jamur dermatofita.
Penyebab tersering adalah T. mentagrophites, T. rubrum. Gambaran
klinik biasanya menyertai tinea pedis atau manus penderita berupa
kuku menjadi rusak warna menjadi suram tergantung penyebabnya,
distroksi kuku mulai dari dista, lateral, ataupun keseluruhan.
Diagnosis ditegakkan berdasar gejala klinis pada pemeriksaan kerokan

kuku dengan KOH 10-20 % atau biakan untuk menemukan elemen


jamur. Pengobatan infeksi kuku memerlukan ketekunan, pengertian
kerjasama dan kepercayaan penderita dengan dokter karena
pengobatan sulit dan lama. Pemberian griseofulvin 500 mg sehari
selama 3-4 bulan untuk jari tangan untuk jari kaki 9-12 bulan. Obat
topical dapat diberikan dalam bentuk losion atau crim.
7) Kandidiasis
Adalah suatu penyakit kulit akut atau subakut, disebabkan jamur
intermediate yang menyerang kulit, kuku, selaput lendir dan alatalat
dalam. Penyebab jamur golongan candida yang patogen dan
merupakan kandidiasis adalah candida albicans. Gambaran klinik
berbentuk kandidiasis sistemik dan lokal.
Kandidiasis lokal terdiri dari:
a. Kandidiasis oral
b. Perleche berupa retakan sudut mulut, pedih dan nyeri bila
tersentuh makanan atau air.
c. Kandidiasis vaginal
d. Balanitis biasanya terjadi pada laki-laki yang tidak sunat, terasa
gatal disertai timbulnya membran atau bercak putih pada gland
penis.
Kandidiasis kulit terdiri dari:
a. Kandidiasis intertriginosa
b. Kandidiasis kuku infeksi jamur pada kuku dan jaringan sekitar
c. Kandidiasis granulomatosa
Diagnosis dengan pemeriksaan langsung kerokan kulit atau
usap mukokutan dengan larutan KOH 10% atau pewarnaan gram
yang terlihat sel ragi, blastospora atau hifa semu. Pengobatan
kandidiasis kulit dan kandidiasis selaput lendir yang lokal dengan
memberi obat anti jamur topikal. Pengobatan kandidiasis oral
berupa lozenges atau oral gel yang mengandung nistatin atau
mikonazole, pengobatan kandidiasis vaginal obat yang dipakai
adalh preparat khusus intravaginal yang mengandung imidasol
selama 1-5 hari, terapi oral juga diberikan 1-5 hari.

b. Non Dermatofitosis

Pitiriasis versikolor (Panau) Adalah penyakit jamur superfisial


yang kronik biasanya tidak memberikan keluhan subjektif berupa bercak
skuama halus warna putih sampai coklat hitam, meliputi badan kadangkadang menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka,
kulit kepala yang berambut. Menurut Ballon. Disebabkan oleh malassezia
furfur robin. Gambaran klinik kelainan terlihat bercakbercak warna warni,
bentuk teratur sampai tidak teratur batas jelas sampai difus kadang
penderita merasa gatal ringan. Diagnosis pada sediaan langsung kerokan
kulit dengan larutan KOH 20 % terlihat 21 campuran hifa pendek dan
spora-spora bulat yang dapat berkelompok. Pengobatan harus dilakukan
menyeluruh tekun dan konsisten. Obat yang dapat dipakai suspensi
selenium sulfida ( selsun ) dipakai sebagai sampo 2-3x seminggu. Obat
lain derivat azol misal mikonazole, jika sulit disembuhkan ketokonazole
dapat dipertimbangkan dengan dosis 1x 200 mg sehari selama 10 minggu.
4. Patogenesis
Elemen kecil dari jamur disebut hifa, berupa benang-benang filament
terdiri dari sel-sel yang mempunyai dinding. Dinding sel jamur merupakan
karakteristik utama yang membedakan jamur, karena banyak mengandung
substrat nitrogen disebut dengan chitin. Struktur bagian dalam (organela)
terdiri dari nukleus, mitokondria, ribosom, retikulum endoplasma, lisosom,
apparatus golgi dan sentriol dengan fungsi dan peranannya masing-masing.
Benang-benang hifa bila bercabang dan membentuk anyaman disebut
miselium. Dermatofita berkembang biak dengan cara fragmentasi atau
membentuk spora, baik seksual maupun aseksual. Spora adalah suatu alat
reproduksi yang dibentuk hifa, besarnya antara 1-3, biasanya bentuknya bulat,
segi empat, kerucut atau lonjong. Spora dalam pertumbuhannya makin lama
makin besar dan memanjang membentuk hifa. terdapat 2 macam spora yaitu
spora seksual (gabungan dari dua hifa) dan spora aseksual (dibentuk oleh hifa
tanpa penggabungan).
Infeksi Dermatofita diawali dengan perlekatan jamur atau elemen jamur
yang dapat tumbuh dan berkembang pada stratum korneum. Pada saat
perlekatan, jamur dermatofita harus tahan terhadap rintangan seperti sinar
ultraviolet, variasi temperatur dan kelembaban, kompetensi dengan flora
normal, spingosin dan asam lemak. Kerusakan stratum korneum, tempat yang
tertutup dan maserasi memudahkan masuknya jamur ke epidermis.
Masuknya dermatofita ke epidermis menyebabkan respon imun pejamu
baik respon imun nonspesifik maupun respon imun spesifik. Respon imun
nonspesifik merupakan pertahanan lini pertama melawan infeksi jamur.

Mekanisme ini dapat dipengaruhi faktor umum, seperti gizi, keadaan hormonal,
usia, dan faktor khusus seperti penghalang mekanik dari kulit dan mukosa,
sekresi permukaan. Respons radang merupakan mekanisme pertahanan
nonspesifik terpenting yang dirangsang oleh penetrasi elemen jamur. Terdapat
2 unsur reaksi radang, yaitu pertama produksi sejumlah komponen kimia yang
larut dan bersifat toksik terhadap invasi organisme. Komponen kimia ini antara
lain ialah lisozim,sitokin,interferon,komplemen, dan protein fase akut. Unsur
kedua merupakan elemen seluler,seperti netrofil, dan makrofag, dengan fungsi
utama fagositosis, mencerna, dan merusak partikel asing. Makrofag juga
terlibat dalam respons imun yang spesifik. Selsel lain yang termasuk respons
radang nonspesifik ialah basophil, sel mast, eosinophil, trombosit dan sel NK
(natural killer). Neutrofil mempunyai peranan utama dalam pertahanan
melawan infeksi jamur.
Imunitas spesifik membentuk lini kedua pertahanan melawan jamur
setelah jamur mengalahkan pertahanan nonspesifik. Limfosit T dan limfosit B
merupakan sel yang berperan penting pada pertahanan tubuh spesifik. Sel-sel
ini mempunyai mekanisme termasuk pengenalan dan mengingat organism
asing, sehingga terjadi amplifikasi dari kerja dan kemampuannya untuk
merspons secara cepat terhadap adanya presentasi dengan memproduksi
antibodi, sedangkan limfosit T berperan dalam respons seluler terhadap infeksi.
Imunitas seluler sangat penting pada infeksi jamur. Kedua mekanisme ini
dicetuskan oleh adanya kontak antara limfosit dengan antigen.
5. Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
laboratorium yaitu mikroskopis langsung dan kultur.
6. Pengobatan
Pengobatan infeksi jamur dibedakan menjadi pengobatan non
medikamentosa dan pengobatan medikamentosa.
Non Medikamentosa
Menurut Badan POM RI (2011), dikatakan bahwa penatalaksanaan
non medikamentosa adalah sebagai berikut:
a. Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena
infeksi atau bagian yang terinfeksi dikeringkan
b. Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian
dengan orang yang terinfeksi.

c. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas
d. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk
menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.
e. Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat
menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan bahan sintetis
yang dapat menghambat sirkulasi udara.
f. Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu dan
bersihkan debu-debu yang menempel pada sepatu.
g. Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur.
Gunakan sandal yang terbuat dari bahan kayu dan karet
Medikamentosa
Pengobatan tinea korporis terdiri dari pengobatan lokal dan
pengobatan sistemik. Pada tinea korporis dengan lesi terbatas,cukup
diberikan obat topikal. Lama pengobatan bervariasi antara 1-4 minggu
bergantung jenis obat. Obat oral atau kombinasi obat oral dan topikal
diperlukan pada lesi yang luas atau kronik rekurens. Anti jamur topikal
yang dapat diberikan yaitu derivate imidazole, toksiklat, haloprogin dan
tolnaftat. Pengobatan lokal infeksi jamur pada lesi yang meradang disertai
vesikel dan eksudat terlebih dahulu dilakukan dengan kompres basah
secara terbuka. Pengobatan Sistemik Menurut Verma dan Heffernan
(2008), pengobatan sistemik yang dapat diberikan pada tinea korporis
adalah:
1. Griseofulvin Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan
pertama. Dosis untuk anak-anak 15-20 mg/kgBB/hari,
sedangkan dewasa 500-1000 mg/hari
2. Ketokonazol Ketokonazol digunakan untuk mengobati tinea
korporis yang resisten terhadap griseofulvin atau terapi topikal.
Dosisnya adalah 200 mg/hari selama 3 minggu.
3. Obat-obat yang relative baru seperti itrakonazol serta terbinafin
dikatakan cukuo memuaskan untuk pengobatan tinea korporis.

DIPEPSIA
1. Definisi
Dispepsia adalah kumpulan gejala berupa rasa nyeri pada ulu hati
atau rasa tidak nyaman di perut bagian atas. Rasa tidak nyaman ini bisa
dirasakan seseorang dalam bentuk rasa penuh di perut bagian atas, rasa
cepat kenyang, rasa terbakar, kembung, bersendawa, mual dan muntah
yang bersifat akut, berulang ataupun kronis.
Gejala biasanya sudah berlangsung bertahun-tahun. Faktor gaya
hidup seperti merokok, alkohol, berat badan dan stres relevan dengan
terjadinya refluks. Insidensi kanker meningkat dengan bertambahnya usia,
dan signifikan hanya pada usia diatas 45 tahun. Adanya disfagia dan
penurunan berat badan merupakan indikasi untuk dilakukan pemeriksaan
segera.Banyak definisi tentang dispepsia, berdasarkan kriteria Rome II
tahun 1999-2000 dispepsia bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan
suatu sindrom yang harus dicari penyebabnya.
2. Etiologi
Penyebab dari sindrom dispepsia adalah :
1. Adanya gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna seperti
tukak gaster/duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.
2. Obat-obatan: seperti Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS),
aspirin, beberapa jenis antibiotik, digitalis, teofilin dan sebagainya.
3. Penyakit pada hepar, pankreas, sistem billier: hepatitis, pankreatitis,
kolesistitis kronik.
4. Penyakit sistemik seperti: diabetes melitus, penyakit tiroid, dan
penyakit jantung koroner.
5. Bersifat fungsional, yaitu: dispepsia yang terdapat pada kasus yang
tidak didapat adanya kelainan/gangguan organik yang dikenal sebagai
dispepsia funsional atau dispepsia non ulkus.
3. Klasifikasi
Berdasarkan ada tidaknya penyebab dan kelompok gejala maka
dispepsia terbagi atas dispepsia organik dan dispepsia fungsional.
Dikatakan dispepsia organik bila penyebab dispepsia sudah jelas misal
adanya ulkus peptikum, karsinoma lambung dan kholelithiasis yang bisa
ditemukan dengan mudah. Dan dikatakan dispepsia fungsional bila
penyebabnya tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada
pemeriksaan gastroenterologi konvensional, atau tidak ditemukannya
kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik.

1.

Dispepsia organik
Dispepsia organik baru bisa dipastikan bila penyebabnya
sudah jelas. Yang dapat digolongkan dispepsia organik, yaitu:
a. Dispepsia tukak (ulcer-like dispepsia)
Keluhan yang sering dirasakan ialah rasa nyeri pada ulu
hati. Berkurang atau bertambahnya nyeri ada hubungannya dengan
makanan, sering terbangun saat tengah malam karena nyeri pada
ulu hati. Hanya dengan endoskopi dan radiologi baru bisa
dipastikan tukak di lambung atau duodenum.
b. Dispepsia bukan tukak
Keluhannya mirip dengan dispepsia tukak, biasa ditemukan
pada gastritis dan duodenitis, tetapi pada pemeriksaan endoskopi
tidak ditemukan tanda-tanda tukak.
c. Refluks gastroesofageal
Gejala yang sering ditemukan adalah rasa panas di dada
dan regurgitasi masam, terutama setelah makan. Bila seseorang
mempunyai keluhan ini disertai keluhan sindroma dispepsia
lainnya maka dapat disebut dispepsia refluks gastroesofageal.
d. Penyakit saluran empedu
Sindroma dispepsia biasa ditemukan pada penyakit saluran
empedu. Rasa nyeri dari perut kanan atas atau ulu hati yang
menjalar ke punggung dan bahu kanan.
e. Karsinoma
Karsinoma saluran cerna (esofagus, lambung, pankreas dan
kolon) sering menimbulkan keluhan sindrom dispepsia. Keluhan
yang sering dijumpai yaitu rasa nyeri di perut, keluhan bertambah
berkaitan dengan makanan, anoreksia dan berat badan menurun.
f. Pankreatitis
Rasa nyeri timbul mendadak dan menjalar ke punggung.
Perut terasa makin tegang dan kembung. Dan didapat juga keluhan
lain dari sindroma dispepsia.
g. Dispepsia pada sindroma malabsorpsi
Pada penderita ini selain menderita nyeri perut, nausea,
anoreksia, sering flatus dan kembung juga didapat diare profus
yang berlendir.
h. Dispepsia akibat obat-obatan
Banyak obat-obatan yang bisa menimbulkan rasa nyeri atau
tidak enak pada ulu hati tanpa atau disertai mual dan muntah,
misalnya obat golongan NSAID (non steroidal anti inflammatory
drugs), teofilin, digitalis, antibiotik oral (terutama ampisilin dan

eritromisin), alkohol dan lain-lain. Oleh karena itu perlu


ditanyakan obat yang dikonsumsi sebelum timbul keluhan
dispepsia.
i.
Gangguan metabolisme
Diabetes melitus dengan neuropati sering timbul
komplikasi pengosongan lambung yang lambat sehingga timbul
nausea, vomitus dan rasa cepat kenyang.
Hipertiroidi mungkin menimbulkan keluhan nyeri di perut
dan vomitus, sedangkan hipotiroidi menyebabkan timbulnya
hipomotilitas lambung. Hiperparatiroidi mungkin disertai nyeri di
perut, nausea, vomitus dan anoreksia.
j.
Penyakit lain
Penyakit jantung iskemik sering didapat keluhan perut
kembung dan rasa cepat kenyang. Penderita infark miokard
dinding inferior juga sering memberi keluhan nyeri perut pada
bagian atas, mual dan kembung. Kadang penderita angina memiliki
keluhan menyerupai refluks gastroesofageal. Penyakit vaskuler
kolagen terutama pada skleroderma di lambung atau usus halus
sering memberi keluhan sindrom dispepsia. Rasa nyeri perut sering
ditemukan pada penderita SLE terutama yang banyak
mengkonsumsi kortikosteroid.
2.

4.

Dispepsia fungsional
Dispepsia fungsional atau dispepsia non-organik,
merupakan dispepsia yang tidak ada kelainan organik tetapi
merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan. Penderita dengan
dispepsia fungsional biasanya sensitif terhadap produksi asam
lambung. Kelainan psikis, stres dan faktor lingkungan juga dapat
menimbulkan dispepsia fungsional.

Gejala klinis
Keluhan berupa nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung,
mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, dan perut terasa penuh atau
begah. Keluhan ini tidak selalu semua ada pada setiap pasien, dan bahkan
pada beberapa pasien pun keluhan dapat berganti atau bervariasi dari hari
ke hari baik dari segi jenis keluhan maupun kualitasnya.

5. Diagnosis
Cara mendiagnosis sindrom dispepsia yaitu:
a. Menganamnesa secara teliti dapat memberikan gambaran keluhan yang
terjadi, karakteristik dan keterkaitannya dengan penyakit tertentu, keluhan
bisa bersifat lokal atau bisa sebagai manifestasi dari gangguan sistemik.
b. Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau
intra lumen yang padat misalnya: tumor, organomegali, atau nyeri tekan
yang sesuai dengan adanya rangsangan peritoneal/peritonitis.
c. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi
seperti lekositosis, pankreatitis (amilase/lipase) dan keganasan saluran
cerna.
d. Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengidentifikasi kelainan-kelainan
seperti: batu kandung empedu, kolesistitis, sirosis hepatis dan sebagainya.
e. Pemeriksaan endoskopi (esofagogastroduodenoskopi) sangat dianjurkan
bila dispepsia itu disertai oleh keadaan yang disebut alarm symtomps yaitu
adanya penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan
adanya obstruksi, muntah darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung
lama dan terjadi pada usia lebih dari 45 tahun. Keadaan ini sangat
mengarah pada gangguan organik terutama keganasan, sehingga
memerlukan eksplorasi diagnosis secepatnya.
f. Pemeriksaan radiologi dapat mengidentifikasi kelainan struktural
dinding/mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau
gambaran yang mengarah ke tumor. Pemeriksaan ini bermanfaat terutama
pada kelainan yang bersifat penyempitan/stenotik/obstruktif dimana skop
endoskopi tidak dapat melewatinya.
6. Penatalaksanaan
a. Antasida
Antasida digunakan untuk menghilangkan rasa sakit. Mekanisme kerjanya
menetralkan asam lambung secara lokal.
b. Histamine-2 receptor antagonist
Golongan obat ini antara lain: simetidin, renitidin, famotidin, roksatidin,
nizatidin dan lain-lain. Kerja antagonis H2 yang paling penting adalah
menghambat sekresi asam lambung yang dirangsang histamin, gastrin, obatobat kolinomimetik, dan rangsang vagal. Mekanisme kerjanya memblokir
histamin pada reseptor H2 sel pariental sehingga sel parietal tidak terangsang
untuk mengeluarkan asam lambung.
c. Anti kolinergik
Pemakaian obat ini harus diperhatikan sebab kerja obat ini tidak begitu
selektif.

d. Penghambat pompa asam


Obat ini sangat bermanfaat pada kasus kelainan saluran cerna bagian atas
yang berhubungan dengan asam lambung. Kombinasi antibiotik dan
metronidazol memberikan hasil yang memuaskan.
e. Prokinetik
Golongan obat ini sangat baik dalam mengobati pasien dispepsia yang
disebabkan gangguan motilitas, jenis obat ini antara lain: metoklopamid,
domperidone dan cisapride
f. Golongan lain
Obat-obat seperti sukraflat dan bismuth subsitrat mempunyai efek
membunuh helicobacter pylori.
7.

Psikofarmakoterapi
Pada kasus ini terapi dengan anti depresan atau anti anxietas dapat
membantu mengurangi gejala klinis. Preparat dan dosis anti depresan yaitu
sebagai berikut :
a. Siklik antidepresan:
Anti depresan trisiklik yang pertama ditemukan adalah impramine
dan memiliki sedikit kegunaan. Digunakan sejak tahun 1950. Trisiklik
seperti amitriptiline, imipramine, trimipramine, dan dispramine dengan
dosis 150-300 mg/hari.
b. Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs)
MAOI memiliki kekurangan dimana pasien harus diet bebas
tiramine, untuk menghindari krisis hipertensi, yang disebut reaksi keju
(chese-reaction).
c. Selective Serotonin re-uptake Inhibitors (SSRI)
Yang termasuk SSRI adalah fluoxetin, fluvoxamine, sertraline,
citalopram dan paroxetine.
8. Komplikasi
Komplikasi dari dispepsia yaitu luka pada lambung yang dalam atau
melebar tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam lambung dan dapat
mengakibatkan kanker pada lambung.
9. Prognosis
Prognosis tidak diketahui, dan para pasien ini sebaiknya dipantau untuk
mengetahui kemungkinan timbulnya komplikasi seperti penyakit tukak peptik dan
esofagitis refluks.

BAB III
ANALISIS KASUS

Seorang perempuan usia 56 tahun menderita Diabetes Mellitus datang ke


Puskesmas dengan keluhan mual dan muntah sejak 2 minggu yang lalu. Mual
muntah sudah diobati dengan Omeprazole dan Antasida tetapi tidak membaik.
Pasien juga mengeluhkan gatal-gatal dengan plak multipel pada leher dan
regio inguinal. Pasien mempunyai riwayat DM 2 tahun yang lalu dan pernah
diobati

dengan

OAD

yaitu

Glibenclamid.

Dari

pemeriksaan

fisik

menunjukkan BB 50 kg, tinggi 150 cm, mulut kering, vital sign normal. Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan gula darah 254 mg/dl, pemeriksaan lipid
dan test fungsi hepar normal, pada kulit ditemukan lesi di leher dan regio
inguinal. Dokter memberikan resep Glibenclamid, Omeprazole, Domperidon,
Cetirizin dan Miconazole cream.
A. Anamnesis
1. Keluhan utama : mual (+) muntah (+), gatal pada leher dan regio
inguinal.
2. Riwayat penyakit sekarang : Diabetes Mellitus, gatal pada leher
dan regio inguinal.
3. Riwayat penyakit dahulu : Diabetes Mellitus (2 tahun yang lalu).
4. Riwayat keluarga : tidak ada.
5. Riwayat pengobatan : mengkonsumsi glibenclamid sejak 2 tahun
yang lalu. Mengkonsumsi omeprazole dan antaside sejak 2
minggu yang lalu tetapi keluhannya tidak berkurang.
6. Riwayat sosial dan ekonomi : tidak diketahui.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Berat Badan : 50 kg.
2. Tinggi Badan : 150 cm.
3. Mulut kering dan vital sign dalam batas normal.
4. Lesi eritematous pada leher dan inguinal, plak berskuama (+)
dengan tepi meninggi.
C. Diagnosis Banding
1. Diabetes Mellitus tipe 1.
2. Diabetes Mellitus tipe 2.
Diagnosis mikosis :

1. Tinea kruris
2. Tinea vesikolor
3. Tinea corporis
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Gula Darah Sewaktu (GDS) : 254 mg/dl
2. Gula Darah Puasa (GDP) : 3. Test Toleransi Glukosa (TTG) : 4. Test lipid dan fungsi hepar : normal
E. Manajemen Terapi
Untuk pemberian terapi diabetes mellitus :
1. Metformin
Efek utama metformin adalah menurunkan hepatic glucose output
dan menurunkan kadar glukosa darah puasa. Monoterapi dengan
metformin dapat menurunkan A1C sebesar 1,5 % dan dapat
digunakan secara aman tanpa menyebabkan hipoglikemi pada
diabetes. Efek non glikemik yang penting dari metformin adalah
tidak menyebabkan penambahan berat badan. Dosis metformin
500 mg tablet pemakaian diminum 3 kali dalam sehari dengan
dosis maksimum 3 mg sehari.
2. Ketonazol
ketokonazol adalah suatu derivat imidazole-dioxolane sintesis
yang memiliki aktivitas antimikotik yang poten terhadap
dermatofit dan ragi, misalnya Tricophyton Sp, Candida Sp,
Pityrosporum Sp. Ketokonazol bekerja dengan menghambat
enzim sitokrom jamur sehingga mengganggu sintesis ergosterol
yang merupakan komponen penting dari membran sel jamur.
Diberikan sediaan topikal.
3. Omeprazole
Omeprazole merupakan antisekresi, yang bekerja menekan
sekresi asam lambung. Omeprazole berikatan dengan proton
secara cepat akan diubah menjadi sulfonamida, suatu penghambat
pompa proton yang aktif. Penggunaanya secara oral. Dosis 1 kali
sehari 10mg.
4. Domperidone
Domperidone merupakan antagonis dopamin yang secara
periferal bekerja selektif pada reseptor D2. Khasiatnya antiemetik

yang sama dengan metoklopramid. Dosis 3 kali sehari 10 mg 1530 menit sebelum makan.
5. Cetirizin
Cetirizin merupakan antihistamin potensial yang memiliki efek
sedasi ringan dengan sifat tambahan anti alergi. Dosis 1 kali
sehari 10 mg.
F. Edukasi
1. Mengurangi konsumsi gula berlebih
2. Mengatur kalori
3. Menjaga higienitas
4. Mengatur pola hidup sehat: pola makan diatur, tidak telat makan,
tidak mengkonsumsi makanan berkafein, tidak banyak makan
makanan yang pedas.
5. Olahraga
6. Tidak merokok.

BAB IV
RESEP
dr. Kaka Ade
NO. SIP : 033/SIP-2/2015/SKA
JL. Kenangan No. 23 SKA, Telp : (0271) 123456
Surakarta, 30 Oktober 2015
R / Glibenklamid tab 5 mg No.XX
S.1.d.d. tab Ia.m.
R / Omeprazole tab 20 mg No.X
S.1.d.d. tab I1.h.a.c.
R / Domperidon tab 10 mg No.X
S.1.d.d tab I 1.h.a.c.
R / Cefitrizin tab 10 mg No.V

S.1.d.d tab I nocte


R / Miconazole creamtube2% No.I
S.2.d.d.u.e.
Pro
Age

: Ny. A
: 56 th

BAB V
KESIMPULAN KASUS I

Pasien menderita DM, dispepsia, dan dermatofitosis. Pengobatan yang


diberikan adalah terapi untuk DM menggunakan metformin yang merupakan obat
oral pilihan terbaik pada saat ini. Kemudia untuk dispepsia diberikan omeprazol
dan domperidon untuk meringankan muntah. Untuk pengobatan dermatofitosis
menggunakan ketokonazol topikal karena untuk menghindari interaksi obat
dengan omeprazol jika diberikan secara bersamaan dengan cara oral.

BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma Metabolik (SM) adalah kondisi dimana seseorang memiliki
tekanan darah tinggi, obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa
hiperglikemik. Ketika kondisi-kondisi tersebut berada pada waktu yang sama pada
satu orang, maka orang tersebut memiliki risiko yang tinggi terhadap penyakit
macrovasculer. Berbagai organisasi telah memberikan definisi yang berbeda,
namun seluruh kelompok studi setuju bahwa obesitas, resistensi insulin (RI),
dislipidemia dan hipertensi merupakan komponen utama SM. Jadi, meskipun SM
memiliki definisi yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama, yaitu
mengenali sedini mungkin gejala gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh ke
dalam beberapa komplikasi.
Menurut World Health Organization (WHO) Metabolic Syndrome yang
didefinisikan dengan adanya dua atau lebih abnormalitas metabolik (pada pasien
diabetes) atau RI dengan dua atau lebih keadaan: 1. Hipertensi dengan perlakuan
atau tekanan darah >160 / >90 mmHg, 2. 150 mg/dL, 3. HDLTrigliserida 0.90
pada laki-laki atau >0.85 pada wanita, 5. Mikroalbuminuria. 3
Namunkebanyakanmenggunakandefinisi yang telahditetapkanoleh WHO and The
National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP
III). Organisasi ini menganggap bahwa SM merupakan faktor risiko penyakit
kardiovaskuler disamping peningkatan kadar kolesterol Low Density Lipoprotein
(LDL). Dislipidemiaaterogenik (protrombotik state), RI, hipertensi,
obesitasabdominal danpeningkatanmarker inflamasidianggapsebagaikarakteristik
yang mencolok dari SM.
Konsep dari Sindrom Metabolik telah ada sejak 80 tahun yang lalu, pada
tahun 1920, Kylin, seorang dokter Swedia, merupakan orang pertama yang
menggambarkan sekumpulan dari gangguan metabolik, yang dapat menyebabkan
resiko penyakit kardiovaskuler aterosklerosis yaitu hipertensi, hiperglikemi dan
gout. Berbagai faktor resiko: dislipidemi, hiperglikemi dan hipertensi secara
bersamaan dikenal sebagai multiple risk factor untuk penyakit kardiovaskuler dan
disebut dengan sindrom X. Selanjutnya sindrom X ini dikenal dengan sindrom
resistensi insulin. Dan kemudian NCEP-ATP III menamakan dengan istilah
Sindrom Metabolik. Konsep Sindrom Metabolik ini telah banyak diterima secara
Internasional. Berdasarkan tinjauan dari beberapa studi, didapatkan angka
prevalensi Sindrom Metabolik pada populasi urban laki-laki yaitu dari 8% (India)
sampai24% (Amerika Serikat), sedang untuk wanita dari 7% (Perancis) sampai
46% (India).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SINDROM METABOLIK
1. Definisi
Berdasarkan the National Cholesterol Education Program Third Adult
Treatment Panel (NCEP-ATP III), Sindrom Metabolik adalah seseorang
dengan memiliki sedikitnya 3 kriteria berikut: 1). Obesitas abdominal (lingkar
pinggang > 88 cm untuk wanita dan untuk pria > 102 cm); 2). Peningkatan
kadar trigliserida darah ( 150 mg/dL, atau 1,69 mmol/ L); 3). Penurunan
kadar kolesterol HDL (< 40 mg/dL atau < 1,03 mmol/ L pada pria dan pada
wanita < 50 mg/dL >.
2. Etiologi
Menurut Tenebaum (dalam Angraeni2007), penyebab Sindroma Metabolik
adalah : Pertama, gangguan fungsi sel dan hipersekresi insulin untuk
mengkompensasi RI. Hal ini memicu terjadinya komplikasi makrovaskuler
(misalnya komplikasi jantung); Kedua, kerusakan berat sel menyebabkan
penurunan progresif sekresi insulin, sehingga menimbulkan hiperglikemia.
Hal ini menimbulkan komplikasi mikrovaskuler (misalnya nephropathy
diabetica).
Peningkatan faktor risiko metabolik selalu berhubungan dengan tingginya
akumulasi jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan lemak visceral.
Salah satu karakteristik obesitas abdominal/lemak visceral adalah terjadinya
pembesaran sel-sel lemak, sehingga sel-sel lemak tersebut akan mensekresi
produk-produk metabolik, di antaranya sitokin proinflamasi, prokoagulan,
peptida inflamasi, dan angiotensinogen. Produk produk dari sel lemak dan
peningkatan asam lemak bebas dalam plasma bertanggungjawab terhadap
berbagai penyakit metabolik seperti diabetes, penyakitjantung, hiperlipidemia,
gout, dan hipertensi.
3. Patofisiologi
Insulin merupakan hormon anabolik tubuh yang prinsipil, yang
mengatur perkembangan dan pertumbuhan yang sesuai dan juga sebagai
maintenance dari sistem homeostasis glukosa di seluruh tubuh. Hormon
insulin disekresi oleh sel pulau Langerhan dari organ pankreas. Insulin
berperan dalam menurunkan kadar gula darah melalui beberapa cara; 1).
supressi hepatic glucose output (melalui penurunan gluconeogenesis dan
glycogenolysis), 2). merangsang penyimpanan terutama ke otot dan
jaringan lemak melalui glucose transporter yaitu Glucose Transporter -4
(GLUT-4).

Insulin juga mempunyai efek antiapoptosis, hal ini didukung oleh studi
eksperimen pada binatang percobaan dimana dengan penambahan insulin pada
cairan reperfusi berhubungan dengan pengurangan ukuran miokard infark sekitar
50%. Sedangkan studi pada manusia, pemberian infus insulin dosis rendah dengan
heparin dan agen trombolitik menunjukkan efek kardioprotektif (Dandona, 2005).
Efek anti inflamasi juga terdapat pada insulin hal ini didukung oleh
eksperimen pada binatang percobaan bahwa pemberian insulin menunjukkan
pengurangan mediator-mediator inflamasi (IL-, IL-6, macrophage migration
inhibitor factor [MIF], TNF-), dan expression of proinflammatory transcription
factors CEBP (C enhancer binding protein) dan cytokines. Kemampuan insulin
dalam efek antioksidan didukung dengan kemampuannya untuk menekan reactive
oxygen species (ROS).
Patogenesis sindrom metabolik masih tidak jelas, tetapi kelainan dasarnya
adalah resistensi insulin. Resistensi insulin didefinisikan sebagai suatu kondisi
dijumpainya produksi insulin yang normal namun telah terjadi penurunan
sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin, sehingga terjadi peningkatan sekresi
insulin sebagai bentuk kompensasi sel Beta. Resistensi insulin ini sering
mendahului onset dari diabetes tipe 2 dan mempunyai kontribusi dalam
perkembangan terjadinya keadaan hiperglikemi. Dan resistensi insulin dijumpai
pada sebagian besar pasien dengan Sindrom Metabolik. Resistensi Insulin dan
hipertensi sistolik merupakan faktor yang menentukan terjadinya disfungsi
endotel. Resistensi Insulin menyebabkan menurunnya produksi Nitric Oxide (NO)
yang dihasilkan oleh sel-sel endotel, sedangkan hipertensi menyebabkan disfungsi
endotel melalui beberapa cara seperti; secara kerusakan mekanis, peningkatan selsel endotel dalam bentuk radikal bebas, pengurangan bioavailabilitas NO atau
melalui efek proinflamasi pada sel-sel otot polos vaskuler. Disfungsi endotel ini
berhubungan dengan stres oksidatif dan menyebabkan penyakit kardiovaskuler.
Proses-proses seluler yang penting yang berkenaan dengan disfungsi endotel.
Pada keadaan hiperinsulinemia insulin dapat ditemukan pada otak, berperan
sebagai neuromodulator yang menghambat aktifitas sinap. Reseptor-reseptor
insulin telah ditemukan pada daerah hipotalamus dan hipokampus. Dipercaya
bahwa insulin yang ada berasal dari plasma dan berakses ke otak pada daerah
circumventricular yang merupakan daerah yang sedikit mengandung sawar darah
otak. Insulin juga bertransportasi melewati sawar darah otak melalui reseptor
spesifik dan masuk ke jaringan syaraf secara langsung atau masuk melalui cairan
serebrospinal.

4. Kriteria sindroma metabolik


Hingga saat ini ada 3 definisi SM yang telah diajukan, yaitu definisi World
Health Organization (WHO), NCEP ATP-III dan International Diabetes
Federation (IDF). Ketiga definisi tersebut memiliki komponen utama yang sama
dengan penentuan kriteria yang berbeda. Pada tahun 1988, Alberti dan Zimmet
atas nama WHO menyampaikan definisi SM dengan komponen - komponennya
antara lain : (1) gangguan pengaturan glukosa atau diabetes (2) resistensi insulin
(3) hipertensi (4) dislipidemia dengan trigliserida plasma > 150 mg/dL dan/atau
kolesterol high density lipoprotein (HDL-C) < 35 mg/dL untuk pria; < 39 mg/dL
untuk wanita; (5) obesitas sentral (laki-laki : waistto-hip ratio > 0,90; wanita:
waist-to-hip ratio > 0,85) dan/atau indeks massa tubuh (IMT) > 30 kg/m2; dan (6)
mikroalbuminuria (Urea Albumin Excretion Rate >20 mg/min atau rasio
albumin/kreatinin > 30 mg/g).
Tabel 1. Kriteria diagnosis Sindrom metabolik menurut WHO (World Health
Organization), NCEP-ATP III dan IDF

Komponen
Obesitas
abdominal/ sentral

Hipertrigliseridemia
Hipertensi

Kadar glukosa
darah tinggi

Mikro-albuminuri

Kriteria diagnosis WHO:


Resistensi insulin plus :
Waist to hip ratio :
Laki-laki : > 0,9
Wanita : > 0,85 atau
IMB >30 Kg/m
150 mg/dl ( 1,7
mmol/L)
TD 140/90 mmHg atau
riwayat terapi anti
hipertensif
Toleransi glukosa
terganggu, glukosa puasa
terganggu,resistensi insulin
atau DM
Rasio albumin urin dan
kreatinin 30 mg/g atau laju
eksresi albumin 20
mcg/menit

Criteria diagnosis
ATP III : 3
komponen di bawah
ini
Lingkar perut :
Laki-laki: 102 cm
Wanita : >88 cm
150 mg/dl (1,7
mmol/L)
TD 130/85 mmHg
atau riwayat terapi
anti hipertensif
110 mg/dl

IDF
Lingkar perut :
Laki-laki: 90 cm
Wanita : 80 cm
150 mg/dl
TD sistolik 130 mmHg
TD diastolik 85 mmHg
GDP 100mg/dl

BAB III
ANALISIS KASUS

Seorang laki-laki usia 50 tahun datang ke Puskesmas dengan rasa tidak


nyaman pada dada sejak 1 minggu. Pasien tidak mengeluh batuk dan napas
pendek. Pasien mempunyai riwayat Diabetes Mellitus selama 5 tahun dan
hipertensi selama 2 tahun. Ibunya menderita DM dan perokok serta mempunyai
gaya hidup yang buruk. Pada pemeriksaan fisik diketahui BB 85 kg, tinggi 165
cm, nadi 78 kali per menit, tekanan darah 160/110 mmHg. Pemeriksaan
labaroratorium menunjukkan GDP 220 mg/dl, gula darah post pandrial 350 mg/dl,
trigliserid 150 mg/dl, kolesterol 300 mg/dl, HDL 30 mg/dl, HbA1C 7,5 %. Pada
pemeriksaan X-Ray dada normal, EKG normal. Dokter memberikan metformin,
simvastatin, dan amlodipin dan edukasi untuk merubah gaya hidup.
A. Anamnesis
1. Keluhan utama : dada tidak nyaman/ nyeri selama 1 minggu,
batuk (-), sesak napas (-)
2. Riwayat penyakit sekarang : DM selama 5 tahun, hipertensi
selama 2 tahun, hiperkolesterolemia.
3. Riwayat penyakit dahulu : DM selama 5 tahun, hipertensi selama
2 tahun
4. Riwayat penyakit keluarga : Ibu kandung menderita DM dan
perokok serta mempunyai gaya hidup yang buruk.
5. Riwayat pengobatan : tidak diketahui
6. Riwayat sosial ekonomi : Ibu dengan lifestyle buruk.
B. Pemeriksaan fisik
1. BB : 85 kg
2. TB : 165 cm
3. Nadi : 78 kali/menit
4. Tekanan darah : 160/110 mmHg
C. Diagnosis Banding
1. Sindrome Metabolik
2. Diabetes Melitus
3. Dislipidemia
4. Hipertensi
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Lab

a. GDP : 220 mg/dl (tinggi), normal <126 mg/dl


b. Gula darah post prandial : 350 mg/dl (tinggi), normal
<200mg/dl
c. Trigliserida : 150 mg/dl, normal <150mg/dl
d. Kolesterol : 300 mg/dl, normal <200 mg/dl
e. HDL : 30 mg/dl, normal 40-80 mg/dl
f. HbA1C : 7,5 %, normal <7%
2. EKG : normal
3. X-Ray : normal
E. Manajemen Terapi
1. Metformin
Efek utama metformin adalah menurunkan hepatic glucose output
dan menurunkan kadar glukosa darah puasa. Monoterapi dengan
metformin dapat menurunkan A1C sebesar 1,5 % dan dapat
digunakan secara aman tanpa menyebabkan hipoglikemi pada
diabetes. Efek non glikemik yang penting dari metformin adalah
tidak menyebabkan penambahan berat badan. Dosis metformin
500 mg tablet pemakaian diminum 3 kali dalam sehari dengan
dosis maksimum 3g sehari.
2. Simvastatin
Simvastatin merupakan salah satu obat penurun kolesterol dalam
darah. Kinerja obat ini adalah menghambat enzim pembentuk
kolesterol sehingga kadar kolesterol dalam darah berkurang.
Dosis 1 kali sehari 10 mg malam hari. Dosis maksimal 40mg/
hari.
3. Amlodipin
Amlodipin merupakan obat antihipertensi. Digunakan juga untuk
mengatasi serangan angina. Bekerja dengan cara melemaskan
dinding dan melebarkan diameter pembuluh darah maka akan
memperlancar aliran darah. Dosis 1 kali sehari 10 mg.
F. Edukasi
1. Menjaga pola hidup sehat
2. Olahraga teratur
3. Menjaga asupan kalori
4. Mengurangi stress

BAB IV
RESEP
dr. Kaka Ade
NO. SIP : 033/SIP-2/2015/SKA
JL. Kenangan No. 23 SKA, Telp : (0271) 123456
Surakarta, 30 Oktober 2015
R / Metformin tab 500 mg No.XXX
S.3.d.d. tab I
R / Simvastatin tab 10 mg No.XXX
S.1.d.d. tab Inocte
R / Amlodipin tab 5 mg No.XXX
S.1.d.d tab I nocte
Pro

: Tn. R

Age

: 50 th

BAB V
KESIMPULAN KASUS II

Pasien menderita sindrom metabolik (dengan gejala diabetes mellitus,


hiperkolestrolemia, dan hipertensi). Sehingga pengobatan yang diberikan adalah
untuk DM menggunakan metformin. Kemudian untuk hipertensi menggunakan
amlodipin karena hipertensi yang diderita sudah memasuki stage 2. Untuk
pengobatan hiperkolesterimia menggunakan simvastatin.

DAFTAR PUSTAKA
Adult Treatment panel III., 2001. Expert Panel on Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Cholesterol in Adults.Executive Summary of
the Third Report of the National Cholesterol Education Program
(NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, andTreatment of High
Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III).
American

Diabetic

Assosiation.,

2012.

Classification of Diabetes Mellitus.

Diagnosis

and

Diabetes Care.

Volume 35 Supplement I: 64-71.


Anonim., 2000. Pencegahan Diabetes Mellitus. Alih Bahasa:
Arisman, Editor Suyono, J., 21-43. Jakarta: Hipokrates.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia., 2010. Pedoman
Pengendalian Diabetes Mellitus dan Penyakit Metabolik.
Direktorat

Pengendalian

Direktorat

Jenderal

Penyakit

Pengendalian

tidak

Menular,

Penyakit

dan

Penyehatan Lingkungan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia., 2010. Pedoman
Pengendalian Diabetes Mellitus dan Penyakit Metabolik.
Direktorat

Pengendalian

Direktorat

Jenderal

Penyakit

Pengendalian

tidak

Menular,

Penyakit

dan

Penyehatan Lingkungan.
Dinas Kesehatan Jawa Tengah., 2010. Profil Kementerian
Kesehatan

Indonesia

Pusat

dan

Surveilans

Ephydemiologi Profil Kesehatan Indonesia.


Kementerian Republik Indonesia.

Jakarta:

Kardika., 2010. Preanalitik dan Interpretasi Glukosa Darah


untuk Diagnosis Diabetes Meliitus. Jakarta.
Perkeni., 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI)., 2011. Konsensus
Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia.Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI.
Soegondo, S., Purnamasari, D., 2009. Sindroma Metabolik. Dalam: Sudoyo,
A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., editors.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.5. Jakarta: Interna Publishing,;
1865-72.
Sutrisna, EM. 2015. Dasar-Dasar Pengobatan Rasional: Buku
Ajar

Blok

Rational.

Surakarta:

Muhammadiyah

University Press.
Sutrisna, EM. 2015. Dasar-Dasar Pengobatan Rasional: Buku
Ajar

Blok

Rational.

Surakarta:

Muhammadiyah

University Press.
World

Health

Organization.,

2015.

Available

Diabetes

Mellitus.
from:

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/ind
ex.html(diakses 29 Oktober 2015).

Anda mungkin juga menyukai